36: His hands and My ears

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita mengharapkan suatu pertemuan menjadi sebuah perbincangan yang hangat tetapi hal itu malah gagal terwujud karena situasi yang tak pernah kita duga telah terjadi. Kupikir malam ini aku bisa menggunakan waktu untuk menanyakan maksud dari ciuman malam itu kepadanya. Sayang, karena terlalu lama menunggunya kembali ke kamar, aku malah tertidur duluan.

Dan saat aku terbangun di tengah malam, aku sudah melihatnya tertidur. Dia memejamkan mata di atas kursi dengan menyilangkan tangan di dada. Aku menarik tubuh untuk duduk, lalu memeluk lutut. Perlahan aku jatuhkan dagu keatas lutut sambil menatapnya tertidur di sana.

Sejak ciuman itu tiada hal menarik selain dirinya. Aku tidak mengerti kenapa merasa begitu? Aku selalu ingin terus melihatnya, ingin selalu di dekatnya, ingin mengobrol dengannya lebih sering. Kontrak tinggal satu bulan lagi, jika memang ini perasaan cinta, aku berharap ini akan segera berakhir ketika aku tak lagi menjadi istrinya. Tuhan lagi, lagi, menunjukan otoritasnya sebagai Maha Pengatur hidup hamba-Nya, Dia membuatku menelan ludah sendiri. Untuk keberkian kali.

Tiba-tiba di tengah memandangi setiap jengkal wajah Pak Shaka, aku mendengar sebuah suara yang jika didengarkan lebih jelas, suara tersebut sangat menggelikan. Itu pasti dari kamar sebelah. Ah, sial, kenapa pria itu membawaku ke tempat mengerikan ini sih!

Aku membanting tubuh ke kasur, menarik selimut kemudian menindih kepala dengan bantal lalu menekannya agar suara desahan dan suara pantulan kasur kamar sebelah tidak terdengar. Tetapi, sialnya suara itu semakin keras. Rasanya aku geli dan tidak bisa tidur.

"Ah, sial!" aku membuka bantal lalu menyikap selimut kemudian turun dari tempat tidur. Aku harus membuat perhitungan dengan pasangan di kamar sebelah. Suara mereka benar-benar menjijikan!

"Kau mau ke mana?"

"Membuat perhitungan dengan kamar sebelah," kataku sambil memakai sandal dan melingkarkan handuk di pinggang untuk menutupi pahaku.

Pak Shaka berdiri mencegahku membuka pintu, "Hey, kau bisa menganggu privasi mereka."

"Menggangu? Aku menganggu? Mereka yang menganggu kenyamanan tamu yang lain! Mereka pikir dindingnya kedap suara apa? Aku mau kasih tau biar mereka memikirkan kenyamanan orang lain!"

Pak Shaka mengusap mukanya dengan satu tangan, kemudian mendorongku untuk menjauhi pintu, "Hey, hey... berpikirlah sebelum bertindak."

"Jangan mencegahku!" aku melepas tangannya dari bahuku, kemudian mencoba melangkah namun Pak Shaka menahan.

"Jangan buat masalah saat kita sedang dalam masalah."

"Aku hanya ingin memberitu mereka!"

Aku mendorong Pak Shaka tetapi dia malah mendorongku lebih keras hingga membuatku terduduk di tepi ranjang. Kemudian dia menyusul duduk di sampingku. Untuk beberapa detik mata kami saling bertemu. Suasana menjadi canggung, apalagi suara kamar sebelah membuat suasana semakin awkward.

Tiba-tiba dia menutup telingaku dengan dua tangannya, tau apa yang terjadi pada dadaku? Terasa seperti petasan yang dinyalakan bersamaan. Meletup-letup hingga membuatku terdiam seketika. Belum lagi karena sepasang mata elangnya yang menatapku dengan tatapan lebih sendu dari biasanya.

"Kau harus ingat, kita sedang bersembunyi di sini. Aku tidak mau terjadi keributan. Aku tidak mau melihatmu terluka lagi seperti tadi pagi. Aku yakin kau sudah lelah. Tidak usah khawatir dengan suara kamar sebelah, aku yang akan menutup telingaku sampai suara itu menghilang."

Seperti terhipnotis, aku mengangguk mendengarkannya.

"Tidurlah, aku akan berbaring di sampingmu menutup telingamu," katanya sambil melepas tangannya dari telingaku. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali menuruti perintahnya. Aku benar-benar seperti seseorang yang terkena gendam hanya karena dia menatapku sendu.

Aku naik ke tempat tidur lalu menarik selimut sampai di dada, kemudian berbaring miring kearah Pak Shaka.

"Kau yakin mau tidur dengan handuk setengah basah itu?"

Iya memang tidak nyaman, tetapi aku terlalu malu memperlihatkan bagian tubuhku yang tidak pernah terbuka. Meski dia berstatus suamiku, aku tetap saja malu. Aku tidak biasa mengumbar bagian privasiku.

"Lepas saja handuknya, aku tidak akan melihat," ujarnya sambil membelakangiku.

Apa ini perasaan kagum? Kenapa aku bahagia dia sangat menghormati privasiku? Aku sampai tak sadar tersenyum menatap punggungnya. Tak mau menunggu lama, aku melepas handuk itu lalu meletakkanya di gantungan baju di depan jendela. Setelah itu aku kembali merebahkan tubuh.

"Sudah?"

"Hm."

Dia memutar tubuh kemudian ikut berbaring di kasur. Kami saling berhadapan, tangannya kembali menutup telinga kiriku.

"Tidurlah," ucapnya.

"Kau tidak tidur?"

"Hm, tidurlah duluan."

Aku menganguk kemudian mulai memejamkan mata. Posisi kita tidak begitu dekat, masih ada sekat. Namun, hatiku berdesir untuk kesekian kalinya. Detak jantungku naik turun dan jujur, aku malah tidak bisa terlelap. Suasananya rikuh dan aku tidak mengerti kenapa begitu membuatku canggung.

Mungkin ini waktu yang tepat aku menanyakan tentang ciuman malam itu. Aku tidak ingin berpersepsi lain yang membuat perasaanku juga lain. Lebih buruknya lagi, aku tidak ingin mengembangkan perasaan ini tanpa penjelasan.

Aku membuka kelopak mata dan terkejut jika sesuatu yang kutangkap pertama kali setelah membuka kelopak mata adalah mata elangnya yang menatapku sendu.

"Tidak bisa tidur? Masih bisa mendengarnya?"

Aku menggeleng, "Ada yang ingin aku tanyakan."

"Hm?"

"Ke mana kau selama ini?"

"I think David was told you about it." –Aku pikir David sudah memberitaumu tentang itu.

Aku mengangguk, "David udah bilang kok. But, I feel like you have been avoiding me.?"

"No reason I should be avoiding from you." –tidak ada alasan aku harus menghindarimu.

"Cos the kiss at that night?" lontarkan tak mau bertele-tele.

Pak Shaka tidak menjawab, dia hanya menatapku sekian detik. Tangannya masih menempel di telinga, aku berharap dia tidak menyentuh pipiku yang terasa menghangat karena tatapan dan pembicaraan ini.

"Sorry, that was my mistake. I was drunk."- Maaf, waktu itu salahku. Aku mabuk.

"God! Aku lega banget sama jawabanmu," kataku sambil mengembuskan napas panjang.

"Why?"

"I think you broke the contrac."--Aku pikir kamu melanggar kontrak.

"You think?"

Aku mengangguk, "Ah, lega sekali. Kau membuatku pusing selama dua minggu ini. Ah, sepertinya aku bisa tidur nyenyak malam ini. Aku sudah bilang jangan minum minuman yang memabukkan, kau akan masuk neraka nanti. Okay?" Aku memejamkan mata, bersiap untuk tidur.

Ah, tidak...

Sebenarnya aku memejam hanya ingin menyembunyikan mataku yang ingin menangis. Aku tidak tahu kenapa, mungkin aku telah kecewa dengan jawaban yang dia berikan. Kenapa aku tidak marah saja? Aku tidak bisa. Aku merasa hatiku sakit, tetapi hanya bisa diam saja.

Aku tidak tahu...

Mungkin karena... aku... telah jatuh cinta kepadanya?

***

Aku membuka mata ketika mendengar suara pintu kamar mandi ditutup. Melihat sampingku kosong, aku yakin dia yang masuk ke kamar mandi. Aku melirik jam di dinding, pukul 4.30 pagi. Mataku masih mengantuk tapi entah kenapa aku tidak ingin tidur lagi.

Aku menghela napas panjang lalu terkekeh. Menertawakan kebodohanku sendiri karena terlalu percaya diri dengan perasaannya kepadaku. Bodohnya lagi, aku malah mengembangkan perasaan tanpa memikir ulang, tanpa menunggu pernyataan resminya tentang malam itu. Tidak aneh, jika pagi ini aku merasa ada kebahagiaanku yang menghilang dalam sekejap. Kebahagiaan? Bukan, itu adalah suatu hal yang memalukan.

Pintu kamar diketuk, baru saja aku menyikap selimut untuk turun dari tempat tidur dan membuka pintu. Pak Shaka keluar dari kamar mandi, mungkin aku memang sudah tidak waras, aku malah pura-pura tidur karena saking salah tingkahnya.

"Iya, sebentar!" ujar Pak Shaka.

Aku mendengar langkahnya kearah pintu lalu memutar slot kunci. Jeda sekian detik dia kembali berjalan kearah tempat tidur, mungkin dia mau membangunkanku. Aku masih memejam dan pura-pura tidur. Tetapi, dugaanku salah. Ternyata dia menyelimuti pahaku yang tadi lupa aku tutupi karena salah tingkah. Dia menyelimuti hingga menutupi dua bahuku. Setelah itu Pak Shaka berjalan dan membuka pintu.

"Di bawah sudah siap?"

"Siap, Ka. Sabella masih tidur?"

"Hm, sebentar lagi aku bangunkan dia. Kau siap-siap saja di bawah."

"Oke, ini pakaian baru yang kuambil dari mansion. Biyung yang menyiapkannya."

"Lima belas menit lagi kita turun."

"Siap."

Setelah itu aku mendengar pintu ditutup, Pak Shaka berjalan kamar mandi mungkin ingin mengganti pakaiannya terlebih dahulu, sekitar tiga menit dia keluar dan berjalan kearahku. Kemudian tak lama dari itu, aku merasakan tangannya menyentuh pipi. Menepuk-nepuk pelan.

Aku membuka mata perlahan dan pandangan pertama yang kutangkap adalah rambutnya yang setengah basah kemudian dua mata sembapnya lalu bibirnya yang tersenyum tipis.

"Kita pergi sekarang, ini ada baju ganti, bersiaplah. Aku mau ke bawah dulu," katanya seraya beranjak dari tepi ranjang.

"Kenapa dengan matamu?"

Pak Shaka menghentikan langkahnya, menoleh kearahku, "Kau membuatku tidak bisa tidur semalaman."

"Why?" tanyaku terkejut.

"Cih," dia malah tersenyum sambil berdecih, "cepatlah ganti baju. David sudah menunggu di bawah."

"Wait, wait..." aku mengejarnya sambil membawa selimut menutupi pahaku, "Kenapa aku membuatmu tidak bisa tidur semalaman? Aku ngorok ya?" Tapi, biasanya kalau habis mengorok ketika bangun tenggorokanku kering, sepertinya tengorokanku baik-baik saja, atau jangan-jangan... "aku ngingau ya?"

"Hm. Kau mengigau seperti orang gila."

"Serius?"

"Sudahlah, cepat sana ganti baju. Kita mengejar waktu." Pak Shaka membuka pintu kamar lalu pergi.

Aku masih mematung di tempat beberapa detik, jangan sampai aku mengigau aneh-aneh. Ah, Sabella kenapa kau bodoh sekali sih?

Setelah siap, aku keluar dari kamar. Saat aku turun di tangga, aku melihat Pak Shaka mengambil KTP di resepsionis setelah itu dia keluar pintu motel mungkin menemui David. Aku melangkah kearah sana, mendekat ke pintu motel.

"Kau yakin?" suara David. Aku menghentikan langkah karena penasaran apa yang sedang mereka bicarakan.

"Hm, keputusan berat. Tetapi, itu yang terbaik," jawab Pak Shaka.

Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan? Keputusan apa yang berat dan apa yang terbaik? Aku merasa sesuatu hal buruk akan terjadi. Apa mungkin ini berhubungan dengan beritaku dengan Antoni? Apa yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah ini?

"Ya sudah, kita harus berangkat sekarang untuk menghindari wartawan di depan mansion semakin banyak."

"Hm, aku mau jemput Sabella dulu."

Buru-buru aku memutar langkah kemudian berbalik arah dan seolah—olah baru saja berjalan kearah pintu. Tepat dengan itu Pak Shaka masuk tanpa ekspresi apa pun.

"Sudah siap?"

Aku mengangguk, "Baju kotornya sudah aku masukan ke tas."

"Ya sudah, ayo." Kami berjalan keluar kemudian masuk ke mobil.

Aku besyukur karena Nania dalam keadaan baik-baik saja setelah penyerangan kemarin. Dia sedang menunggu di mansion saat ini. Meskipun aku merasa lega mendengar itu, pikiranku terusik pembicaraan Pak Shaka dan David tadi. Aku merasa ada yang mereka rencanakan tanpa sepengetahuanku.

Aku berharap itu bukan suatu yang membuatku semakin terluka.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro