New Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terlepas dari bagaimana rambutku berkibar-kibar seperti pohon beringin, aku diharamkan tampil jelek. Apalagi sampai keluar rumah dengan alis dan bulu mata masih gundul, itu musibah. Marabahaya. Bisa mendatangkan kesialan bahkan sebelum aku menapakkan kaki keluar dari gerbang rumah—aku sampai sekarang masih tidak habis pikir, bagaimana bisa perempuan-perempuan itu keluar rumah dengan alis dan bulu mata tidak tertata dengan rapi, maksudku, alis dan bulu mata kan perhiasannya perempuan, jadi kita kudu-wajib-harus bin tidak boleh mengabaikannya dong kalau kita mau jalan-jalan, apalagi mau shopping?

Jadi, ini persiapanku sebelum pergi bareng Pilar—heran deh sama Pilar, kenapa cuma ngasih waktu sejam sih buat persiapan diri, dia tidak tahu apa bahwa aku harus mengompres mata dulu agar efek mata panda di kantung mataku ini tidak terlihat kentara?—adalah ini:

1. Floral dress dari Miss Selfride yang panjangnya di atas lutut, check. Oh, dress cantik ini aku banget. Kaki cokelat eksotisku terlihat jenjang jika aku memakai dress atau pants pendek.

2. Stiletto warna krem dari Christian Louboutin yang tinggi heel-nya 7 senti, check. Bisa dibayangkan kan, tinggi tubuhku yang menyentuh 170 ditambah lagi 7 senti, membuat penampilanku seperti apa? Aku ingin spotlight hari ini jatuh padaku. Aku tahu, aku memang sakit hati, tapi tidak menutup kemungkinan kan aku bisa menyedot perhatian orang-orang?

3. Puzzle bag dari Leowe, check.

4. Leather bracelet dari Dior yang bikin penampilan feminin aku ada sentuhan sporty, check.

5. Gincu merah menyala, check. Of course keluaran dari MAC. Aku sudah jatuh cinta pada produk-produk itu dari dulu. Jangan sampai deh kulitku kena sentuhan War*uhuk*dah. Bahaya. Bisa bikin iritasi. Harga-harganya sih emang murah gewla. Tapi sekali kena kulitku, besoknya langsung bruntusan, jerawat segede kelapa menyebar tidak tahu diri. Kan eek banget.

Begitu memastikan penampilanku prima, aku turun ke lantai satu dengan kepala masih pening. Kalau Pilar tidak mengajakku ke tempat yang bikin aku bisa melupakan rasa sakit hati, aku akan mencekiknya sampai mampus. Galauku butuh dialihkan, dan aku ingin waktu yang seharusnya kuhabiskan untuk nangis-nangis di atas kasur, tidak terbuang percuma dengan jalan-jalan tidak jelas.

"Kamu mau ke mana, Nduk?"

Oh, itu dia. Perempuan pembawa bencana yang sudah merusak rencana pernikahanku hanya gara-gara mengetahui fakta bahwa Tian asli Mojokerto. Aku mendengus keras, berusaha tidak mengacuhkannya walaupun itu sangat mustahil. Ibu sedang di dapur, berkutat dengan sesajian yang menguarkan wangi bunga setaman, sementara aku lagi menapaki anak tangga. Tidak ada partisi apa pun yang menghalangi mata Ibu dari tubuhku. Bahkan kalau bisa dan mau dan tidak ada kerjaan, upilku pun dapat ditangkap indra penglihatan Ibu.

"Bukan urusan Ibu." Aku langsung berbelok ke ruang utama ketika Ibu kembali mengajukan pertanyaan. Great. Aku lagi pengin refreshing agar amarahku pada Ibu sirna. Tapi begitu melihat sosok Ibu dan pertanyaan-pertanyaannya, aku jadi sanksi bisa mengendapkan emosiku. Kenapa ya aku tidak bisa menjalankan semua rencanaku dengan lancar? Aku jadi iri sama mereka yang bisa berjalan dan bekerja sesuai rencana.

"Kamu baik-baik saja kan, Nduk, ndak jadi menikah dengan Tian? Tian anak baik, Ibu tahu itu. Selama berkunjung ke rumah, Tian selalu menghormati Ibu. Ndak seperti Pilar yang petakilan main nyerobot masuk. Tian punya sopan-santun, dan dia pun memiliki pekerjaan mapan, beda dengan Pilar yang statusnya bawahanmu. Tapi, sungguh, Ibu sangat menyayangkan mengetahui fakta bahwa dia kelahiran Mojokerto. Bahwa dia memiliki orang tua yang tinggal di Mojokerto. Kalian ndak bisa bersama. Kebo mbalik kandang merupakan pantangan bagi orang Jawa kalau ingin melangsungkan pernikahan."

Apa dia bilang? Aku baik-baik saja? Dari garis wajahku manakah yang menunjukkan bahwa aku baik-baik saja? Aku menghabiskan semalam suntuk untuk menangis, tidakkah Ibu melihat mataku yang membengkak mirip bola bekel direndam minyak tanah ini? Dan Ibu main bertanya apakah aku baik-baik saja? Jelas ada yang tidak beres dari pemikiran Ibu. Aku tidak mau menjadi anak durhaka, demi apa. Tapi memiliki Ibu yang sifat kolotnya mirip permet karet seperti ini, benar-benar membuatku kehabisan stok sabar—aku tidak punya stok sabar dari sejak rencana pernikahan yang kuajukan pada Ibu tiga belas tahun silam ditolak Ibu dengan dalih aku beda agama dari cowok yang kukencani, omong-omong.

Dan dengar itu. Dengar bagaimana Ibu membanding-bandingkan Pilar dengan Tian. Aku paling tidak suka sahabatku main dibanding-bandingkan. Dilihat dari ujung sedotan yang ditutup pun, Pilar dan Tian memiliki perbedaan karakter yang mencolok. Pilar orangnya macam gasing yang tidak bisa berhenti bertingkah, sementara kekasihku—setidaknya di antara aku dan Tian kan belum ada kata-kata putus secara resmi, jadi wajar dong aku masih menganggapnya kekasih—kalau tidak diketok palu, tidak akan bicara meskipun Indonesia dibom orang-orangan sawah. Mana Ibu membawa-bawa status pekerjaan pula. Hellaaaw... hari gini ngomongin kasta pekerjaan? Itu zaman purba banget. Zaman di mana nasi aking masih semewah nasi goreng.

"Bagaimana Ibu mengharapkan anak Ibu baik-baik saja setelah Ibu memutus hubunganku dengan Tian?" Aku mendesis, melangkahkan kaki menuju Ibu. Semerbak bunga dari sesajian yang Ibu letakkan di atas meja kian tajam tercium hidungku. Ibu selalu membuat sesajian setiap hari-hari tertentu pada hitungan Jawa, omong-omong. Berdoa di hadapan sesajian, kemudian meletakkan sesajian yang sudah dia doakan di depan pintu-pintu kamar, termasuk pintu kamarku.

Ibu adalah segala sesuatu yang bertolak belakang denganku, kalau boleh aku informasikan. Melihat Ibu seperti melihat perempuan Jawa keraton yang memiliki unggah-ungguh setinggi langit. Bahkan setelah kami pindah dari Kediri ke Jakarta sejak 25 tahun silam pun, aku ulangi seklai lagi, dua puluh lima tahun silam, Ibu masih setia dengan kebaya kutu untuk membungkus tubuh langsingnya, jarik lurik sebagai bawahannya, dan sandal selop sebagai alas kakinya. Yang tak kalah mengesankan dunia, konde yang selalu menempel di belakang kepala Ibu. Ibu memiliki mata hitam segelap tumpahan tinta yang sudah menua, yang tersembunyi rapi di balik kacamata persegi.

Jika melihat Ibu sepintas, orang akan menganggap bahwa dia perempuan ayu berperingai lemah lembut. Tapi jangan pernah tertipu oleh tampang Ibu. Seperti kataku, Ibu adalah Hitler versi berkonde. Ibu adalah perempuan keras kepala yang pernah kutemui dalam hidup ini. Sekali Ibu bilang A, tidak ada satu pun yang bisa mengubahnya. Sekali Ibu berkehendak, bahkan mungkin Tuhan pun tidak bisa membelokkan kehendak Ibu.

Aku menaikkan dagu sebagai pertahanan. Kedua tanganku bersedekap. Kalau Ibu mengajakku gelut kali ini, percayalah, aku akan mengangkat tinggi-tinggi dress-ku demi melawannya. "Aku mencintai Tian. Hubungan kami nggak kami rajut sehari dua hari, tapi sudah berlangsung setahun, Bu. Satu tahun utuh. Aku memimpikan disunting Tian, menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anaknya. Tapi mimpi indah itu harus kandas hanya gara-gara alasan konyol yang Ibu berikan. Lalu Ibu bertanya apakah aku baik-baik saja? Anakmu ini sudah hancur, Bu. Sudah hancur!"

"Kebo mbalik kandang bukan alasan konyol, Semesta." Bibir bergincu merah Ibu terlipat segaris. Matanya menatapku tegas.

Ibu tidak membutuhkan banyak cara untuk mendapatkan kesan berkarisma. Sampai sekarang pun aku masih tidak habis pikir, bagaimana bisa perempuan berkebaya itu memiliki aura kepemimpinan yang sungguh mengintimidasi? Jika diibaratkan nih, ya, galaknya Ibu tuh kayak Profesor Mcgonagal. Nakutin nyeremin bikin keki gitu.

"Adat kita ndak pernah mengizinkan pernikahan kebo mbalik kandang. Ayahmu dan ayah Tian sama-sama lahir dari daerah Dlanggu. Kalau kamu nekat melangsungkan pernikahan ini, kamu membunuh Ibu namanya, Nduk. Orang tua akan meninggal jika anak-anaknya nikah kebo mbalik kandang. Ini bukan kepercayaan asal-asalan. Sudah banyak bukti di kampung kita. Sudah banyak orang tua yang meninggal akibat keturunannya tetap melangsungkan pernikahan haram itu."

"Itu semua mitos, Bu." Demiii, benar-benar heran deh. Sekarang saja kita bisa tahu nanti akan turun hujan apa tidak. Di daerah mana akan ada geledek atau tidak. Tapi Ibu masih percaya yang begituan? Maksudku, sains sudah merambah ke ranah nujum yang mampu menggeser eksistensi dukun-dukun tolak bala, tapi ibuku sendiri masih memercayai hal-hal tidak bernalar seperti itu? Astaga dragon!

"Demi Tuhan, Ibu memiliki agama tapi Ibu main percaya dengan hal kayak ginian?" what the hell—tentu saja aku tidak mengeluarkan umpatan itu di depan hidung Ibu. Yang kulakukan hanya menahan emosi setengah mampus. "Hidup dan mati manusia itu di tangan Tuhan, Bu. Bukan dari pernikahan pembawa sial! Lagi pula, I don't give a fuck dengan kebo mbalik kandang apalah-apalah yang Ibu yakini. Aku saja nggak tahu ayahku seperti apa, aku nggak tahu dia masih hidup atau sudah mati, aku nggak tahu rupanya seperti apa, bahkan, Bu, demi Tuhan, bahkan aku nggak tahu nama ayah kandungku sendiri, tapi Ibu main seenak hati mengatasnamakan Ayah untuk melarangku menikah? What great a joke, Bu. Ibu membunuhku sendiri itu namanya."

"Terserah kamu meyakini kepercayaan modern yang kamu anut, Semesta. Ibu ndak memaksa kamu untuk mengimani semua tata krama adat dari kampung kita. Tapi satu hal yang pasti, pernikahan kebo mbalik kandang ndak akan pernah dilangsungkan oleh keturunan Ibu. Dan ndak ada satu pun yang bisa menggugat kepercayaan Ibu sampai Ibu mati." Mata hitam di balik kacamata Ibu menelisikku head to toe, kemudian beliau mendengus sambil berkata, "Bahkan kalau Ibu mau, baju-baju kekurangan bahan seperti yang kamu pakai ini, ndak akan pernah Ibu izinkan berada di bawah atap rumah kita. Kalau Ibu sudi menerapkan tradisi daerah kita, kamu Ibu haramkan memakai pakaian yang bisa membuatmu kena musibah." Ibu berlalu dariku membawa senampan sesajian. Sandal selopnya berkeletuk-keletuk nyaring seisi rumah. Namun baru beberapa langkah Ibu pergi, dia balik lagi hanya sekadar mengeluarkan sederet kalimat: "Jangan membawa nama Tuhan kalau kamu sendiri ndak pernah sowan ke rumah Gusti. Tuhan ndak sebercanda itu, Semesta."

Aku terenyak oleh sebab kemarahan Ibu seperti menumpahkan sekuali lahar panas ke dalam kepalaku. Mukaku seakan-akan tertampar dengan kejam oleh peraturan-peraturan Ibu. Oleh keyakinan-keyakinan konyolnya. Gigiku gemerutuk menahan emosi yang sangat sulit kukendalikan. Sebelum Ibu sampai di muka kamar, aku mendesiskan namanya dalam perasaan paling tidak bisa kugambarkan.

"Tahu, nggak, sih, Bu, kadang aku berpikir, larangan-larangan Ibu terhadapku adalah konspirasi yang Ibu susun agar aku, anakmu sendiri, nggak pernah melangsungkan pernikahan. Ibu dan mitos konyol itu, bagiku adalah kamuflase. Aku nggak tahu apaan itu, hanya saja, aku sangat merasa, ada sesuatu dalam diri Ibu yang membuat Ibu membenci pernikahan. Yang membuat Ibu trauma terhadap pernikahan. Yang membuat Ibu takut pada pernikahan. Koreksi Tata jika Tata salah, tapi aku sangat merasakannya, Bu. Dan, ketakutan Ibu itu pulalah, yang membuat Ibu menampik setiap lamaran yang datang padaku."

Punggung sempit Ibu terlihat kaku. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Ingin sekali aku melihat Ibu berbalik padaku, dan melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan selama aku hidup. Menamparku, misal. Atau, memaki-makiku. Dan, merendahkanku di hadapan adat junjungannya. Namun, rupanya, aku keliru. Yang dilakukan Ibu justru melanjutkan tapak kakinya, memasuki kamar yang terbuka, lantas menutup pintu dengan pelan.

Dalam diam, aku berdiri tertegun.

Kutelan ludah.

Ada sesuatu yang menyengat ulu hatiku.

Sesuatu yang berhubungan dengan pernyataanku terakhir, serta respons yang diberikan Ibu. Dengan perasaan kacau, aku berjalan menghampiri pintu kamar Ibu. Kutempelkan kuping di daun pintu, dan, seketika, jantungku seolah diceburkan ke dalam kuali es. Dingin. Membuatku merinding.

Aku mendengar suara isakan.

==

"Kalau gue tanya are you okay, nggak akan adil banget sementara seluruh tubuh lo seolah-olah berteriak ke gue, lo butuh pertolongan." Tidak kugubris pertanyaan Pilar sewaktu aku sampai di apartemen dia. Dia nyengir, memamerkan sederet gigi rapinya sambil memeletuskan permen karet.

Kuangkat bokong dan kulesakkan di kursi penumpang. Selama perjalan dari rumah ke tempat tinggal Pilar—yeah, laki-laki bangsat itu mengirimiku pesan yang mengatakan Jeepnya mogok sehingga aku harus menjemputnya dengan mobilku—aku sama sekali tidak fokus. Pikiranku benar-benar kacau. Ribuan tanda tanya seolah-olah meledak di balik tempurung kepalaku. Suara isak Ibu barusan benar-benar seperti sebuah belati yang ditusukkan ke dalam jantungku tanpa ampun. Aku bersumpah demi Tuhan, dalam tiga puluh lima tahun aku hidup, baru kali ini aku mengetahui ibuku menangis.

Seorang Suharti bahkan dalam takdir yang ditulis Tuhan pun tidak ada ceritanya menangis.

Itu mustahil.

Suharti adalah perempuan yang tangguh. Perempuan paling kuat, yang mungkin saja, tidak akan mampu dikalahkan oleh Tuhan. Suharti adalah... tuhan itu sendiri.

Tapi, kenapa tadi Ibu terisak?

Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu?

Apakah benar dugaan asalku tadi, bahwa Ibu memiliki trauma terhadap pernikahan? Ketakutan terhadap perkawinan? Oh, apakah ini adalah alasan kenapa Ibu menyembunyikan rapat-rapat informasi tentang Bokap kepadaku? Karena Ibu membencinya? Membenci oleh sebab yang aku tidak tahu?

"Blis... ini sudah nggak lucu lagi. Lo dari tadi diam melulu. Apa kita perlu mencari Tian dan memaksanya berjuang dengan lo? Atau perlu kita menggaet penghulu agar menikahkan lo dengan Tian? Gue dengar-dengar sih, di Islam itu, cewek bisa diwaliin sama wali hakim. Ayolah, Blis, lo mengalami gagal kawin nggak sekarang doang. Dari zaman dulu hal ini sudah sering terjadi, kenapa tampang lo serem kayak gini, sih?"

"Lar, lo pernah melihat ibu lo nangis, nggak, sih?"

"Hah? Maksudnya?" Pilar menoleh ke arahku. Permen karetnya meletus saat ia gembungkan. "Menangis perkara apa? Kok lo tahu-tahu nanya hal kayak gini, sih? Emang kenapa?"

"Gue tadi sempat mendengar ibu gue terisak di kamarnya."

"Ibu lo yang mana?"

"Ya ibu gue yang mana lagi sih selain ibu gue yang ini? Sialan lo!"

Laki-laki itu terkekeh. "Habis, lo-nya juga aneh-aneh sih, Blis. Masa sih ibu lo nangis? Habis lo apain, hah? Perempuan segarang Samson kayak gitu emang bisa nangis?"

"Gue nggak tahu kenapa Ibu nangis. Padahal, tadi, dia mengamuk di hadapan gue. Pakai ngelecehin pakaian yang gue kenakan pula. Tapi, kalimat yang gue lontarkan terakhir kalinya kepada Ibu, membuat Ibu terisak."

Memeletuskan balon permen karetnya, Pilar kembali menoleh kepadaku sewaktu mobil berhenti di lampu merah. "Emang lo ngomong apaan di hadapan ibu lo?"

"Ya gue bilang, bahwa alasan konyolnya selama ini adalah kamuflase dari dirinya. Konspirasi darinya yang memang nggak menginginkan gue kawin. Gue juga bilang, bahwa dia memiliki trauma terhadap pernikahan yang menjadikan Ibu melarang-larang gue kawin. Dia nggak ngerespons kalimat gue, hanya langsung balik ke kamar. Sewaktu gue mencoba mencari tahu, eh gue dengar dia terisak."

Diam beberapa saat. Kutoleh Pilar, ia tampak mengernyit menatapku. Rahangnya sibuk mengunyah permen karet. Baiklah, sebelum pembahasan ini berlanjut lebih jauh lagi, kukenalkan Pilar pada kalian. Namanya Pilar Renjana Laut Aksara. Yah, namanya memang so ndeso banget, sih. Tapi, dia keturunan Cina—bokap dia asli Solo, sementara ibunya blesteran Cina-Betawi. Matanya sipit. Meminjam istilah para penulis novel, kulitnya seputih batu pualam. Bibirnya kehitam-hitaman, karena dulu, sebelum mengonsumsi permen karet, ia adalah pecandu rokok kronis. Pernah hampir mati akibat penyakit paru-paru.

Kami bersahabat ada tujuh belas tahun. Aku ulangi sekali lagi, tujuh belas tahun. Kalau lo bertanya, apakah aku pernah mencintainya? Yah, jawabannya sangat jelas sekali. Segala macam perhatian, keusilan, dan kehadirannya, membuatku benar-benar mengharapkan ia menjadi suamiku. Hanya saja, kedekatan kami dipisahkan oleh jarak sangat jauh yang sangat mustahil untuk kami lalui. Pilar beragama Katolik, dia anak nomor tiga (pasangan jilu—siji telu, anak nomor satu dan anak nomor tiga—diharamkan melangsungkan pernikahan menurut adat Ibu), dia keturunan Cina (sekali lagi, menurut adat Ibu, orang Jawa tidak diperbolehkan menikah dengan orang Cina), sehingga, tiga belas tahun silam (sewaktu aku berusia dua dua), ketika aku mendedahkan niatku ingin menikah dengan Pilar, Ibu langsung menampiknya tanpa ampun.

Dan, tak berselang lama setelah itu, tiga tahun sesudahnya—aku tidak tahu apa yang terjadi antara Pilar dan Ibu—tahu-tahu Pilar menarik diri dari rumahku. Jangankan main ke rumah seperti yang ia lakukan semasa kami kuliah, menjemputku di depan rumah saja dia tidak berani. Takut. Tahun-tahun berlalu setelah itu, hingga kini, aku sama sekali tidak tahu-menahu apa alasan Pilar takut bertandang ke rumah. Aku tidak tahu apa yang ia rahasiakan dengan ibuku dariku.

"Anjing, Blis," umpatnya, memeletuskan permen karet. "Ini jawaban dari segala kegalauan lo, demi Tuhan. Ibu lo takut dengan perkawinan, makanya lo nggak dibolehin kawin. Mati aja lo, Blis, sampai tua menyandang status jomblo."

"Keparat! Sialan banget sih itu mulut!" Kugetok kepalanya tanpa ampun, membuatnya mengaduh lantang.

"Yawla, lo mah tetap aja, sih, Blis. Nggak dalam keadaan waras, nggak dalam kadaan galau, suka banget nyiksa gue. Benar-benar titisan iblis lo."

Bola mata kuputar dengan bosan. "Menurut lo, ibu gue beneran punya trauma terhadap pernikahan yang membuatnya selalu melarang gue kawin, nggak, sih?"

"Yah, itu sih sudah jelas. Kenapa dia sampai nangis, seorang Suharti, men, Suharti, menangis mendengar ucapan lo. Itu pasti bukti bahwa dia emang nyimpan kenangan pahit masa silam. Anjing...."

"Apaan sih lo, dari tadi anjing-anjing mulu. Kesambet apa?"

"Blis... Blis.... Lo kan nggak pernah tahu riwayat bokap lo. Lo nggak tahu nama, keberadaannya, dan hal-hal yang berhubungan dengan bokap lo, mungkin nggak sih ini alasan dari trauma ibu lo? Siapa tahu saja, dia dulu sangat disakiti bokap lo sebelum lo lahir atau sewaktu lo masih balita, sehingga ibu lo main menyimpan semua rahasianya kepada lo? Iya, nggak, sih? Self healing gitu."

Tak ayal, pernyataan Pilar kembali menjatuhi potongan-potongan tanda tanya di kepalaku. Sialan. Ini pasti benar.

"Lo nggak pernah nyoba tanya Pak Gafar gitu, apa, Blis, tentang latar belakang bokap lo? Siapa tahu saja, kan, dengan lo tahu latar belakang ibu lo, dan yah, kita beraksi kayak detektif-detektifan gitu, bisa mengatasinya, ibu lo mengizinkan lo kawin?"

Kembali kulirik Pilar. "Tumben pikiran lo waras."

"Sialan!"

"Jangankan bertanya, gue bahkan pernah sampai memaksanya menceritakan bokap gue, tapi hasilnya, lo tahu sendiri, sampai sekarang gue nggak tahu-menahu juga. Mencari kebenaran dari Pak Gafar tuh susahnya nauzubillah deh. Dia kayaknya sudah disumpah mati gitu agar tetap diam sampai mampus menjemput."

==

Oke, jangan panik, jangan gegabah, jangan ceroboh, Ta. Pikirkan matang-matang lo mau belanja apa. Jangan sampai lo menyesal di kemudian hari kalau lo tidak membeli barang-barang yang lo butuhkan. Itu dia, barang-barang yang aku butuhkan. Pilar sih yang tadi mendakwaku seperti itu.

Jadi, sebagai hiburan karena aku lagi galau akibat rencana perkawinanku gagal, juga sepetak fakta mahaganjil tentang Ibu, Pilar berniat mentraktirku. Ini sih namanya anugeraaah. Pilar adalah pemuda lajang kaya raya. Duit gaji plus bonusnya yang melimpah itu tidak baik ditelantarkan begitu saja. Kalau dia sudah mengeluarkan fatwa traktir, maka, sebagai perempuan bijaksana, aku kan jelas-jelas diharamkan menolak tawarannya? Rezeki kan memang seharam itu ditolak?

"Ingat kata gue, Ta, lo hanya diperbolehkan belanja barang-barang yang lo butuhkan saja! Kalau barang yang nggak lo butuhkan tapi lo inginkan, JANGAN DIBELI! HARAM JAHILIYAH! Lo ngerti kan maksud gue?"

Aku ngerti kok. Tidak perlu sampai meneriak-neriakiku segala, kan? Aku tahu apa yang sangat aku butuhkan dalam hidupku. Maksudku coba lihat ini, tas bernuansa metalik yang sangat cantik dari Fendi. Oh my God, mataku tidak bisa kupalingkan dari tas-tas cantik di gerai Fendi ini. Warnanya mengilap. Ada silver, gold, turquoise, bahkan baby pink. Yang baby pink ini unyu sekali. Kalau aku mengepit tas ini di bawah ketiak, semua orang akan terpesona denganku. Semua orang akan tersedot dengan aura yang dikuarkan tas ini.

"Ini seri Fendi terbaru, Sist," sapa seorang pegawai kepadaku, senyum lima jarinya terkembang di wajahnya yang runcing. "Kan I Bag sama Double Baguette Bag. Sist dapat melihat sparkling twist­­-nya yang begitu menawan. Ada sematan studs juga Bonbon flower. Kulitnya sangat lembut, Sist. Penutup tabnya magnetik, ada plakat desainer di depan sini, dan pegangannya pun didesign dengan begitu nyaman. Fendi merancangnya khusus buat mereka yang menginginkan penampilan menarik, dan tidak membosankan."

Fendi merancangnya khusus buat mereka yang menginginkan penampilan menarik dan tidak membosankan. Aku sangat menginginkan penampilan yang menarik dan tidak membosankan. Maksudku, aku sangat membutuhkan penampilan prima. Supervisor sepertiku kan diharuskan berpenampilan menarik? Bahkan, dari kantor saja, ada anggaran untuk membeli busana-busana yang mampu mendukung kinerja seorang SPV. Jelas, aku sangat membutuhkan tas ini dilihat dari sudut pandang mana pun.

Aku mengamati shoulder bag berwarna baby pink yang ada bonbon flower bernuansa emas, biru, serta hitam-nya. Oh ya ampun, aku bisa meninggal hanya dengan mendambakan tas ini saja. Seluruh tubuhku memekikkan kata "pinang dia!" "pinang dia!". Sabar, Sayang. Sabar. Pilar akan membelikannya untuk kita. Untukku.

"Gue mau ini. Maksud gue, gue membutuhkan tas ini." Pilar berpura-pura tidak menghiraukanku dengan mengunyah permen karet tak jauh dariku. Aku tahu, dia sebenarnya paham maksudku, hanya saja, dia agak malu saja dengan pegawai toko ini—dia kan laki-laki, jadi agak wajarlah ya sedikit canggung di deretan barang-barang yang chick banget. "Lar, gue sangat membutuhkan tas ini." Kuusik lengannya. "Lo lihat dong shoulder bag ini, Lar. Gue belum punya tas bernuansa metalik. Maksud gue, gue butuh tas yang mampu membuat gue berpenampilan menarik dan enggak membosankan. Lo tahu kan posisi gue di kantor, Lar? SPV. Hubungan gue dengan orang-orang luas, Lar. Kadang gue menghadiri meeting, kadang gue mengikuti seminar, kadang gue menghadiri acara training karyawan baru. Otomatis gue diharamkan berpenampilan membosankan, kan, Lar? Coba lo bayangin gue masuk ke kelas training dan semua orang menguap karena penampilan gue. Bukankah hal itu akan membuat para karyawan baru nggak bisa menyerap pelajaran yang akan gue berikan pada mereka?"

"Alasan lo ngasal banget, sih, Blis. Lo kan udah punya banyak tas. Bahkan, lo saja punya rak yang khusus memajang tas-tas lo itu. Ngapain lagi lo membeli tas ini, sih? Ayolah, Blis, beli yang lo butuhkan. Lo butuhkan! Oke?" Dia kembali memeletuskan permen karetnya.

"Lo nggak paham-paham ya, Lar? Gue butuh berpenampilan menarik dan enggak membosankan. Dan, berita baiknya, Fendi merancang tas ini untuk mereka yang membutuhkan penampilan menarik dan enggak membosankan! Jadi, ya, gue butuh tas ini! Gue butuh tas ini!"

"Emang tas-tas lo nggak menarik dan membosankan?"

"Enak saja! Lo jangan menghina koleksi tas gue, ya? Mereka semuanya menarik, hanya saja Fendi merancang khusus ini untuk mereka yang butuh berpenampilan menarik! Kan, bisa saja orang membeli tas hanya untuk mengisinya dengan tisu toilet, bukan untuk berpenampilan menarik. Gue butuh tas ini, Pilar Berengsek!" aku nyaris saja berteriak, membuat orang-orang di sekitar kami menoleh ingin tahu. Tapi, bodo amat. Tadi Pilar berjanji ingin mentraktirku. Lo dengar sendiri kan bagaimana dia akan membelanjakanku apa pun yang aku butuhkan. Dan, sekarang, aku butuh ini. Aku. Butuh. Tas. Ini.

"Astaga, Blis! Kenapa gue menyesal ya ingin mentraktir lo. Firasat gue nggak enak banget, nih." Masih sambil mengunyah permen karetnya, yang sesekali dia letuskan balonnya, Pilar beranjak menuju tempat tas itu dipajang. Dia membalik label harga yang tercantol di sana, lalu berpaling ke arahku dengan wajah pucat. "Lo gila! Gue bisa membeli perkakas Jeep gue yang rusak dengan harganya ini, Blis."

"Harga ini sangat pantas dengan kualitas yang diberikannya, Pak. Istri Anda akan terlihat sangat fabulous apabila membawa tas ini."

"Dia bukan istri gue, Mbak! Gue nggak pernah punya cita-cita menjadikan iblis kayak dia menantu ibu gue!"

Aku hanya memutar bola mata.

"Bungkus satu tas ini buat dia, Mbak! Dan, ingat, gue bukan suaminya iblis." Bunyi pop pelan terdengar saat gelembung permen karet Pilar meletus lagi. Aku bersorak hore nyaris jejingkrakan ketika mbak-mbak tadi membawa tas itu ke meja kasir. Ya ampun, persetan deh Pilar ngomong apaan. Yang penting kan aku sudah punya koleksi Fendi terbaru. Aku bisa apa sih tanpa koleksi tas dari Fendi? Iya, kan?

Sekeluar dari gerai Fendi, aku mengajak Pilar ke salah satu butik yang memiliki koleksi gaun-gaun untuk disewakan dan ada beberapa yang diperjualbelikan. Sekadar melihat-lihat gaun yang dipajang di sana. Pilar sudah mewanti-wanti aku untuk tidak membeli gaun, karena—apa katanya tadi—buat apa aku membeli gaun jika aku memiliki walk in closet yang nyaris sempurna dengan koleksi gaunnya Sebastian Gunawan, Biyan, Vera Wang dan masih banyak lagi yang, jujur, aku mengumpulkannya setengah mati. Aku sih hanya berkata, aku tidak akan membeli gaun kepada Pilar, tapi bisa saja aku membutuhkan gaun baru yang aku kenakan untuk acara dadakan. Iya, kan? Kalian pernah tidak, sih, saat tidak ada jadwal ke mana-mana, tahu-tahu ada undangan mendadak ke sebuah pesta. Nah, aku harus memiliki koleksi gaun untuk acara-acara dadakan semacam itu.

Ya Tuhan.

Oh, my God.

Itu apa?

Aku hampir-hampir berseru sewaktu mataku melihat gaun chiffon yang tergantung rendah hati di salah satu pajangan. Gaun itu indah sekali. Seperti seorang ratu yang sedang duduk malu-malu di suatu sore sambil menikmati teh kamomil bersama sang raja, dan membicarakan akhir pekan yang akan mereka lalui untuk berbulan madu kedua setelah memiliki serenteng anak. Gaun tersebut berwarna beige, dan dilengkapi cape penuh dengan embellishment. Oh ya ampun, dadaku berdebar-debar saking penginnya aku membawa pulang.

"Anda akan terlihat seperti Putri Cinderella jika mengenakan ini, Sist." Suara seorang pegawai seperti angin surga yang memeluk jiwa-jiwa rapuhku. Apakah dia tahu aku sedang patah hati, sehingga dia seperti ingin menolongku dari lembah keterpurukan? Apa sih yang paling dibutuhkan seseorang yang tengah dilanda sakit hati seperti gagal kawin gara-gara kebo mbalik kandang, selain kalimat-kalimat menenangkan? Tidak ada. "Ini koleksi spring/summer 2018 Monique Lhuiller yang seperti dikenakan Brie Larson di premiere film terbarunya."

Brie Larson juga mengenakan gaun semenakjubkan ini? Kalau begitu, gaun ini lebih dari menakjubkan. Fantastis. Semua orang tahu siapa Brie Larson. Seorang aktris sekaligus penyanyi kelas atas. Pemenang penghargaan Oscar. Kalau artis sekelas dia saja mengenakan gaun seperti ini, aku pun harus memilikinya. Maksudku, aku kan jelas-jelas membutuhkan gaun dengan cape penuh embellishment gini untuk acara-acara dadakan. Aku jelas tidak mungkin mengenakan gaun yang pernah kupakai hari Minggu untuk acara hari Senin. Apa kata orang-orang nanti? Semesta tidak punya gaun untuk acara dadakan? Itu hal yang harus aku hindari.

"Lo jelas nggak akan gue belikan gaun itu, Blis." Suara Pilar merusak semua impian indahku pasal gaun. Aku mendegus keras ke arahnya.

"Gue bisa meninggal kalau nggak punya gaun itu, Lar." aku mendramatisasi, menatap dengan sebal ke arah Pilar yang masih sibuk mengunyah permen karet. "Lihat bagaimana kerendahan hati yang gaun ini pancarkan, Lar. Gue sepertinya dilahirkan untuk gaun ini. Ada dalam gaun ini yang mengimplementasikan jati diri gue sebenarnya. Tengok taburan manik-manik yang begitu menawan hati. Seolah-olah mereka ingin memberi statement pada dunia bahwa Semesta sangat layak mengenakan gaun ini. Maksud gue, oke, gue memang punya beberapa koleksi gaun, tapi gue belum punya koleksi gaun untuk acara-acara dadakan, Lar. Gue kan nggak mungkin memakai gaun yang sama di acara yang berbeda?"

"Istri Anda betul sekali, Tuan. Gaun dengan cape penuh embellishment akan sangat berguna untuk acara-acara fantastis. Apalagi jika acara itu ada pihak media yang menyorot. Acara amal yang diadakan pemerintah kota, misalnya. Istri Anda akan terlihat menawan sekali."

Oh ya ampun, aku suka mbak pegawai ini. Dia benar sekali. Bagaimana jika aku diundang oleh Gubernur Jakarta untuk acara sosial, misalnya? Pastinya akan banyak media massa yang akan meliput beritanya. Aku jelas tidak akan membiarkan penampilanku terlihat usang dan kumal dengan gaun-gaun zaman dinosaurus. Barangkali dengan mengenakan gaun fantastis ini, aku bisa didaulat menjadi duta lingkungan hidup. Dan jika ada media asing yang turut menyorot acara baksosku, bisa saja foto dan namaku terpampang di koran internasional. Gadis dengan Gaun Fantastis Mencuri Perhatian. Semua orang akan melirikku dan akhirnya tahu bakat alamiku.

"Gue bukan suami iblis ini, Mbak! Gue nggak pernah bercita-cita memiliki istri cacingan galak kayak iblis seperti dia!" suara pekikan Pilar memeletuskan gelembung kebahagiaanku dalam sekejap. Aku meliriknya kesal.

"Gue butuh gaun ini, Lar! Dan mbaknya betul sekali. Bagaimana nasib gue kalau gue nggak punya gaun yang akan gue gunakan untuk acara bakti sosialnya pemkot? Lo mau melihat gue merana di dalam media massa? Ogah! Gue butuh gaun!"

"Nggak akan ada pemkot yang mau memungut lo jadi pengisi acaranya, Blis. Ya Tuhan, lo jangan ngayal-ngayal amat napa, sih, Blis? Ayo kita pergi dari sini! Tempat ini sungguh nggak baik untuk kesehatan otak lo!"

"Gue nggak mau pergi sebelum lo membawakan gaun ini pulang untuk gue!"

"Ya Tuhan, kenapa gue menyesal sekali ya mengajak lo berbelanja? Kenapa lo nggak menderita di kamar saja sih meratapi Tian? Sialan." Pilar memeletuskan balon permen karetnya sambil melihat label harga. Detik berikutnya, dia nyaris memekik entah karena apa. "Gue bisa punya Jeep baru untuk baju model sarangan tahu kayak gini! Harganya! Astaga, Ta, nasib Levi's terbaru gue kayaknya bakal tinggal kenangan, deh."

"Please, Lar. Gue sangat membutuhkan gaun baru. Sangat, sangat, sangat."

Pilar mendesah, berpaling ke arah si Mbak, lalu berujar, "Bungkus satu buat dia, Mbak. Dan ingat, gue nggak pernah memiliki cita-cita menjadikannya istri! Bisa bangkrut gue diporotin sama dia melulu."

Ya Tuhan, aku ingin mencipok Pilar sampai mampus di sini.

Setelah capek berbelanja tas, gaun, dan terakhir sepatu dari Saint Lauret yang heel-nya berbentuk logo SYL—sebenarnya aku mengincar perhiasan keluaran terbaru dari Bvlgari, tapi Pilar sudah berteriak heboh ketika aku ingin menyentuh necklace menawan yang dipajang di sana—aku mengajak Pilar ke salon. Hasratku ingin memotong rambut harus kutuntaskan agar kesialan yang mungkin saja diakibatkan rambut singaku hilang.

"Lo yakin mau potong rambut?" Itu adalah pertanyaan Pilar yang kedua puluh lah kalau aku boleh berlebihan dikit. Kami baru saja masuk ke salah satu salon di mal, tapi Pilar sudah keburu memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan tidak mutu kayak gitu.

"Udah deh, Lar. Diam, napa? Aku cuma pengin tampil fresh aja. Timbunan rambut ini benar-benar ngebuat pikiran kacauku jadi semakin gloomy. Gue nggak mau aja bunuh diri hanya gara-gara rambut." Dari pantulan cermin, aku bisa melihat perempuan berkulit sawo matang balik menatapku. Rambut yang dilepas dari ikatnya langsung mengembang tanpa diminta. Keriting kecil-kecil. Besar. Lebat banget. Sampai menutupi mbak-mbak yang akan mengeksekusiku kali ini.

Melihat penampakanku, aku merinding dibuatnya. Gila! Aku jadi bertanya-tanya, kok Tian tidak komplain ya saat jalan denganku setahun belakangan ini? Apa dia kena santet dari aroma magis rambutku? Maksudku, aku saja ngeri melihat penampilanku. Apalagi orang lain? Biarpun aku tidak kayak Mak Lampir juga, kan setidaknya citra Tian bisa kegeser gitu dari peradaban gara-gara ngajak perempuan berambut beringin pergi ke kondangan. Yah, itu cuma contoh, sih. Contoh yang tiba-tiba timbul dari benak depresiku.

"Lo nggak akan nyesel? Ini rambut yang lo piara dari jaman dulu lho, Ta. Takutnya lo kehilangan jati diri aja kalau lo mangkas rambut lo?"

Aku ingin musik Taylor Swift yang didentumkan salon ini melumat suara-suara Pilar. Tapi tidak bisa. Pilar saja duduknya nyaris menempel padaku. Membuat mbak-mbak salon ini main melototinya. Tapi kan Pilar bego, dia mana bisa menangkap kode keras yang sudah mbak itu pancarkan?

"Udah deh, Lar. Lebih baik gue menyesal daripada gue ketiban sial mulu. Rambut ini pasti pembawa sial. Lo kira aja, dari usia dua lima sampai tiga lima, calon laki yang gue bawa ke Ibu ditolak mulu. Kalau bukan gara-gara rambut ini ya gara-gara apa?"

"Alasan lo nggak masuk nalar banget." Rahangnya masih sibuk mengunyah permen karet untuk yang entah keberapa.

"Gue pengin potong rambut, Lar. Please, lo jadi anak baik saja. Diam dan jangan ngerecokin. Oke?"

"Tapi, kan, Ta...."

Like in drama series, aku menukas apa pun yang pengin Pilar katakan. Kupelototkan mata, kalau Pilar tidak nangkap juga isyarat dariku, aku akan mencolok matanya saja. Bikes, deh.

==

Suara bising di konter makanan ini tidak mampu mengalihkan pelototan Pilar dari tubuhku. Bahkan, please, izinkan aku berlebihan. Sejak keluar dari salon tadi, tatapan Pilar tetap tertuju padaku. Pada rambutku. Maksudku, rambut baruku.

"Lo kenapa sih, Lar?"

"Lo Tata yang bukan Semesta." Dia mendesis dramatis.

Otomatis tanganku memegang rambut baruku. Kalau lo tanya gimana rasanya, gilaaa, enteng banget. Baru kali ini kepalaku terasa ringan. Tidak seperti menyangga satu ton dosa yang selama puluhan tahun ini kualami. Segar. Dan, mungkin ini hanya sugesti atau apa, rambut pendekku mampu membuat galau yang ditumplakkan di kulit kepalaku seolah-olah sirna. Kayak aku terlahir kembali setelah ratusan tahun menderita saja gitu. Kayak kembali menjadi perempuan suci.

Rambutku dipangkas hingga bawah kuping. Bagian belakang ditipisin. Bagian depan agak panjang, semacam poni samping. Agar terlihat lebih bernuansa lain, aku meminta rambutku dibuat lurus, jadi enak ngaturnya dan terkesan menempel di kepala. Tak lupa, untuk menyempurnakan move on dari mendiang rambut singa, aku meminta rambutku diwarnai brunette. Sangat cocok dengan kulit sawo matang eksotisku. Aku benar-benar mendapatkan kepercayaan diri dengan potongan rambut baru ini. Kayaknya, model rambut berpengaruh besar deh untuk membangun kepercayaan diri seseorang. Terutama perempuan. Aku akan meriset ini kapan-kapan kalau aku punya waktu nganggur barang satu atau dua tahun.

"Jelek, ya?" Sebenarnya sih aku tidak pengin tahu juga pendapat Pilar. Toh, kalau memang model rambutku yang sekarang terlihat jelek, tidak akan aku pikirin juga. Yang penting aku suka. Itu sudah cukup. Pendapat orang lain itu hanya angin lalu.

"Lo... seksi banget, Ta, dengan model rambut kayak gitu."

Oke, ini di luar ekspektasiku. Aku mesem.

"Lo seksi banget."

Aku boleh terbang, tidak, sih, dipuji teman yang semasa hidupnya hanya memiliki diksi haram jaddah saat berkomentar?

"Tian bego banget kalau sampai ninggalin lo demi kandang-kandang whateva itu."

Ya ampun, aku pengin mencium Pilar dengan kalimatnya barusan.

"Lo mending kawin sama gue aja, Ta. Jangan samalaki lain. Nggak rela gue ngelepasin lo untuk garong-garong di luaran sana."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro