Bab 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, apa kita tersesat?" tanya Pinky sambil tetap mengikuti langkah Mika di belakangnya.

Pemuda itu tak menjawab. Ia terus saja bergerak, menembus rimbunnya semak dan pepohonan dengan langkah lambat-lambat, berharap ada keajaiban bahwa mereka menemukan jalan keluar.

Lelah berputar-putar, ia memutuskan berhenti, lalu mengatur napasnya yang tersengal.

Cowok itu menelan ludah, menaruh kedua tangannya di pinggang, lalu menatap Pinky dengan tatapan pasrah.

"Well, terpaksa aku jawab pertanyaan kamu bahwa, ya, kita tersesat," ucapnya.

Pinky yang nampak kelelahan mendesah. "Sudah kuduga," ucapnya.

"Kita istirahat di sana." Mika menunjuk tanah datar dengan sebuah pohon besar di sisinya. Pemuda itu bergerak ke sana dan Pinky mengikuti.

Setelah sempat meneguk sedikit air dari botol, mereka beristirahat sebentar.

"Jika tim SAR nggak segera nemuin kita, sepertinya kita akan bermalam di sini. Jadi ayo kita lihat ada apa di tas kita masing-masing. Yang jelas, kita butuh makanan, minuman, dan tentunya, senter." Mika menarik tas yang tadi ia letakkan di sisinya, lalu mulai membongkar dan mengeluarkan semua isinya. Botol minum, makanan ringan, roti, santer, kotak obatan-obatan, beberapa perlengkapan mendaki, semua ia tata dengan rapi di depannya.

Pinky sempat mengeluh sesaat lalu melakukan cara yang sama seperti yang di lakukan Mika. Mengeluarkan isi tas ransel, lalu menatanya dengan rapi di dekat barang-barang Mika.

Ia suka berduaan dengan cowok ini, tapi tersesat di hutan belantara dengannya, tak pernah terpikir sedikitpun di benaknya.

Bagaimana ia akan makan?

Bagaimana jika ia kelaparan?

Bagaimana jika ia ingin ke kamar kecil?

Bagaimana jika ada hewan buas menerkam mereka?

Bagaimana jika ia mati di tempat ini?

Gadis itu mendesah frustrasi.

"Hanya ini?" Mika menatap deretan barang-barang Pinky di dekat barangnya. Hanya ada beberapa potong roti, beberapa bungkus makanan kecil, coklat bars, kotak make up, dan juga toiletries.

"Nggak ada kotak obat-obatan?" tanyanya.

Pinky menggeleng.

"Nggak ada peralatan mendaki?"

Pinky kembali menggeleng.

"Dan cuma ini makanan dan minuman yang kamu bawa?"

"Lha terus? Apa aku harus bawa kulkas ke sini?" Pinky berujar kesal.

Mika mengerutkan bibir, ikut terlihat sebal.

"Kamu ini pergi ke hutan, bukannya membawa banyak makanan, eh malah lebih memilih membawa peralatan make up?" semburnya jengkel.

Pinky sewot.
"Kita dijadwalkan hanya akan menghabiskan waktu 4 jam di hutan ini. Mana aku tahu kalo akhirnya kita malah tersesat? Aku gak punya rencana untuk tidur dan menikmati waktu di sini!" jawabnya sengit.

Mika mengerutkan bibirnya dan mendesah kesal.
"Bersiap-siap aja kalo kita akan menghabiskan malam di sini," ucapnya kemudian.

Pinky membuang pandangannya ke sekitar. Tak terlalu buruk, pikirnya. Tanah di sini datar dan sedikit lebih nyaman dibanding yang sudah mereka lewati barusan. Jika ada hewan buas, mereka bisa menyelamatkan diri dengan naik ke pohon. Ia bisa kok memanjat.

"Aku akan nyiapin tempat bermalam di sini. Bisa kamu bantu carikan kayu bakar yang kecil-kecil aja?" Mika kembali bersuara.

Pinky menatap ke arahnya lalu mengangguk.

"Oke." Ia menjawab pendek seraya beranjak, mencari kayu bakar sesuai perintah Mika.

Gadis itu baru beberapa menit pergi ketika akhirnya Mika mendengar teriakannya. Pemuda itu bangkit lalu segera melesat menuju asal muasal teriakan tersebut.

"Ada apa?!" Ia bertanya cemas ketika dilihatnya gadis itu.

Pinky berteriak dramatis, "Kukuku patah! Lihatlah ini! Patah dua lagi! Kukuku jadi kelihatan jelek!"
Ia menunjukkan jemarinya pada Mika.

Mika melotot.

"Kamu berteriak histeris dan nyaris membuat aku jantungan cuma gara-gara kuku patah?!" teriaknya.

Pinky mengangguk polos. "Aku sayang banget sama kukuku, jadi wajar aja dong kalo aku terpukul," jawabnya enteng.

Gigi Mika gemerutuk.
"Cewek sableng," desisnya kesal, lalu memungut beberapa kayu bakar yang sempat dikumpulkan Pinky kemudian membawanya ke tempat istirahat mereka. Sementara Pinky mengikuti langkahnya dengan tangan kosong.

"Kalo gitu kamu aja yang nyiapin tempat bermalam. Buat api dengan kayu ini, aku bawa korek di tas. Aku mau cari kayu bakar lagi." Mika menawarkan.

"Aku nggak tahu caranya bikin api. Aku takut kulitku terbakar." Pinky menjawab cepat.

Mika menggigit bibir, nyaris meledakkan amarahnya.

"Ya udah, aku nyalain api, kamu yang buat makan malam." Ia mencoba mengalah.

"Aku nggak bisa masak." Lagi-lagi Pinky menjawab enteng.

"LALU KAMU BISANYA APA?!" Amarah Mika meledak.
"Kamu nggak bisa cari kayu, nggak bisa nyalain api, kamu bahkan nggak bisa masak! Lalu apa aja yang kamu lakuin di rumah?! Juwita juga cewek, tapi banyak hal yang bisa dia lakukan! Dia mandiri, dia pinter masak, pinter bersih-bersih, dia mahir melakukan semua pekerjaan rumah. Hidup berdua dengan ibunya dia selalu bersemangat melakukan sesuatu, nggak seperti kamu yang bisanya bermanja-manja, ngabisin duit, dan khawatir kukunya patah!"

Teriakan Mika berdengung di telinga Pinky. Gadis itu berdiri kaku. Kedua matanya berkaca-kaca.

Sungguh, ia tak pernah merasa dihina seperti ini. Dibanding-bandingkan dengan gadis lain oleh orang yang ia cintai, rasanya jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit ketika cintanya ditolak.

Ia tahu Mika dan Juwita berpacaran, ia tahu bahwa pemuda itu mencintainya, dan mungkin hanya gadis itu yang akan jadi satu-satunya. Tapi, tak pernah terbersit sedikitpun di benaknya bahwa pemuda itu akan bersikap setega ini padanya!

"Apa pentingnya sih kamu nyeritain tentang pacar kamu ke aku?!" Gadis itu berteriak.

"Agar kamu bisa belajar darinya."

"Apanya yang harus dipelajari? Bahwa dia dilahirkan miskin? Bahwa dia bekerja keras karena ayahnya udah meninggal? Bahwa ia adalah tulang punggung keluarga? Bahwa ia mahir mengerjakan banyak hal? Bahwa hidupnya menderita? Kamu ini mencintainya apa kasihan padanya?!"

"AKU MENCINTAINYA!"

"YA UDAH! KALO GITU HARUSNYA KAMU PACARAN DENGANNYA KARENA DIA ADALAH JUWITA! BUKAN KARENA DIA ANAK YATIM YANG HIDUPNYA SENGSARA!" Pinky berteriak.

Jlebb.

Kata-kata itu tajam, menohok jantung Mika. Ibarat anak panah yang dilesatkan, tepat mengenai sasaran.

Pemuda itu mematung, tak mampu berkata-kata.

"Apa? Kamu nggak terima? Kata-kataku bener, 'kan? Jika kamu emang mencintainya, harusnya kamu pacaran dengannya karena dia adalah Juwita. Bukan karena dia begini ataupun dia begitu. Ingat, rasa cinta dan simpati adalah dua hal yang berbeda, dan bedanya tipis."

Rahang Mika kaku. Berani-beraninya gadis ini menceramahinya tentang cinta? Sedangkan dia sendiri adalah sosok yang cintanya telah ia tolak.

"Nggak usah sok tahu kamu" desisnya, memperingatkan.

Pinky berdecih sinis. Seulas senyum getir muncul di bibirnya.

"Kamu nggak adil, Mik. Hanya karena kamu tahu secuil kisah tentang Juwita, bahwa ia anak yatim yang harus banting tulang menghidupi keluarganya, bahwa hidupnya menderita karena kemiskinan, bahwa ia harus bekerja keras karena keadaan, lantas kamu memberi kesempatan pada dirimu sendiri untuk mau mengenalnya lebih jauh. Lalu aku? Apa aku harus punya cerita yang kelam agar kamu mau memperlakukan cara yang sama ke aku? Membuka sedikit saja hatimu untukku? Dan ngasih kesempatan pada dirimu sendiri untuk mau lebih mengenalku?"

Hening.

Lagi-lagi, kalimat yang keluar dari mulut Pinky ibarat tamparan di kedua pipi Mika.

Pemuda itu gamang.

Apa yang terjadi padanya?

Ia mencintai Juwita karena dia adalah ... Juwita. Bukan karena hal lain. Tapi manakala ia memikirkan kembali perkataan Pinky, serasa ada yang mengganjal di dadanya.

"Apa aku harus bernasib sama seperti Juwita agar kamu mau ngelirikku? Apa aku harus miskin, nggak punya ayah, dan bekerja paruh waktu sebagai tulang punggung keluarga agar kamu mau membuka sedikit aja, hanya sedikit aja hatimu buatku?" Suara Pinky parau.

"Sorry, Mik. Kalau itu yang kamu harepin, aku nggak akan bisa seperti dirinya. Faktanya, aku lahir dari keluarga kaya, aku nggak pernah merasakan hidup susah, aku nggak pernah ngerasain susahnya cari uang, dan aku emang hanya tahu bermanja-manja dan ngabisin duit. Orang tuaku memperlakukan aku dengan sempurna. Dan satu lagi, hidupku bahagia, sejak dulu kala," lanjutnya. Air matanya nyaris tumpah.

Sementara pemuda di hadapannya mematung, diam seribu bahasa.

"Dan kamu lupa satu hal, Mik." Bibir Pinky bergetar. Matanya yang basah menatap lurus ke raut wajah di hadapannya. "Aku Pinky, bukan Juwita," desisnya.

Gadis itu bergerak, meraih tas ranselnya tanpa memasukkan kembali barang-barang yang ia keluarkan ke dalam sana, lalu menggantungkan ke salah satu bahu.

"Sudah aku bilang, aku nggak berencana tersesat sama kamu," ucapnya getir. Dan tepat ketika air matanya menitik, ia melangkah meninggalkan Mika, menembus lebatnya semak dan pepohonan. Mengabaikan matahari yang bergerak pelan di ufuk barat dan akan segera berganti petang.

Mika menelan ludah. Terlalu bingung ingin melakukan apa. Mencerna semua kata-kata Pinky, pemuda itu jadi gamang. Raut penyesalan terpampang nyata di wajahnya.

Harusnya ia tak melakukan ini. Melukai hati Pinky, lagi.

Ingin ia berlari menyusul gadis itu, meminta maaf padanya, memintanya kembali, tapi rasa egois mengambil kendali atas tubuhnya.

Dan akhirnya ia lebih memilih untuk melihat gadis itu pergi, membiarkan sosoknya lenyap tertelan jarak.

Pemuda itu bergerak, menyalakan api unggun, menyiapkan tempat menginap, hingga hari benar-benar gelap.

Menatap barang-barang Pinky yang masih tertinggal bersamanya, akhirnya ia menyerah.

Memutuskan untuk membuang rasa ego, ia bergerak mengambil senter, lalu melesat ke arah yang sama yang dilalui Pinky, menerjang hari yang makin petang, mencari gadis itu.

***

"Pinky!" Ia berteriak berulang-ulang, sambil mengarahkan senternya ke seluruh penjuru.

"Pinky! Dimana kamu!?" teriaknya.

Sempat merasa kalap, hingga akhirnya sayup-sayup ia mendengar suara isak tangis dari arah berlawanan.

Tanpa berpikir dua kali, ia melesat, mendekati suara tersebut.
Dan sekian menit kemudian, dengan berbekal sinar dari senter di tangannya, ia menemukan sumber isak tangisan tersebut.

Sosok ringkih itu ada di sana. Meringkuk di bawah pohon, menekuk kedua lutut dan melipat lengan tangan di atasnya, gadis itu menyembunyikan wajahnya di sana. Bahunya terguncang, ia sesenggukan.

Melihat pemandangan itu, jantung Mika terasa berlompatan, miris.
Ia menelan ludah dengan penuh iba, merasa seperti pemuda paling jahat sedunia.
Ia menyakiti gadis itu, melukai perasaannya, dan membuatnya menangis.

"Pinky?" Mika memanggil lirih sambil berjalan mendekatinya.

Pinky mendongak, menyibakkan rambutnya yang berjuntaian, lalu menatap ke arah Mika.
Air matanya berderaian, dan ia terlihat rapuh tak berdaya.

"Aku tahu kamu nggak suka sama aku, Mik. Tapi membandingkan aku dengan Juwita, itu terlalu menyakitkan buatku," isaknya.

Dan sungguh, Mika ingin menghambur ke arahnya, memeluknya, meminta maaf padanya, dan membuatnya merasa aman di sisinya.

"Maafin aku, Pinky. Aku salah. Aku nggak akan melakukannya lagi, aku janji." Mika menjatuhkan dirinya dan duduk di samping gadis itu.
Ia mengulurkan tangan, menyapu air mata di pipi Pinky dengan lembut.

"Maafin aku," ulangnya.

Dan akhirnya ia melakukannya.

Meraih tubuh gadis itu lalu memeluknya erat. Membelai rambut Pinky dengan lembut, dan membisikkan kata maaf di telinganya, berulang-ulang.

Dan untuk pertama kalinya, Pinky menumpahkan seluruh tangisnya di dada pemuda itu.

Pemuda yang sama, yang nyaris ia tangisi berkali-kali.

***

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro