Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Pinky bingung. Mika terbatuk kecil.
"Aku khawatir sama kamu! Kamu berlari kembali ke hutan kayak orang kesetanan! Dan aku harus berlari mengejarmu!" Ia kembali membentak.

"Kenapa kamu harus repot-repot mengkhawatirkan aku dan ngejar aku ke sini? Aku udah belajar dengan baik tentang hutan ini, dan aku nggak akan tersesat lagi," bantah Pinky ketus.

"Tetap aja langkahmu ini ceroboh! Pak guru sedang berusaha menghubungi penjaga untuk membantu mencari keberadaan Eri dan Yuna. Mereka pasti bisa segera ditemukan. Harusnya kamu nggak bertindak gegabah kayak gini!" Mika tampak emosi.
Pinky melotot ke arahnya dengan kesal.

"Lalu apa urusanmu?! Aku nggak butuh kamu mengkhawatirkanku! Aku nggak butuh bantuanmu! Aku akan tetap mencari Eri dan Yuna, menemukan mereka, dan membawa mereka kembali bersamaku, titik!" Gadis itu mengeram, lalu berbalik.
Melangkahkan kembali kakinya secara asal tanpa mempedulikan Mika.

"Pinky!" Pemuda itu memanggil sambil mengekori langkahnya.
"Jangan ngikutin aku!" Pinky membentak, sekilas menatap Mika yang berjalan di belakangnya, tanpa menghentikan langkah.
"Pinky, ayo kembali. Percayalah, Eri dan Yuna pasti akan segera ditemukan."
"Enggak!" Pinky menjerit. "Aku akan tetap mencari mereka!"
"Kalau begitu aku akan membantumu." Mika terus saja mengikuti langkah gadis itu.

"Aku nggak butuh bantuanmu." Pinky protes. "Dan berhenti mengikutiku!" Ia menjerit frustrasi sambil sesekali menghentakkan langkahnya dengan kesal. Namun begitu, Mika masih juga mengekori dirinya hingga gadis itu makin kesal.

Pinky berbalik, berkacak pinggang, dan berteriak, "Sudah aku bilang, jangan mengikutiku! Pergi sana!"
Lalu ia melangkah lagi.

"Aku nggak akan kembali tanpa kamu! Aku akan kembali ke pos asal kamu ikut kembali sama aku! Titik!" Mika berteriak, tampak kesal.

Keduanya berpandangan tajam. Pinky makin jengkel. Setelah apa yang terjadi di antara mereka akhir-akhir ini, tak pernah ada niat sedikitpun di benaknya untuk tersesat berdua dengan Mika, lagi.
Ia sudah merelakan pemuda itu untuk Juwita. Kalau mereka berduaan seperti ini, ia takut hatinya akan goyah. Ia takut tergoda untuk mendapatkan Mika lagi.

"Udah deh, pergi aja sana! Kamu nggak perlu repot-repot membantuku! Juwita pasti khawatir sama kamu, kembalilah." Pinky kembali berbalik lalu melangkah.

"Pinky!" Mika bergerak menyamai langkah gadis tersebut, beberapa berusaha menarik tangannya, namun Pinky menyentaknya kasar.

"Udah aku bilang jangan ngikutin aku!" bentak Pinky.

"Dan udah aku bilang, aku nggak akan kembali tanpa kamu." Mika tak gentar.

"Jangan sok perhatian padaku! Urusi aja pacarmu!"

"Aku nggak punya pacar."

Eh?

Langkah Pinky berhenti mendadak hingga membuat Mika yang berjalan di belakangnya menubruk punggungnya.
"Ups, sorry." Pemuda itu mundur dua langkah.

Pinky berbalik dan menatapnya bingung.
"Kamu bilang apa?"
"Apanya?" Mika ganti bertanya.
"Kamu bilang kamu nggak punya pacar?"
"Aku emang nggak punya pacar."
"Lalu Juwita?"
"Kami udah putus."
"Hah?" Pinky melongo.
"Serius?"
Mika mengangguk.
"Kapan?"
"Beberapa bulan yang lalu. Seminggu setelah kamu keluar dari rumah sakit."

Pinky ternganga.
"Kenapa kalian putus?"

Mika menggigit bibir sebelum akhirnya menjawab. "Karena akhirnya aku sadar bahwa ternyata aku mencintai kamu. Maaf kalo aku terlambat menyadarinya."

Keduanya berpandangan.
Hening sejenak. Hanya terdengar suara hembusan angin dan suara-suara serangga khas hutan belantara.

"Kamu mencampakkan Juwita?"

Mika menggeleng cepat. "Enggak. Aku mendampinginya karena dia membutuhkanku. Dan ketika ia sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri, berdamai dengan dirinya sendiri, waktunya bagi kami untuk saling mengucapkan salam perpisahan. Sekarang dia baik-baik aja," jawabnya.

Rahang Pinky kaku. Ia menelan ludah, dan tanpa mengatakan apapun gadis itu berbalik lalu kembali melangkah.

"Pinky?" panggil Mika, berusaha menarik lengannya tapi gadis itu menyentak dengan kasar.
"Kamu marah?"
Pinky tak menjawab.
"Ada apa?"
Lagi-lagi gadis itu tak bersuara.
"Pinky, katakanlah sesuatu!"

Gadis itu berbalik dengan kasar, dan Mika melihat bahwa kedua mata gadis itu sudah basah.
"Lalu kamu pengen aku bilang apa?" Pinky meratap.
Jantung Mika serasa mencelos. Air mata Pinky adalah kelemahannya.

"Setidaknya aku udah mengakui cintaku ke kamu. Terserah kamu ingin memberikan respon bagaimana?" ucapnya. "Aku nggak pantas memilikimu setelah bertahun-tahun menolak dirimu. Aku nggak pantas menerima balasan cinta darimu setelah apa yang aku lakuin ke kamu selama ini. Aku, berengsek."

Kilat amarah terlihat di kedua mata Pinky berbarengan dengan titik demi titik air matanya yang berjatuhan.

"Kamu emang berengsek." Ia mengeram.
"Aku benci kamu!" Dan ia kembali berbalik.

"Setidaknya ayo kembali bersamaku. Setelah itu bencilah aku sepuasmu!"

"Pergi kamu!"

"Pinky?" Pemuda itu berusaha menjangkau lengan Pinky.

"Enyah kamu dari hadapanku!" Pinky mengibaskan tangan, lalu mendorong tubuh Mika dengan kasar.

Tapi mungkin ia kelewatan. Ia terlalu keras mendorong tubuh pemuda itu hingga pemuda itu oleng, kakinya terpeleset, dan dalam hitungan detik, tubuhnya meluncur bebas menuruni lereng.

"Mika!" Pinky memekik. Gadis itu panik. Niatnya ingin menolong Mika, tapi malah tubuhnya ikut oleng dan ia ikut meluncur bebas di belakang tubuh Mika, terperosok makin dalam ke lereng dan ... byuuurrr.

Beruntung, dua sosok itu malah jatuh ke sungai, bukan di bebatuan.

Setelah sempat terhempas ke dalam sungai, Pinky yang muncul ke permukaan pertama kali. Kedalaman sungai itu ternyata setinggi pinggang orang dewasa.

"Mika!" Ia berteriak.
Dan sosok itu pun muncul.  Dekat dengannya. "Aku di sini." ia mengusap wajah, kemudian berlanjut ke kepalanya. Pemuda itu belum sempat berdiri sempurna, belum pula selesai mengusap tetesan air di wajahnya manakala Pinky menghambur dan memeluk dirinya erat. Tangisnya pecah.

"Maafin aku, aku tadi nggak bermaksud melukaimu. Aku tadi nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa 'kan, Mik?" Nada suaranya cemas.

Mika tertegun, sempat merasa bingung, toh sebuah senyum tersungging di bibirnya.
Ia merasakannya. Perasaan Pinky padanya masih sama.

"Aku nggak apa-apa." Ia menjawab dan membalas pelukan Pinky. Membelai rambutnya yang basah kuyup, lalu menepuk punggungnya lembut.

***

Pinky dan Mika bergerak ke daratan. Untuk sesaat, mereka disibukkan dengan aktivitas memeras baju, mengeringkan sepatu, dan juga memeriksa barang-barang di tas yang basah.

"Pinky, aku cinta sama kamu." Mika berujar lagi, setelah mereka selesai mengeringkan diri, setelah keadaan sempat sunyi sejenak.
Pinky tak menjawab, tak mengarahkan pula tatapannya pada Mika.

"Aku cinta sama kamu." Kali ini kalimat Mika lembut.
"Apa kamu nggak cinta sama aku lagi?" Pandangannya tak beralih dari Pinky.

"Aku masih cinta sama kamu, Mik. Tapi aku nggak akan ngejar-ngejar kamu lagi. Aku udah capek."
Di luar dugaan, kali ini Pinky menjawab.

Mika beranjak, ia bergerak dan berdiri di depan Pinky.
"Kamu nggak perlu melakukannya lagi. Kamu nggak perlu ngejar-ngejar aku lagi, aku yang akan berhenti," ucapnya.
Pinky yang tadinya asyik membuang tatapannya ke tempat lain, kali ini menengadah dan menatap lurus ke manik mata Mika.

Pemuda itu tersenyum menyerah.
"Ibarat kapal, sekarang waktunya berlabuh, waktunya berhenti. Jangan ngejar-ngejar aku lagi, karena aku nggak akan kemana-mana. Tempatku adalah di sini, di sisimu," ucapnya tulus.

Bibir Pinky bergetar, kedua matanya berkaca-kaca.
"Syukurlah, karena aku bener-bener lelah ngejar-ngejar kamu," jawabnya serak.
"Kalau gitu, biar aku menebusnya." Mika menaruh tas ranselnya di depan perut kemudian ia berbalik, lalu berjongkok di depan Pinky.
"Jika kamu lelah, aku yang akan menggendongmu," ucapnya.
"Naiklah," perintahnya.

Pinky menatap punggung pemuda itu.
"Tapi tubuhku berat," ujarnya.
"Nggak apa-apa, asal cintamu padaku juga berat. Agar aku bisa membawanya dengan hati-hati." Mika menjawab serak.

Air mata Pinky menitik.
Cintanya pada pemuda ini masih sama. Besar, sebesar tekadnya yang harus jungkir balik selama bertahun-tahun mengejar dirinya.

Dengan air mata berderaian, Pinky bergerak dan naik ke punggung Mika. Pemuda itu bangkit, dan mulai melangkah menembus lebatnya hutan dengan hati-hati.

Sepanjang perjalanan menuju pos, Pinky tak berhenti menangis. Ia sesenggukan, menumpahkan semua tangis yang selama ini ia bendung di punggung Mika.
Seolah semua beban dan rasa lelah terbayar sudah.

Yang ia tak tahu, Mika juga menitikkan air mata. Sama seperti dirinya, pemuda itu juga menangis haru dalam perjalanan kembali ke pos awal.

Dan ketika sampai di sana, Eri dan Yuna sudah ditemukan oleh beberapa polisi hutan.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro