New Bab 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku harus segera menikah. Adalah satu kalimat yang berpusing hebat dalam kepalaku begitu aku menyalakan mobil kodok dan meluncur ke Kuningan. Siapa pun laki-laki itu, tidak peduli dia cinta padaku atau tidak, aku harus segera menikah. Aku ingin bebas dari kurungan seorang Suharti. Aku ingin lepas dari bayang-bayang sosoknya yang begitu mengintimidasi. Aku ingin berdiri di atas kedua kakiku sendiri. Kalau aku tidak bisa mengusahakan kebebasanku dengan kedua tanganku ini, aku akan mencari dukungan orang lain untuk menolongku. Jika pernikahan mampu melepaskanku dari cengkeraman perempuan penggila adat seperti dia, maka aku akan menyegerakan pernikahan itu apa pun risikonya.

Ini memang konyol. Gila. Sinting. Tidak waras. Keinginan yang tercetus secara impulsif. Apa pun kamu menyebutnya, tapi demi Tuhan, tidak memiliki kuasa atas tubuh sendiri adalah sebuah tekanan. Direndahkan oleh perempuan yang seharusnya mendukungmu luar dalam adalah sebuah hukuman. Dan, pelecehan-pelecehan verbal yang ibuku lakukan atas diriku, sungguh, begitu menikam. Membuatku ketakutan. Kehilangan pegangan. Bahkan, bisa saja, membuatku sinting.

Selalu seperti itu. Setiap kali aku mengemukakan keinginanku tinggal di luar rumah dengan menyewa satu petak apartemen atau kontrakan, Ibu selalu menentang. Alasannya berbagai macam. Hanya, baru pagi inilah, ia dengan gamblang menantangku. Seperti ingin berlomba denganku. Ia menentang semua laki-laki yang kubawa, tapi dia justru memberiku syarat sebuah pernikahan.

==

Aku menguap lebar-lebar ketika Mbak Silvi membicarakan masalah target. Tentunya aku menutupi uapanku dengan berpura-pura membaca agenda. Aku sudah terlihat stunning dengan penampilanku. Saat berjalan memasuki kantor saja, hampir semua karyawan yang masuk shift pagi pada pangling melihatku. Menyapaku dan bilang: Mbak Tata keren banget. Beda banget. I'm fabulous, I know it right. Baru kali ini sih aku mendapatkan pujian. Dan itu membuatku merasa lebih percaya diri. Masalahku dengan Ibu sebelum berangkat tadi pun seolah-olah menguap—walaupun rasa sakitnya masih bercokol di kulit kepalaku. Jadi, aku tidak mau menguap sambil memperlihakan mulut di depan jajaran supervisor untuk merusak image-ku.

"Target kita minggu lalu tidak ada satu pun yang closing. Bahkan, beberapa supervisor ada yang kehilangan nominal targetnya sama sekali. Saya tidak ingin hal seperti ini terjadi lagi atau saya akan mengambil keputusan yang, percayalah, kalian akan menyesalinya. Dan cheat yang dilakukan Nataya beberapa hari lalu benar-benar membuat saya merasa geram. Mbak Semesta akan menindak tegas kasus Nataya atau saya sendiri yang akan menanganinya."

Mendengar namaku disebut, aku langsung menegakkan punggung, melempar tatapan ke arah Mbak Silvi. Atasanku pagi ini terlihat elegan dengan blazer biru navy dari Gucci—aku melihat logo G terjahit diblazernya—yang dipadukan floral scarf. Aksesorisnya juga tidak terlalu berlebihan, ear rings berbentuk simple berwarna kuning yang merebut perhatian. Pulasan make up-nya pun cenderung soft dengan warna-warna nude. Dia menatapku sekilas, yang kemudian melanjutkan pembahasannya tentang strategi penjualan untuk mencapai target, strategi mengatur anak buah—termasuk Nataya si kampret itu, serta pembahasan lainnya yang so boring.

Ketika jam makan siang sudah di depan mata—I need some coffeine, supaya tidak tertidur di kubikel—Mbak Silvi mengingatkan tentang malam penghargaan akhir tahun ini.

"Maksimalkan kerjaan kalian," katanya, kali ini dia tersenyum. "Jangan sampai kemalasan kalian mengejar target, membuat kalian kehilangan kesempatan jalan-jalan ke Eropa plus uang tunai sepuluh juta. Karyawan yang targetnya tercapai setahun belakangan ini, yang akan memenangkan penghargaan itu."

Aku paling senang yang namanya jalan-jalan. Aku sudah pernah memenangkan best employee of year empat kali berturut-turut. Yah, belum ada yang bisa mengalahkanku mengejar target sih selama aku diangkat menjadi supervisor. Biasanya aku antusias. Bisa shopping sampai ngejebolin credit card, kalau beruntung bisa melihat pekan fashion show seperti di Singapore dua tahun lalu, dan yang paling menyenangkan, mengeksplore secara langsung mode yang lagi in di negara tujuan. Tapi kali ini, tidak tahu kenapa, mungkin karena masalah dengan Tian, perseteruan dengan Ibu, dan sederet angka di jajaran usiaku yang mengatakan: 'Hei, Ta, lima tahun lagi lo udah empat puluh, remembuh that', malam penghargaan itu kuanggap angin lalu saja. Yah, itung-itung memberi kesempatan lah untuk supervisor lainnya.

Akhirnyaaa, rapat Senin luar biasa membuat ngantuk itu selesai. Yeiii. Aku patut mendapat penghargaan telah melewatinya tanpa semaput di ruangan. Avocado juice­ sarapanku tadi pagi rasanya sudah seabad lalu. Aku mau sashimi salad untuk lunch-ku di Tori Ya—yeah, akibat burger dan pizza, aku diharamkan makan-makanan tidak sehat lagi. Sayur-sayuran, cemilan buah, serta healty juice dan tentunya kopi pahit tanpa gula yang tidak boleh absen, yang menjadi menu utamaku sehari-hari ini. Oh, dan jangan biarkan Pilar mentraktir makan kalau lo nggak mau gendutan.

"Ta, sebentar mau ngomong." Suara Mbak Silvi menginterupsi kegiatanku membereskan notes dan pulpen di atas meja.

"Ya, Mbak." Ada apa ini?

"Nataya cann't be helped anymore, Ta." Mbak Silvi langsung menembakku.

Aku terenyak sekejap. Mengendus aroma parfum Bvlgari Mon Jasmin Noir dari tubuh Mbak Silvi. Itu merupakan parfum wajibku, makanya aku langsung dapat mengenalinya. Tapi dulu, enam tahun lalu sebelum aku menemukan diriku di Scandalous-nya Victoria's Secret. Aku suka perpaduan antara segarnya buah raspberry liqueur, manisnya bunga black peony, dan sentuhan praline yang bikin tampilanku terkesan sensual. Fashion sering berganti-ganti tiap jam, tiap waktu, bahkan tiap detik. Tapi tidak dengan parfum. Itu jati diri.

"Almost all of her targets are lost. And do you know, she makes a fatal cheat some several days ago." Mbak Silvi melanjutkan.

Aku syok, hampir menjatuhkan rahang dengan mata melotot. Bahkan, saking tidak menyangka mendengar kabar ini, suara pekikan tertahan keluar dari pangkal tenggorokanku. Aku memang mengambil cuti tiga hari untuk persiapan pengenalan Tian ke Ibu yang, yeah you know what-lah apa yang terjadi, makanya aku tidak tahu tentang perkembangan anak buahku—oh, salahkan Ibu yang main menghujatku tadi pagi sehingga aku tidak ada mood sama sekali untuk membaca email masuk.

Bikin cheat saja sudah merupakan hukuman, dan sekarang ditambah embel-embel fatal? Nataya berengsek. Dia kudu disemprot lagi biar otaknya berfungsi normal. Heran deh sama dia. Aku tidak tahu kenapa pihak HRD main memasukkannya di perusahaan ini. Kerjaannya tidak pernah benar. Minta maaf terus yang dia lakukan tiap aku marah-marah. Tapi ya itu, cuma minta maaf yang kemudian kesalahannya terulangi dan terulangi lagi.

"Dia mengatakan kartu kredit kita menggratiskan iuran tahunan selamanya. Bukan setahun yang merupakan sudah menjadi promo tahun ini. Dan berita baiknya, customer yang diprospek Nataya marah-marah besar. Dia mau memperkarakan kasus ini. Mau menggaet pengacara untuk menuntut kita. Dan apabila kita nggak memberikan keuntungan membuka kartu kredit di bank seperti apa yang diinfokan Nataya, dia akan mem-blow up kasus ini ke media massa. Can you imagine that? I'm really stressed, Ta, ya ampun."

Permisi, ada yang sudi mengulangi kalimat Mbak Silvi barusan? Kasus ini mau di-blow up di media massa? Astaga! Benar-benar perempuan itu keparat banget, ya? Apa sih yang dia pikir saat membohongi klien hah? Apa? Tunggu gue, Nat. Tunggu gue. Hari ini lo mati di tangan gue.

"Aku mencoba menghubungi ibu yang marah itu. Aku berusaha memberinya pengeritan, but it didn't work. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, Ta, untuk menyelesaikan kasus ini. Aku nggak meragukan kemampuan persuasifmu. Kamu pernah menangani tante-tante cerewet tahun lalu, makanya sekarang, aku harap kamu bisa mengatasi masalah ini."

Bukan kemampuan persuasif sih aku menamakannya, melainkan kemampuan mengambil hati pelanggan. Perempuan, Kawan-kawan, tak peduli berapa pun usianya, sangat suka dengan pujian. Tante-tante yang dimaksud Mbak Silvi itu pun lumer akibat aku memuji tatanan rambutnya sangat cocok untuknya. Dia terlihat fresh, up to date, dan fashionable dengan black gawn keluaran terbaru (dalam kasus ini, setahun lalu) dari Ivan Gunawan—aku melihat Ivan Gunawan memamerkan koleksi gaun menawan itu di Jakarta Fahion Week, kalau boleh aku tambahkan.

"Perusahaan akan membantumu, tentu saja. Confession ini nggak akan sukses hanya melalui telepon."

"Maksud, Mbak Silvi, aku harus menemuinya langsung?"

"Exactly. Rumahnya di daerah Bogor. Aku sudah merekap alamatnya. Jadi, aku minta tolong-tolong banget, Ta, temui ibu itu dan selamatkan reputasi perusahaan kita."

"Mbak Silvi nggak usah bingung. Aku akan mencoba mengatasi ini semaksimal mungkin. Tapi aku kayaknya minta ditemani Pilar deh, Mbak, untuk pergi ke sana. Biarpun aku memiliki bude di Bogor, tapi aku jarang nyetir sendiri ke sana."

"Pilar akan pergi bersamamu, kalau begitu."

"Baiklah, Mbak, besok aku akan langsung ke sana pagi-pagi. Semoga nggak turun hujan yah. Walaupun pakai mobil, tetap saja hujan bisa bikin mood aku nggak baik."

"Apa yang bisa kulakukan selain berdoa?" Mbak Silvi tersenyum. "Dan untuk Nataya, I'm so sorry, but I have to drop her."

"No."

"Nggak bisa, Ta. Kesalahan yang telah dia lakukan kali ini fatal banget. Tiga bulan lalu aku sudah memberikannya SP 1, tapi dia tetap nggak introspeksi diri. Kali ini aku nggak bisa menoleransi kesalahannya. Aku nggak bisa mempertahankan karyawan yang nggak memberikan kontribusi apa pun untuk perusahaan ini. Lebih baik aku mengeluarkan satu karyawan yang nggak berkompeten daripada mempertaruhkan nama baik perusahaan ini."

"Tapi jangan dengan mengeluarkan juga. Maksudku...." Aku memang benar-benar membenci Nataya. Selain begonya tidak ketulungan, dia sok cantik pula. Suka tebar pesona pada para laki-laki di sini. Pakaiannya pun norak-norak lagi. Tidak ada satu pun alasan untukku menyukainya. Yang paling ngeselin sih, dia ratunya ngegosip. Sudah beberapa kali aku memergokinya ngomongin aku dengan karyawan lain. Tapi serius, segalak-galaknya aku pada karyawanku, setidaksukanya aku pada mereka, terlebih Nataya, aku tidak akan tega melihat mereka dipecat. Zaman sekarang apa-apa mahal, demi apa. Apalagi Nataya orang Yogyakarta. Dia pastinya ngekos kan di sini? Berapa duit tuh yang harus dikeluarkannya setiap bulan untuk kos-kosan? Belum lagi biaya kebutuhan sehari-hari. Beli token listrik. Kebutuhan sandangnya yang sok glamor itu. Kalau dia keluar dari sini, bagaimana dia menghidupi kebutuhannya, kan?

"Mbak, gini, aku akan memberinya training langsung agar dia bisa memprospek dengan betul dan bisa closing target. Beberapa pertemuan lah sampai dia bisa kulepaskan lagi. Kumohon, Mbak, beri dia kesempatan. Sekarang kalau mau nyari kerjaan tuh susahnya minta ampun, Mbak. Kasihan saja kalau dia dipecat."

"Tapi, Ta...."

"Aku sebagai jaminannya, Mbak. Selama dia training, aku yang akan meng-hire target-targetnya. Lembur-lembur nggak pa-pa, deh, Mbak, asal dia nggak dipecat."

"Aku nggak tahu kamu memiliki perhatian lebih pada anak buahmu seperti ini, Ta. Padahal dia sering ngegosipin kamu, tapi kamu tetap membelanya. Aku tahu, walaupun kamu terkenal galak di mata anak-anak, kamu perempuan yang baik."

Aku hanya menanggapi uraian Mbak Silvi dengan senyum lega.

"By the way,you look so gorgeous dengan potongan rambut sependek ini, Ta. Aku jadi nggak harus melihat Mak Lampir setiap kali menatapmu dengan rambut yang mengerikan kemarin."

"Dasar, Mbak Silvi." Setelahnya kami tertawa. Meskipun atasan, Mbak Silvi itu orangnya baik banget pada bawahan. Apalagi denganku. Aku sering diajaknya dinner di rumanya. Bahkan kami sering hangout bareng. Mbak Silvi punya dua anak menggemaskan yang sudah mulai penasaran dengan make up. Setiap kali aku ke rumahnya, aku selalu mengajari mereka berias diri yang dapat pelototan dari maknya.

Setelah keluar dari ruang meeting, melupakan asupan kafein serta salad, aku mencari Nataya. Perempuan bego itu harus mendapat pelajaran dariku. Aku memang baik, tapi terhadap Nataya? Aku ogah berbuat baik dengannya. Dia sedang terlihat ngobrol dengan rekannya sambil terkikik-kikik. Pasti ngegosip lagi. Apa sih yang bisa dilakukan perempuan itu selain hal-hal sesampah itu?

"Kamu tahu, nggak, sih, Mbak Tata kan gagal nikah lagi, Tar?" Kan, aku bilang juga apa, otaknya cuma berisi bahan-bahan gosip sih, makanya urusan kerjaan dia nol besar. "Kayaknya ini karma buat Mbak Tata, deh. Dia kan galaknya ngalahin singa, ya pantas sih nggak ada laki yang suka sama dia. Perawan tua mana bisa laku di kalangan eksekutif seperti Pak Tian? Jika dibandingkan Mbak Ajeng, jelaslah Mbak Tata kalah jauh."

"Kasihan juga, sih, sebenarnya. Tapi ya, mau gimana lagi, pasarannya perawan tua memang sulit. Populasi perempuan semakin meningkat, sementara kaum laki, kalau nggak sudah punya istri ya homo. Makanya, susah nyari suami kalau usia menginjak tiga lima kayak Mbak Tata."

"Semoga deh kita nggak ketularan Mbak Tata, ya, Tar. Jadi perawan tua. hiii.... Amit-amit. Kalau bisa perempuan kan menikah dan melahirkan. Apa jadinya kalau perempuan seperti Mbak Tata?"

"Nat, kita ngomong sebentar di pantri," tukasku tanpa basa-basi. Emosi mendengarkan mereka menggosip seperti sepanci air mendidih dalam tubuhku. Darahku, jika kuumpamakan nih, bergolak-golak mirip kaldu yang mengepul dalam wajan. Ingin sekali aku merobek mulutnya itu, Tuhan. Ingin sekali.

Kedua perempuan itu berjingkat sewaktu mendengar suaraku. Tari si busuk teman Nataya memberiku senyuman sekilas, lantas pergi begitu saja setelah menyapaku. Sialan.

Nataya mengenakan blazer hijau toska keluaran J-Crew—oh, jangan tanyakan aku kenapa sampai bisa tahu, aku melihat blazer itu di ranjang diskonan beberapa bulan lalu—serta dress kuning? Double ew. Barang diskonan saja kalau perlu dihindari sejauh mungkin, apalagi outfit yang sama sekali tidak matching. Dia blind of mix and match busana apa? Blezer toska itu akan terlihat agak stunning kalau dia memakai dress putih, apalagi jika ada aksen black stripes-nya. Untungnya sih dia memakai Origami Bow Pump shoes-nya Nicholas Kirkwood. Tungkai kakinya—aku males banget mengakui ini—yang indah itu jadi terlihat menawan (huweeek). Tapi tetap saja, sepatu itu so last century. Aku pernah memiliki koleksi heels dengan bow tie di bagian belakang sepatu kayak punya Nataya dan sudah kurongsokkan ke Mbak Sulis.

"Iya, Mbak Tata."

"Lo goblok banget sih, jadi orang, Nat!" Aku langsung menyembur tanpa ampun. Aura dari outfit­-nya dan omongannya tadi tentangku seperti ratusan Dementor yang menyedot kebahagiaanku seketika. "Lo nggak punya otak saat bilang ke klien, kartu kredit kita menggratiskan biaya seumur hidup? Lo ngebacot itu nggak pakai pikiran? Atau kepala lo yang besar ini nggak memiliki otak jadi lo nggak bisa mikir? Keterlaluan, Nat!"

Nataya langsung melotot seketika. Kelihatan terkejut. "Mbak Tata, saya...."

"Beberapa bulan lalu, dari telemarketer bawahan gue, cuma lo satu-satunya yang mendapat SP! Menjijikkan! Tapi lo nggak menjadikan itu sebagai pelajaran! Lo malah bikin yang lebih fatal lagi? Tolol banget sih lo? Lo tahu, nggak, sih, klien lo mau nge-blow up masalah ini ke media massa?! Dan, beberapa hari kemudian, nama perusahaan kita akan jadi headnews telah menipu customer! Entot lo, Nat!"

"Mbak Tata, aku benar-benar minta maaf. Aku...."

"Permintaan maaf lo tu kayak terasi, Nat. Mambu doang nggak ada faedahnya sama sekali! Lo kerja jadi telemarketer, Nat. Bukan sales door to door. Tampang lo secantik apa pun nggak berpengaruh! Kalau nggak punya otak, mending lo nggak usah deh kerja di sini! Cuma bikin masalah saja! Benar-benar anjing lo, Nat."

Nah, sekarang air mata buayanya mengancam ingin keluar. Dasar lembek! Sudah gobloknya minta ampun, cengeng pula. Dia jadi perempuan tidak ada faedah sama sekali.

"Jadwal training akhir pekan sama gue, Nat!"

"Akhir pekan? Tapi, Mbak, saya... nggak bisa akhir pekan ini. Saya sudah ambil cuti di HRD tiga hari, Mbak. Sabtu ini, saya lamaran dengan kekasih saya, Mbak. Saya mohon, Mbak, jangan Sabtu ini."

"Penting ya ngasih tahu ke gue?"

"Saya mohon, Mbak. Jangan minggu ini. Minggu depan saja. Ibu dan Bapak sudah mempersiapkan segalanya. Bahkan, kami juga mengundang saudara-saudara terdekat. Pacar saya pun sudah sama-sama di-acc permohonan cutinya demi pertemuan nanti. Saya mohon dengan sangat pengertiannya Mbak Tata. Saya akan training sampai sebulan pun nggak apa-apa, Mbak, asal jangan akhir minggu ini. Please, Mbak. Please."

"It's none of my business, Nat."

"Kasihanilah saya, Mbak Tata. Kali ini saja, Mbak, saya benar-benar minta pengertiannya. Orang tua saya akan menanggung malu dari para tetangga dan saudara-saudara kalau sampai lamaran ini gagal. Kami nggak akan punya muka lagi di mata orang-orang, Mbak. Demi Tuhan, Mbak, saya mohon dengan sangat. Para tetangga di kampung akan menghujat keluarga saya, mereka akan mencibir kami sampai menghina-hina kami, Mbak."

"Sekarang lo pilih deh, lo mau dipecat dari sini atau tetap mementingkan lamaran bullshit lo?"

"Mbak, saya nggak mau melihat Bapak dan Ibu kecewa. Mereka sudah senang banget tahu saya akhirnya akan menikah. Masa Mbak Tata tega membiarkan kami semua kecewa, sih, Mbak? Saya mohon, Mbak. Please."

"Gue bukan malaikat, Nat. Gue udah ngebela lo di depan Mbak Silvi agar lo nggak dipecat. Asal lo tahu, tadi Mbak Silvi ngasih tau gue kalau lo mau dipecat gara-gara nggak ada satu pun target yang lo capai bulan ini, apalagi setelah lo dengan oon-nya melakukan cheat beberapa hari lalu. Gue sih seneng aja, karyawan bego kayak lo minggat dari perusahaan sini. Tapi gue pikir, nyari kerjaan di sini susah, makanya gue pertahanin lo dengan ngasih lo training akhir minggu ini. Tapi lo malah nggak mau gue tolongin. Kalau lo nggak bisa ngikutin training minggu ini, kemasi barang-barang lo sekarang juga."

Sukses. Manusia biadab itu malah mewek-mewek. Sok playing victim banget, sih, heran. Dia pikir aku kayak laki-laki bego yang akan luluh hanya dengan melihatnya nangis? Yang ada, aku pengin ngeludahinya agar dia sadar, dia tuh tidak tahu diri banget.

"Saya kasihan sama Ibu dan Bapak, Mbak. Bulan lalu Bapak dirawat inap hanya gara-gara para tetangga menggunjing Bapak memiliki anak perawan tua. Bapak sangat menginginkan saya segera menikah supaya kami terbebas dari gunjingan warga, Mbak. Selama dua puluh lima tahun saya hidup, lamaran saya dengan kekasih saya inilah satu-satunya kebahagiaan yang bisa saya berikan kepada Bapak. Jika pertemuan ini hancur, demi Tuhan, Mbak Tata, saya tidak bisa melihat kekecewaan di mata Bapak. Saya tidak akan tega melihat tangisan Ibu. Kalau Mbak Tata di posisi saya, yang hidup di pelosok desa, dan memiliki masyarakat yang lidahnya lebih tajam dari sebilah pisau, pasti Mbak Tata akan tahu bagaimana perasaan saya dan keluarga saya. Saya mohon, Mbak, izinkan saya membahagiakan Bapak dan Ibu."

"Pertama, gue nggak punya bokap, jadi masa bodoh dengan bokap lo. Kedua, ya lo mikir aja pakai otak. Kalau lo nggak mau training, kerja tu yang becus. Jangan cuma ngandelin tampang doang. Coba otak lo, lo buat mikir, Nat, kalau kerjaan lo becus, dan lo nggak main membuat kesalahan fatal, perusahaan nggak akan menekan lo seperti ini. Gue melakukan ini pun bukan karena keinginan gue pribadi, Nat, melainkan untuk kepentingan perusahaan. Sekali-kali, daripada lo menggosip nggak ada untungnya, lo evaluasi diri. Segala sesuatu ada sebab dan akibatnya. Lo diharuskan training pun juga enggak ujug-ujug ada, tapi ada sebabnya."

"Tapi, Mbak...."

"Lo ngadep Mbak Silvi sana, Nat. Gue angkattangan ngurusin lo. Gue udah mencoba melakukan yang terbaik, tapi tetap aja, lomerasa kurang. Maaf, tapi gue bukan pemilik perusahaan ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro