4 '; Dying

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kazumi tersentak, hampir saja dia terlelap. Gadis itu kembali menunggu bis ini berhenti. Sekitar sejam lagi, gadis itu akan menemui kakaknya. Dia mengambil earphone yang sempat dia sisipkan ke sakunya dan memutar musik—untuk mengisi waktunya.

Pandangan Kazumi tiba-tiba mulai mengabur. Padahal Kazumi sudah berusaha menghindari sinar matahari langsung dengan memilih duduk di tengah, tapi sepertinya memang sulit untuk dihindari.

"Nak, kau tidak apa-apa? Kau kepanasan itu, lebih baik kau lepas syalmu," kata seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Ibu itu berusaha melepaskan syal yang melilit di leher Kazumi, tapi segera ditepis oleh Kazumi. Sikapnya yang kurang sopan itu membuat orang-orang yang ada di bis berbisik-bisik.

"Terima kasih, Bu, tapi aku akan mati tanpa ini." Kazumi memalingkan wajahnya. Ibu yang duduk di sebelahnya itu tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memandang aneh Kazumi.

Tulisan untuk pemberhentian yang Kazumi tuju akhirnya tertera di depan. Dia pun menyimpan earphone dan ponselnya kembali ke saku. Kazumi pun turun dan dia segera berlari ke arah rumah sakit yang tidak jauh dari situ. Ibunya memang tidak bilang dimana, tetapi intuisinya yang menuntun gadis itu untuk ke tempat itu.

Gadis itu terus berlari dan jalannya semakin terhuyung-huyung. Ketika dia masuk ke rumah sakit, ayahnya kebetulan sedang ingin berjalan menuju pintu keluar. Kazumi menghampiri ayahnya dan jelas sekali sang ayah marah.

"Kazumi, kenapa kau ke sini?? Ayah baru saja mau mengabarimu!"

Kazumi ingin mengucapkan sesuatu sebagai bentuk pembelaannya, namun tubuhnya sudah tidak mampu untuk terjaga. Gadis itu akhirnya terkapar di lantai dalam keadaan pingsan. Dengan panik sang ayah memanggil seseorang di situ dan membawa Kazumi untuk diperiksa.

Dokter yang memeriksanya meminta salah satu susternya untuk melepaskan syal, masker, kacamata, sepatu, kaus kaki, sarung tangan, dan menggulung pakaian dan celana Kazumi. Dokter itu merasa iba melihat kulit Kazumi yang penuh dengan bintik-bintik dan bercak. Dia pun segera memeriksa Kazumi.

-- % & $ @ $ & % --

Kazumi yang masih berumur 2 tahun itu merintih kesakitan. Tubuhnya panas dan seperti terbakar.

Saat ini, mereka sedang liburan musim panas di salah satu kota besar di Jepang yaitu Kyoto.

.

.

13 tahun yang lalu....

Keluarga Ueda tiba di Kyoto pukul dua siang. Mereka melaju ke tujuan pertama mereka yaitu akuarium yang tidak jauh dari stasiun. Mereka menyewa mobil untuk liburan seminggu ini.

Ayumu kecil terlihat bersemangat. Dia merengek-rengek untuk pergi ke tempat hiu berada. Ayahnya pun menemani putranya itu yang ternyata sudah berlari duluan.

Kazumi terlihat tenang di gendongan ibunya. Batita itu tertawa-tawa melihat ikan-ikan kecil yang menari-menari. Entah apa yang ada di pikiran bayi kecil itu, sang ibu tidak peduli asalkan putrinya senang.

Pada pukul tiga siang, mereka pun menonton pertunjukkan lumba-lumba yang berada di area terbuka. Namun, saat mereka sedang menonton pertunjukkan lumba-lumba, Kazumi mulai menangis. Kulitnya terlihat memerah seperti terbakar. Ibunya hanya berpikir bahwa bayinya kepanasan, sehingga sang ibu pun mengajaknya masuk ke dalam akuarium lagi.

Ibunya menunjukkan ikan-ikan yang ada di sekelilingnya, berharap bayi kecilnya berhenti menangis. Bayi itu sedikit lebih tenang, tetapi kulitnya masih saja memerah dan terlihat mulai menggelap.

Ayumu yang belum lama ini berusia 4 tahun, menghampiri keduanya bersama dengan sang ayah. Balita itu mungkin cemas dengan adik kecilnya. Akhirnya mereka meninggalkan akuarium tersebut.

Mereka berniat menuju festival yang tidak jauh dari situ menggunakan mobil pinjaman itu. Tetapi, keadaan yang terjadi mengubah semuanya.

Kulit bayi itu mulai memunculkan bercak, bintik-bintik, dan suhu tubuhnya yang kian waktu, semakin tinggi. Ibunya sangat khawatir. Mereka pun membatalkan rencana mereka dan memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Dokter itu mendiagnosa tubuh Kazumi. Orang tuanya menunggu di ruangan tunggu. Mereka gelisah—sudah tidak sabar menunggu hasil pemeriksaan. Mereka menunggu dengan perasaan berdebar-debar. Firasat mereka mengatakan itu adalah hal yang buruk, tetapi berusaha disangkal oleh mereka. Mereka berharap hanya gejala ringan saja.

Sang dokter keluar dari ruangan. Sang ayah dengan sigap menghampirinya. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?!" tanyanya cepat. Dia terlihat sangat panik.

"Mari kita bicarakan ini di ruangan saya." Dokter itu mengajak mereka masuk ke ruangan. Ayumu kecil hanya mengikuti mereka di belakang. Pria kecil itu masih belum mengerti apa yang terjadi saat ini.

Sang dokter mengambil napas sejenak. Dia mengatakannya dengan perlahan, "Maaf sekali, tapi anak anda mengidap penyakit xeroderma pigmentosum. Suatu penyakit kelainan genetik yang cukup langka, walau di Jepang lumayan banyak penderitanya."

Sang ibu panik. "Penyakit apa itu, Dok? A-apa itu berbahaya? Apa itu bisa disembuhkan?"

"Sangat disayangkan, tetapi itu penyakit yang langka dan masih belum ditemukan pengobatannya. Penderita xeroderma pigmentosum dilarang terkena sinar ultraviolet dari matahari. Jadi, tidak disarankan untuk anak itu melakukan aktivitas di luar rumah, demi kelangsungan hidupnya," jelasnya.

Dokter itu kembali melanjutkan, "Karena selain bintik dan bercak, sekitar 30% penderita XP juga mengalami kelainan neurologis dan kemungkinan terparahnya ... kematian."

Sang ayah menggebrak meja. "Penyakit apa itu?! Saya bahkan tidak pernah mendengarnya! Menyedihkan sekali, jika seseorang tidak boleh terkena sinar matahari! Dan tidak bisa disembuhkan? Memangnya kalian tidak bisa bekerja sebagai dokter yang benar?!" bentak sang ayah. Ayah itu marah, dia tidak ingin menerima kenyataan bahwa putrinya harus mengurung di rumah selama hidupnya.

"Tapi, memang itu keadaannya, Pak. Setidaknya anak anda masih bisa bertahan di usia 20-an. Jika anda menjaganya dengan baik."

Sang ibu menangis, sedangkan sang ayah hanya bisa memalingkan wajahnya yang frustasi. Ayumu kecil ikutan menangis. Dia memang tidak tahu apa-apa, tapi air matanya keluar dengan sendirinya. Mungkin intuisi anak kecil.

Perjalanan mereka dihentikan karena Kazumi masih harus dirawat-inap di rumah sakit.

Hari itu, pada tanggal 17 Juli, Ueda Kazumi dinyatakan menderita penyakit genetik bernama xeroderma pigmentosum.

Dan bayi itu kini tumbuh menjadi seorang gadis berusia 16 tahun. Kedua orang tuanya sudah berjanji akan melindungi Kazumi, tapi nyatanya hal itu terulang kembali.

Kali ini dengan kondisi yang lebih parah, Kazumi masih belum tersadar sejak dia pingsan tiga hari yang lalu. Gadis ini kini dinyatakan dalam kondisi yang memprihatikan alias sekarat.

Tiga hari yang lalu, alasan mereka belum menghubungi Kazumi adalah karena mereka terlalu lega dengan keadaan Ayumu yang ternyata hanya patah tulang. Setidaknya dia tidak perlu dioperasi atau semacamnya. Kedua orang tuanya pun lupa menghubungi Kazumi. Mereka memang tidak menyangka bahwa putrinya akan nekat mengunjungi kakaknya itu.

Semua menyalahkan diri mereka. Ibunya menyalahkan diri karena lupa memberitahu, ayahnya pun sama. Ayumu menyalahkan dirinya yang kurang hati-hati, temannya yang menyopir juga menyalahkan dirinya yang lalai. Walau semua menyalahkan diri, tidak ada satupun yang bisa mereka lakukan, selain duduk berharap menantikan terbukanya mata itu.

Ya, hanya itu yang bisa mereka lakukan. Seandainya mata itu tidak terbuka, mereka berharap Kazumi masih bisa berbicara kembali kepada mereka.

To be continued....

(08/06/19)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro