Bab 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dan akhirnya mereka menghabiskan malam mereka di hutan.

Mika terbangun dini hari, entah pukul berapa, ketika merasakan sesuatu menabrak tubuhnya. Sempat merasa kaget, pemuda itu menyipitkan mata dan menyaksikan tubuh hangat Pinky berdusal padanya.

Bingung, mencoba memikirkan apa yang terjadi karena ia yakin bahwa mereka berangkat tidur dengan posisi berjauhan. Tapi sekarang, tubuh mereka bahkan menempel tanpa jarak.

Siapa yang mendekat duluan?

Ia, ataukah Pinky?

Entahlah.

Gadis itu tidur dengan nyaman di sisinya, seolah tak merasa terganggu sama sekali. Kadangkala bibirnya mendesis, menggigil kedinginan merasakan udara malam yang menggigit dan menerpa dirinya.

Iba, Mika beringsut membuka resleting jaket, lalu menarik tubuh Pinky ke dekapannya. Kemudian dengan salah satu sisi jaketnya yang terbuka, ia menyelimuti tubuh gadis itu, lalu memeluknya erat.
Berharap agar cara itu bisa menghangatkan dirinya dan juga Pinky.

Dan berhasil, karena tak berapa lama kemudian mereka kembali tertidur dengan nyaman, berpelukan. Bergumul seperti gumpalan kepompong dalam satu jaket, milik Mika.

***

Setelah melewatkan malam dengan aman, dan setelah makan pagi yang cukup dengan sisa bekal yang ada, mereka bergegas kembali melakukan perjalanan. Mencoba mencari jalan keluar, hanya berdasarkan insting.

"Jika hari ini tim SAR tetep nggak berhasil nemuin kita, atau kita yang nggak berhasil nemuin jalan keluar, maka kita akan bermalam di hutan lagi." Mika membuka suara sambil menatap sekeliling.

Pinky yang mengikuti langkahnya hanya mengangguk.

"Berapa sisa makanan yang masih kita punya?"

"Tinggal dikit." Pinky menjawab.

Mika berhenti sesaat, sengaja menunggu langkah Pinky yang sedikit tertinggal agar mereka berdiri sejajar.

"Lelah?" tanya pemuda tersebut.

Pinky menggeleng, dan mereka kembali berjalan bersisihan.

"Mungkin setelah ini kita bakal makan buah-buahan liar lagi." Mika kembali bersuara.

"Oke, nggak masalah. Asal nggak beracun." Pinky menjawab.

"Dan mungkin kita bakal minum air dari sungai."

Lagi-lagi Pinky menjawab, "Oke, nggak masalah."

Mika menarik napas lelah, lalu menghentikan langkah. Membuat gadis di sampingnya juga ikut berhenti.

"Ada apa, sih?" Ia bertanya bingung.

Mika meletakkan kedua tangannya di pinggang dan menatap Pinky dengan heran. Yang ditatap hanya mengerjap, makin bingung.

"Pinky, kamu nggak apa-apa, 'kan?"

"Emang aku kenapa?"

"Kamu aneh. Maksudku, ini nggak kayak kamu. Sedari pagi kamu lebih banyak diam. Kamu nggak banyak ngomong kayak biasanya. Biasanya kamu bakal teriak heboh, mengeluhkan tentang kuku, rambut, kaki, baju, semuanya. Tapi, hari ini kamu cuma bicara pendek-pendek," keluhnya.

Pinky terdiam.

"Kamu nggak sakit, 'kan?"

Gadis itu menggeleng.

"Lalu?"

"Kalau aku banyak omong, mengeluh tentang ini dan itu, kamu pasti bakal marahin aku lagi, terus ngebandingin sama Juwita." Akhirnya Pinky menjawab.

Mika tertegun.

"Aku nggak akan melakukannya. 'Kan aku udah janji," ujarnya kemudian.

"Janji?"

"Janji."

Pinky manggut-manggut.
"Baiklah."

Dan begitulah, tak berapa lama kemudian gadis itu kembali ke jati dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan ia heboh, mengeluhkan ini dan itu.

Bedanya, kalau dulu Mika akan sebal karena ulahnya, sekarang ia hanya tersenyum geli manakala gadis itu bersikap kekanak-kanakan. Kadang-kadang, ia malah dibikin gemas oleh kelakuannya.

***

"Lihat nih kukuku, patah. Kutex-nya pun mengelupas. Dan coba rasain tanganku, astaga, ini kasar. Padahal aku rajin pakai pelembab." Pinky menyodorkan kedua tangannya ke arah Mika.

Pemuda itu melihat sekilas, lalu mengangkat bahu. Padahal beberapa waktu yang lalu gadis itu sudah meributkan soal rambutnya yang seperti ijuk.

"Nanti kalo kita udah bisa keluar dari sini, 'kan bisa diperbaiki di salon," jawabnya sambil meneguk sedikit air dari botol minum. Mereka tengah istirahat sebentar di bawah sebuah pohon, melepas lelah.

"Tapi tanganku menjijikkan banget. Rasain deh kalo nggak percaya." Pinky menarik tangan Mika agar memegang tangannya.

"Ya, 'kan?"

"Enggak, ini nggak terlalu buruk," jawabnya. Ia tak berbohong, karena menurutnya tangan Pinky baik-baik saja. Memang sih kutex-nya tak lagi terlihat licin, tapi itu tak seburuk yang ia pikirkan.

"Sungguh?"

"Sungguh," jawab Mika lagi.

Merasa sedikit lega, gadis itu beringsut menjauhi Mika tanpa berhenti menatap jemari tangannya.

Ia sempat meneguk minuman dan makan beberapa potong coklat sebelum akhirnya kembali heboh.

Kali ini ribut soal jerawat di ujung hidungnya.

Beberapa kali menatap bayangan di cermin kecil yang ia bawa, tak henti-hentinya ia meratap.

"Mika, lihatin deh, ini merah, ini jerawat!" Ia berteriak histeris sambil menunjukkan hidungnya ke arah Mika.

"Hanya jerawat kecil, nggak apa-apa." Pemuda itu menjawab setelah memperhatikan hidung Pinky.

"Bagaimana kalo ini makin besar? Bagaimana kalo jumlahnya makin banyak?! Aku pasti kelihatan jelek!" keluhnya.

Mika menarik napas sabar.
"Ntar kita cari air biar kamu bisa cuci muka. Oke?"

Bibir Pinky manyun.
"Sumber air ya? Ide yang bagus." Ia beringsut lagi.

Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama, karena Pinky kembali heboh. Kali ini soal lingkaran hitam di bawah matanya.

"Ini pasti karena aku tidur nggak pake masker. Kamu lihat ini nggak, sih? Ada lingkaran hitam di bawah mataku. Aku kayak vampir!"

Mika menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu menatap mata Pinky. Ia mendesah.

"Nggak apa-apa kok. Nggak ada lingkaran hitam di sana. Matamu masih terlihat cantik," ucapnya.

"Beneran?"

"Iya."

Keduanya berpandangan.

"Ngomong-ngomong, terima kasih karena kamu bilang mataku cantik." Pinky beringsut lagi.

Menyadari perkataannya, Mika merasakan wajahnya memanas. Pemuda itu berdehem beberapa kali, mengalihkan pikiran.

Mereka baru akan melanjutkan perjalanan ketika Pinky kembali heboh.

"Apa lagi, sih?" Mika memutar matanya sebal.

"Aku rajin pake lip balm, tapi lihatlah, bibirku kering kayak parutan!" Gadis itu kembali heboh sambil mengecap bibirnya sendiri.

Mika tertegun menatapnya, menatap Pinky mengecap bibirnya sendiri. Dan entah kenapa ia jadi gemas.

"Bibirmu ..."
Glek, Mika menelan ludah. Buru-buru ia mengenyahkan pikiran kotor dalam benaknya.

"Bibirmu ... emang kayak parutan," lanjutnya kemudian.

Dan sontak Pinky makin heboh.
"Tuh 'kan? Apa separah itu? Apa mengelupas? Kelihatan jelek ya?"

Melihat tingkahnya, Mika tergelak.
"Nggak kok, aku bercanda," ucapnya. "Bibirmu baik-baik aja."

"Masak sih? Nggak menjijikkan?"

"Nggak. Sungguh, Pinky. Bisakah kamu tenang sekarang? Ayo kita cari sumber air. Persediaan air kita menipis," ucap Mika sambil buru-buru beranjak.

Sesaat ia masih sempat melihat Pinky menggigiti lagi bibirnya.

Dan sungguh, seumur hidup, Mika tak pernah segemas ini dengan makhluk berjenis kelamin perempuan!

***

Hampir satu jam berputar-putar, akhirnya mereka menemukan mata air. Sebuah sungai kecil dekat lereng yang airnya begitu jernih.

Terlalu senang dengan apa yang mereka temukan, Pinky berlari dengan antusias ke arah sungai. Karena tak hati-hati, kakinya terpeleset dan ... byuurrr. Ia jatuh ke air dengan posisi tengkurap.

Gadis itu mendongakkan kepalanya seraya menyemburkan air yang sempat masuk ke mulut.

Melihat kejadian itu, Mika tak tahan untuk tidak tertawa.

"Aku jatuh, kenapa kamu malah ketawa? Lihat, aku basah kuyup. Dan, air masuk ke mulutku!" Pinky sewot.

Mika berusaha menghentikkan gelak tawanya, tapi gagal.
"Karena kamu lucu banget," ucapnya.

Pinky merengut.

"Tolongin." Ia mengulurkan tangan, meminta Mika untuk membantunya berdiri.

Mika berhenti tertawa lalu bergerak, mengulurkan tangan ke arah Pinky.

Dan ketika tangannya telah berhasil meraihnya, gadis itu malah menarik dirinya dan ... byuuurrr!

Mika tercebur ke sungai dan segera basah kuyup.

Pinky tertawa keras. Merasa telah memberi balasan pada pemuda itu. Sementara Mika tampak sewot.

"Pinkyyyy!" teriaknya. Seraya memercikkan air ke arah gadis tersebut.

Tak mau kalah, Pinky balas mencipratkan air padanya.

Dan tak lama, akhirnya mereka terlibat peperangan kecil dengan saling mencipratkan air.
Mika tertawa, Pinky juga.
Seolah mereka malah menikmati apa yang mereka lakukan.

"Apa kalian masih butuh diselamatkan?!"

Teriakan itu membuat Mika dan Pinky berhenti mencipratkan air. Setelah mengusap butiran air di wajah mereka, dua remaja itu menoleh bersamaan ke arah datangnya suara.

Tampak beberapa orang laki-laki berpakaian tim SAR berdiri di tepi sungai. Ada pak guru Yono di antara mereka.

"Masih mau diselamatkan? Kalian terlihat bersenang-senang di sini." Ia kembali bersuara.

"Pak guruuuuu!!" Pinky yang berteriak duluan, girang bukan kepalang.

Ia beradu tatap dengan Mika lalu berteriak bersamaan, "Kita selamat!"

Dan tanpa sadar mereka berpelukan dengan suka cita.

***

Setelah sebelumnya menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki, mereka membawa Pinky dan Mika ke pos penjagaan yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari jalan masuk menuju hutan. Kali ini dengan mengendarai Rescue Truck milik tim SAR.

"Pak guru, apa pak guru punya jaket kering? Pinky kedinginan." Mika berujar pada pak guru Yono setelah dilihatnya gadis itu menggigil.

Pak guru Yono dengan sigap meminta selimut pada salah satu petugas tim SAR dan segera menyodorkannya pada Pinky.

Mika membantu menyelimutkannya.

"Terima kasih," ucap gadis tersebut.

"Pak guru, Juwita bagaimana?" tanya Mika kemudian.

"Dia selamat dan baik-baik saja. Ia memang sempat tersesat selama beberapa jam dengan rekan-rekannya, tapi tim SAR menemukan mereka dengan cepat. Kalian saja yang terlalu gegabah, berlarian ke hutan seperti orang kesetanan." Lelaki itu menjawab sambil mengomel.

"Maaf, Pak." Mika berujar tulus. Kelegaan luar biasa ia rasakan manakala mengetahui bahwa Juwita baik-baik saja.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka sampai di pos penjagaan yang di maksud.

Beberapa guru dan juga ayah Pinky ada di sana. Nampak pula siswa lain yang menunggu dengan ekspresi cemas. Ada Eri, Yuna, Jefri, Dimas, dan juga Juwita.

Mika baru saja turun dari kendaraan dan menginjakkan kakinya di tanah ketika gadis itu berlari dan menghambur ke arahnya. Ia memeluknya erat dan menumpahkan tangis di dadanya.

"Terima kasih karena kamu baik-baik aja. Aku khawatir banget," ucap Juwita disela-sela isak tangisnya.

"Aku baik-baik aja." Mika menjawab lembut. "Dan aku lega kamu juga baik-baik aja," lanjutnya sambil membalas pelukan Juwita.

Pinky berdiri mematung di samping Rescue Truck sambil menatap adegan itu dengan perasaan ngilu.

Sampai akhirnya ia merasakan ayahnya dan juga sahabat-sahabatnya menghambur ke arahnya dan memeluknya erat.

Ayahnya menangis haru.
Sementara Eri, Yuna, Dimas maupun Jefri malah sesenggukan.

"Syukurlah kamu baik-baik saja, Pinky. Kami mengkhawatirkanmu." Ayahnya mengucap syukur berkali-kali.

Pinky tersenyum.
"Aku baik-baik saja," jawabnya.

Ketika ayahnya menggamit tubuhnya dan mengajak ia ke mobil pribadi mereka, tanpa sengaja tatapannya singgah pada Mika. Dan ternyata pemuda itu juga tengah menatap ke arah dirinya.

Tatapan mereka terkunci satu sama lain untuk beberapa lama. Ada ekspresi yang tak mampu dijelaskan, bahkan oleh mereka sendiri.

***

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro