Bab 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mika duduk membisu di kursi yang berada di depan ruang operasi, tanpa mempedulikan baju dan tubuhnya yang dipenuhi noda darah.
Darah Pinky.

Sementara Eri dan Yuna duduk di kursi yang satunya, sesenggukkan. Sedangkan Dimas dan Jefri mondar-mandir dengan gusar.

Setelah mengalami kecelakaan ketika latihan drama, Pinky segera dilarikan ke rumah sakit. Mika yang membawanya langsung, Ia bahkan yang menggendongnya sendiri. Kepala gadis itu membentur kursi, dan dokter mengatakan ia harus menerima banyak jahitan dan juga operasi kecil. Teman-temannya yang lain juga sempat ikut mengantarkan ke rumah sakit, namun mereka sudah kembali ke sekolah. Pak guru Yono yang sempat mendampingi tengah menyelesaikan beberapa administrasi.

Orang tua Pinky juga sudah diberitahu tentang insiden ini, dan mungkin mereka sedang dalam perjalanan kemari.

"Lama sekali sih operasinya. Sebenarnya apa aja yang dilakuin dokter-dokter itu di dalam sana." Dimas mengomel.
"Apa luka di kepalanya separah itu hingga operasinya harus selama ini? Bagaimana kalo ia mengalami amnesia? Bagaimana kalo ...?" Kalimat Jefri terhenti ketika Eri dan Yuna kembali meraung, memperbesar volume tangis mereka.

"Tadi kepala Pinky udah langsung di CT-Scan, benturan itu nggak parah. Dia nggak akan amnesia. Dia hanya akan menerima beberapa jahitan." Akhirnya Mika ikut menjawab dengan suaranya yang serak. Sejujurnya ia hanya mencoba menghibur dirinya sendiri karena ia juga tak yakin dengan apa yang dikatakannya.
Ia juga takut kalau sesuatu yang buruk akan menimpa gadis itu. Jangan-jangan lukanya parah?
Bagaimana kalau ia amnesia?
Bagaimana kalau ...

"Mik, apa nggak sebaiknya kamu pulang dulu? Kamu harus ganti baju. Lihatlah, bajumu kena banyak darah," ucap Dimas lagi. Mika menatap dirinya sendiri, lalu menggeleng.
"Aku akan tetap di sini," jawabnya.
"Ngomong-ngomong, apa kamu nggak berniat ngelihat keadaan Juwita?"
Pertanyaan Eri membuat Mika terhenyak. Pemuda itu menoleh ke arahnya.
"Emang Juwita kenapa? Apa dia juga terluka?" Ia bertanya bingung. Sungguh, untuk beberapa saat, ia benar-benar lupa pada gadis itu.
Karena Pinky.
Karena ia terlalu cemas padanya.
Karena ia terlalu takut melihatnya terluka.

"Jadi kamu nggak tahu? Juwita juga dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat di lantai atas. Kami belum tahu keadaannya." Yuna menimpali.

"Pacar macam apa sih kamu ini? Bagaimana mungkin kamu nggak tahu kalo pacarmu sendiri juga terluka? Dasar bedebah!" Jefri berteriak dengan emosi.

Mika mengerang. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu menyandarkan punggungnya dengan lunglai.
Betapa ia merasa menjadi pemuda paling brengsek di dunia, umpatnya, pada diri sendiri.

"Kamu ini pacar Juwita! Bukan pacar Pinky! Sebaiknya urusi aja pacarmu itu!" Jefri nyaris menghambur dan menarik kerah baju Mika dengan amarah jika saja Dimas tak segera menghalanginya. Keadaan itu tak ayal menciptakan keributan kecil di antara mereka.

"Tingkahmu kayak gini nggak adil buat mereka, Mik. Kami semua ada di sana ketika insiden itu terjadi, ketika Pinky berdarah-darah, ketika Juwita juga terjatuh dan terluka. Pacarmu tuh Juwita, bukan Pinky. Tapi apa yang kamu lakuin? Kamu malah mengabaikan Juwita dan menangisi Pinky. Ada apa denganmu?" Jefri kembali berteriak kesal.

Aku mencintai Pinky!

Nyaris.
Mika nyaris meneriakkan kalimat itu. Memberitahukan perasaannya pada mereka, namun ia berusaha menahan diri dan memilih menerima amukan Jefri dengan lapang dada.

"Jef, jangan ribut. Tenangkan dirimu, ini di rumah sakit." Dimas berusaha menenangkan Jefri, sementara Eri dan Yuna terus saja menangis.
"Tapi aku kesal, Dim. Ini nggak adil buat Pinky. Dia nggak pantas menerima kondisi tarik ulur kayak gini!" jawab Jefri. Ia menatap Mika dengan tajam.
"Jika kamu nggak mencintai, Pinky, jauhi dia! Sikap kamu tuh nyebelin. Seolah kamu hanya ngasih harapan palsu ke dia," lanjutnya.

"Aku mencintainya." Ucapan Mika lirih. "Aku mencintai Pinky," ulangnya.
Dan akhirnya ia tak mampu lagi untuk menahan diri.

Eri dan Yuna seketika berhenti menangis. Sementara Dimas dan Jefri tercengang. Empat pasang mata itu menatap Mika bersamaan.
Hening.

"Apa kamu gila? Apa kamu sadar apa yang kamu katakan?" Jefri mendesis.
Mika menarik napas pasrah.
"Aku tahu ini terdengar mengerikan, nggak adil. Tapi aku nggak mampu menahannya lagi. Aku nggak akan mampu menyembunyikannya lagi. Aku jatuh cinta sama Pinky, entah sejak kapan," ucapnya.

"Bedebah!"

Mika mengangguk.
"Aku emang bedebah, aku tahu," jawabnya.

"Berengsek." Kali ini Dimas yang mengumpat, lalu bergerak dan mendaratkan pukulan telak ke wajah Mika.
Eri dan Yuna menjerit, lalu bangkit. Jefri yang ganti melerai.
"Jika kamu berani mengatakan hal ini pada Pinky, maka kita nggak akan bersahabat lagi!" ancam Dimas pada Mika.

Pemuda itu duduk membisu di tempatnya semula. Menahan rasa sakit di wajahnya, tak berkutik.

***

Pinky menerima beberapa jahitan di kepalanya. Tapi kondisinya tak parah. Ia bahkan sudah dipindahkan ke ruang perawatan, beberapa saat setelah keluar dari ruang operasi.

Ketika ia sadar, ia menjumpai ayah dan ibunya yang tampak cemas. Sahabat-sahabat baiknya juga ada di sana. Dimas dan Jefri yang tampak lega melihat ia sadarkan diri. Lalu Eri dan Yuna yang menghambur ke arahnya sambil sesenggukkan.

Namun, ia tak mendapati Mika ada di sana. Padahal ia berharap pemuda itu yang akan ditemui pertama kali manakala ia membuka mata.

***

Juwita juga tak mengalami luka serius. Lengan tangannya retak, tapi tak fatal. Hanya perlu digips, tak sampai harus dilakukan operasi ataupun tindakan medis lain.

Ketika Mika berkunjung ke kamar perawatannya, gadis itu sudah bisa duduk dan tersenyum ceria.
"Dokter bilang, lusa aku udah diperbolehkan pulang," ucapnya.
Mika tersenyum lega.
"Syukurlah," ucapnya. "Masih sakit?" Ia bertanya seraya mengelus lengan Juwita yang digips.
Gadis itu tersenyum dan menggeleng.
"Sekarang udah jauh lebih mendingan," jawabnya.

"Mau kusuapi buah?" Mika menawarkan. Juwita menggeleng. "Nggak, aku nggak lapar," jawabnya.

"Aku tadi baru mampir ke rumah bibimu. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaiin terlebih dahulu, jadi nanti sore baru bisa ke sini. Jangan khawatir, aku akan menjemputnya," ujar Mika lagi.
Juwita mengangguk.

"Oh iya, kamu udah mengunjungi Pinky?" tanya gadis itu kemudian.

Mika mengangguk. Setiap hari malahan.

Memang begitulah sebenarnya. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri mengunjunginya, secara sembunyi-sembunyi. Lebih sering ketika Pinky sedang tertidur dan sendirian, baru ia akan mampir ke kamarnya.

"Bagaimana keadaannya? Aku pengen nemuin dia dan ngucapin makasih padanya karena udah menyelamatkanku," ucap Juwita lagi.
"Dia udah membaik kok," jawab Mika datar.

"Oh, aku punya sesuatu buat kamu." Buru-buru pemuda itu mengalihkan pembicaraan. Ia meraih kotak yang tadi ia letakkan di atas nakas lalu membukanya. Ia mengeluarkan sebuah bunga Azalea mungil yang berada di pot.

"Teman-teman bilang memberikan bunga yang masih hidup pada orang sakit akan membuat kamu cepat sembuh." Ia tersenyum lalu beranjak meletakkan pot tersebut di lankan jendela.
"Cantik, 'kan?" Ia berujar bangga.

Juwita tersenyum masam lalu mengangguk lirih. Ia terdiam sesaat.

"Mik, aku ingin nanyain sesuatu ke kamu," ucapnya kemudian.

"Oke, bertanyalah." Mika menjawab tanpa bergerak dari samping jendela.

Gadis itu tampak ragu sesaat.

"Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Pinky?"

Deg.

Dada Mika serasa ditohok. Sakit, syok, tak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu. Ia membeku seketika. Bingung akan reaksi yang semestinya ditunjukkan, perlahan ia terkekeh garing.
"Bicara apa, sih, kamu?" Ia balik bertanya.

Juwita menelan ludah. Dan Mika tahu bahwa kedua matanya berkaca-kaca.

"Jangan bohong sama aku lagi, Mik. Walau kamu nggak cerita, aku tahu semuanya. Aku bisa melihatnya manakala kamu menatap Pinky. Ada cinta di sana, di matamu. Dan aku yakin cinta itu untuknya, bukan buatku." Suaranya serak.

"Aku ada di sana ketika kecelakaan itu terjadi. Aku terjatuh, Pinky juga. Kamu seharusnya memperhatikanku terlebih dahulu karena aku pacarmu. Tapi nyatanya, kamu malah lebih mencemaskannya. Kamu menangis untuknya, kamu khawatir padanya. Terlihat jelas bagaimana perasaanmu padanya." Gadis itu menatap manik mata Mika dengan saksama. Yang ditatap serasa tak punya nyali. Ia menunduk sesaat, baru kemudian membalas tatapan Juwita.

"Maafin aku."
Hanya itu yang mampu ia katakan. Ia tak berusaha membantah ataupun membela diri. Dan kalimat itu lebih dari cukup untuk membuat Juwita mengetahui sebuah kebenaran yang selama ini senantiasa ia pikirkan.

Kebenaran bahwa Mika, pacarnya, jatuh cinta pada gadis lain.

"Jadi ...," suaranya getir. "Sejak kapan kamu jatuh cinta padanya?"

Mika menggigit bibir.
Sejak kapan ia jatuh cinta pada Pinky?
Sejak ia melihatnya berlumuran darah di pangkuannya?
Sejak ia mencicipi masakan buatannya?
Sejak mereka berciuman di mobil?
Atau, sejak ia melihat gadis itu terlibat keributan dengan panitia Dance Competition demi untuk membela sahabat-sahabatnya?
Atau bahkan, sejak mereka tersesat di hutan?
Atau sejak ia melihatnya tersenyum?
Atau justru sejak ia melihatnya menangis untuk pertama kali.
Entah, sungguh Mika tak tahu kapan tepatnya.
Ia hanya yakin pada satu hal bahwa, ia memang jatuh cinta padanya.

"Sejak kapan, Mik?" Juwita meratap.
Mika menggeleng pasrah.
"Entah, aku nggak tahu," jawabnya.
Dan air mata Juwita menitik.

"Maafin aku." Mika kembali berucap putus asa, menyaksikan gadis di hadapannya menangis dan terluka.
"Maafin aku ...." ulangnya.
Dan ia tak bergerak, atau bahkan berusaha menenangkannya.
Sungguh ia tak tahu harus bagaimana.

***

Pinky sedang duduk bersandar di ranjangnya ketika Juwita datang ke kamar perawatannya.

Ayah dan ibunya baru saja keluar. Sementara teman-teman yang biasa menemaninya sudah pamit pulang sejak lima menit yang lalu.

"Hai." Juwita menyapa terlebih dulu sambil melemparkan senyum padanya. Ia berdiri canggung di ujung ranjang yang ditempati Pinky.
"Hai." Pinky menjawab dan balas tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?" Ia bertanya.
"Baik. Dokter bilang besok aku udah boleh pulang," jawab Juwita. Ia menunjuk lengannya yang digips. "Nggak separah kelihatannya kok," lanjutnya.
"Syukurlah," Pinky manggut-manggut.
"Kamu sendiri?" Juwita balik bertanya.

Pinky hanya terkekeh lirih sambil menunjuk perban yang mengelilingi kepalanya.

"Pinky, maaf karena aku, kamu harus terluka."

"Nggak apa-apa, yang penting kita berdua selamat," sergah Pinky.

"Aku nggak tahu gimana caranya untuk ngucapin terima kasih ke kamu karena kamu udah nyelametin nyawaku. Jika saja kamu nggak mendorongku di waktu yang tepat, aku pasti udah remuk tertimpa lampu sebesar itu."

Pinky kembali terkekeh.
"Dan sebagai gantinya aku malah nyaris membuat lenganmu patah."

"Enggak, kamu yang menyelamatkanku. Malah aku yang membuat kamu harus menerima banyak jahitan di kepala."
Keduanya tertawa lirih. Sama-sama bersyukur, setidaknya mereka tidak kehilangan nyawa.

"Kamu datang ke sini sendirian?" Pinky bertanya hati-hati. Tapi Juwita tahu bahwa gadis itu berusaha menanyakan tentang Mika.
"Iya." Ia menjawab pendek.
"Sebetulnya tadi Mika mengunjungiku. Tapi sekarang ia harus pulang dulu ke rumah untuk menjemput bibi. Dia mau berkunjung."

"Oh." Pinky manggut-manggut.

"Dan jujur, aku datang ke sini tanpa sepengetahuannya."

Kali ini mereka berpandangan dengan intens. Menyebut nama Mika sebagai topik pembicaraan sama halnya menempatkan mereka pada diskusi serius, tidak mungkin tidak.
Dan mereka tahu bahwa, saatnya bicara dari hati ke hati.

"Pinky, aku tahu ini nggak sopan. Tapi bisakah kita bicara serius tentang Mika?"
Dan tanpa menjawab, Juwita tahu bahwa diamnya Pinky berarti 'ya'.
Lagipula, walau gadis itu menolak berbicara tentangnya, tetap saja ia akan membahasnya. Kepalang basah, tak mungkin baginya untuk mundur.

"Pinky ...."
Ini bukan panggilan, ini mirip suara ratapan. Karena untuk selanjutnya, ia melihat kedua mata Juwita berkaca-kaca.

"Pinky, aku nggak peduli jika kamu akan menganggapku jahat. Tapi ... aku mohon jangan ambil Mika dariku."

Rahang Pinky kaku. Ia terkekeh sinis.
"Dia pacarmu, aku nggak akan mengambilnya. Dia milikmu," ucapnya.

"Aku hanya memiliki raganya, bukan hatinya."
Jawaban Juwita membuat Pinky terhenyak.
"Dan aku nggak keberatan walau hanya memiliki raganya," lanjut Juwita. Air matanya menitik sekarang.

"Aku nggak paham apa yang kamu maksudkan? Mika pacarmu, dia mencintaimu---"

"Dia mencintaimu. Dan aku yakin kamu udah tahu," potong Juwita.

"Juwita ...." Pinky mengerang.

Air mata gadis itu kembali menitik.
"Aku mohon jangan ambil dia, Pinky. Kamu tahu bahwa aku nggak punya apa-apa lagi selain dia. Aku nggak tahu rasanya punya ayah, aku menderita sejak kecil. Kehadiran Mika di kehidupanku merubah segalanya. Dia membuatku merasakan arti kebahagiaan. Dia memperlakukanku dengan sempurna hingga aku lupa semua luka yang pernah aku rasa. Jika dia pergi, aku akan hancur." Isak tangis Juwita tertahan.

Pinky memejamkan mata sejenak, merasakan denyut nyeri di kepalanya.
Dan lirih ia berujar, "Keluar dari sini."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro