:: Serba Mengejutkan ::

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penilaian orang tidak akan berubah secepat membalik telapak tangan.
Jangan heran jika mereka bersikukuh terhadap sebuah penilaian.

Jangan karena kau baik akan dinilai baik.
Mereka melihat seperti apa yang mereka inginkan.
Jangan bersusah payah, berubah pun tidak akan mengubah penilaian mereka

🍂🍂🍂

Tidak ada yang ingin berada di situasi yang rumit. Hanya dengan mendengar suara tangis sang ibu, mata Yashinta juga turut berkaca-kaca. Ingin berbicara, tetapi suaranya sudah tertahan. Inilah yang paling tidak diinginkan oleh mereka yang tinggal jauh dari orang tua.

Mbak Yayah yang melihat perubahan wajah Yashinta langsung mendekat dan mengusap punggung gadis dengan manik mata berwarna cokelat tua itu. "Tenang dulu, kalau kamu nangis, Ibu ikutan panik ntar, ngomong pelan-pelan."

Yashinta mengangguk, ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Bu, ada apa? Yas mau dengerin sampai selesai."

Suara isak tangis semakin keras terdengar. Yashinta yang mendengarnya juga ikut berurai air mata. "Bu, jangan buat Yashinta panik. Bapak sakit? Atau si bontot butuh tambahan biaya?"

"Bukan, Nduk. Bukan begitu." Suara sang ibu yang membersit hidung terdengar sangat jelas di telinga Yashinta. "Ibu nggak sanggup dengerin omongan tetangga. Itu si Nita dari kampung sebelauh yang satu tempat kerja dengan kamu, dia bilang kalau kamu diberhentikan karena sikap nggak baik. Memang kamu ngelakuin apa? Apa yang sudah bikin kamu dipecat? Apa benar yang disebarkan oleh Nita?"

"Alhamdulillah. Nggak apa-apa, Bu. Berarti Yas viral, dong? Wah, seharusnya Ibu terima kasih sama Nita, karena berkat dia Yas dapat pekerjaan yang lebih baik."

"Kamu melakukan apa sampai dipecat, Yas? Itu yang ibu ingin tahu."

"Jadi ibu nangis-nangis karena itu?" Yashinta menghela napasnya di sela pacuan detak jantungnya yang perlahan mulai normal. "Yang pasti Yas nggak melakukan hal memalukan. Yas difitnah, Bu, detailnya gimana, ntar pas pulang Yas ceritakan. Intinya Yas nggak bikin kesalahan apa-apa."

"Syukurlah kalau begitu. Kamu pulang saja, Nduk. Nanti biar dicarikan calon sama Ayah."

"No! Yas nggak mau. Yas sudah semakin dekat dengan mimpi Yas selama ini. Apapun doa yang ibu langitkan, teruskan. Ridhonya Ayah sama Ibu itu pengiring dan pembuka jalan terbaik.

"Terus sampai kapan kamu mau nganggur?"

"Yas sudah bekerja lagi, Bu, tempatnya jauh lebih baik, begitu juga dengan orang-orangnya. Mbak Yayah yang carikan."

"Sampaikan makasih Ibu ke Mbak Yayah. Terima kasih sudah menjaga anak gadis Ibu."

"Orangnya sudah dengar, kok."

Begitu kejelasan sudah didapat, Yashinta mengakhiri sambungan telepon itu. Ia bergegas untuk mempersiapkan apa saja yang harus dibawa untuk kegiatan pertamanya menjadi asisten manajer.

Beberap pesan sudah Yashinta terima dari Bang Didi termasuk untuk mempersiapkan satu tas besar baju ganti untuk tetap di simpan di mobil untuk keperluan selama satu minggu ke depan.

Alasannya pun sudah dijabarkan dengan sangat jelas. Hal ini supaya tidak kerepotan bolak-balik mengambil baju ganti untuknya ketika jadwal tengah padat-padatnya.

Malam harinya, Yashinta beberapa kali mondar-mandir di kamar. Ia mendadak tidak bisa tidur. Hal ini ia manfaatkan untuk mencari tahu apa saja yang harus dilakukan seorang asisten. Anggaplah ia seorang asisten rumah tangga. Supaya lebih mudah.

Pertama yang ia soroti adalah banyak artis yang menganggap manajer dan beberapa pekerja seperti asisten, tim editor dan anggota lainnya itu sebagai saudara. Ikatan kekeluargaan mereka sangatlah kuat. Bahkan tidak jarang jauh lebih kuat dibanding saudara sendiri.

Yashinta seketika terlonjak ketika melihat pemberitahuan pesan masuk dari Bang Didi. Pesannya singkat, tetapi cukup membuatnya gugup.

Bang Didi :
Tidur, Mbak Yas. Besok saya jemput jam 3 pagi.

"Mampus. Ngapain sepagi ini dijemput? Dan sekarang sudah lewat tengah malam," ucap Yashinta.

Yashinta membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan mata. Matanya terpejam, tetapi telinganya masih sanggup menangkap suara tokek yang berbunyi di belakang kamarnya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Yashinta akhirnya terlelap.

Sepanjang perjalanan Yashinta yang duduk di bangku belakang menguap. Entah sudah berapa kali ia menguap. Matanya sudah berair dan tidak tahan menahan kantuknya.

Sesuai dengan isi pesan yang diterima, pukul tiga pagi Bang Didi sudah menelepon Yashinta dan mengatakan ia berada di depan gerbang indekosnya. Yashinta yang masih menyiapkan minuman sereal untuk mengisi perutnya langsung bergegas mengeluarkan barang yang akan dibawa.

Gadis berambut cokelat dengan jaket berwarna baby blue itu langsung melirik ke arah minuman sereal yang masih mengeluarkan uap. Yashinta mengambil air dari kulkas dan menuangkan sedikit ke dalam gelas yang masih beruap.

"Nggak apa-apa sedikit hambar, yang penting nggak ngebakar lidah," ucap Yashinta sambil meminumnya secara perlahan.

Setelah itu, Yashinta langsung bergegas memasang sepatu dan berjalan menyeret koper dan juga membawa tas ranselnya di punggung. Bang Didi yang melihat Yashinta kerepotan langsung mendekat dan membantunya.

Dalam benak Yashinta, hanya ada Bang Didi dan sopir yang ada di mobil tersebut. Ternyata dugaannya salah. Begitu pintu mobil terbuka, sosok Danendra sudah berada di salah satu kursi dan memberikan senyuman padanya.

"Pagi, Mbak Yas. Semoga hari ini berjalan lancar. Tidur saja kalau masih ngantuk."

Yashinta hanya mengangguk, ia melewati kursi Danendra dan memilih duduk di belakang sang idola. Ia masih merasa canggung jika harus duduk bersebelahan dengan idolanya itu.

Tuhan, sarapan pagi buta dikasih yang bening-bening begini. Masih muka bantal aja udah cakep banget. Terima kasih atas anugerah yang tidak ternilai ini, Tuhan, batin Yashinta sambil menahan gemas.

Beruntunglah ia memilih duduk di kursi belakang. Setidaknya, Danendra tidak melihat ketika ia bertingkah. Ia bahkan rela untuk menahan kantuk yang menyerangnya beberapa kali sampai tanpa disadari kepalanya membentur jendela.

Meski mendapat izin untuk melanjutkan tidur, Yashinta merasa tidak nyaman untuk memejamkan matanya sementara di depannya ada sosok Danendra yang masih sibuk membaca lembaran-lembaran yang entah apa isinya.

"Mbak Yas, hari ini kita ada tiga acara dan bakalan sampai malam banget. Semoga bisa, ya?"

"Siap, Bang. Yas usahakan yang terbaik."

"Pagi jam enam, kita mendadak diundang jadi bintang tamu di acara Manajemen Qalbu Pagi, terus lanjut ke siaran radio untuk jam sepuluh. Setelahnya kita langsung ke SRTV untuk persiapan acara nanti malam."

Yashinta mencatat setiap jadwal di ponselnya. Tidak lupa ia menanyakan apa saja yang harus dilakukan di setiap kegiatan tersebut. Bang Didi pun menjelaskan kembali detailnya sampai Yashinta mengerti dan tidak melewatkan hal-hal yang harus ia lakukan.

"Jadwal segini padat, Mas Dan tidurnya kapan?"

"Tuh, dia lagi tidur sekarang. Mbak Yas juga gitu, kalau ada kesempatan, misal Endra pas syuting atau siaran, Mbak Yas bisa curi-curi waktu buat tidur."

"Terus misalnya Mas Dan butuh sesuatu?"

"Kan masih ada saya, Mbak. Kecuali pas saya tugas lain, Mbak Yas yang batuin, ya?"

"Siap, Bang."

"Sebentar lagi waktu Subuh, kita parkir di masjid sambil cari sarapan. Mbak Yas boleh tidur dulu, nanti dibangunkan kalau sudah sampai."

Yashinta masih mendengar kata-kata Bang Didi yang menyebutkan akan mencari sarapan. Selanjutnya, suara yang terdengar seperti memudar bersamaan dengan matanya yang semakin memberat dan tertutup sempurnya.

Bang Didi melirik dari arah spion tengah. Ia tersenyum melihat kedua penumpang di belakang sudah terlelap. Perjalan terus saja berlanjut sampai suara azan terdengar, Bang Didi meminta sopir untuk memasuki halaman masjid.

Mobil terparkir dengan sempurna. Danendra yang lebih sensitif pada gerakan, lebih dulu bangun dan menggeliat.

"Sampai mana, Bang?"

"Subuhan dulu sambil cari sarapan," ucap Bang Didi sambil membuka sabuk pengaman, membuka pintu mobil dan turun.

Lelaki dengan rambut lurus itu membuka pintu belakang. Ia bergegas naik untuk membangunkan Yashinta yang masih terlelap. Kepala Yashinta miring dengan dahi menempel di jendela. Terlihat sangat lucu. Apalagi rambutnya menutupi separuh wajahnya.

"Biar Endra saja yang bangunin Mbak Yas."

Begitu Bang Didi turun, Danendra memutar tubuhnya. Ia menjulurkan tangan dan menepuk tangan Yashinta dengan pelan. Merasa tidak ada tanggapan, ia berdiri dan menghadap ke belakang.

"Mbak Yas, bangun, Subuhan dulu," ucap Danendra sambil sekali lagi menepuk bahu Yashinta.

Yashinta menggeliat, ia menyingkirkan rambutnya dan menegakkan kepalanya. Matanya mengerjap beberapa kali. Bayangan sosok laki-laki langsung membuat matanya terbuka lebar.

"Masyaallah tabarakallah, Mas Dan?"

Ucapan dari Yashinta membuat Danendra kaget sampai terlonjak dan kepalanya menatap lampu mobil.

"Duh,"

"Eh, maaf, Mas. Kaget, ya?" ujar Yashinta sambil memajukan badan untuk memeriksa kepala Danendra.

Danendra mengangguk sambil mengusap kepalanya. Ia beralih menatap Yashinta yang sibuk merapikan dan menguncir rambutnya.

"Lebih cantik diurai," ucap Danendra sambil beranjak keluar dari mobil.

"H-ha? Gimana, Mas Dan?"

🍂🍂🍂

1341 kata

Anfight 2020 - FTV Series 2.0
Bondowoso, 14 November 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro