Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak ibu Juwita meninggal, Pinky dan Mika sengaja menjaga jarak. Seolah ada kesepakatan kasat mata yang membuat mereka saling menjauh.
Tak ada interaksi berlebih, tak ada senyum sapa, tak ada lagi sikap manis di antara mereka. Kedua remaja itu cenderung mendiamkan satu sama lain. Mika bahkan bertukar tempat duduk dengan rekannya yang lain. Ia yang biasanya duduk di sebelah Pinky, sekarang memilih kursi yang berada di deret terakhir, beberapa blok di belakang gadis tersebut.

Dan Pinky hanya mampu menangis dalam diam dengan semua perubahan situasi tersebut. Terkadang gadis itu akan buru-buru keluar kelas demi menghindari kontak dengan Mika. Tak jarang pula ia akan berlari ke kamar mandi dan menangis di sana.

Bukannya Mika tak tahu bahwa gadis itu menyimpan luka. Ia yang duduk di deret berbeda sering mencuri pandang padanya. Dan ia tahu, Pinky tidak baik-baik saja.

Tapi pemuda itu tak berdaya.

***

Eri dan Yuna mengapit lengan Pinky lalu mengajaknya buru-buru ke halaman sekolah, di mana pak sopir sudah menunggu mereka. Sementara Dimas dan Jefri sudah terlebih dahulu ada di sana. Hari itu mereka berniat mengajaknya jalan-jalan. Mereka tahu apa yang Pinky alami. Mereka paham kesedihan yang ia rasakan karena Mika. Dan mereka berinisiatif untuk menghiburnya. Dimas dan Jefri bahkan berbesar hati untuk ikut andil menghibur gadis tersebut.
Buat mereka, kebahagiaan Pinky adalah prioritas utama.

"Kalian mau mengajakku kemana sih?" tanya Pinky bingung.

"Jalan-jalan, cari hiburan. Oke?" timpal Yuna.

"Kemana?"

"Kamu pasti suka." Eri terdengar percaya diri. Pinky manggut-manggut. Namun sesaat kemudian tiba-tiba langkahnya berhenti mendadak.
"Ada apa?" Eri bertanya bingung.
"Bukuku tertinggal di kelas, sebentar ya. Nanti aku nyusul." Pinky melepaskan pegangan tangan sahabatnya lalu berbalik dan berlari kembali ke kelas.

Ketika sampai di sana, ia tak menyangka bahwa Mika juga masih ada di dalam kelas. Berkutat di bangkunya dan tengah membereskan peralatan tulis yang masih berserakan di meja.
Keduanya beradu pandang, masing-masing nampak kikuk dan bingung.

"Kamu masih di sini?" tanya Pinky basa basi sambil berlari ke bangkunya.
"Tugas yang tadi belum selesai," jawab Mika tanpa melihat ke arahnya. Ia buru-buru memasukkan peralatan tulis miliknya ke tas, tanpa repot-repot menatanya. "Kamu sendiri?"

"Bukuku ketinggalan." Pinky menjawab pendek sambil memasukkan tangannya ke laci bangku.
Dan mereka sama-sama terdiam lagi.

Mika yang telah selesai beres-beres segera beranjak. Namun ketika ia sampai di ambang pintu, pemuda itu berbalik.

"Pinky?" panggilnya lirih.

Pinky mendongak dan menatapnya. Lagi-lagi pandangan mereka beradu, dalam.
Pemuda itu menggigit bibir. Jemarinya mencengkeram sling bag dengan erat, terlihat gusar dan kebingungan. Seolah ada banyak yang ingin ia ungkapkan, tapi ia tak tahu harus mulai dari mana.

"Aku ... pengen minta maaf." Ia menelan ludah. "Pinky, Juwita ... membutuhkanku. Jadi ...."
"Aku tahu," sergah Pinky. Ia memasukkan bukunya ke tas lalu bangkit.
"Aku tahu. Kamu nggak perlu mengatakan apapun padaku lagi," ucapnya getir.
Ia tahu sepenuhnya.
Juwita sendirian, dan gadis itu membutuhkan Mika.

Waktunya berhenti.
Waktunya menyerah, merelakannya dengan lapang dada.

"Aku pergi dulu ya." Gadis itu beranjak cepat, melewati Mika, lalu berlari meninggalkannya.
Dan Mika tahu bahwa gadis itu menitikkan air mata.

***

Pinky berlari, menghentakkan kakinya melewati lorong kelas, menyeberangi halaman sekolah, menghampiri teman-temannya yang telah menunggu di samping pintu gerbang.
Dan ia sudah tak sanggup.

Saat ketika ia menjangkau mereka, ia menghambur ke arah Yuna terlebih dahulu, dan segera tangisnya pecah.
Gadis itu terisak. Menumpahkan semua air mata yang telah ia pendam sejak beberapa waktu yang lalu.

Ketiga temannya yang lain awalnya bingung dengan apa yang terjadi. Namun akhirnya mereka tahu apa yang menyebabkan gadis itu menangis.
Eri bergerak ikut memeluk Pinky.
Dimas dan Jefri berpandangan dengan pilu, lalu akhirnya ikut bergerak, memeluk tiga gadis yang sudah bertangis-tangisan.

°°°

Dari salah satu lorong kelas, dari balik salah satu ruang, Mika menatap adegan itu dengan perasaan hancur.
Ia melihat bagaimana Pinky terisak, ia mendengar bagaimana gadis itu meratap.
Dan dadanya sesak.

Pemuda itu beringsut, menyandarkan punggungnya di dinding dengan putus asa. Dan air matanya menitik.
Pemuda itu menangis.

Sekarang ia tahu apa yang membuatnya gundah manakala ia berhadapan dengan Pinky.
Sekarang ia paham kenapa ada perasaan tak menyenangkan manakala ia berjauhan dengan gadis itu.
Ia juga tahu alasannya kenapa jika Pinky ada di sisinya, berbicaranya padanya, tersenyum ke arahnya, hatinya bergetar.
Dan sekarang ia juga sadar, apa yang membuatnya menangis ketika melihat Pinky terisak, apa yang membuat dadanya sesak ketika menyaksikan luka di mata gadis itu.
Karena ia jatuh cinta padanya.

Ia jatuh cinta dengan Pinky. 

°°°

Dengan berlalunya waktu, duka di hati Juwita kerena kematian ibunya lambat laun kian menguar. Gadis itu sudah bisa masuk sekolah seperti biasa. Ia juga sudah bisa menunjukkan senyumnya yang manis, dan sikapnya yang ramah seperti sedia kala. Ditempa hidup mandiri sejak kecil, ia sudah tahu cara menyembuhkan luka dengan baik. Dan ia pulih dengan cepat.
Sebenarnya Mika menawarinya untuk tinggal di sebuah rumah miliknya yang kosong, tapi ia menolak. Gadis itu lebih memilih untuk tinggal dengan kerabat dari mendiang ibunya. Paman satu-satunya yang ia punya.

Dan jujur, walau Pinky tak terlalu menyukai gadis itu, tapi ia lega menyaksikan ia ceria lagi.
Siang itu, ia bertemu dengannya di persimpangan kelas, dan ia senang karena gadis itu tampak baik-baik saja. Ia bahkan sudah bertegur sapa dengan beberapa teman yang berpapasan dengannya. Hal ini begitu kontras ketika ia masih sangat berduka dengan kematian ibunya.

"Juwita?" Pinky memberanikan diri memanggil terlebih dahulu. Juwita menoleh, tertegun sejenak menatap Pinky, lalu tersenyum.
"Hai," sapanya.
Pinky balas tersenyum. Ia melangkah mendekat.
"Aku seneng bisa ngelihat kamu ceria lagi," ucapnya.
Juwita tersenyum. "Terima kasih," jawabnya.
Keduanya bertatapan canggung.

"Wit, jujur aku nggak terlalu menyukaimu. Dan aku yakin bahwa kamu juga merasakan perasaan yang sama denganku. Tapi, aku seneng ngelihat kamu ceria lagi," ucap Pinky dengan tulus. "Dan aku bener-bener ikut berbela sungkawa ketika ibumu meninggal," lanjutnya.

"Terima kasih," jawab Juwita lembut.

Canggung lagi.

"Wit, hubungan kita memang nggak terlalu baik, tapi percayalah, aku dan teman-teman selalu siap sedia jika kamu butuh bantuan, kapan pun itu."

Juwita tersenyum lembut mendengar kalimat Pinky. Dan iapun mengucap terima kasih dengan tulus pula.
"Boleh aku memelukmu?" Pinky meminta ijin. Dan gadis di hadapannya mengangguk.
Dua gadis itu beranjak kaku, lalu akhirnya saling memeluk. Mencoba memberikan semangat satu sama lain.
Dan cara itu memang lumayan membantu untuk mencairkan suasana beku di antara mereka.

°°°

Hari itu, setelah selesai melakukan apel pagi, sebagian besar siswa sedang berada di aula. Termasuk Mika, Juwita, Pinky, dan juga rekan-rekannya yang lain. Beberapa minggu yang akan datang akan diselenggarakan festival seni, dan mereka berencana mempertunjukkan drama musikal 'Cinderella'.

Atas hasil diskusi, awalnya disepakati bahwa Pinky yang akan memerankan Cinderella, Mika menjadi pangeran, Juwita jadi ibu tiri, lalu Eri dan Yuna menjadi saudara tiri.
Tapi ternyata, Pinky menolak mentah-mentah peran tersebut. Bukan karena ia tak enak berpasangan dengan Mika, bahkan jika pangerannya bukan dia, ia akan tetap menolak peran tersebut.

"Pak guru, Saya tak mau jadi cinderella!" Suara gadis itu menggema di seluruh aula. Pak guru Yono yang memimpin pertemuan menatapnya bingung.
"Lalu kamu mau jadi siapa?" Ia bertanya kesal.
"Jadi ibu tiri kek, jadi figuran kek, jadi siapa saja, asal bukan Cinderella," jawab Pinky. "Saya bosan jadi Cinderella terus pak guru. Sejak SMP, setiap kali ada drama ini, saya selalu jadi Cinderella. Saya nggak mau memerankan ini lagi." Gadis itu sewot.

Pak guru menarik napas panjang, mencoba menahan kekesalannya yang nyaris tumpah.
Sabar paakk, doanya dalam hati.

"Ya sudah, kamu ingin jadi siapa?" Akhirnya beliau yang mengalah.

"Jadi pohon saja." Ia menunjuk ke arah kostum pepohonan di sudut ruangan. Teman-temannya melongo.

Gubrakk!

Ini anak sableng apa gimana ya?
Di tawari peran jadi putri, eh, dia malah memilih jadi 'hiasan' di panggung sebagai pohon?

"Pokoknya saya mau jadi pohon saja. Yang berdiri di panggung, yang bisa melihat adegan drama, sekaligus menyaksikan ekspresi para penontonnya." Gadis itu tetap bersikeras.

"Pak guru, kalau begitu saya juga mau jadi pohon saja." Jefri yang semestinya dapat peran sebagai prajurit bersama dengan Dimas, akhirnya ikut suara.

"Saya juga, Pak," ucap Dimas.

"Kami juga, Pak." Eri dan Yuna akhirnya ikut-ikutan.

Pak guru Yono melongo, teman-teman mereka juga.
Ini kenapa tiba-tiba  pengen jadi pohon semua?

"Pokoknya saya mau jadi pohon, titik." Pinky kembali berteriak.

Mika yang duduk di deret depan bersebelahan dengan Juwita, hanya mampu mengulum senyum menyaksikan kelakuan gadis itu. Well, dia Pinky. Tak ada yang bisa menebak apa yang ada di kepalanya, ucapnya dalam hati.

Sambil memijit pelipisnya dengan lelah, akhirnya pak guru Yono menjawab, "Ya sudah, kamu jadi pohon saja."

°°°

Dan begitulah akhirnya, peran drama berganti. Juwita yang tadinya menjadi ibu tiri, sekarang menjadi Cinderella.
Sementara Pinky, Dimas, Jefri, Eri dan juga Yuna, akhirnya menjadi apa yang mereka inginkan, jadi pohon.

Seminggu sebelum pertunjukkan dimulai, para siswa yang berpartisipasi dalam pementasan masih rajin berlatih hampir setiap hari.
Sore itu, jarum jam menunjukkan pukul empat lebih sepuluh menit ketika mereka masih berlatih dengan giat di aula.
Semua berperan sesuai dengan tugas masing-masing.

Pinky dan juga keempat rekannya yang kebagian peran jadi pohon, juga ikut latihan dengan baik. Padahal yang mereka lakukan hanya berdiri layaknya patung di pinggir panggung, lengkap dengan kostum pohon yang terkadang juga mereka kenakan.

Pinky tak henti-hentinya menunjukkan ekspresi sumringah dengan peran barunya tersebut. Gadis itu tampak senang bukan kepalang dengan kostum pohon yang terbuat dari spon dan pelboa lembut. Terkadang kostum itu ia kenakan sambil berjalan kesana kemari dengan langkah lucu layaknya kepiting, lalu sebentar kemudian ia lepas, kemudian ia peluk dengan gemas, lalu ia kenakan lagi, lepas lagi, kenakan lagi, lepas lagi, begitu terus.
Mika yang secara sembunyi-sembunyi memperhatikan dirinya hanya mampu terkikik geli.

Awalnya latihan hari itu berjalan lancar seperti biasanya. Mereka sedang berada di tengah-tengah cerita, Juwita mendapatkan scene tunggal di tengah-tengah panggung, rekannya yang lain memperhatikan di kursi penonton, termasuk Mika. Sementara Pinky berdiri santai di sisi panggung bersama Eri dan Yuna, tepat di samping kostum pohon yang sebentar lagi mereka kenakan.

Dan insiden itu terjadi.
Pinky baru saja hendak mengenakan kostumnya ketika tanpa sengaja tatapan matanya singgah pada lampu centerpiece yang berada tepat di atas Juwita. Lightning itu bergerak-gerak tak biasa dan ... 

"JUWITA! AWASS!!" Pinky berteriak dan ... braaakkk!!
Lampu besar itu jatuh menghantam lantai panggung, tepat ketika Pinky berhasil berlari dan mendorong Juwita menjauh.
Juwita terjungkal ke bawah panggung, tepat di depan kursi penonton. Sementara Pinky terlempar ke sisi yang satunya. Gadis itu terguling setelah sebelumnya sempat menghantam kursi.

"Juwita?!" Beberapa siswa yang tengah menonton berteriak dan segera menghampiri Juwita yang tergeletak.
Pinky masih sempat mendengar kegaduhan itu. Ia juga masih sempat melihat teman-teman mereka mengerumuni Juwita.
Khawatir jika gadis itu terluka parah karena tadi ia ingat bahwa ia sempat mendorong tubuhnya, Pinky berniat bangkit dan ikut melihat keadaannya.

Namun niatnya urung ketika tiba-tiba rasa pening menyerangnya.
Entah apa yang terjadi ketika tiba-tiba ia merasa pandangannya kabur dan ia seolah kehilangan tenaga.
Gadis itu meringis, berusaha bangkit, namun gagal. Sampai akhirnya ia melihat sosok itu.

Samar, ia melihat Mika berlari dan menghambur ke arahnya.
"Pinky!" Pemuda itu berteriak.
Pinky berusaha menjawab, tapi suaranya hilang entah kemana.
Ada apa dengannya?
Kenapa kepalanya tambah sakit?
Kenapa tatapan matanya kian kabur?
Dan kenapa ia seperti tak punya tenaga untuk bangkit?

"Pinky?!"
Dan ia merasakan Mika menggapai tubuhnya dan memeluk dirinya.
Pinky mengerjap dan menatapnya bingung. Pemuda itu tampak cemas dan ... ada air mata.
Mika menangis?
Kenapa pemuda itu menangis?

"SESEORANG! LAKUKAN SESUATU!! PINKY BERDARAH!!
Dan pemuda kembali berteriak seraya mengulurkan tangan untuk menekan kepalanya. Dan Pinky meringis. Sakit.

Berdarah?
Siapa yang berdarah?
Ia yang berdarah?

Tangan gadis itu bergerak, menyentuh cairan hangat yang menjalar melewati keningnya. Dan Mika benar. Ia melihat darah.

"Pinky?"
Dan ia melihat pemuda yang tengah mendekapnya terisak dengan panik.

Lalu semuanya gelap ...

Mika kembali berteriak, "LAKUKAN SESUATU, PINKY TERLUKA!"
Dan ketika ia merasakan Pinky diam tak bergerak di pelukannya, pemuda itu sesenggukkan.

°°°


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro