New Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti yang saya infokan kemarin. Bab 1 - 9 gak ada banyak perubahan. Mungkin cuma revisi kecil2an saja mengingat Angkasa udah gk ada di sini lagu 😎😎😎

Bab 1

Well, barangkali mati dengan mengiris urat nadi kayaknya enak tuh. Tidak terlalu merasakan kesakitan. Bikin wajah tetap cantik kalau-kalau ada majalah gosip menampilkan sosokku. Dan jika ada polisi yang mengolah TKP, seenggaknya aku tidak terlihat begitu mengerikan, lagi pula setelan Celestia asymmetric satin midi dress dari Tibi-ku tetap terlihat elegan. Aku membeli dress ini ketika berlibur ke Singapura beberapa waktu lalu, kalau boleh aku tambahkan. Aku suka sekali setelan one blouson sleeve seperti ini. Membuat lengan rampingku terlihat begitu stunning. Memang sih, warna biru bisa menjadi pilihan yang cukup kuat buat beberapa di antara kita, tapi kalau kita pandai-pandai memadumadankan warna, kita bisa kok mendapatkan sentuhan yang cantik—mencampurkannya dengan warna biru dengan tone yang lebih lembut untuk menciptakan penampilan monokrom, misalnya.

Eh, tapi, kata orang, kalau nadi kita diiris, darahnya meluber ke mana-mana. Merah, pekat, bau anyir gitu. Eyuh. Nggak mau! Lihat ayam dipotong saja, aku sudah ketakutan luar biasa. Bahkan, sampai pingsan. Apalagi kalau aku mengiris nadi sendiri. Bisa mati sebelum bunuh diri aku. Ogah ah.

Oh, salahkan Pak Gafar yang main menyembelih ayam di halaman depan saat aku baru pulang kerja. Kan aku jadi trauma melihat binatang berkokok itu disembelih. Trauma melihat darah. Tapi kalau makan ayam sih, aku tidak trauma. Apalagi ayam goreng Suharti di Cilandak, yang sekali makan bisa membuat timbangan berat badanku lari ke arah kanan semena-mena. Ya ampun, apakah berat badanku naik lagi ya gara-gara tiga hari lalu aku kesurupan jin entah dari mana saat menghabiskan dua porsi cheese burger ekstra jumbo di kaefsi? Pantasan, rok sepan LovellySaly warna hitam yang baru kubeli minggu lalu tidak bisa kukancingkan sehabis pipis kemarin pagi. Aku kayaknya kudu olahraga deh. Aku tidak mau roti-roti itu berubah menjadi lemak di tubuhku.

Oke, kayaknya aku tidak akan bunuh diri dengan mengiris urat nadi. Aku trauma melihat darah. Aku tidak mau pingsan di saat seharusnya aku bunuh diri. Gimana kalau aku gantung diri saja? My gawd. Please deh, Ta. Dari sekian kasus suicide, gantung diri itu paling tidak banget. Paling kampungan dan ndesoisme. Wajah lo akan membiru cenderung hijau, mata lo akan melotot, lidah lo akan terjulur ke luar, dan dari mulut lo akan keluar air liur bau bacin yang tidak enak banget. Puluhan juta yang aku gunakan untuk membeli make up dan alat-alatnya dari MAC tidak ada faedahnya kalau aku gantung diri. It's a big no. Sedepresi-depresinya aku gara-gara gagal kawin lagi, aku tidak akan gantung diri. Aku tidak akan membiarkan orang melihatku tidak cantik. Itu kan haram. Aku harus selalu tampil cantik di mana pun berada. Apa kata Nataya nanti kalau melihat wajah yang sudah kudemplonin foundation MAC studio fix shade NC40 harus membiru?

Bunuh diri dengan sianida? Bagus deh kayaknya. Tidak ada darah, dan wajah tetap terlihat cantik. Alis mataku tetap cetar, bulu mata rimbun untuk menutupi bulu mataku yang gundul masih bisa tampil memesona. Dan, apabila ada media yang meliput beritaku, aku tetap ayu dengan busa racun keluar dari mulutku.

Ya, Tuhan! No! Tidak! Itu ngeri banget.

Mulutku keluar busa? Yang benar saja? Gincu MAC full fuchsia yang kupakai akan sia-sia dong. Aku tidak tahu sih, minum sianida itu bikin mulut keluar busa atau tidak, tapi kan di sinetron-sinetron yang sering dilihat Ibu, kalau kita minum racun, dari mulut akan keluar busa.

Tidak! Terima kasih! Aku jelas tidak akan menyentuh benda haram itu jika bisa membuat penampilan ayuku berubah buruk rupa. Maksudku gini, kita kan hidup selalu mengusahakan kecantikan, jadi kalau bisa ya kita harus tampil cantik dong di akhir hayat? Jangan sampai usaha maksimal kita selama hidup harus terdistraksi oleh ulah memalukan, gantung diri dan busa racun, misalnya.

Lalu, aku kudu bunuh diri dengan cara apa? Aku jelas tidak bisa bertahan hidup jika perkawinan yang kuimpi-impikan harus gagal lagi, gagal lagi. Setiap perempuan menginginkan pernikahan, semua orang tahu itu. Bahkan, cita-citaku semasa kanak-kanak saja ingin menjadi pengantin bersama pangeran berkuda putih yang luar biasa tampan sedunia akhirat. Masa aku harus mengubur mimpi itu di saat usiaku menginjak tiga lima, sih?

Ugh, fakta itu!

Aku sudah tiga lima. Lima tahun lagi usiaku genap empat puluh. Dan sampai sekarang aku masih melajang? Kemarin aku memang masih memiliki kekasih. Tian. Kami memiliki rencana hidup bersama sampai akhir hayat dengan ratusan anak di sekililing kami. Lalu, tahu-tahu, akibat pertemuan dengan Ibu, hubungan percintaan kami setahun terakhir putus. Kandas. Aku jomblo lagi. Aku tiga lima dan melajang adalah sebuah petaka! Petaka besar kalau lo pengin tahu. Impian pernikahanku harus gagal lagi gara-gara Ibu. Demi apa?

You Are My Life-nya FTIsland terdengar di tengah-tengah rasa depresiku. Aku membersitkan hidung. Mengusap mata yang rasanya seperti ketumpahan air hujan seempang akibat tangis tak berkesudahan dari semalam. Dengan kepala berdenyut luar biasa berat, aku mengingsutkan tubuh mendekati nakas. Siapa sih yang main menghubungiku di hari berkabungku? Padahal kan seharusnya sekarang aku tidak boleh menerima telepon dari siapa-siapa. Hari setelah putus adalah hari Meratapi Nasib Sepanjang Sejarah, dan tidak boleh ada yang menggangguku. Kuulurkan tangan untuk menarik iPhone yang kugeletakkan putus asa di sana.

Setelah mendapat larangan menikah dari Ibu, Tian pergi begitu saja. Aku hubungi dia berkali-kali, tapi tidak ada satu pun teleponku yang tersambung. Semuanya kejegal sama suara mbak-mbak operator yang mengatakan nomor ponsel kekasihnya aku itu tidak aktif. Aku kan jadi punya pikiran yang tidak-tidak. Semoga saja Tian tidak bunuh diri. Aku tahu sih, putus cinta memang sakitnya banget-banget, apalagi kami sudah memiliki rencana pernikahan sempurna jika saja kisah kasih percintaan kami tidak diputus Ibu. Foto prewed di Puncak Semeru. Nanti ada satu foto di mana kami saling menggesekkan telapak tangan untuk mengusir dinginnya hawa pegunungan. Lalu, ada satu foto Tian mengeluarkan tangan yang kusambut saat kami mendaki puncak Semeru. Dan, ada satu foto bergandengan tangan saat sudah mencapai puncak dengan lautan awan sebagai backgroudnya. Gila! Romantis banget, kan? Jadi, dengan rencana seromantis menyentuh bikin meleleh itu, bisa saja Tian bunuh diri karena semua rencana kami gagal—tentu saja aku sangat tidak menyepakati pikiran burukku itu.

"Hmmm...." Aku menjawab ogah-ogahan, tapi mendadak ingat Tian dan berharap ini telepon darinya, aku menegakkan tubuh serampangan, mengakibatkan belakang kepalaku terantuk headboard. Aku meringis kecil, mengusap kepalaku. Benar-benar deh, kalau ini telepon dari Mbak Silvi yang menanyakan tentang target minggu ini, aku tidak akan segan-segan mematikannya, dan bilang ponselku lost signal kalau-kalau Mbak Silvi komplain kenapa aku mematikan sambungan.

"Semesta Iblis Pujaan gueee... selamat, yaaa. Akhirnya lo kawin juga. Gue mau dibikinin keponakan lucu-lucu, dong, Taaa. Yang kayak Tian. Yang putih dengan hidung kayak perosotan itu. Nggak kayak lo yang tepos dan punya rambut singa."

"Keparat! Gue nggak jadi nikah, Lar." Mengucapkan kata nikah, batinku memekik seketika. Tragedi berdarah semalam seperti terputar live streaming di hadapan mataku tanpa sekat. Bagaimana Ibu tersenyum, bagaimana Tian membalas senyuman Ibu dengan begitu manis yang bikin aku menduga bisa terkena diabetes akibat senyuman maut itu. Dan, sebagai pungkas dari pertemuan mendebarkan itu, tahu-tahu, dengan teramat fasih, Ibu bilang;

"Nak Tian, maaf, Nak, Ibu ndak bisa menerimamu sebagai calon anak saya. Kamu asli Mojokerto, mendiang bapaknya Tata juga dari Mojokerto. Di dalam kepercayaan yang Ibu anut, anak ndak boleh nikah dengan orang sekampung orang tuanya. Kebo mbalik kandang. Ndak apik. Ndak ilok."

Oh, Tuhan, bagaimana aku tidak segera ingin mabuk racun tikus, coba, kalau harus menghadapi problema Ibu yang itu-itu melulu? Memang sih racun bikin mulut kita ngeluarin busa dan bikin wajah tidak cantik banget, tapi mengingat betapa menderitanya aku sekarang, dan betapa kejamnya Ibu semalam, tidak cantik tidak apa-apa deh asal mati—kira-kira, di akhirat nanti ada toko bajunya, tidak, ya, kan enak tuh, bisa shopping di surga tanpa memedulikan batas limit kartu kredit.

"Hah? Kenapa lagi?"Pilar, sahabat semenderitaku yang begonya minta ampun itu, kembali bertanya. "Dia anak nomor dua. Dia Islam juga kayak lo. Dia asli Jawa juga kayak lo. Dia pun dari keluarga berada. Kenapa gagal lagi?"

"Dia dari Mojokerto, Lar. Sama kayak Bokap. Kata Ibu, kebo balik kandang. Haram. Gagal kawin lagi deh gue. Merana banget sih, Lar, nasib gue. Kapan coba gue kawinnya? Kapan coba gue punya anaknya? Gue udah tua. Masa-masa subur gue udah terlewati beberapa tahun lalu, demi apaaa.... Ironi banget kan nasib gue, Lar. Sekarang coba lo bayangin, sampai segede gaban ini aja gue nggak tahu sosok bokap gue kayak apa. Gue nggak tahu nama Bokap, gue nggak tahu Bokap masih hidup atau sudah mati. Kalau sudah mati, kuburannya di mana pun gue nggak tahu, Lar. Tapi Ibu menjadikan Bokap sebagai alasan utama gagalnya hubungan gue dengan Tian."

What a tragic, yeah I know. Satu-satunya yang kubenci dari Ibu selain larangan konyolnya tentang pernikahanku adalah ini. Ibu menutup semua informasi tentang Bokap. Segala hal yang berkaitan dengan Bokap, aku tidak tahu. Ibu memblokade pintu informasi tersebut rapat-rapat. Bahkan, hanya sederet nama saja aku tidak dibagi info. Kan aneh. Kampretin banget. Bikin jengkel banget. Dan sekarang, di saat aku sama sekali tak tahu seluk beluk laki-laki yang menyumbangkan sperma untuk pembentukan diriku, tahu-tahu, tak ada angin tak ada hujan, bahkan gledek atau jatuhnya komet, eh Ibu main menentang hubunganku dengan Tian gara-gara Bokap.

Ngeselin, tidak, sih? Ibaratnya kayak kamu tidak tahu bentuk Mister P saperti apa, kamu tidak tahu cairan yang dikeluarin Mister P namanya apa—walaupun aku tahu, ya, apa nama cairan yang dikeluarkan Mister P setiap kali cowok sedang tanda kutip (kalau lo punya teman bernama Pilar, setiap malam lo akan dikuliahi tentang anatomi tubuh sampai proses pembuatan bayi oleh dia, dengan amat sangat detail sekali)—kamu tidak tahu efek samping jika tuh cairan yang kayak air tajin ngerongrong lubang cewek entah siapa, tahu-tahu, ada dokter yang ngevonis lo hamil. Kan, what the kampret banget. Kecuali lo bisa ngedownload bayi seenak jidat lo dengan sambungan wifi keefsi sih fine-fine aja. Ini, tidak sama sekali.

"Wanjeng! Kebo balik kandang? Maksudnya?"

Gini nih kalau ngobrol sama makhluk yang lemotnya ngalah-ngalahin buffering Youtube saat kita lagi kepingin banget nonton film kompresan. "Jadi di dalam kepercayaan yang dipangku Ibu itu, anak dilarang menikah dengan orang yang sekampung halaman sama orang tua, Lar. Gue nggak dibolehin nikah sama Tian gara-gara Tian asli Mojokerto, sekampung sama bokap gue."

"Apa kabar orang Betawi yang kawin sesama Betawi? Orang Bandung yang buntingin perawan Bandung? Aneh banget sih ibu lo, Blis. Semakin hari, tingkat larangan nikah semakin nggak masuk akal, demi apa. Jangan-jangan ini konspirasi ibu lo lagi agar lo nggak nikah-nikah. Jadi perawan tua selamanya."

"Gue nggak tahu deh, Lar, ibu gue punya motivasi apa di balik setiap larangannya. Apa pun itu tujuannya sih, satu hal yang Ibu harus tahu, gue selalu jadi korban, Lar. Usia gue udah tiga lima. Sampai sekarang, gue belum juga nikah. Jangankan nikah, punya gandengan aja enggak. Lihat dong Mbak Silvi. Mbak Silvi seusia gue udah punya anak dua. Gede-gede lagi. Sementara gue?" Aku mengambil tisu dari kotak untuk menyusutkan air mata yang kembali meluncur. Sakit banget sumpah. Masalahku dengan Tian bahkan belum kelar, tapi masalah yang dijatuhkan Ibu kepadaku seolah-olah memenjarakan diriku. Membuatku tidak bisa bergerak ke mana-mana. Membuatku berdiam diri di sini tanpa tujuan dan semangat hidup.

"Ibu lo pengin lo menderita kali, Blis. Makanya, doi nggak pernah kasih izin tiap lo bawa calon laki lo ke rumah. Kalau sekali dua kali sih, gue bisa maklum. Nah ini, udah berkali-kali. Ratusan kali deh kalau gue boleh lebay. Mulai dari pasangan jilu, hitungan weton jatuh di angka dua lima sama dua empat, arah rumah calon lo dari rumah lo sekarang, utara barat. Hari pasaran calon lo dengan lo nggak baik jika digabung. Nyerah deh, nyerah. Kalau gue punya ibu kayak ibu lo, mungkin gue akan gantung diri, Blis."

Mendengar gerutuan Pilar, aku makin nangis kencang. Pasalnya, apa yang dibicarakan Pilar benar semua. Tidak ada satu pun yang luput. Semua mantanku harus terdepak dari zona di sisiku gara-gara kepentok adat. Selain adat, kriteria yang diberikan Ibu masih ada agama—aku harus seagama dengan calonku, masih ada latar belakang keluarga—bibit, bebet, bobotnya kudu terpenuhi, masih juga ada tabiat si lelaki. Ngajuin laki-laki di hadapan Ibu lebih sulit daripada ngajuin judul skripsi ke dosen penguji, deh. Kalau urusan skripsi, aku bisa copas dari internet, sementara laki-laki yang menjadi calon suamiku, mau ku-copas bagaimana, coba? Mau kurevisi pakai apaan, coba?

Duh, Gusti, kenapa nasib percintaanku gini banget, sih?

"Masa ibu gue menginginkan anak kandungnya sendiri menderita sih, Lar?" Rasanya sungguh mustahil mendapati ibu lo sendiri menginginkan yang terburuk buat lo. Tidak masuk akal banget. Meskipun galaknya Ibu ngalah-ngalahin Hitler—kalau dipikir-pikir, Ibu ini Hitler yang versi berkonde dan berkebaya, deh, semua perintahnya mutlak dan tidak ada yang bisa diganggu gugat, galaknya pun nauzubilah—aku sangat yakin Ibu sayang banget padaku. Selain aku satu-satunya sel telur yang berhasil dibuahi Bokap, Ibu selalu ada buatku di luar urusan perkawinan. "Kalau Ibu nggak sayang sama gue, ngapain gue dipiara selama tiga puluh lima tahun utuh tanpa dampingan suami? Kan ngayal banget. Kecuali gue besar di panti asuhan seperti sinetron-sinetron itu, baru gue percaya kalau ibu gue nggak menginginkan gue."

"Lebay banget sih, lo, Blis. Udah kayak judul sinetron aja ratapan lo! Lo mandi sana! Sejam lagi gue jemput! Kita ajojing sampai lo teler baru gue pulangin! Dengar lo ngeratap kayak barusan bikin perut gue mual-mual, kepala gue nyut-nyutan! Gue nggak mau ya gara-gara putus cinta, Semesta yang galaknya kayak Iblis jadi melow kayak Klenting Kuning. Nanti gue alergi lagi dekat-dekat lo."

"Bangke banget lo!" Tapi, sebelum aku menumpahkan serapahan kepada manusia menjengkelkan itu, Pilar sudah keburu menutup teleponnya. Aku mendengus keras. Sahabat macam apaan ini? Main menghina sahabatnya yang lagi galau gundah merana? Nanti kalau dia patah hati, akan kusukurin sampai mampus.

Kulempar ponsel di atas kasur. Mataku memindai tembok kamar yang ku-cover dengan wallpaper polkadot warna kuning. Begitu kontras dengan suasana hatiku yang gloomy pengin mencekik orang ini. Kayaknya kudu ganti wallpaper, deh, yang agak gelapan gitu, biar seluruh dunia tahu, aku lagi menderita. Nanti akan kuperintahkan Pak Gafar untuk belanja wallpaper baru. Warna biru navy sepertinya cocok, atau warna-warna hitam sekalian. Di saat aku lagi patah hati, aku pengin alam mendukungku untuk berkabung. Dan, tembok kamar adalah dunia pertama yang bersinggungan denganku yang kudu banget di-upgrade suasananya.

Karena Pilar kembali me-miss call diriku ada tujuh kali dari sambungan teleponnya berakhir, aku pun mengangkat bokong dengan berat hati. Meninggalkan singgasana paling nyaman buat patah hati. Kasur. Lalu, melewati dinginnya lantai keramik yang penuh serakan tisu. Di depan cermin besar di kamar mandi, aku melihat pantulan nenek sihir sedang menatap balik padaku.

Oke.

Dia bukan nenek sihir. Perempuan mengerikan itu diriku. Tapi lihatlah sosoknya, nenek sihir merupakan padanan kata yang cocok untuk menggambarkan bagaimana bentuk rupa gadis tua mengenaskan itu.

Nggak!

Maksudku, aku tidak tua. Belum. Aku masih muda, masih produktif, kalau diajak bersetubuh dengan calon pengantinku, aku bisa memastikan tahan sampai empat putaran—aku belum pernah anu-anuan sama cowok sih, tapi dari video bokep yang rajin Pilar unduhkan buatku, kayaknya aku tahu bagaimana staminaku di atas kasur. Perempuan itu, demi Tuhan, jika aku tidak sadar bahwa bayang-bayang manusia di balik cermin itu diriku, aku pasti sudah menjerit ketakutan. Kulitnya cokelat gelap, kusam lagi akibat banyak nangis. Matanya memerah. Di bawah kelopak matanya, ada cekungan hitam yang menandakan pada dunia bahwa aku tidak tidur dari semalam. Di sudut mata, ada kerutan-kerutan yang kayaknya kudu kudetox lagi. Lalu bintik-bintik hitam di tulang pipi, ya ampun kenapa bisa ada makhluk semengerikan itu sih?

Tapi, itu semua tidak ada apa-apanya jika lo melihat bagaimana rambut yang menempel di kulit kepalaku. Benar-benar rambut singa. Keriting, mengembang, lebat kayak hutan perawan, dan sama sekali tidak bisa diatur. Kayaknya, satu-satunya sumber kesialan dalam diriku berasal dari rimbunan rambut ini deh. Kapan ya terakhir aku gunting rambut? Di saat aku lulus kuliah sepertinya, sehari sebelum aku dan Pilar wisuda bareng, dan dari saat itu hingga sekarang, aku tidak pernah memangkas rambutku. Apa yang kulakukan selama ini hanya merapikannya saja.

Ugh! Pantesan!

Kesialan yang menimpaku pasti dari lebatnya rambut yang mirip rumah burung ini, nih. Sudah tidak bisa diatur, ngabisin jatah duit untuk membeli gel rambut—paling tidak, rambutku ini membutuhkan satu cepuk gel setiap harinya agar bisa dicepol, kalau boleh aku tambahkan. Meskipun setiap hari bahkan setiap minggu selalu kubawa ke salon untuk perawatan, dan jika aku tidak sedang dirundung duka rambutku akan terawat dengan cantik (oh, aku pastinya tidak akan membiarkan rambutku tidak terawat dong, salah satu hal yang aku banggakan dari tubuhku ya rambutku menawan ini), tetap saja, pasti rambutku merupakan pembawa sial.

Aku harus menghilangkan rambut ini kalau aku ingin segera kawin!

Bahkan presiden sudah berganti berkali-kali, bahan bakar bensin sudah naik ugal-ugalan—dari yang dulu masih 2.500, sampai sekarang—bagaimana bisa sih rambut ini masih bertengger di sana layaknya Cleopatra, hah?

Tidak bisa dipercaya.

Aku harus memangkas rambutku dengan segera!

Aku ingin membuang kesialan yang mungkin saja diakibatkan dari segunung rambut mirip mi keriting ini.

Aku ingin tampil beda!

Aku ingin memiliki kehidupan normal.

Kawin, punya anak, dan membesarkan anak-anak. Itu mimpiku. Mimpi paling nyata yang pernah aku miliki selama ini.

Hidup tanpa menyangga satu kwintal rambut yang beratnya ngalah-ngalahin berat dosaku sepanjang usia.

Lihatlah, Ibu, anakmu akan move on secepatnya, akan kawin secepatnya—aku memang belum memiliki pasangan untuk saat ini, tapi kan aku masih memiliki Tian yang belum kuputuskan secara aklamasi, jadi kesempatan untuk kawin itu masih ada (walaupun jelas sangat kecil sih presentasinya).

Aku... benar... benar ingin melenyapkan rambut inibagaimana pun caranya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro