35 : Nightware

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Malam ini kita menginap di sini, besok David akan menjemput," katanya sambil membantuku melepas helm.

"Apa di sini aman?"

"Hm, jangan khawatir. Ayo!" dia menarik tangan kananku lalu membawaku masuk ke rumah penginapan.

Rumah penginapan berlantai dua, tertulis 'Motel Kembang' di atas pintu masuk. Tidak banyak cahaya, lobinya hanya ada dua kursi dan satu meja,tempat resepsionisnya pun hanya ada meja persegi di depan kamar yang pintunya terbuka. Ada satu buku tamu dan pulpen saja di atas meja tersebut. Seumur-umur aku belum pernah masuk ke motel, apakah memang seperti ini?

Seorang laki-laki muncul dari kamar itu, penampilannya lusuh khas bangun tidur, dia hanya memakai koas oblong putih dan boxer kuning bermotif kartun Spongebob.

"Selamat malam, selamat datang di Motel Kembang, mau kamar yang seperti apa? Level satu sampai tiga," kata orang itu sambil membuka buku tamu.

"Level?" tanya Pak Shaka yang mungkin tidak paham tipe kamar yang orang itu katakan, biasanya kalau di hotel berupa tipe, bukan level.

"Ehm," Resepsionis itu mendongak, "Level satu cuma ada kasur dipan, meja kecil dan kipas, kamar mandi di luar. Level dua, kasur spons, meja kecil, AC, kamar mandi dalam, free snack. Level tiga, bed cover, TV, AC, kamar mandi dalam, meja panjang, cermin, lemari, free snack, kopi dan kondom."

"Ha?" sontak aku terkejut dengan kalimat terakhir orang itu, kenapa harus menyebutkan itu?

"Ehem," Pak Shaka berdeham, sepertinya dia juga terkejut mendengar kata terakhir orang itu, "Level tiga, dua kamar."

"Dua kamar?" orang itu tampak terkejut karena Pak Shaka memesan dua kamar.

Pak Shaka mengangguk, "Berapa semalam? Bisa bayar pakai debit?" dia mengeluarkan dompet.

"Maaf, tapi kamarnya tinggal satu. Tunai, please," kata resepsionis.

"Saya pesan untuk level tiga satu kamar, level dua satu kamar."

"Oh, c'mon, bro. Seriously?" resepsionis itu masih tidak percaya Pak Shaka tetap memesan dua kamar meski beda level.

Pak Shaka mengangguk kemudian melirikku sebentar. Aku sudah gemetar kedinginan dan transaksi mereka lama. Aku juga heran sama resepsionis ini, bukannya bagus kalau kami memesan dua kamar, dia malah tidak terima. Aneh.

"Bisa cepat? Istri saya udah kedinginan," kata Pak Shaka, aku kontan meliriknya terkejut kenapa dia malah menyebutku istrinya, kita kan mau pesan dua kamar, Pak Shaka melirikku sambil menggigit bibir bawahnya karena keceplosan.

"Hah, ribet amat pesan dua kamar sama istri. Udahlah satu kamar saja, level tiga harga Rp. 350.000,- tunai, ya, ini kunci kamarnya," kata resepsionis itu sambil mengeluarkan kunci dan meletakkannya di meja.

"Tapi, kami-," kata Pak Shaka terpotong.

"Gini ya, Bro. Pernikahan itu bukan hanya soal aksi di ranjang, tetapi juga aksi dalam kehidupan sehari-hari, mensyukuri kelebihan pasangan dan menerima kekurangan pasangan. Jadi, apa pun masalahnya, seburuk apa pun itu, tetaplah satu ranjang. Jangan pernah memutuskan untuk pisah ranjang, masalah akan semakin rumit dan tidak selesai-selesai jika kalian pisah ranjang. Paham?" ceramahnya.

Kami terdiam sejenak, aku meliriknya ingin melihat reaksinya. Dia terkekeh sambil melirikku, "Iya, betul. Oke, satu kamar. Ini KTP dan uangnya," putus Pak Shaka sambil menyodorkan ktp dan uang kearah resepsionis.

Aku hanya bisa menunduk menyembunyikan rona panas di pipi sambil melumat bibir sendiri, menatap tetesan air bajuku yang jatuh membasahi lantai. Dalam diam itu, jantungku berdebar.

"Nah, gitu, dong. Jadi suami itu harus menghadapi bukan menghindar, saya terima ya uangnya, ini kuncinya silakan diambil, kamar nomer 17 lantai dua pojok kanan sendiri," penjelas resepsionis sambil mengambil ktp dan uang dari Pak Shaka. "Oh, ya, kalau kalian butuh baju ganti istri saya menjual baju-baju murah."

"Iya, kami butuh," ujar Pak Shaka.

"Kalau begitu mari saya antar ke istri saya di belakang, karena sudah malam semua barang dagangannya di simpan di gudang."

Pak Shaka mengangguk, "Oh, ya, Bella, kau boleh ke kamar dulu dan mandi. Aku yang akan beli baju gantinya." Pak Shaka menyerahkan kunci kepadaku.

Aku mengangguk lalu meraih kunci itu, Pak Shaka mengikuti resepsionis tadi sedangkan aku berjalan kearah tangga menuju kamar.

***

Tok! Tok! Tok!

Akhirnya dia datang setelah menunggu hampir dua puluh menit di dalam kamar mandi. Rasanya tubuhku kaku hanya memakai handuk motel yang tipis, berdiri di belakang pintu kamar mandi.

"Bella?"

"Haish, kenapa lama banget! Kau mau membuatku mati kedinginan?"

"Ma-maaf, aku bingung cari baju yang cocok untukmu. Ini bajunya, segera pakailah."

Meski dongkol, aku tidak mau memperpanjang drama uring-uringan hanya karena dia lama memilih baju yang cocok untukku. Aku membuka pintu sedikit, lalu mengeluarkan tanganku meminta baju itu.

Setelah baju itu di tanganku, aku segera menutup pintu itu lalu menguncinya. Aku sempat mendengar dia terkekeh, aku tidak tahu maksudnya dan aku mencoba bodo amat. Aku segera membuka kresek untuk memakai baju karena sumpah aku sudah sangat kedinginan.

Mataku melongo melihat baju apa yang dia beli, dengan satu telunjuk aku menarik kain itu dan melihatnya jelas-jelas. Nightware transparan berwarna merah menyala lengkap dengan BH dan celana dalamnya yang berwarna senada.

"Hey! Kau gila membelikan baju ini untukku?" teriakku.

"Ehm, itu..." dia terdengar gugup menjawab, "anu..., kan aku sudah bilang, bingung mau beli yang mana. Baju perempuan yang mereka jual jenisnya seperti itu semua. Aku pikir itu yang paling sopan."

"Paling sopan? Waah, benar-benar gila! Aku nggak mau pakai!"

"Trus? Kau mau pakai baju basah?"

"Baju barumu, kayak gimana?"

"Boxer sama kaos oblong."

"Haish!" aku menghentakkan kaki kesal, tidak habis pikir kenapa dia membawaku ke tempat seperti ini dan kami terjebak di momen awkward. Kalau dipikir-pikir, boxer dan kaos biasa lebih baik daripada nightware mengerikan ini.

"Aku mau pake itu! Kau beli lagi untuk dirimu sendiri, cepat sini!" kataku sambil membuka pintu sedikit dan mengeluarkan tangan.

"Kau yakin?"

"Hish! Kau memang ingin aku pakai nightware ya! Cepat sini!"

"Cih,"dia berdecih lalu terkekeh, "Oke, aku mau keluar dulu beli baju yang baru." Dia memberikan boxer dan kaos oblongnya kepadaku.

Tidak ada pilihan lain, daripada memakai pakaian transparan itu lebih baik memakai boxer dan kaos oblong meski aku tidak bisa menutupi setengah pahaku karena boxernya terlalu pendek.

"Haish!" aku masih kesal kenapa bisa terjebak di sini. Sambil menghidupkan TV aku mengeringkan rambutku dengan handuk lalu duduk di teapi ranjang. Aku jadi kepikiran Nania, apa dia baik-baik saja? Aku ingin sekali menghubunginya tetapi ponselku mati karena kehujanan.

Pintu dibuka, buru-buru aku menarik selimut untuk menutupi pahaku yang setengah terbuka. Dia berjalan kearah kamar mandi. Sumpah masih tidak habis pikir, dia punya akses untuk pergi ke hotel yang lebih bagus, kenapa malah pergi ke tempat ini? Aku benar-benar tidak bisa menebak jalan pikirannya.

Setelah beberapa menit kemudian dia keluar dari kamar mandi, menggosok-gosokkan handuk di kepala. Aku berusaha cuek, menekan-nekan remote mengganti channel.

"Berita perselingkuhan istri pengusaha kaya Arshaka Shabiru semakin memanas menampilkan beberapa foto dan video kedekatan Sabella Hasyim dengan pria yang diduga teman semasa kuliahnya. Banyak masyarakat yang marah dan memboikot Sabella Hasyim menuntut Arshaka Shabiru segera menceraikannya. Mereka ramai-ramai mendatangi kedai dan bertemu dengan Sabella Hasyim. Mereka meluapkan kemarahan dengan bertindak anarkis-,"

Pak Shaka merebut remote lalu mematikan TV, pria itu meletakkan remote di meja kemudian menatapku, "Jika kau sedang dibicarakan berusahalah untuk tidak mendengarkan. Tidak tahu apa-apa lebih baik daripada hatimu sakit setiap kali memikirkan omongan tersebut."

"Sorry," ucapku penuh penyesalan sembari menundukan kepala.

"For?"

"Just sorry."

"Karena berita ini?" dia duduk juga di tepi ranjang, tetapi jauh dari posisi dudukku, "Ya, aku akui kau ceroboh."

Mendengar itu aku menutup wajah dengan tangan, menekuk kakiku kemudian bertumpu di atas lutut, menenggelamkan wajahku di sana dengan lengan.

"Kau tidak usah khawatir, aku yang akan mengurusnya."

"Ini kesalahanku, kenapa orang lain yang harus bertanggung jawab?" ucapku sedetik kemudian tangisku pecah, tangis yang kutahan sedari tadi jika mengingat fitnah itu.

"Hey, aku bukan orang lain, i'm your husband. Dan tugas suami harus bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan istrinya, right?"

"Don't make me laugh!" Aku tertawa kecil sambil menangis, kenapa dia tiba-tiba bicara hal konyol seperti itu.

"Aku serius, jangan khawatir. Aku sudah punya rencana, kok, untuk menyelesaikannya. Don't worry, mereka tidak akan menghujatmu, apalagi mereka tidak akan menyentuhmu lagi."

Aku mengangkat wajah, mengusap air mata dengan bahu yang tersengal-sengal lalu menoleh kearah Pak Shaka, "Are you sure?"

Pak Shaka mengangguk.

"Why?"

Dia mengangkat sedikit dagunya, "Hm? Why what?"

"Why you don't ask me about him? Are you sure i'm not cheating?" Terjemah- Kenapa kau tidak tanya padaku tentang dia (Antoni)? Kau yakin aku tidak berselingkuh?

Dia tak lantas menjawab, hanya menatapku saja sekian detik. Kami saling menatap satu sama lain, aku mencoba mencari titik makna di matanya tentang apa yang dia rasakan sebenarnya. Namun, aku gagal. Menatap matanya terlalu dalam membuat dadaku sesak, jantungku terpompa keras dan aku menyerah dengan melepas pandangan.

"Emm," dia mulai membuka suara kembali, "Jadi, dia siapa?"

"Friend," jawabku langsung.

"Oh, oke."

"Oke?" beoku tidak percaya.

"Aku sudah mendengar banyak penjelasan dari David, I said its okay I will fix it. Just... don't worry."

Benar juga ya, pasti David sudah menjelaskan semuanya ke Pak Shaka. Kenapa aku malah kepo reaksinya tentang berita ini? Aku tidak sedang mengharapkanya untuk bereaksi marah, cemburu atau sejenisnya, kan? Haha, oke, aku aneh. Aku bodoh. Aku memalukan!

Suara pintu diketuk, Pak Shaka langsung berdiri. Ada seorang ibu-ibu datang membawakan satu nampan berisi dua mangkok, dua botol minuman kemasan dan beberapa snack. Setelah membayar, ibu tadi permisi dan Pak Shaka kembali menutup pintu.

"Di sini hanya menyediakan mie instan, makanlah, kau pasti lapar."

"Katanya gratis, kenapa tadi bayar?" protesku seraya mencoba berdiri, tapi baru teringat sesuatu. Aku kembali duduk.

"Mie instannya bayar, kalau snacknya gratis. Cepat makan. Setelah itu tidurlah, besok subuh David sampai di sini." Pak Shaka berjalan kearah meja dan kursi, meletakkan dua mangkok di atas meja, karena mungkin mendengarku berjalan kearahnya, dia mendongak menatapku, "Nggak lapar?"

"Lapaaaar..."

Aku bingung harus bagaimana, kalau aku berdiri otomatis pahaku terekspos, meski dia suamiku tapi tetap saja aku malu, apalagi pernikahan ini cuma bohongan. Aku dong yang merugi.

"Trus?"

Aku menunduk mengarahkan pandanganku ke paha yang tertutupi selimut. Pak Shaka mungkin paham, lantas dia tertawa meski tidak terlalu keras.

"Aku ini suamimu, kenapa harus malu?" katanya sambil mengaduk mie instannya.

"Ma-malulah."

"Bukannya aku pernah melihat..." ucapnya menggantung menimbulkan persepsi lain.

"Melihat apa!?"

Dia tersenyum tipis, "Kalau kau tidak mau makan, ya sudah, aku yang akan makan mie instanmu."

"Haish, dasar licik!" aku menyikap selimut, menarik handuk untuk menutupi pahaku, kemudian berjalan kearah meja makan. Rasanya dingin karena handuknya setengah basah, duda gila sialan!

Kami memakan mie instan bersama, tidak ada percakapan lagi. Aku menikmati panasnya mie kuah yang terasa super lezat gara-gara perut kosong belum diisi sedari pagi. Percayalah, meskipun hanya makanan sederhana jika perutmu sangat lapar, rasa makanan itu akan berubah menjadi makanan mewah bintang lima. Ini juga pertama kalinya aku melihat Pak Shaka yang hidupnya tidak pernah susah, makan mie instan. Entah bagaimana bisa aku menilai jika itu terlihat menarik.

Selesai menandaskan mie instan, aku membuka botol minuman kemasan lalu meminumnya. Di antara snack aku melihat permen karet, setelah meletakkan botol di meja. Aku mengambil permen karet itu.

"Permen, nih, cuma satu, buat aku aja ya?" kataku seraya mengambil benda persegi tipis itu.

"Hey, jangan! Itu-,"

Aku menyobeknya, isinya seperti plastik dan teksturnya licin. Aku belum pernah melihat dan menyentuhnya, apalagi memakan jenis permen karet ini.

Pak Shaka tiba-tiba merebutnya, kemudian dia membuang benda itu ke tempat sampah. Aku tidak mengerti, kenapa harus membuang makanan?

"Kenapa dibuang? Sayang, tau."

"Sayang?" Pak Shaka seperti tidak percaya, dia tertawa sumbang lalu menggeleng-geleng kepalanya, tidak lantas menjawab pertanyaanku. Dia malah menatap mangkok kotor, menyingkirkan snack dan meletakkan mangkok diatas nampan. Sepertinya dia akan mengembalikan mangkok itu.

"Hey!" protesku masih tidak terima membuang makanan begitu saja.

Sebelum membuka pintu Pak Shaka menghela napas, menurunkan kedua bahunya kemudian menoleh kearahku, "Kau ingin memakan alat kontrasepsi?"

Aku kontan menutup mulut terkejut dan setengah tidak percaya apa yang barusan dilontarkan Pak Shaka, "Tadi itu...," aku menggantung kalimatku, jeda sekian detik, "Kondom?" ucapku dengan suara super pelan.

"Cih," Pak Shaka berdecih tak menjawabku, dia membuka pintu lalu keluar kamar.

"Wah, gilaaa! Tempat macam apa ini sih! Auu... tanganku kotooor!" aku beranjak dari kursi berlari kearah kamar mandi.

Setelah dari kamar mandi, aku mengempaskan tubuh di kasur. Guling-guling kesal karena lagi-lagi aku melakukan hal yang memalukan. Ah, Sabella bodoh! Memalukan sekali!!!

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro