New Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan. Lihat. Pizza. Itu. Tata.

Memang jahanam banget deh Pilar ini. Tahu saja kalau aku lagi diet. Akibat makan cheese burger tiga hari saja, skirt pencil dari LovellySaly-ku tidak bisa kukancingkan. Gimana kalau ditambah sebundar pizza ini? Ugh. Bisa-bisa gaun yang dibelikan Pilar tidak mampu menampung lemak akibat junkfood ini. Coba lihat bagaimana Pilar seperti kesurupan kuda lumping saat menarik sepotong pizzanya? Lelehan keju mozarella yang banyak banget langsung ikut tertarik menggiurkan. Mana dagingnya penuh banget lagi. Cuping hidungku tidak bisa diajak kompromi. Aromanya yang lezat seketika mengeroncongkan perutku. Lambung kosongku sedari pagi langsung berteriak-teriak: 'come to Mama, Pizza. Come to Mama.'

"Terus, rencana lo habis ini apa? Lo mau mencari Tian?" Sambil mengunyah dalam gigitan besar pizza tidak tahu diri itu, Pilar main menjilat-jilati jemarinya. Lalu, desahan pedas akibat saus sambal keluar dari bibir kehitamannya.

Ya ampun, aku tidak boleh lemah iman. Aku tidak boleh tergiur makanan jahat itu.

Alihkan pikiran, Ta. Alihkan pikiran. "Ya iya, lah, pasti. Kami kan belum sepakat putus." Pembahasan tentang trauma pernikahan Ibu itu sepakat kami tutup sebelum Pilar membawaku ke Plaza Indonesia. Selain kami tidak punya bukti apa-apa selain isak tangis, kami pun tidak tahu, harus ke mana kami mencari tahu. Dan, apa benar, jika aku tahu siapa Bokap setelahnya, aku bisa menyegerakan pernikahan? Ini masih abu-abu sih. Jadi, oke, mending tutup saja pembahasannya. "Hubungan kami cuma ditentang Ibu. Tapi kalau Tian mau gue ajak buat berjuang di hadapan Ibu sih, gue mau bergerak maju dengannya. Maksud gue, come on, kami bahkan sudah menjalani hubungan ini selama setahun kan, masa iya sih harus putus gitu saja karena Ibu? Mana kami udah bikin rencana perkawinan pun. Kan sayang banget, bikin sakit hati banget kalau mimpi itu harus gagal, Lar."

Necklace white gold dengan taburan diamond di gerai Bvlgari tadi amazing banget. Bagus banget. Mewah, elegan. Cocok kalau dipakai untuk acara-acara kantor. Malam penghargaan karyawan terbaik, misalnya. Bentuknya love, jadi simple gitu. Tidak kayak ibu-ibu pejabat yang bentuknya aneh-aneh. Sempat minta ke Pilar sih, tapi boro-boro aku menyampaikan maksud hatiku, mata sipitnya sudah keburu melotot kayak balon kebanyakan gas. Aku sampai takut bola mata sehitam arang miliknya bisa meletus beneran—pikiranku kusibukkan dengan hal lain agar aku tidak tergiur Pizza menggiurkan yang sedang disantap oleh Pilar.

"Kalau dia nggak mau lo ajak untuk berjuang?" Sialan Pilar, dia sekarang main menjilat-jilati mulut. Kemudian mendesah kepedesan lagi. Pasti enak banget.

"Nggak mungkin lah." Aku menukasnya tanpa berpikir dulu. "Apa artinya cinta kita kalau dari setahun ini aku seperti orang gila yang kesurupan setan saat gandrung dengannya?"

"Yah, bisa saja, kan, Blis. Maksud hati siapa yang tahu, coba?"

"Maksud lo?" Sekarang Pilar mencomot potongan pizza kedua? Dan tinggal dua pizza di loyang ini? Masa dia mau melahap semuanya, sih? Aku tidak dibagi gitu? Itu kan jahat.

"Ya siapa tahu Tian orangnya sepengecut itu buat memperjuangkan cinta kalian. Sekarang gini, kalau dia cinta sama lo, dia nggak mungkin main ninggalin lo tanpa kabar kayak gini, Blis. Ibu lo pasti nentang kalian dengan bahasa lembut, kan? Yah, lembut-lembut sarkas khas ibu lo aja gimana. Masa digituin saja dia langsung keok? Kalau dia cinta sih nggak mungkin main menyerah. Bahkan sampai memutus hubungan dengan lo."

"Nomor teleponnya hanya nggak aktif, itu saja. Main memutus hubungan dari mana, sih?"

"Tapi lo nggak bisa mengontaknya, kan?"

"Siapa tahu batrainya habis? Siapa tahu ponselnya mati?"

"Apa iya selama ini? Sampai ganti hari, Tata? Gue tahu, Tian orangnya pendiam. Tapi dia bukan orang katrok yang nggak tahu apa gunanya powerbank. Dia juga tinggal di Jakarta, bukan di hutan belantara yang nggak ada individu lain untuk dipinjami charger, misalnya kalau memang batrai ponselnya habis. Akan ada banyak cara. Kalau dia cinta sama lo, Blis, semati apa pun ponselnya, dia akan cari cara untuk menghubungi lo. Mencari cara untuk memberi kabar buat lo, dan nggak membiarkan lo terkatung-katung kayak gini. Itu kalau dia cinta. Kalau dia nggak cinta, gue nggak tahu lagi deh. Lagian, gue dari awal memang nggak suka sih lo jalan sama dia. Dari pengamatan gue, dia kayak yang cuma ngebuat lo pelampiasan aja. Nggak lebih."

"Maksud lo? Terus dukungan-dukungan lo selama ini apaan, hah? Pemanis congor untuk baik-baikin hati gue? Lar, kita sahabatan nggak sehari dua hari. Gue sama lo udah kayak sepersusuan toketnya Wewegombel. Gue ada di saat lo mengalami masa-masa sakau lepas dari rokok sewaktu dokter ngevonis lo kena penyakit paru. Lo ada di saat semua lamaran cowok yang gue suka ditampik Ibu, tapi lo nggak ngasih tahu gue pendapat lo tentang calon laki gue? Ini yang lo sebut sahabat? Lo malah terus ngedukung gue dan Tian untuk menyegerakan pernikahan. What the anjing, Lar. Maksud lo apa sih?"

"Karena gue tahu lo, Blis, makanya gue nggak menghalangi kisah percintaan lo. Kalau lo ngaca bagaimana tampang lo saat jalan sama Tian, bahkan anak SD pun nggak memiliki nyali untuk ngerusak kebahagiaan yang sedang lo rasakan. Lo kayak bayi baru mendapat ASI ketika memiliki rencana pernikahan dengan Tian. Mana tega gue ngehancurin mimpi lo, Ta? Gue nggak bisa."

"Itu karena gue begitu menginginkan pernikahan ini, Pilar Renjana Laut Aksara! Gue ingin segera bebas dari kutukan perawan tua!" Aku nyaris menyemburkan amukan. Beberapa orang yang kebetulan jalan di sekeliling kami, kontan menoleh akibat suaraku barusan. Bodo amat. Aku lagi benar-benar tidak menyangka dengan pemikiran Pilar. Bagaimana bisa Pilar bilang tidak sreg dengan hubunganku dan Tian yang hampir saja beranjak ke jenjang perkawinan kalau tidak dijegal Ibu, hah? "Gue percaya sama lo, makanya gue enteng aja saat nembak Tian. Bahkan, lo ngasih tips buat nembak cowok. Tapi lo malah gini ke gue? Lo tuh kampret sumpah. Busuk banget pikiran lo."

"Gue cuma pengin lo bahagia, Ta. Bukan yang lain."

"Kebahagiaan taik kepik apa?" Aku tidak tahu deh apa yang ada di pikiran Pilar. Kenapa dia bisa jadi selabil agar-agar ini, sih? Menjengkelkan. Iris lidahku kalau aku bohong tentang dukungan Pilar padaku saat aku memiliki niat pedekate dengan Tian. "Lo tuh benar-benar, gue nggak tahu deh kenapa lo bisa membalik lidah seenak jidat lo, sementara hati gue sudah kepalang berdarah-darah sejak semalam."

Tian bekerja di bank rekanan yang sering bekerja sama dengan perusahaanku. Kebetulan dia menjadi kepala regional Jakarta Selatan, jadi wajar, pertemuanku dengannya sesering buang hajat. Memang sih kami kenalan dari zaman dahulu kala, dari zaman si Doel dan opletnya masih berjaya di RCTI, tapi memang baru setahun ini aku jadian sama dia. Seperti kataku, itu pun karena aku yang menembak Tian. Dua tahun lalu dia baru putus dari perempuan yang dia kencani semenjak mereka masih duduk di bangku SMP. Dan masa-masa galau Tian itulah, aku datang dengan niat baru untuk menangkap cintanya yang terlunta-lunta. Maksudku, kalau sudah putus ada sekitar setahunan sudah saatnya untuk move on, kan?

Dan, si bajingan Pilar ini nih yang menjadi pawang cintaku. Dia bak cupid memberiku nasihat ini dan itu untuk mendekati Tian. Tapi sekarang, Pilar malah bilang bahwa dia tidak suka hubunganku dengan Tian? Main mengatakan bahwa selama ini aku hanya menjadi pelarian Tian saja? Ayolah, jangan bercanda seperti itu. Aku bisa muntah berlian gara-gara pemikiran konyol Pilar.

"Gue memang lihatnya dia baik, Blis. Dia nggak pernah nyakitin lo. Dia nggak pernah ngeberengsekin lo. Bahkan, lo saja nggak pernah ciuman kan selama pacaran dengannya? Lo nggak pernah lagi ngerokok, nggak pernah lagi mabuk-mabukan saat dekat dengan Tian. Itulah mengapa, gue berprasangka baik padanya. Gue pikir, oh, Tian bisa bikin lo jadi cewek baik-baik, oke gue setuju lo berhubungan dengannya. Tapi tetap saja, perasaan gue ngejanggal bila berkaitan dengan Tian. Hari gini nggak cipokan saat pacaran? Come on, para santri aja banyak yang lebih berengsek dari kelihatannya. Asumsi gue, sih, dia nggak mau cipokan sama lo karena dia masih cinta ceweknya. Dia nggak ingin mencium lo karena dia nggak mau mengkhianati ceweknya."

Tanpa pikir panjang, aku langsung menyiram wajah Pilar dengan cola. Dia dan beberapa orang di sekitar kami terlihat terkejut. Pilar sampai memundurkan kursinya, lalu mengelap muka dengan tisu secara langsung. Tapi, bodo amat. Jleb banget sumpah kata-katanya. Menjadikanku pelarian saja? Aku bahkan tidak pernah berpikiran seperti itu. Aku memang ngebet banget berciuman sama Tian. Sekadar belit-belit lidah gitu, tapi kata Tian, dia tidak ingin menciumku sebelum menghalalkanku. Aku tidak pernah berpikiran aneh-aneh tentang penolakannya saat aku ajak ciuman. Yah, kalau lo ngelihat Tian seperti apa, lo juga akan berpikiran sama denganku. Tian orangnya kusuk beribadah. Salat tidak pernah ketinggalan. Jadi wajar dong kalau kupikir dia ini laki-laki baik-baik? Yang bisa menghormati dan menjaga perempuan. Tapi sungguh, pemikiran yang dilontarkan Pilar barusan tanpa ampun menyengat ulu hatiku.

Masalahnya, siapa tahu saja kan, keraguan Pilar benar selama ini benar?

Bagaimana kalau Tian menolak ajakanku berciuman karena dia belum move on dari ceweknya?

Bagaimana kalau Tian selama ini hanya menjadikanku objek pelampiasan rasa sakit hatinya?

Bahkan, ya ampun, bagaimana jika Tian tidak mau menciumku karena jijik dengan penampilanku? Jijik dengan volume rambutku yang lebat? Jijik dengan kulit tubuhku yang tidak seputih batu pualam? Jika dibandingkan dengan mantan pacarnya, si Ajeng, aku jelas bukan apa-apa seumpama ada orang sedeng yang main menilai kami dari segi fisik.

Ajeng seputih susu, sementara diriku, seumpama roti tawar yang ketumpahan satu ton bubuk kopi.

Njomplang banget.

"Gue minta maaf kalau kata-kata gue ada yang menyinggung lo, Ta. Itu hanya asumsi gue. Lo nggak usah kepikiran. Gue selalu ada buat lo. Kalau sampai Tian berbuat macam-macam pada lo, Ta, gue orang pertama yang menghajarnya terlebih dulu."

Ow, persetan dengan berat badan. Dua potong pizza yang tersisa itu langsung kuembat ketika kulihat pergerakan tangan Pilar akan mencomotnya kembali. Ya ampun, aku memuja keju dari segala makanan yang berlimpah di muka bumi ini. Pilar memang bangsat banget memesan pizza full keju. Aku kan jelas tidak bisa dipisahkan dari keju kalau aku ingin berat badanku segede kapal pesiar?

"Jadi, Blis, kalau seandainya Tian nggak mau lo ajak berjuang untuk meluluhkan Ibu, gimana? Apa yang lo lakuin?"

Lama-lama, obrolanku dengan Pilar ini seperti interview lamaran pekerjaan saja. Dan, Pilar mirip pihak HRD yang main memberikan pertanyaan seenak tali pusar.

"Yah." Aku mengunyah-ngunyah sambil berpikir. Sumpah deh, necklace tadi bagus banget. Kalau Pilar tidak mau membiayai penuh kalung bertaburan diamond tadi, akan kuajak dia patungan demi menggondol kalung pemikat hati. Aku tidak mau tidak bisa tidur gara-gara kalung. "Cari yang baru lagi, lah. Gue udah tiga lima, gila aja ngegalonin cowok yang nggak mau gue ajak berjuang. Gue mau kawin, gue pengin lepas dari kutukan perawan tua, gue pengin bebas dari terkaman ibu gue, paling enggak tahun depan. Saat ini memang kandidat utamanya Tian, tapi siapa tahu aja setelah status hubungan gue dengan Tian jelas—nyambung atau putus—gue dapat target baru."

Tanpa kuduga, Pilar tertawa lebar. Dia membuka sebungkus permen karet dari saku celana sebelum mengunyahnya dengan tampang bahagia. Dulu, Pilar cinta mati pada rokok. Tapi karena batuk menahun yang tidak kunjung sembuh, lalu mendapat vonis dokter dia kena KP Milier—mau tidak mau, artinya Pilar harus bercerai dari rokok—cowok keturunan Cina itu mulai membiasakan diri mengonsumsi permen karet sampai sekarang.

"Sudah gue duga. Jangan jadi Tata selembek madumangsa deh, lo. Yang baru digigit langsung lumer di mulut. Tampang lo yang kayak Tarzan ini nggak cocok banget ngegalaunin cowok cemen macam Tian. Lagian, dari dulu kan lo udah terkenal suka gonta-ganti cowok. Gue nggak mau lah image lo rusak gara-gara Tian."

"Lo emang teman paling kampret, Lar."

Dia cengengesan, memeletuskan permen karet. Itu dulu, ya. Dulu, ketika aku masih kuliah dan masih berumur di bawah tiga puluh, aku memang sering gonta-ganti cowok. Tapi tidak seekstrem Pilar yang sampai celup sana, celup sini. Habis gimana, dimanjain tuh enak sih? Kalau punya cowok kan artinya punya sopir baru—Pak Gafar jelas sudah tak mampu lagi mengimbangi jam kerjaku yang kayak kalong di usianya yang sudah sepuh, kan?—punya orang yang suka mentraktir kita sewaktu-waktu, dan apabila kita ulang tahun, ada jatah kado yang tidak pernah absen.

Yah, pikiran-pikiran ogeb selama aku masih ogeb juga, lah. Kalau sekarang mah, beda kali. Sekarang tujuan utamanya nikah. Kawin. Kalau dulu aku asal mengenalkan cowok ke Ibu, sekarang kudu selektif gila, mengingat Ibu pun kayak hansip bawa pentungan setiap aku menggandeng cowok pulang.

Sungguh, aku benar-benar ingin terbebas dari jeratan frasa perawan tua dan kurungan Ibu Suharti. Di kantor, aku sering disindir-sindir perawan tua. Aku bahkan dijuluki perawan tidak laku oleh beberapa orang keparat. Dan, itu menyakitkan banget, Tuhan. Nyakitin banget. Aku ingin merdeka dari hinaan itu. Aku ingin bebas dari pelecehan verbal seperti itu.

==

Sebelum cerita ini berjalan cukup jauh, kukenalkan secara singkat ibuku pada kalian. Dia adalah Suharti. Perempuan paling berpendirian kuat yang aku kenal di muka bumi ini. Seperti kataku, dia merupakan ayah sekaligus ibuku. Wataknya keras. Galak. Dan suka sekali dengan hal-hal berbau protokuler. Ibuku pemiliki toko kudapan madumangsa (jajanan khas Jawa Timur) bertangan dingin. Tokonya (Toko Madumangsa Mbok Konde) memang hanya satu. Tapi penjualannya melayani di hampir pelosok negeri. Jumlah karyawan Ibu ada sekitar empat puluh. Jadi bisa dibayangkan kan, hidupnya tak jauh dari kekuasaan?

Dulu, aku pecinta madumangsa Ibu nomor satu. Tapi sejak aku terserang sakit gigi parah yang mengharuskanku operasi pencabutan gigi, aku memiliki trauma akan rasa manis, dan membuatku jauh-jauh dari usaha Ibu. Mungkin hal tersebut berimbas dengan kedekatan kami. Semenjak aku tak lagi berkunjung ke toko Ibu, kami seperti terpisah jurang yang cukup dalam mengingat hampir seluruh waktu Ibu dia habiskan di toko.

Tak ada lima belas menit aku mandi, aku sudah berada di walk in closet di dalam kamarku. Outfit-ku hari ini: dress sleevless warna hitam dari Zara, yang kupadupadankan blazer merah sesama Zara. Serta wedges sewarna blazerku dari LV. Bibir tebalku kusapu dengan gincu merah. Aku sebenarnya pengin punya bibir setipis kulit ari kayak orang-orang gitu. Tapi sayang, dari lahir aku diciptakan memiliki bibir tebal. Semacam bibirnya Angelina Jolie gitu. Kalau buat cipokan, ugh, mantap. Aku memiliki banyak gaya cipokan yang kupelajari dari video bokep kiriman dari Pilar. Aku belum pernah mencobanya dengan Tian sih—tahu kan balada Tian nggak mau cipokan denganku, tapi sesegera mungkin, kalau aku punya cowok baru (jika bisa jangan sampai deh, amit-amit), aku akan mengaplikasikan teoriku secara langsung.

"Semalam pulang jam dua belas, Nduk?"

Aku berhenti di anak tangga terakhir. Berpura-pura mencari kacamata hitam di dalam tas Hermesku. Jangan dengarin Ibu kalau lo pengin punya hidup normal hari ini, Ta.

"Mau jadi apa kamu, Semesta? Kamu perempuan, sejatinya kamu harus menjaga martabatmu sebagai perempuan agar kamu ndak dilecehkan lingkunganmu."

Bagus! Pagi-pagi sudah menjatuhkan bom bikin kuping panas kayak gini. Mau Ibu apa? Adu gulat di sini? Aku jabanin deh.

"Bukan urusan Ibu. Aku mau kerja, Bu. Jangan bikin aku telat gara-gara omongan Ibu yang nggak bisa disaring seperti itu. Aku anakmu, Bu. Tapi Ibu nggak bisa percaya sedikit pun padaku." Kupalingkan muka ke arah Ibu, tapi perempuan itu bahkan tidak menatapku secara langsung. Dia cuma duduk sambil menikmati sebungkus madumangsa dengan kopi pahit seperti kebiasaannya selama ini. Kebaya merah Ibu seolah-olah menyulut emosiku untuk kobar lebih besar lagi. Aku bilang juga apa, hanya dengan duduk membelakangiku saja, Ibu bisa mengintimadasiku seperti ini. Bagaimana jika mata ketumpahan malamnya mendelik ke arahku? Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah Ibu lakukan untuk membuatku tunduk padanya.

"Perempuan baik mana yang keluyuran sampai pukul dua belas, Semesta? Hargai dirimu sendiri kalau kamu ingin menikah, Ngger. Apa kamu yakin bisa menjadi istri yang baik dengan gaya hidupmu yang ndak bisa menjaga kehormatan sendiri? Kamu harus introspeksi diri, Semesta. Pantaskan dirimu menjadi istri dulu, sebelum kamu membawakan calon suami di hadapan Ibu. Karena percayalah, Nduk, jikapun kamu membawa pasangan yang bibit bebet bobotnya apik, unggah-ungguhnya mantep, ndak melanggar hitung-hitungan Jawa, Ibu tetap ndak akan menikahkanmu. Perempuan baik-baik hanya untuk laki-laki baik-baik. Dan anak semata wayang Ibu harus menjadi perempuan baik kalau ingin menikahi laki-laki baik."

Aku sama sekali tidak habis pikir dengan cara berpikir Ibu. Bagaimana bisa hah, ibuku sendiri menyumpahiku seperti itu? Bagaimana bisa Ibu selicin itu menghina diriku? Seriusan, cara didik Ibu, ajaran-ajarannya, aturan-aturannya tak ubahnya racun buatku. Racun berbisa yang selamanya hanya mampu membuatku rendah di matanya. Melumpuhkanku. Menikamku.

Aku berjalan penuh emosi mendekati Ibu. Kalau aku kalap, aku ingin mencekeknya dari belakang. Tapi sayang, hal itu tidak akan pernah terjadi padaku. "Aku bisa menjaga diriku, Bu." Mati-matian aku menjaga intonasi suara agar aku tidak murka saat ini. "Aku nggak merendahkan diriku seperti apa yang Ibu tuduhkan! Aku keluar dengan Pilar! Sahabat Semesta, demi Tuhan! Ibu pun kenal sama dia! Aku nggak akan hamil hanya pulang pukul dua belas dari jalan dengan dia! Seharusnya Ibu berterima kasih kepada Pilar, karena berkatnyalah, aku nggak sampai bunuh diri karena gagal nikah lagi!"

"Kamu ndak bakal berani bunuh diri, Semesta. Ibu tahu kamu luar dalam bahkan sebelum kamu Ibu lahirkan."

"Ibu nggak tahu apa-apa tentangku!" Perempuan ini, demi Tuhan, benarkah dia yang kemarin terisak di dalam kamarnya? Benarkan ia yang kemarin tampak rapuh dengan suara isakannya? Ataukah itu hanya ilusiku saja? Suharti memang tak sewajarnya menangis. Itu mustahil. Mungkin barangkali, itu bukan suara Ibu. Siapa tahu saja, suara dedemit di siang bolong, kan?

"Ibu ndak ingin hal seperti ini kejadian lagi. Layakkan dirimu menjadi perempuan, Cah Ayu. Ndak akan ada jam malam untuk kamu. Ibu melahirkan perempuan bermartabat, bukan perempuan rendahan seperti ini. Anak Ibu tahu bagaimana menjadi cantik, bukan bagaimana merusak diri. Kamu tahu apa yang akan kamu dapatkan kalau kamu melanggar aturan dari Ibu, Nduk. Ibu tahu, kamu ndak sehina ini. Di dalam pribadi liarmu, pasti ada prinsip perempuan baik-baik yang Ibu selalu ajarkan padamu. Jangan merusak pagar ayumu sendiri, Semesta, karena kamu sendiri akan merasakan kesakitan karenanya."

Aku sakit hati bukan main direndahkan seperti ini oleh Ibu. Aku jadi kembali teringat ucapan Pilar kemarin sore di telepon, apakah memang benar ibuku sendiri tidak menginginkan kebahagiaan buatku? Semua tingkahku diatur oleh Ibu. Jam keluarku, pakaianku, keinginan nikahku. Aku seolah-olah dilahirkan tanpa memiliki hak atas tubuhku sendiri. Ibu seakan-akan hidup untuk memiliki jasadku luar dalam. Utuh tanpa sedikit pun cela.

"Bisa, tidak, sih, Ibu menghargai sedikit saja anak ibu sendiri?" aku berkisik penuh luka. Emosi yang meledak dalam dadaku seperti tidak mampu lagi aku tampung saking depresinya aku memiliki Ibu seperti dia. "Semesta anakmu, Bu. Demi Allah, aku menginginkan kehidupanku sendiri. Aku sudah muak dihina-hina seperti ini sama Ibu. Aku sudah jenuh diinjak-injak oleh perempuan yang mengandung dan melahirkanku sendiri. Aku pun punya kehidupan, Bu. Aku ingin bebas seperti manusia lain." Aku nyaris putus asa. Gegap gempita akibat memiliki rambut baru sirna begitu saja. Air mata sudah meleleh sebab aku sudah tidak tahu lagi harus seperti apa.

"Kamu yang ndak menghargai dirimu sendiri, Nduk. Perempuan yang baik selalu bisa mengajeni tubuhnya sendiri. Tahu norma yang berlaku di masyarakat. Hanya perempuan nakal yang pulang main di atas jam dua belas malam. Bersama seorang laki-laki lagi. Kendati Ibu sudah kenal sama Pilar, Ibu tetap was-was. Sebaik apa pun sahabatmu, dia tetaplah laki-laki yang memiliki nafsu. Kamu ndak tahu kapan dia mampu mengontrol nafsunya, kapan dia kehilangan kendali atas dirinya. Jika kamu mau Ibu menghargai dirimu, pantaskanlah dirimu sebagai perempuan baik. Hargai dulu dirimu sewajarnya perempuan lainnya."

"Aku benar-benar tidak sanggup lagi deh kayaknya harus terus hidup di rumah ini, Bu. Sungguh. Aku bisa gila kalau sehari-hari bertemu dengan perempuan gila norma seperti Ibu. Aku bisa saja keluar dari rumah ini tanpa sepengetahuan Ibu, memiliki hidup di luar sana, bebas melakukan apa saja—"

"Selama ibumu masih bernapas, Semesta GayatriTunggadewi, simpan impianmu. Kamu ndakakan pernah Ibu izinkan tinggal di luar rumah ini sebelum kamu memiliki suami.Di mana pun kamu bersembunyi dari Ibu, percayalah, Ibu akan selalu bisamenemukanmu. Hidup di bawah awasan Ibu saja kamu masih berantakan seperti ini,bagaimana jika kamu tinggal sendiri tanpa pengawasan Ibu? Kamu bisa memasak?Kamu bisa menyuci baju dan menyeterikanya? Sebelum kamu memiliki suami yangbisa Ibu pasrahi tongkat estafet menjagamu, jangan pernah bermimpi untuk hidupdi luar atap rumah ini. Kamu hanya Ibu bebaskan kalau kamu sudah menjadi istriorang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro