:: Mengenalnya Lebih Dekat ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mudah bagimu, tidak untukku.
Apa yang terlihat memang seperti itu.
Mudah, tidak ada tantangan.

Padahal setiap yang aku lakukan ada sakit terselip.
Ada pedih yang terasa di hati.
Ada luka yang terbuka, tergores, dan semakin dalam.

🍂🍂🍂

Langit masih cenderung gelap ketika Danendra turun dari mobil. Di hadapannya ia melihat masjid megah yang memang biasa menjadi tujuannya apalagi ketika kegiatan dimulai bahkan sebelum ayam tetangga berkokok.

Ia mengabaikan pertanyaan Yashinta yang meminta penjelasan. Lelaki dengan hoodie berwarna hitam itu terus saja berjalan. Sesekali ia menoleh untuk melihat apakah Yashinta sudah menyusul atau belum.

Sosok lelaki dengan rambut lurus itu berhenti dan berbalik. Ia melihat Yashinta berlari ke arahnya. Dengan sigap, ia mengangkat tangan dan mengarahkan kelima jarinya untuk meminta si gadis berhenti.

"Jangan lari, jalannya nggak rata. Nanti jatuh."

Yashinta langsung berhenti dan mendengarkan ucapan Danendra. Hanya hal kecil mengenai keselamatan dirinya, tetapi sanggup membuatnya mengangguk dan menuruti permintaan sang idola.

Keduanya berjalan beriringan, begitu sampai di teras masjid, keduanya berpencar menuju toilet yang terpisah untuk pengunjung muslim dan muslimah. Sampai semua kegiatan ibadah saat itu selesai, Bang Didi, Yashinta, Pak Aji si sopir, dan Danendra memilih untuk sarapan di depan masjid.

Mereka memilih duduk di kursi yang disediakan oleh pedagang yang menjual bubur. Menu sarapan yang tepat untuk pagi hari. Sesekali Danendra menanyakan tentang apa saja yang akan dibahas di acara pagi dan siang hari saat menjadi bintang tamu di radio nanti.

"Apa yang mereka tanya jawab saja, Ndra. Nggak usah canggung lagi," ucap Bang Didi.

"Nggak bisa gitu, Bang. Ada yang bisa aku jawab, ada juga yang nggak pengin aku jawab. Masa iya aku harus ngikutin mau mereka, tapi nggak nyaman di aku?"

"Iya juga, sih. Kalau menurut Mbak Yas, gimana? Endra harus jawab semua atau nggak?"

Yashinta langsung berhenti menyendok bubur dan menatap Bang Didi sambil mengarahkan jari telunjuk pada dirinya sendiri. "Sa-saya boleh ngomong?"

Danendra dan Bang Didi bahkan Pak Aji langsung kompak mengangguk.

Si gadis yang menjadi pusat perhatian tiga lelaki itu langsung berdeham dan mengangguk. Yashinta mengambil gelas teh tawarnya lalu dengan gerakan pelan meminum isinya.

"Menurut saya, Mas Dan boleh untuk menolak. Silakan dipilih dan dipilah apa yang ingin dan tidak ingin dibahas. Seperti pas di acara My Way Show yang kemarin, saya rasa jawaban Mas Dan di situ sangat pas."

"Kenapa bisa pas? Bahkan saya lupa dengan apa yang sudah saya sampaikan," ujar Danendra sambil menatap manik mata Yashinta yang berwarna cokelat tua.

"Di situ Mas Dan nggak menolak terang-terangan, tapi melindungi privasi Mas Dan. Jadi nggak ada alasan lagi untuk memperpanjang. Kalau diperpanjang, justru kesannya nggak menghargai privasi orang lain."

Penjelasan Yashinta membuat Bang Didi dan Pak Aji mengangguk puas dengan apa yang Yashinta ucapkan.

"Bener, Ndra. Nggak ada salahnya kamu pakai jawaban yang seperti itu. Meski kehidupan di dunia hiburan ini bisa jadi konsumsi publik, tapi nggak semuanya harus jadi konsumsi publik. Begitu kan, Mbak Yas?"

Pertanyaan dari Bang Didi langsung dijawab dengan acungan jempol dari Yashinta. Mereka mengakhiri sesi sarapan dan berlanjut menuju lokasi pertama kegiatan hari ini.

Yashinta membantu membawa tas kecil yang berisikan perlengkapan pribadi milik Danendra seperti vitamin, obat, ponsel, charger, dan beberapa barang lainnya. Sementara itu, Bang Didi membawa tas yang lebih besar berisi pakaian sebagai pilihan semisal dari pihak televisi kesusahan mencari baju yang pas untuk Danendra.

Sambil menunggu Danendra selesai bersiap-siap, Yashinta bergegas mencari air hangat untuk sang idola. Itu menjadi catatan utama dari Bang Didi, ketika acara pagi selalus sediakan air hangat untuk Danendra, sekaligus persiapkan vitamin yang harus diminum.

"Mas Dan, air hangatnya."

"Makasih banyak, Mbak Yas. Nanti pas saya sudah mulai take, Mbak bisa tidur dulu. Di bawah matanya hitam banget. Capek, ya?"

Si gadis berambut cokelat itu langsung menyentuh area bawah matanya. "Mata saya memang begini, Mas. Nggak ngantuk juga."

Yashinta menjawab sambil menuju satu sofa yang tersisa di sana. Ia mengambil tas milik Danendra dan meletakkan di atas pangkuannya. "Mas Dan, permisi mau buka tasnya. Mau ambil vitamin yang di sini."

Danendra memajukan tubuhnya dan melirik ke arah Yashinta yang berada di sampingnya itu. "Buka saja, Mbak. Besok-besok nggak usah nunggu izin dari saya."

"Nggak sopan itu namanya, Mas. Saya tetap bakalan izin." Yashinta mengambil beberapa botol vitamin dan suplemen yang ada di dalam tasnya. Mata Yashinta langsung tertuju pada satu botol kecil yang ia kenal sebagai painkiller. "Mas Dan, botol ini saya yang simpan, ya? Biar nggak jadi kebiasaan."

Sekali lagi Danendra menoleh. "Mbak Yas persis seperti kakak saya. Selalu itu yang disita."

"Mbak Denada? Yaa sudah pasti. Kalau dibiarin nanti makin menjadi."

"Loh, Mbak Yas tau juga sama kakak saya?"

"Hm, i-iya, tahu. Siapa juga yang nggak kenal dengan anggota keluarga Pramudya? Ini vitaminnya diminum, saya mau ke toilet sebentar. Bang Didi masih ada urusan, bentar lagi juga nyusul."

Danendra menoleh, tetapi gadis yang baru saja berbicara padanya sudah melesat meninggalkan dirinya dan tim penata rias dari SRTV. Padahal Danendra masih ingin bercerita dengannya.

Sampai saat acara akan dimulai, hanya Bang Didi yang menemani Danendra sampai pada studio satu, tempat acara Manajemen Qalbu Pagi berlangsung. Gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi studio ketika Danendra memasuki ruangan.

Lelaki dengan balutan baju koko putih dan kopyah itu mampu menarik perhatian jamaah yang dominan dihadiri oleh kelompok pengajian ibu-ibu dari berbagai daerah itu. Apalagi dipandu oleh seorang ustaz muda yang terkenal. Suasana semakin ramai.

"Masa lalu yang buruk tidak harus dijadikan kenangan buruk. Jadikan itu sebagai pengingat, sejarah, dan juga sebagai cerminan. Jangan sampai terulang, jangan sampai menyakiti. Apakah boleh melupakan masa lalu? Silakan. Bukalah lembaran baru, jadilah manusia yang baru dengan taubat yang sebenar-benarnya taubat," ucap salah satu ustaz yang juga diundang pada acara itu.

"Bagaimana dengan Mas Danendra, apakah punya pengalaman yang buruk? Atau mungkin ada kenakalan masa lalu yang sulit untuk dilupakan? Bisakah kita berbagi di sini?" Pertanyaan si ustaz muda langsung tertuju padanya.

Danendra tidak langsung menjawab, matanya mengarah pada Bang Didi yang ternyata didampingi oleh Yashinta. Ia melihat manajernya itu memberi aba-aba untuk menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, lalu mengangguk mempersilakan Danendra menjawab.

Telapak tangan Danendra mendadak banjir keringat. Begitu juga dengan keningnya. Sampai tanpa terasa tetesan keringatnya semakin banyak. Ia masih mencoba bertahan dengan keadaan. Senyum masih ada meski detak jantung mulai tidak karuan.

"Setiap manusia pasti memilik masa lalu. Entah itu hitam atau putih. Apalagi seorang Danendra Pramudya. Apa yang dilihat ini bisa jadi hitam yang diselubungi putih, atau justru putih yang diselimuti hitam. Toh, semisal saya memilik masa lalu yang buruk, tolong jangan pernah diingat apalagi untuk ditiru. Ambillah apa yang sekiranya bisa menjadi contoh baiknya saja. Hanya itu dari saya."

"Wah, beri tepuk tangan dulu untuk Mas Danendra. Benar-benar sosok idola yang bisa dijadikan panutan."

Acara selesai dan ditutup tepat saat jam menunjuk angka delapan. Beberapa pengisi acara meminta foto bersama Danendra. Setelah selesai, ia langsung disambut oleh Bang Didi.

Tangan Danendra langsung merangkul ke bahu lelaki yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya itu. "Nggak kuat, Bang," bisiknya lirih.

Bang Didi menguatkan tubuhnya yang menjadi sandaran dan merapatkan tubuh Danendra supaya lebih dekat padanya. Kedua lelaki itu berjalan beriringan disusul dengan Yashinta yang setengah berlari karena tidak bisa menyamai langkah kaki kedua lelaki di hadapannya.

Pintu yang bertuliskan nama Danendra sudah tampak. Bang Didi mendorong keras pintu di hadapannya sampai terdengar suara benturan. Ia langsung mengarahkan Danendra untuk berbaring di sofa.

"Mbak Yas, tutup dan kunci pintunya, bantu saya di sini."

Yashinta bergegas mengunci pintu dan mendekat. Ia melihat idolnya terdiam dengan keadaan yang sangat lemas. Ketika Bang Didi melonggarkan ikat pinggang dan membuka kancing baju Danendra, Yashinta sibuk membuka sepatu dan bergegas mengambil air untuk sang idola.

"Ndra, nggak apa-apa, sudah aman. Hei, Endra? Danendra? Jangan bikin Abang takut. Danendra!" teriak Bang Didi berusaha menarik perhatian lelaki yang tengah terbaring dengan pandangan kosong.

🍂🍂🍂

1301 kata

Anfight 2020 – FTV Series 2.0
Bondowoso, 15 November 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro