Bab 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah Juwita meninggalkan kamar perawatan Pinky beberapa menit yang lalu, tangis gadis itu pecah. Ia sesenggukan, merasakan denyut nyeri di jahitan lukanya yang kian menjadi.

Ada bersit penyesalan ketika Ia membentaknya. Membentak Juwita dan menyuruhnya keluar. Bukan karena ia marah oleh perkataan Juwita. Ia hanya perlu waktu untuk berpikir sejenak, mencerna semua peristwa yang terjadi padanya secara bertubi-tubi.

Mendapati Juwita menangis di hadapannya, meratap, bahkan memohon padanya agar tidak mengambil Mika, hatinya serasa teriris.

Bagaimana mungkin ia akan menyerah akan pemuda itu?

Setelah sekian lama mengejarnya, memperjuangkan cintanya, bagaimana mungkin ia akan berhenti begitu saja?

Ia tak mati rasa. Ketika mereka berciuman, ketika bibirnya bertemu dengan bibir Mika, ia tahu bahwa pendirian pemuda itu sudah lebur.

Mika menginginkan dirinya.

Ada gelenyar cinta pada sentuhannya.

Hal yang sudah bisa dipastikan bahwa Pinky mulai bisa menggetarkan jiwanya, mendobrak pertahanannya, dan sedikit demi sedikit memiliki hatinya.

Harusnya gadis itu senang.

Harusnya ia bahagia.

Nyatanya, begitu melihat Juwita meratap di hadapannya, meminta Mika seutuhnya karena ia sendiri sebatang kara, Pinky tercekat. Ia merasa jahat.

Ia takkan sanggup merebut Mika dan membiarkan Juwita hancur. Ia takkan tega.

Pintu terbuka dan beberapa kepala menyembul dari sana.

"Pinky, apa tadi Juwita mengunjungi ... mu?" Yuna berujar riang. Namun begitu ia menyadari Pinky yang sedang menangis, kalimatnya tertelan kembali ke tenggorokan. Eri, Jefri dan Dimas yang berdiri berjubel di ambang pintu tertegun. Senyum di wajah mereka lenyap.

"Astaga, ada apaan, sih?" Eri berujar cemas sembari bergerak mendekati Pinky diikuti teman-temannya yang lain.

"Apa kamu ngerasa sakit? Yang mana yang sakit?"

"Perlu aku panggilin dokter?"

Mereka bertanya silih berganti dengan bingung.

Bahu Pinky terguncang, ia terus saja menangis.

"Pinky, ada apa?" Yuna menggamit bahu gadis itu dan memeluknya lembut.

Pinky meraung.

"Aku akan ngelupain Mika, Yun. Aku nggak akan ngejar-ngejar dia lagi. Biarlah Juwita memilikinya. Biarlah mereka bersama, aku akan melupakannya."

Kalimat itu bercampur dengan raungan dan juga isak tangis.

Keempat temannya berpandangan.

Dan ia tahu apa yang sedang Pinky alami. Tadi mereka sempat berpapasan dengan Juwita di lorong kelas. Dua gadis itu pasti membicarakan soal Mika. Entah apa tepatnya, tapi melihat reaksi Pinky, itu pasti bukan hal yang menyenangkan.

Dengan perasaan iba, Jefri dan Dimas menatap Pinky yang terisak di pelukan Yuna.

Sekarang mereka tahu betapa gadis itu mencintai Mika.

Sangat.

***

Setelah membantu Juwita berkemas, Mika mengantarkan gadis itu pulang ke rumah paman dan bibinya.

Sesaat setelah ia membantunya berbenah di kamar, gadis itu kembali menangis.

"Mika, tadi sebelum pulang, aku sempet menemui Pinky dan bicara padanya." Ia membuka suara.

"Aku minta pada dia untuk ngelupain kamu karena aku nggak akan sanggup berpisah darimu." Air matanya menitik.

Mika berdiri kaku, tak tahu harus memberikan reaksi seperti apa.

"Aku ngerasa jahat karena telah melakukannya. Aku mohon jangan benci aku ya, Mik. Aku nggak pengen jadi jahat. Aku cuma terlalu bingung. Aku ngerasa sendirian, sebatang kara. Dan hanya bersama kamu aku merasa ... lengkap." Ia kembali sesenggukan.

Mika menelan ludah. Ada rasa getir di tenggorokkannya. Dengan langkah gontai ia mendekati Juwita, lalu memeluknya lembut.

"Selama kamu masih membutuhkanku, aku akan selalu berada di sisimu," bisiknya.

Dan kali ini hatinya terasa remuk berkeping-keping.

***

Waktu istirahat pertama, Juwita terlihat makan sendirian di kantin. Tak ada Mika di sisinya.

Sudah dua hari ini gadis itu masuk sekolah. Ia sudah terlihat sehat, walau salah satu tangannya masih digips. Apa boleh buat, perannya di pertunjukkan drama terpaksa diganti mengingat keadaannya yang seperti itu.

Sementara itu, Eri, Yuna, Jefri dan Dimas ada di meja yang berada tak jauh darinya. Mereka juga sedang menikmati makan mereka sambil sesekali mengobrol dengan tak bersemangat.

Pinky memang sudah pulang dari rumah sakit, tapi ia belum diijinkan masuk sekolah oleh dokter. Keikutsertaannya di drama juga batal. Dan seperti biasa, jika Pinky tak ikut, mereka juga tidak.

Yuna yang pertama kali menyadari keberadaan Juwita. Ia pula yang menyaksikan gadis itu tampak kerepotan menggunakan satu tangannya untuk makan.

Tanpa ragu gadis itu beranjak menuju tempat duduk Juwita.

"Biar aku bantu," dan tanpa menunggu persetujuan dari Juwita, Yuna membantu memotong-motong lauk di mangkuk dalam ukuran yang lebih kecil sehingga Juwita lebih mudah memakannya.

Juwita menatapnya bingung. Yang ditatap hanya tersenyum lembut.

"Maaf ya jadi ngerepotin." Juwita berujar dengan penuh penyesalan.

Yuna tersenyum.

"Santai aja. Kalo kamu butuh bantuan, kami siap kok membantu. Jangan sungkan untuk memintanya pada kami," jawabnya.

"Gaess, ayo pindah ke sini aja. Agar kita bisa makan bareng-bareng." Ia berujar pada Eri, Dimas, dan Jefri.

Dan tanpa keberatan, mereka bangkit, menenteng nampan makan mereka lalu duduk melingkar di dekat Juwita.

"Nah, kalau gini 'kan lebih seru," ucap Dimas. Yang lain mengiyakan.

Juwita tercengang. Ia menatap mereka secara bergantian.

"Kalian duduk di sini? Bersamaku?" Ia berujar tak percaya.

Mereka tersenyum.

"Wit, kami nggak akan ikut campur masalah antara kamu, Mika, dan juga Pinky. Tapi yang pasti, kita semua bersahabat, 'kan? Kamu nggak sendirian, kamu nggak sebatang kara. Ada kami di sini dan kami siap membantu jika kamu mengalami kesulitan. Jangan pendam sendiri setiap masalah yang kamu alami agar kamu nggak tertekan. Berbagilah. Kami, termasuk Pinky, akan dengan senang hati membantumu." Yuna berucap lembut.

Kedua mata Juwita berkaca-kaca.

Sahabat?

Entah kenapa, kata-kata itu terdengar begitu luar biasa baginya.

Ia ingat ketika dulu Pinky secara tak sengaja berusaha membantunya. Ketika ia dikeroyok Sonya, ketika ia hanya makan acar dan Pinky memberinya potongan-potongan daging, dan juga pertolongan lainnya.

Simpel, tak kentara, tapi bermakna.

Kenapa ia tak membuka diri untuk menjalin persahabatan lebih dalam dengannya, dengan sahabat-sahabatnya?

Selama ini ia hanya terpaku pada sosok Mika yang kerap melindungi dirinya. Tanpa ia sadar bahwa sahabat-sahabatnya yang lain pun berusaha melindunginya, membantunya.

"Makasih ya," dan Juwita berucap haru. Tanpa sadar air matanya menitik.

Jefri buru-buru meraih tisu dan menyodorkannya pada Juwita.

"Mari jadi sahabat yang baik." Eri berkata antusias.

Dan mereka mengiyakan, termasuk Juwita, yang akhirnya mengangguk dengan perasaan membuncah.

"Iya..." ucapnya lagi, tulus.

***

Ini semacam Deja Vu.

Beberapa bulan menjelang ujian, mereka harus kembali mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Lagi. Dan acara ini wajib diikuti, tak boleh tidak. Pak guru Yono bilang, supaya semua siswa bisa fresh menjelang ujian.

"Ini namanya bukan refreshing, Pak. Refreshing tuh jalan-jalan, bebas. Ini kenapa harus diberi tugas bikin laporan, sih? Kami bisa tambah stres pak menghadapi ujian nanti." Pinky yang protes pertama kali ketika mereka telah sampai di tujuan, bergabung dengan kelompok masing-masing untuk segera melakukan jalan-wisata-sambil-menulis-laporan, di hutan. Pak guru Yono yang kali ini menjadi penanggung jawab kegiatan cuma nyengir.

"Anggap aja ini latihan untuk ujian mendatang," jawabnya.

"Kami sudah sering latihan, Pak. Bisa-bisa rambut kami rontok. Lihat nih, bekas jahitan di kepala saya langsung nyeri," dan gadis itu masih saja mengomel sambil menunjukkan puncak kepalanya.

"Pinky, kamu sudah sembuh. Luka itu sudah berbulan-bulan yang lalu," jawab pak guru Yono.

"Tapi, Pak ...."

"Faktanya kamu sudah sampai di sini. Ayo sana, segera bergabung dengan kelompokmu." Perintah pak guru Yono lagi.

Bibir Pinky mengerut sebal. Sambil terus bersungut-sungut, ia melangkah dan bergabung dengan kelompok yang telah ditentukan. Ia tak satu kelompok dengab Eri, Yuna, Jefri maupun Dimas.

Ia sempat berpapasan sekilas dengan Mika dan Juwita yang berjalan beriringan. Entah mereka berada dalam kelompok yang sama atau tidak, Pinky tak peduli.

Sudah lama mereka - ia dan Mika, tak bertegur saja. Sengaja menjaga jarak, dan menghindari interaksi satu sama lain. Jangankan bertegur sapa, saling lempar senyum saja tidak. Intinya, mereka bertingkah seperti orang asing. Berharap bahwa ini jalan terbaik untuk mereka berdua, maupun untuk Juwita.

***

Kelompok Pinky tiba kembali di pos semula sekitar jam tiga sore, berbarengan dengan beberapa kelompok lain yang tiba di sana.

Gadis itu baru saja meletakkan tas ranselnya di dekat kaki, menenggak air minum dari botol bergambar pokemon yang ia bawa, ketika beberapa siswa yang entah dari kelompok berapa, tergopoh-gopoh mendatangi pak guru Yono.

"Pak guru, Eri dan Yuna terpisah dari kami. Dan sampai sekarang kami nggak tahu mereka di mana. Kami kehilangan jejak, Pak," lapornya.

"Apa?!" Semua memekik kaget, tak terkecuali Pinky.

Gadis itu terbelalak. Eri dan Yuna hilang? batinnya.

Kemudian tanpa menggubris teman-temannya yang lain, gadis itu melemparkan botol minumnya, lalu melesat kembali dan menembus rimbunnya pepohonan.

"Pinky! Kamu mau kemana?"

Sayup ia mendengar suara pak guru Yono. Tapi ia tak peduli. Membayangkan Eri dan Yuna tersesat di hutan belantara, ketakutan, ia tak mampu berpikir lain selain mencari mereka.

***

"Eriiii!! Yunaaaa!!"

Berkali-kali Pinky meneriakkan nama gadis itu. Tapi tak ada sahutan. Ia berhenti sejenak mengatur nafas sambil menyeka peluh di keningnya sampai akhirnya suara itu mengagetkannya.

"Harusnya kamu nggak berlari ke sini kayak orang idiot!" bentak sesorang.

Pinky menoleh ke arah suara tersebut dan gadis itu terpana. Ia tak salah lihat. Saat ini Mika ada di sana, berdiri dengan ngos-ngosan sekitar seratus meter darinya. Pemuda itu menelan ludah dan mengatur ritme napas yang terlihat tak beraturan. Tampak jelas bahwa pemuda itu baru saja berlarian layaknya orang gila.

"Kok ... kamu di sini?" tanya Pinky bingung. Mika terbatuk kecil.

"Aku khawatir sama kamu, Bodoh! Kamu berlari kembali ke hutan kayak orang kesetanan! Dan aku harus berlari ngejar-ngejar kamu!" Ia kembali membentak.

Pinky bengong. Hah?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro