Bab 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


~ Kejarlah dia sesukamu. Kelak jika kau lelah, berhentilah. Aku yang akan memijit kakimu.~

----------

Pelajaran jam pertama baru saja dimulai. Masing-masing kelas perlahan nampak tenang dan serius.

Namun kemudian ketenangan itu sirna ketika terdengar keributan minor di lorong kelas.

Terdengar derap kaki, lalu di susul derap kaki yang lain. Berurutan.

Merasa penasaran, beberapa siswa yang duduk dekat jendela, tepat di samping lorong kelas, melongokkan kepala. Hendak mencari tahu sumber keributan tersebut.

Dan mereka menyaksikan sepasang muda-mudi sedang berlarian, berkejar-kejaran, di sepanjang lorong kelas.

"Dimaassssss!" teriak Pinky tanpa menghentikan langkah kaki dan terus berlari mengejar sosok jangkung berambut kriwil yang berlari sekitar 100 meter di depannya.

"Berhenti nggak?!!" teriak Pinky lagi.

"Ogaaahhh!" Dimas berteriak histeris.

"Aku nggak akan ngobok-obok mulutmu lagi, percayalah!"

"Tetep aja ogaaahh! Kamu nggak bisa dipercaya!"

"BERHENTI WOIII!"

Dan mereka terus saja berkejar-kejaran.

"Astaga, apa yang mereka lakuin?"

"Apa mereka ribut lagi?"

"Ah, mereka kekanak-kanakkan banget sih."

"Menurutku dua orang ini udah stress."

Beberapa siswa yang melihat peristiwa itu mulai berbisik tak menentu.

"Dimaaass! Berjuanglaaah! Jangan sampai kamu ketangkep!"

Seorang siswa yang duduk di bangku paling pojok dekat jendela, entah kelas berapa, malah memberikan kalimat penyemangat pada Dimas.

Beberapa siswa lain akhirnya juga ikut-ikutan. Bahkan mereka berjubel di dekat jendela, bersorak, seolah tengah menyaksikan pertandingan olimpiade atletik.

Lumayan, hiburan gratis.

"Dimaaaas, MERDEKAA!! Jangan sampe kamu ketangkeepppp!" teriak mereka.

Yang dikasih semangat cuma nyengir, lalu makin menggebu-gebu melarikan diri.

Pinky ternganga. Menatap sadis ke beberapa kepala yang menyembul dari jendela kelas.

Sial, ini yang sableng siapa sih? Gerutunya.

Tak putus asa, ia meningkatkan kekuatan demi bisa mengejar Dimas. Pemuda itu harus tertangkap, bagaimanapun caranya, titik.

"Kenapa sih kamu bersedia bertukar tempat duduk sama murid baru itu, hah?!" teriak Pinky.

Dimas menoleh ke belakang sekilas, tanpa mengurangi kecepatan larinya.

"Aku udah terlanjur sepakat sama Mika!" jawabnya.

"Apa yang dia janjiin ke kamu?!"

"Ngebeliin makan siang di kantin, semauku, gratis!"

"Kalau kamu mau makan gratis, kamu tinggal ngomong! Akan kubeliin! Kalo perlu aku beliin kantinnya sekalian! Berapa sih yang kamu mau? Dua kantin? Tiga kantin? Bilang aja asal kamu mau bertukar tempat duduk denganku!" Pinky menjerit.

"Ogah, aku udah terlanjur sepakat sama Mika!" Dimas balas berteriak.

"Lah terus buat apa kamu lari?! Toh akhirnya kamu bakal tetep aku tangkep karena kita duduk satu bangku!"

Dimas serasa ditimpuk batu.

Benar juga? Ia sudah terlanjur membuat kesepakatan dengan Mika untuk menukar tempat duduk dengan Juwita, dan dia sendiri dengan Pinky.

Lalu untuk apa ia capek-capek melarikan diri kalau ujung-ujungnya dia nanti tetap bertemu Pinky.

Pemuda itu meratap, tamat riwayatku, desisnya.

"Pak guruuuuuu! Tolong sayaaaahhh...!!" Dan ia semakin kencang berlari, mencoba menyelamatkan diri dari Pinky.

***

Mika tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Betapa ia begitu terpesona dengan makhluk baru di kelasnya, Juwita.

Gadis yang teramat cantik, ramah, dan menyenangkan.

Duduk sebangku dengannya, sering menghabiskan waktu dan mengobrol banyak hal dengannya, membuat Mika mulai tahu banyak hal tentang gadis itu.

Bahwa Juwita bersekolah di sini karena beasiswa, bahwa ia berasal dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan bisa dikatakan kurang berada.

Ayah Juwita meninggal sejak kecil, jadi selama ini ia hanya tinggal berdua dengan ibunya.

Selama ini ibunya bekerja sebagai seorang asisten rumah tangga di sebuah keluarga konglomerat.

Juwita sendiri bahkan harus bekerja paruh waktu di sebuah restoran tradisional demi untuk membantu ibunya mencari nafkah. Betapa ia gadis yang sangat tangguh.

Di usianya yang masih semuda itu, ia sudah harus merasakan beratnya beban hidup.

Menjadi anak yatim, banting tulang bekerja paruh waktu, dan masih harus disibukkan dengan kegiatan sekolah.

Mika benar-benar takjub, terpesona.

Merasa bahwa gadis ini benar-benar berbeda dari kebanyakan gadis yang ia temui.

Selalu berada di sekolah elit, yang ia temui adalah gadis-gadis kaya raya yang manja, yang hanya tahu menghamburkan uang, dan hanya tahu bersenang-senang dengan harta orang tua mereka.

Ngomong-ngomong soal gadis manja yang gemar menghambur-hamburkan uang, Mika jadi teringat seseorang.

Pinky.

Tiba-tiba saja ia merasakan aura horor menghinggapi dirinya manakala mengingat gadis tersebut. Tengkuknya terasa gatal, seolah ada sesuatu yang merayap di sana. Seolah ia tengah diawasi oleh makhluk lain dengan limpahan kekuatan supranatural. Oke, ini berlebihan.

Tapi firasatnya benar.

Ketika ia menoleh, ia menyaksikan gadis yang baru saja hinggap di benaknya, tengah berdiri di ujung lorong kelas, bersedekap, dan menatap dirinya dengan sebal.

Mika menelan ludah.

Takut jika tiba-tiba gadis itu berlari dan menghambur ke arah dirinya, buru-buru pemuda itu berujar pada gadis di sampingnya.

"Juwita, bukankah kamu tadi pengen ke perpustakaan? Yok, aku anterin." Ia menarik tangan Juwita dan mengajaknya melangkah lebih cepat.

Awalnya Juwita tampak bingung, tapi akhirnya ia mengiyakan saja ajakan Mika.

Sementara di ujung lorong kelas, Pinky menatap adegan itu dengan muka masam.

"Apa kamu ngelihat apa yang kami lihat, Pinky?" Eri dan Yuna menghampiri Pinky dan masing-masing dari mereka menggamit lengan gadis itu.

"Sekarang Mika jadi makin deket sama Juwita. Mereka sering ngabisin waktu bersama-sama. Di mana ada Juwita, pasti di situ ada Mika. Menjengkelkan banget," ucap Eri.

Pinky tak menjawab. Ia masih menatap lorong kelas, walau bayangan Mika dan Juwita sudah tak ada di sana.

"Ada juga yang bilang kalo Mika beberapa kali nganterin Gadis itu pulang. Kelihatannya, kedekatan mereka nggak main-main. Kamu 'kan tahu Mika tipe orang yang dingin dan lebih suka menyendiri. Dengan teman-teman lelakinya aja dia nggak seramah itu. Apa kamu pikir hubungan mereka..."

"Bodo ah." Pinky bersuara pendek. Ia melepaskan pegangan tangan kedua sahabatnya, lalu berbalik.

"Mau ke mana?"

"Mencari Dimas. Itu, si kriwil." Ia melangkah, meninggalkan kedua sahabatnya.

Gadis itu sampai di anak tangga ketika seorang cowok manis berhidung mancung menghadang langkahnya.

Cowok itu tersenyum hangat.

"Pinky, halo." Ia menyapa lebih dulu.

Pinky mengernyit dan menatap sosok itu bingung.

"Kamu nggak tau aku ya?"

Pinky menggeleng polos.

Cowok itu manggut-manggut, tak tampak tersinggung.

"Aku Jefri, kelasku berada tepat di sebelah kelasmu," jawabnya.

"Ow." Pinky kembali manggut-manggut. "Lalu?"

"Ada hal yang ingin kusampein ke kamu."

"Oke, silahkan."

"Bisa kita mengobrol di taman?"

Pinky menatap ke sekelilingnya sekilas. Menyadari banyak siswa lain berlalu lalang di lorong maupun di anak tangga, ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan ke taman.

"Oke." Ia menjawab.

Akhirnya mereka beranjak menuju taman. Berjalan berdampingan, dengan langkah cepat.

Sebenarnya Pinky-lah yang berjalan cepat. Jefri hanya sekedar menyamakan langkah.

Jefri mengajak gadis itu duduk di salah satu bangku kayu tapi ia menolak dan memilih berdiri.

"Berdiri aja, karena aku harus segera nyariin seseorang. Apa yang ingin kamu omongin?" ucapnya.

Jefri menggigit bibir, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, terkesan mengatur kata-kata.

"Pinky, aku ngelihat kamu pertama kali di acara penerimaan siswa baru, ketika kamu maju ke podium memberikan pidato singkat sebagai peraih nilai tes tertinggi."

"Terus?" Pinky bertanya tak sabar.

"Terus ... dari kesan pertama ngelihat kamu di sana, sepertinya ... aku jatuh cinta sama kamu."

Hening.

Pinky menatap Jefri dengan ekspresi datar, tak terlihat kaget sama sekali.

"Jadi, aku pengen bilang kalo sekarang aku resmi menyatakan cinta ke kamu." Jefri berujar lagi.

"Tapi kamu tahu 'kan kalau aku cuma cinta sama Mika," sergah Pinky, enteng.

"Tahu kok."

"Terus kenapa kamu nekat bilang cinta sama aku?"

"Karena kenyataannya aku emang jatuh cinta sama kamu."

"Tapi di pidato itu udah jelas kubilang kalo aku cuma akan mencintai Mika, nggak yang lain."

"Toh Mika juga nggak ngebales perasaanmu, kan?" Jefri memotong dengan percaya diri.

"Dan bukan berarti aku akan jatuh cinta sama kamu, kan?"

"Aku cuma bilang bahwa aku cinta sama kamu, Pinky. Aku nggak minta kamu ngebales cintaku."

Jawaban yang cukup telak.

Pinky mencibir.

Sialan, kenapa ada orang absurd selain dirinya di sekolah ini? Ia mengumpat.

"Jadi kamu maunya apa?" tanya Pinky sebal.

"Aku cuma ingin menyampaikan perasaanku ke kamu. Setidaknya kamu tahu bahwa aku jatuh cinta sama kamu. Masalah apakah nanti kamu bisa membalas perasaanku, atau justru kamu terus menerus mengharapkan Mika, kita pikir aja belakangan."

"Terus ...?"

"Terus ..." Jefri mengusap tengkuknya. Kali ini mukanya bersemu merah.

"Aku nggak keberatan ngejar-ngejar cintamu," lanjutnya, sambil menyeringai lebar, hingga menyebabkan kedua matanya nyaris serupa garis mendatar.

Pinky menarik napas bosan.

Ingin berkata lagi tapi kalimatnya tertahan manakala manik matanya menangkap sosok jangkung melenggang di lorong kelas.

"Ah, terserah kamu aja deh." Ia menjawab asal, lalu memutuskan beranjak, meninggalkan Jefri, tanpa berpamitan lagi padanya.

Mempercepat langkah, ia menjangkau sosok yang sejak tadi ia cari-cari.

"Dimas!" panggilnya.

Yang punya nama menoleh, tampak terkejut, tapi tak melarikan diri seperti yang selama ini ia lakukan.

Terbiasa ribut dengan Pinky, sekarang pemuda itu sudah kuat mental. Nyalinya makin besar, walau terkadang masih agak takut.

Sosok itu mengerang ketika Pinky menghampiri dengan langkah cepat.

"Apa kamu masih dendam soal masa lalu? Soal tukar tempat duduk itu? Masih dendam juga karena aku bertukar tempat duduk sama Juwita?" Ia ketus sekarang.

Pinky mencibir.

Pinky bersedekap angkuh dan menatap pemuda itu tajam.

"Akan kuingat itu sampai mati. Gara-gara kamu sekarang Mika semakin dekat sama Juwita. Coba mereka nggak sebangku, mereka nggak bakalan sedekat ini. Cuma gara-gara diiming-imingin makan gratis sama Mika, kamu menjual diri. Ini kalo pejabat, kamu udah kena pasal gratifikasi, ditangkap KPK." Gadis itu berujar ketus.

Dimas membalas tatapan gadis cantik di hadapannya. Raut mukanya tak kalah sebal.

"Sebenarnya bukan karena Mika menjanjikan sesuatu padaku. Aku mau bertukar tempat duduk dengan Juwita karena sejak awal aku emang ingin duduk di sebelahmu," jawabnya.

Kening Pinky mengerut.

"Kenapa kamu pengen duduk di sebelahku? Kamu nggak jatuh cinta sama aku, kan?" jeritnya asal.

"S-sepertinya begitu." Kali ini Dimas menjawab agak gugup.

"Sepertinya begitu ... apanya?!" Pinky membentak, membuat Dimas makin gugup.

"Aku jatuh cinta sama kamu. Jangan nanya sejak kapan karena aku sendiri nggak ingat," ucapnya.

Pinky melongo sesaat.
"Tapi kan kamu tahu kalau aku jatuh cinta sama Mika," ucapnya.

"Tahu kok," balas Dimas.

"Dan aku hanya akan mengejar dirinya!"

"Aku juga tahu."

"Lalu kenapa kamu masih lancang mengucapkan cinta padaku?"

Dimas menggaruk kepalanya.

"Karena aku nggak pandai berbohong," jawabnya kemudian. "Lagipula, terserah. Kamu bebas mengejar cinta Mika sampai kapanpun. Kejarlah dia sesukamu. Kelak jika kamu lelah, berhentilah, aku yang akan memijit kakimu."

Pinky ternganga.

Busyet, makhluk absurd bertambah satu lagi!

Pelan gadis itu memutar tubuhnya ke arah taman. Dan dia bisa melihat bahwa cowok manis bermata indah bernama Jefri itu masih di sana.
Berdiri, menatap ke arahnya, tersenyum, lalu melambaikan tangan.

Pinky teringat ucapan cowok itu bahwa ia juga bersedia mengejar cintanya.

Gadis itu kembali mengarahkan pandangannya kepada Dimas. Teringat juga bahwa si kriwil ini juga mengejar cintanya.

Mendelik, gadis itu menjerit frustrasi, "KOK PADA NGEJAR AKU SIH?! INI KEJAR MIKA WOIII!! BUKAN KEJAR PINKY!!"

Lah?

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro