Bab 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Setelah sempat terlibat pertengkaran dengan Dimas dan dipanggil ke kantor, Pinky kembali ke kelas dengan bersungut-sungut. Tak henti-hentinya gadis berhidung bangir itu meratapi kukunya yang patah.

Ia menyeruak ke dalam kelas dan langsung menghampiri Mika di bangkunya.
"Kenapa kamu kasihkan kue itu ke orang lain?" Gadis itu nyerocos seraya duduk begitu saja di samping pemuda itu.

Mika yang tadinya asyik mengutak-atik ponsel di tangan, menoleh dan menatap gadis di sampingnya dengan malas-malasan.

"Kamu udah ngasihkan kue itu ke aku, terserah aku 'kan mau ngasihkan ke siapa," jawabnya.

"Tapi itu sama aja dengan nggak menghargai pemberianku."

"Kan sejak awal aku udah nolak. Kamu-nya yang maksa."

"Tapi jangan terang-terangan gitu dong!"

"Masih untung aku nggak membuangnya ke tempat sampah."

"Kamu nggak bakal berani melakukannya!"

"Mau coba?"

"Mika!" jerit Pinky frustasi.

Keduanya berpandangan, sama-sama terlihat kesal.

"Ngomong-ngomong, ngapain
kamu duduk di sini?" tanya Mika kemudian.

"Aku mau duduk di sini," jawab Pinky santai.

"Ini bukan tempat dudukmu." Gigi Mika terkatup.

Gadis cantik di sampingnya mengangkat bahu cuek.
"Emang, tapi aku pengen duduk di sini. Di sisimu, titik."

"Kamu nggak bisa lihat denah ya?" Mika membuka tas, mengeluarkan secarik kertas lalu menunjukkannya tepat di depan wajah Pinky.

"Lihat. Kamu duduk di sana, bukan di sini." Pemuda itu menunjuk kursi yang berada di belakangnya.

"Dan yang seharusnya duduk di sini adalah ... dia." Dengan dagunya, ia ganti menunjuk seorang pemuda yang berdiri kikuk.

Pinky mendongak dan menyaksikan Dimas tersenyum kaku. Dimas?

Oh, yang ia obok-obok mulutnya itu 'kan?

Buru-buru Pinky mengedipkan mata.
"Tukar tempat duduk sama aku ya? Aku duduk di sini, kamu yang di belakang." Ia berucap manja pada pemuda berhidung mancung tersebut.

"Nggak bisa!" Mika yang menyahut keras.

Tanpa menatap padanya, Pinky melemparkan senyum manis ke arah Dimas.

"Hei Si Hidung perosotan, apa yang kamu minta? Katakan padaku dan aku bakal ngasih apa aja, asal kamu mau bertukar tempat duduk sama aku. Oke?" Gadis itu mengedipkan matanya lagi dengan cantik.

Yang dipanggil 'Hidung Perosotan' ternganga.
"P-perosotan?!" jeritnya.

"Jika kamu berani menyuap Dimas, aku mau pindah kelas!" Mika terdengar frustrasi sekarang.

Pinky menoleh dan menatapnya dengan mata berkilat.
"Iya, iya. aku nggak bakal pindah tempat duduk." Ia sewot.

Mengangkat pantat, gadis itu bergerak ke kursi belakang. Tepat ketika ia berpapasan dengan Dimas, ia menatapnya tajam.

"Urusan kita belum kelar," ancamnya, penuh intimidasi.

***

Setiap pagi, beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi, Pinky tetap setia berdiri di depan pintu gerbang menunggu Mika, sambil membawakannya kotak makan yang berisi kue, kadang berisi makan siang.

Pinky tahu bahwa makanan-makanan itu akan diberikan pada orang lain, tapi entah kenapa ia tak bisa untuk menghentikan kebiasaannya, memberikan Mika sesuatu.

Yah, setidaknya pemuda itu tidak membuang makanan pemberiannya ke tempat sampah.

Tiga menit menunggu, yang dinanti nongol dari sebuah BMW berwarna hitam metalik, diantarkan sopir.

Mika berasal dari keluarga berada. Ayahnya seorang pebisnis sukses, dan ibunya pemilik sebuah rumah sakit swasta yang cukup besar di Indonesia.

No, jangan salah.

Pinky jatuh cinta padanya bukan karena ia kaya raya. Bahkan jika pemuda itu dilahirkan miskin, ia akan tetap jatuh hati setengah hidup pada dirinya.

Lagipula, tak ada alasan bagi Pinky untuk bersikap matre. Keluarganya sendiri sudah kaya raya tujuh turunan. Bahkan jika gadis itu memutuskan bermalas-malasan, tak bekerja, ia masih tetap bisa menikmati kekayaan orang tuanya sampai ia tua.

"Mikaaaa ...." Pinky menyapa ceria seraya berlari menghampiri pemuda jangkung tersebut. Yang disapa hanya menunjukkan muka masam.

"Good morniiing." Gadis itu menyapa lagi, lalu mengulurkan kotak makan pada Mika.

"Ogah." Pemuda itu menjawab singkat, tanpa menghentikan langkah.

"Aku bakal terus maksa sampai kamu mau nerima." Pinky tersenyum manis sambil menyamakan langkah mereka.

"Kalo aku mau nerima, apa kamu bakal menghentikan kebiasaan memberi hal kayak gini?"

"Enggak-lah. Menerima atau menolak, aku bakal tetap nyiapin makan siang buat kamu, hehe." Pinky terlihat semringah.

Mika mendengkus.
"Akan aku berikan pada orang lain lagi," ujarnya.

"Terserah." Pinky menjawab enteng.

"Aku buang ke tempat sampah aja deh."

"Terserah." Lagi-lagi Pinky menjawab cuek.

Mika menghentikan langkah dan menatapnya geram.

"Mau kamu apa sih?" desisnya.

"Ngasihin ini." Lagi-lagi Pinky menjawab tanpa ekspresi bersalah.

Mika nyaris mencekik lehernya sendiri karena kesal.

"Lagipula itu pasti bukan buatanmu sendiri, kan? Berani-beraninya kamu ngasih itu dengan percaya diri?" desisnya.

"Emang bukan. Di rumah banyak pelayan yang bisa aku perintah untuk ngebuatin makanan sesukaku, terus kenapa aku harus repot-repot membuatnya sendiri," balasnya.

"Setidaknya kamu harus bisa membuatnya sendiri biar istimewa, idiot." Mika kembali mendesis, nyaris mengumpat - walau sudah.

"Apa kalo aku membuatnya sendiri, maka kamu bakal nerima dan memakannya?"

Mika tak menjawab.

"Nah, enggak 'kan? Nggak ada jaminan kamu bakal memakan masakan buatanku. Jadi kenapa aku harus repot-repot membuatkan makanan buatmu? Toh ada pelayan yang bisa melakukannya." Pinky menyeringai.

Mika mengepalkan tangannya.

"Ah, udah deh. Bawa sini." Pemuda itu mengambil kotak makan dari tangan Pinky dengan kasar, lalu beranjak.

Pinky terkikik geli sambil menatap kepergiannya.

"Harga dirimu benar-benar udah jatuh, Ping." Seseorang mengeluh sambil menepuk pundaknya.

Pinky menoleh dan dua sahabat baiknya, Eri dan Yuna sudah berdiri di sampingnya.

Pinky menyapa mereka sambil tertawa.
"Biarlah," jawabnya enteng.

"Ini udah bertahun-tahun, apa kamu nggak lelah ngejar-ngejar dia?"

"Enggak." Pinky menjawab pertanyaan Yuna dengan cepat. "Tenagaku masih cukup banyak untuk mengejarnya," lanjutnya.

Gadis itu terus melangkah sembari melakukan gerakan ikoniknya, kibas rambut.

Eri dan Yuna berpandangan miris, lalu bergerak mengikuti Pinky dan menggamit lengannya.

"Ya udah deh, semoga kamu kuat," ucap mereka kemudian.

Dan mereka terkikik bersama.
"Oh iya, ada murid baru di kelas kita." Eri memberitahu.
"Oh ya? Dari keluarga mana dia? Papanya pengusaha apa? Mamanya pemilik apa?" tanya Pinky santai.

Hal yang lumrah ia menanyakan hal seperti itu karena semua yang sekolah di sini rata-rata adalah anak orang kaya dan pewaris kerajaan bisnis keluarga mereka.

"Entah. Aku denger sih dia sekolah di sini karena beasiswa," jawab Yuna.

"Oh berarti dia dari keluarga miskin," ucap Pinky enteng.

***

Pinky tak menyangka bahwa murid baru yang dibicarakan Eri dan Yuna ternyata seorang gadis yang cantik luar biasa.
Sangat cantik.

Tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang dan tebal, kulitnya kecoklatan dengan kesan eksotis, suaranya yang terdengar merdu ketika berbicara, belum lagi senyumnya yang begitu lembut dan menawan.

Ada kesan elegan dari pembawaannya yang kalem dan tenang. Betapa dia gadis yang sempurna secara fisik.

Kehadirannya sontak membuat siswa heboh, terutama murid laki-laki yang begitu kepincut dengan pesonanya.

Tak henti-hentinya mereka berdecak kagum melihat sosok gadis itu. Bahkan ketika ia memperkenalkan diri di depan kelas dengan suaranya yang merdu dan senyumnya yang lembut, sebagian murid laki-laki menatapnya tanpa berkedib dan nyaris mengeluarkan air liur.

Ketika pak guru menyuruhnya untuk memilih tempat duduk yang kosong, beberapa siswa heboh ingin memberikan kursi padanya.

"Duduk di sini aja." Tiba-tiba Mika berdiri sambil mengangkat tangan.
"Duduk di sini aja." Ia mengulang, lalu menunjukkan kursi di sampingnya.

Pinky ternganga.

"Hei, ini tempat duduknya Dimas. Dia sedang ke kamar mandi dan ntar balik lagi," protesnya.

Mika menoleh dan menatap gadis itu.

"Aku udah bikin kesepakatan sama dia untuk bertukar tempat duduk. Dia bersedia memberikan tempat duduknya pada murid baru ini."

"What?!" Pinky nyaris memekik tak percaya."Lalu Dimas duduk di mana?" tanyanya lagi.

"Di sisimu," balas Mika dengan sorot mata kemenangan. Ia menunjuk kursi kosong di sisi Pinky.

Gadis itu melotot.

"MIKAIL ANGELO!" jeritnya.

***

Dan begitulah akhirnya, siswa baru itu duduk di samping Mika. Sementara Dimas pindah di kursi di samping Pinky.

Pinky melihat interaksi antara Mika dan murid baru yang kini duduk di sampingnya. Ia juga melihat bagaimana Mika berbicara dengan gadis itu, menatap dirinya, takjub.

Pinky mungkin bebal, tapi ia tak mati rasa.

Dari cara Mika menatap gadis itu, Pinky tahu bahwa ia terpesona padanya.

Mika terpesona paga gadis itu.

Murid baru, bernama Juwita.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro