Bab 12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mika memasuki kelas dan mendapati Pinky duduk di kursi seperti biasa. Gadis itu nampak asyik mengutak-atik ponsel di tangannya, seolah tak tertarik untuk menyapa dirinya.

Ketika Mika bergerak dan duduk di sampingnya, posisi Pinky tak juga berubah. Ia tetap menunduk, mengutak-atik ponsel lagi, atau sibuk mengerjakan yang lain. Bahkan saat Mika menyapa atau mengajaknya bicara, ia hanya akan bicara pendek-pendek, tanpa melihat ke arah dirinya.

Keadaan ini sudah berlangsung sejak tiga hari yang lalu, sejak insiden ciuman di mobil.
Pinky jadi pendiam. Lebih tepatnya, gadis itu mendiamkannya.
Entah apa masalahnya?
Entah mereka terlalu bingung dengan apa yang mereka lakukan?
Entah ia marah?
Atau, entah ada alasan lain.

Mereka berciuman dengan tiba-tiba dan setelah itu tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Mika mengantarkan Pinky pulang dalam hening. Dan Pinky tak bersuara sama sekali.
Aksi diamnya terus berlanjut.
Esoknya ketika mereka bertemu di kelas, Pinky tak menyapanya, tak pula tersenyum padanya. Ia datang ke sekolah, masuk ke kelas, duduk di bangkunya, dan begitu terus.
Esoknya begitu.
Esoknya lagi juga sama.

Mika gerah didiamkan seperti itu. Ia tak suka.
Toh ia duluan yang bertindak kurang ajar dengan menciumnya. Wajar saja jika Pinky marah. Tapi setidaknya, ia mengharapkan sebuah tindakan nyata dari gadis itu.
Jika ia memang marah, tak terima, ia bisa memaki dirinya, mengumpat, atau menampar. Setidaknya itu lebih baik daripada mereka harus berdiam-diaman seperti ini.
Canggung.
Aneh.
Dan ... sepi.

"Pinky?" panggilnya lagi.
Yang dipanggil menyahut pendek tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.
"Pinky?" Mika kembali memanggil lagi, kali ini sambil mencondongkan badan dan menelengkan kepalanya ke arah Pinky.
Gadis itu menggigit bibir dan menggerakkan badannya menjauh, lagi-lagi menghindari kontak mata dengan Mika.

"Aku sedang ngomong sama kamu, lihatlah kemari," pinta Mika.

Pinky melengos, salah tingkah.
"Ngomong aja," jawabnya.

Kesal tak mendapat tanggapan seperti yang ia harapkan, Mika mendesah.
Pemuda itu bangkit dan menarik tangan Pinky.
Pinky mengerjap, bingung.

"Mik-Mika?" Dan mau tak mau ia menatap pemuda tersebut, gugup.
"Kita harus bicara." Pemuda itu menyeret Pinky, membawanya melewati tangga di samping kelas mereka, mengajaknya ke atas gedung.

***

Dua insan itu berdiri berhadapan, canggung. Dengan kedua tangan yang  dimasukkan ke saku, Mika menatap Pinky dengan lekat. Sementara Pinky bersedekap angkuh, sesekali menatap balik ke arah Mika, sesekali membuang pandangannya ke tempat lain.

"Pinky ...." Mika memanggil lirih.
"Bisa nggak sih kita hentikan aja puasa bicara seperti ini?" pintanya.
Pinky tak menjawab.
"Aku tahu, aku yang salah," ucap Mika lagi. Kedua tangannya tak lagi berada di saku, ia gerakkan secara acak. Menyisir rambut, meremas bagian bawah seragam, mengusap tengkuk, lalu menyisir rambut lagi.

"Aku benar-benar minta maaf ... karena ... karena aku... telah ...."

Bibir Pinky mengerut. Ia merutuk dalam hati. Jangan, jangan sebutkan kata itu.
Jangan sebutkan kata ....

" ... menciummu."

Dan Pinky nyaris mengumpat ketika mendengar kata ciuman dari mulut Mika. Entah kenapa, hanya mendengar saja, dadanya serasa berdesir.
Lagipula, kenapa Mika harus minta maaf?
Memang sih Mika yang menciumnya terlebih dahulu. Tapi ketika mereka berciuman lagi ...
Lagi? Ya, mereka berciuman lagi, dua kali, di mobil.
Awalnya memang Mika yang menciumnya dan ia menolak. Namun ketika pemuda itu mengulangi perbuatannya, menciumnya lagi, ia malah membalas. Dan ia tahu, yang mereka lakukan waktu itu bukan sekedar salam tempel, itu benar-benar ciuman.

Ciuman.

"Aku berengsek, Pinky. Maafin aku. Lakukan apapun yang kamu mau ke aku, tapi tolong, jangan mendiamkan aku kayak gini. Setidaknya, kita masih bersahabat, 'kan?"

Pinky menatap pemuda itu dan menarik napas.
"Aku juga minta maaf, Mik. Ini bukan hanya salahmu. Aku juga salah, nggak seharusnya aku menggodamu ---"

"Menggoda?" potong Mika.

Pinky mengangguk.
"Nggak seharusnya aku menggodamu, nggak seharusnya aku membalas ciumanmu, ini ---,"

"Kamu nggak menggodaku, Pinky."

"Aku menggodamu."

"Nggak, kamu nggak melakukannya. Aku yang brengsek," sanggah Mika.

Pinky mendesah. Gadis itu mondar-mandir demi untuk melonggarkan paru-parunya yang terasa sesak.
"Faktanya aku tahu bahwa kamu udah punya pacar. Tapi tetap aja aku ngejar kamu, mendekatimu, mengharapkan cintamu. Jadi, nggak seharusnya aku melakukannya, nggak seharusnya aku menggodamu," ucapnya.

"Aku ngerasa jadi gadis yang jahat, Mik. Aku memperlakukan Juwita dengan nggak adil. Sekarang aku sadar bahwa apa yang aku lakukan ini salah. Nggak seharusnya aku mengharapkan cintamu, nggak seharusnya aku ngejar kamu. Mungkin lebih baik kalau aku mundur dan ... tetap menganggapmu sahabat.Tapi ...."

Mika tercenung. Kata-kata Pinky berjubel di kepalanya. Membuatnya pusing.
Pinky memutuskan mundur?
Gadis itu takkan mencintainya lagi?
Ia takkan bersikap manis padanya?
Takkan mengganggunya?
Takkan menggoda dengan ke-absurd-annya?

Seketika Mika serasa diserang vertigo. Membayangkan Pinky tak mendekatinya lagi, tiba-tiba ia tak rela.
Maksudnya, ia mulai terbiasa dengan keberadaan gadis itu. Jadi jika tiba-tiba keadaan berubah, ia tak siap.

"Anggap ciuman itu nggak terjadi dan biarkan semua berjalan seperti semula. Udah, gitu saja." Pemuda itu memutuskan lalu beranjak.

Pinky menatapnya bingung.
"Mika?" panggilnya.

"Aku nggak mau ngomongin ini lagi," dan Mika bergerak menuruni anak tangga, meninggalkan Pinky yang tampak kebingungan.
"Tapi aku belum selesai ngomong!" teriaknya.

"Aku udah!" Mika membalas. Entah kenapa ia jadi kesal.

Dan pemuda itu terus melangkah, tanpa melihat kembali ke arah Pinky.

***

Setelah kelas usai, Mika bergegas ke kelas Juwita. Ia sudah berjanji untuk mengantarkannya pulang. Namun begitu sampai di sana, kelasnya sudah sepi. Gadis itu tak ada.
Setengah jengkel, ia meraih ponsel dan menelponnya.
"Di mana kamu?" Ia bertanya langsung ketika panggilannya dijawab.
"Aku udah pulang duluan, naik kendaraan umum," jawabnya.
"Tapi 'kan aku ingin nganterin kamu pulang."

Terdengar tawa lembut dari seberang sana.
"Nggak apa-apa, Mik. Aku 'kan udah terbiasa pulang sendiri. Lagipula bukankah kamu sibuk jadi pengurus sekolah. Aku nggak mau terlalu merepotkanmu. Selama aku bisa mengerjakannya sendiri, aku akan mengerjakannya tanpa meminta bantuanmu," jawab Juwita.

"Wit, aku bukan orang lain, aku ini pacarmu. Hal yang sangat wajar jika aku membantumu melakukan banyak hal, termasuk mengantarkanmu pulang. Kamu mungkin nggak memintanya, tapi aku ingin melakukannya, berada di sisimu kapan pun ketika kamu butuh. Aku tahu kamu gadis mandiri, kamu terbiasa melakukan banyak hal sendiri, tapi, ayolah, Wit, aku 'kan bukan orang lain." Mika mengomel kesal.

Juwita mengerang.
"Mik, ada apa sih denganmu?"

Mika menarik napas lelah.
"Nggak ada. Ya udah deh," ucapnya, dan dia memutuskan pembicaraan di telepon.

Ia baru saja berbalik dan hendak menuruni tangga ketika berpapasan dengan Dani.
Dani adalah teman sekelas Juwita.

"Lho, kamu masih di sini? Aku kira kamu nganterin Juwita pulang," sapanya.
"Dia udah pulang duluan," jawab Mika.
Dani manggut-manggut.
"Jadi kamu akan menyusulnya ke rumah sakit?"

Mika terhenyak.
"Apa dia sakit?" Ia nyaris berteriak.

"Lho, kamu nggak tahu? Ibu Juwita masuk rumah sakit sejak semalam. Teman-teman juga baru tahu tadi. Oke, aku mau kembali ke kelas dulu ya, ada yang ketinggalan." Dani beranjak.

Mika nyaris mengeram. Kemarahannya nyaris meledak.
Lagi. Juwita melakukan ini lagi padanya.
Ia sering melakukan ini padanya.
Memendam masalahnya sendiri, tanpa mau merepotkannya.

Dulu ketika ibunya pingsan di tempat kerja dan harus dilarikan ke klinik, Juwita juga tak cerita. Ketika ia terbelit hutang dan tak mampu membayar sewa rumah kontrakkan, ia juga tak cerita. Mika bahkan harus sembunyi-sembunyi membantunya melalui teman-teman sekelas mereka.

Ketika beasiswanya nyaris dicabut karena beberapa nilai mata pelajaran turun, ia juga tak cerita.
Dengan dalih tak mau merepotkan, Gadis itu selalu menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia tahu Juwita mandiri, tapi setidaknya, Mika ingin jadi sosok yang bisa membuat gadis itu bercerita, berbagi segala keluh kesahnya.
Jika seperti ini, ia merasa diperlakukan layaknya orang lain.

*** 

Sore harinya Mika mengunjungi Juwita dan ibunya di rumah sakit. Dan sudah bisa dipastikan, pertengkaran kecil terjadi di antara mereka. Terlebih lagi ketika gadis itu menolak niat Mika yang ingin membantu membayar biaya rumah sakit. Lagi-lagi, dengan dalih tak mau merepotkan.

"Aku menghargai niatmu, Mik. Tapi sungguh, aku nggak ingin ngerepotin. Lagipula, kami masih punya sedikit tabungan untuk membayar biaya rumah sakit. Kamu udah banyak membantu, dan aku benar-benar ingin menyelamatkan harga diriku. Aku malu jika kamu terus-terusan membantuku," ucapnya.

Mereka berbicara lirih di depan ruang perawatan ibu Juwita.

"Wit, sebenarnya kamu anggap aku ini apa? Pacar? Temen? Atau hanya sekedar orang lain?" Mika mendesis kesal.
Juwita mengerang.
"Mik, tolong mengerti aku dong. Aku hanya---"
"Enggak, kamu yang nggak mengerti. Aku bukan orang lain, Wit. Apa susahnya berbagi keluh kesah sama aku? Apa susahnya menerima semua bantuanku? Harga dirimu nggak bakal berkurang jika kamu mau menceritakan semua masalahmu padaku dan membiarkanku menyelesaikannya," potong Mika, jengkel. Pemuda itu bangkit, lalu melenggang pergi.
Meninggalkan Juwita sendirian.

***

Pinky menatap Mika dengan heran. Mereka sudah berbaikan, sudah bertegur sapa, sudah pula bercanda dan mengakhiri puasa bicara mereka. Tapi sejak kemarin, ganti Mika yang kelihatan aneh. Ia jadi pendiam, dan cenderung uring-uringan. Tidak hanya Pinky yang merasakan perubahannya, teman-teman sekelasnya juga.

"Apa kamu bertengkar dengan pacarmu?" tanya Pinky ketika pelajaran kedua telah usai, dan ia lihat pemuda itu hanya duduk murung sambil mencoret bukunya dengan asal.
Ia tak segera menjawab, hanya mengangkat bahu.

"Mau cerita? Berceritalah," ucap Pinky lagi.

Mika menarik napas panjang, lalu menoleh pada gadis di sampingnya.
"Entahlah, Pinky. Aku hanya merasa bahwa Juwita nggak cukup menganggap aku ada. Maksudku, aku kesal kalau ia nggak mau berbagi masalahnya denganku," dan akhirnya ia mengutarakan semua keluh kesahnya, sementara Pinky menjadi pendengar yang baik.

"Mungkin dia nggak ingin terlalu merepotkanmu. Kan kamu bilang sendiri kalau Juwita gadis mandiri. Kamu juga pernah berkata bahwa kamu jatuh cinta pada dia karena hal itu," ucapnya.

Mika kembali mengangkat bahu.
"Tapi aku 'kan pacarnya, bukan orang lain," keluhnya. Ia menyisir rambutnya dengan jemari, lalu menegakkan punggungnya pada sandaran kursi.
"Kamu pernah berkata padaku bahwa rasa cinta dan simpati itu dua hal yang berbeda, dan bedanya tipis. Sekarang aku tahu setipis apa perbedaannya." Kalimatnya lirih. Ia menatap lurus ke mata Pinky.
"Dan aku pikir, apa yang aku rasakan padanya adalah ..." kalimat Mika tertahan ketika Dimas, yang kelasnya berada dua blok dari kelasnya, menyeruak masuk.

"Mika!" Ia berteriak dengan tergopoh-gopoh. Pinky dan Mika menatapnya heran.
"Kamu udah dengar kabar? Ibu Juwita..."
Mika bangkit seketika. "Ada apa?"
"Ibu Juwita ... meninggal."

***

Mereka bersama-sama ke rumah duka. Pinky dan Dimas datang berbarengan dengan Mika. Sementara teman-temannya yang lain menyusul sesaat kemudian, termasuk teman-teman sekelas Juwita.

Tak ada banyak kerabat yang datang. Hanya beberapa saja. Juwita yang mengenakan baju serba hitam duduk dengan rapuh di sudut ruangan. Kedua matanya tampak sembab, terlalu banyak menangis.
Ketika melihat kedatangan Mika, gadis itu bangkit, dan segera menghambur ke arahnya. Tangisnya pecah lagi. Menumpahkan segala rasa sakit di dada Mika.
Pemuda itu mendekapnya erat. Mengelus rambutnya lembut, menenangkannya dengan perasaan pilu.

Pinky yang melihat adegan itu mundur beberapa langkah dan ia memutuskan untuk berbalik. Menyembunyikan dirinya di balik dinding rumah duka. Dan sesaat kemudian air matanya menitik. Ia pun menangis. Menutup wajahnya dengan telapak tangan dan menyembunyikan isak tangisnya di sana.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro