D u a P u l u h D u a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejutan Takdir – 22

Bukan tentang siapa yang lebih dulu mengenal, melainkan tentang siapa yang lebih bisa membuat nyaman. Karena, sejatinya cinta bukan tentang durasi, melainkan tentang kenyamanan hati.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Weekend telah tiba. Keluh kesah selama lima hari berkuliah dan tugas-tugas yang menumpuk membuat para mahasiswa benar-benar ingin melepas rehat di kala weekend ini. Begitu pula dengan Vien. Jika dulu, weekend-nya akan selalu diisi dengan kedatangan Bhara yang menemaninya, maka tiga weekend terakhir ini berbeda. Seperti hari ini, gadis itu duduk di halaman belakang rumahnya sendirian. Hanya ditemani dengan segelas susu kotak rasa vanilla yang baru ia keluarkan dari kulkas tadi. Rumahnya pagi ini begitu sepi. Mungkin, mamanya masih terjebak di keramaian pasar. Sedangkan, papanya, tidak perlu ditanya lagi, pasti tengah menemani mamanya.

Vien mengeluarkan ponsel dari dalam kantong celananya, berniat mengetikkan sesuatu di notes ponselnya. Mungkin, sebuah ketikan yang mewakili perasaannya kini. Ya, sudah menjadi kebiasaan Vien sekarang, untuk meluapkan semua perasaan sedihnya ke dalam bentuk huruf yang ia rangkai menggunakan aplikasi notes di ponselnya. Itu ialah ide dari Vai, yang dimana lelaki itu berharap Vien dapat merasakan kelegaan kala menuangkan tulisan itu.

Perhatianmu padaku, berubah. Namun, tak jua aku berniat untuk berpindah. Karena, aku menganggapmu sebagai rumah, bukan untuk sekadar singgah. Melainkan, untuk berteduh, dan meniadakan lelah.

Ya, seperti apa yang dituangkan gadis itu dalam catatannya, maka seperti itu pula kalimat yang menggambarkan perasaan gadis itu. Definisi rumah yang sesungguhnya bagi Vien bukanlah sebuah bangunan kokoh yang dihuni manusia, melainkan sosok-sosok penghuni itu yang dapat memberikan rasa ternyaman bagi diri. Dan, Bhara adalah rumah keduanya, setelah keluarganya. Lelaki itu ialah tempat ternyaman untuk menyandarkan lelah. Sekalipun dunia menawarkan tempat persinggahan yang lain, tapi Vien tak jua tertarik. Sekalipun ada pelabuhan terbaik yang bisa Vien dapatkan, tapi hatinya tetap memilih Bhara sebagai tempat berlabuh, bukan bersinggah. Selamanya, Bhara adalah rumahnya, sekalipun rumah itu harus diguncang oleh badai yang siap membuat Vien kehilangan segalanya, tapi Vien ikhlas.

“Vien.” Suara panggilan itu membuat Vien yang tadinya termenung sembari menatap layar ponselnya, membalikkan tubuh.

“Papa?”

Adit tersenyum, kemudian berjalan mendekat. Sebuah tas belanja berwarna hijau yang penuh terisi bahan makanan itu masih melekat di tangan Adit. Pertanda bahwa pria paruh baya itu baru saja pulang dari pasar. Adit menaruh tas belanja itu di atas meja, kemudian duduk di kursi yang bersebrangan dengan Vien.

“Anak Papa kok di sini aja? Sendirian pula. Tumben gak sama Bhara?”

Vien tersenyum mendengarkan pertanyaan itu. Adit dan Sonia memang belum mengetahui kabar terbaru mengenai Bhara.

“Eh, nggak, Pa.”

“Kenapa?” tanya Adit kembali. “Papa lihat juga, Bhara udah jarang ke sini. Ada apa? Kalian berantem?”

Vien menggelengkan kepalanya. “Nggak, Pa. Aku sama Bhara gak berantem, kok.”

“Hem, lalu?” Adit menaikkan sebelah alisnya, seolah meminta jawaban pada Vien.

“Bhara udah punya pacar, Pa.”

Sejenak, Adit terkejut ketika mendengar berita tersebut. Namun, dengan secepat kilat, pria itu mengubah mimik wajahnya. “Bhara udah punya pacar, toh. Pantesan aja anak Papa sekarang sendirian mulu,” ledek Adit yang membuat Vien mengerucutkan bibirnya.

“Becanda, Sayang. Jangan cemberut gitu mukanya,” ujar Adit, ia mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala putrinya itu. “Bhara udah punya pacar, ya? Pacarnya baik, nggak?”

Vien mengangguk. “Pacarnya Bhara itu temen aku di kampus, Pa.”

“Oh, gitu. Bagus, deh, kalau Bhara dapetin pacar yang baik,” ujar Adit. Sedetik kemudian, wajah Vien berubah menjadi murung.

“Jadi, Vien bukan cewek yang baik, ya, Pa? Makanya, Bhara milih cewek lain.”

Adit tertawa kecil. “Jadi ceritanya, ada yang mau pacaran sama Bhara, nih?”

Lagi-lagi, Vien mengerucutkan bibirnya kesal karena ejekan papanya itu.

“Sayang … tanpa kamu kasi tahu pun, Papa udah tahu soal perasaan kamu. Papa tahu, kok, anak kesayangan Papa ini suka sama Bhara.” Adit tersenyum sejenak, sebelum ia melanjutkan ucapannya. “Bhara pacaran sama perempuan lain, bukan berarti perempuan itu lebih baik dari kamu, ataupun kamu lebih buruk dari perempuan itu. Melainkan, memang Bhara nyamannya sama dia aja.”

“Tapi, Pa, Bhara kan lebih dulu kenal aku. Kenapa Bhara justru nyamannya sama cewek lain?”

“Sayang, gini, ya. Perkara perasaan nyaman sebenarnya itu relatif. Ada yang merasa nyaman sama kita sebagai sekadar teman, ada yang merasa nyaman sebagai sahabat, ada yang ngerasa nyaman sebagai pacar. Dan, rasa nyaman yang dimiliki Bhara sama kamu itu mungkin cuma sebatas rasa nyaman sebagai sahabat, bukan pacar.”

Vien menundukkan kepalanya, sembari berusaha meresapi setiap kalimat yang diucapkan Adit.

“Perkara perasaan itu sendiri juga gak berkaitan sama waktu. Seberapa lama pun kamu mengenal Bhara dan sebaliknya, gak menjamin kalian akan selalu bersama. Karena, ada dua tujuan mengapa Tuhan menciptakan pertemuan antara kita dan seseorang. Yang pertama, Tuhan menciptakan dia sebagai teman hidup kita, dan yang kedua, Tuhan menciptakan dia sebatas pelajaran hidup bagi kita.  Kalau Bhara bukan diciptakan untuk opsi pertama, ya, berarti Tuhan ciptain Bhara untuk opsi kedua. Paham, Sayang?”

Hening tercipta untuk beberapa saat. Vien masih membisu, sembari meresapi setiap kalimat itu. Kalimat itu terlihat begitu mudah dilontarkan Adit, namun maknanya begitu rumit untuk diresapi Vien.

“Sayang, kalau Bhara udah nemuin titik bahagianya. Sebagai sahabat, kamu harus turut berbahagia. Doakan semua yang baik untuk Bhara, sekalipun dia harus bersama orang lain. Karena, satu hal yang perlu kamu ketahui, Sayang, bahwa tidak semua perasaan mencintai akan selalu dibalas dengan rasa dicintai juga. Ada kalanya, kita hanya bisa mendapat ikhlas sebagai balasan dari perasaan itu.”

Adit beranjak dari kursinya, kemudian mengambil tas belanja yang harusnya ia letakkan di dapur tadi. “Papa mau kasihin ini ke mama kamu dulu, ya. Jangan lama-lama merenungnya, nanti kerasukan jin, loh.”

🌺🌺🌺

From : Vai
Vien, hr ini aku lg gk enak bdn
Srry, aku gk bs antar kamu ke kampus

Vien menghela napasnya ketika mendapatkan pesan itu pagi ini. Vai sedang tidak enak badan, artinya ia harus berangkat ke kampus sendiri. Papanya sudah berangkat lima menit yang lalu, lantas, dengan siapa Vien berangkat? Mamanya tengah pergi ke rumah temannya, Vien tidak berani membawa motor sendirian, juga ia tidak pernah pergi dengan menggunakan ojek online. Lalu, sekarang ia berangkat dengan siapa?

Bhara.

Nama itu yang terlintar di benak Vien. Ia bisa meminta tolong kepada lelaki itu. Semenjak Bhara berpacaran dengan Dara, lelaki itu selalu mengendarai mobil pribadinya. Dan, itu artinya, Vien bisa menumpang di mobil itu bersama Bhara, kemudian menjemput Dara ke kampus bersama. Lagian, hari ini jadwalnya dengan Bhara sama, yakni pukul 9 pagi.

Vien segera mengikat tali sepatunya, kemudian berjalan keluar rumah, lantas ke rumah Bhara yang berada di sebelah rumahnya. Mobil milik lelaki itu masih standby di pekarangan rumahnya, artinya Bhara masih belum berangkat. Vien hendak mengetuk pintu rumah Bhara. Namun, ia urungkan ketika  pintu itu terbuka, menampilkan seorang lelaki dengan kemeja putih dan rompi rajut berwarna abu keluar lengkap dengan ransel yang bertengger di bahu kirinya.

“Vien?” Bhara mengernyitkan dahinya ketika melihat kedatangan gadis yang notabenenya sahabatnya itu.

“Eh, hai, Bhar.” Kesan pertama yang cukup kaku, setelah nyaris 3 minggu, Vien tidak berbincang bersama Bhara, karena lelaki itu asyik berduaan dengan sang pacar.

“Ada apa, Vien?” tanya Bhara, yang membuat Vien segera menyampaikan maksud kedatangannya.

“Vai kemana? Biasanya sama Vai.”

Vien tersenyum. Entah mengapa, rasanya pertanyaan itu terdengar sedikit aneh di telinga Vien. Bukannya, biasanya juga ia berangkat dengan Bhara?

“Vai lagi gak enak badan, Bhar.”

“Oh, gitu. Ehm, gimana, ya, Vien. Bukannya aku gak mau anterin kamu ke kampus juga, cuma, Dara orangnya posesif. Jadi, aku takut dia cemburu kalau aku jemput dia, sama kamu juga.”

Vien meneguk ludahnya. “Tapi, kan aku sahabat kamu, Bhar.”

“Ya, iya, Vien, tapi tetap aja. Aku gak mau bikin Dara cemburu. Maaf, ya, aku gak bisa nolongin kamu kali ini.” Bhara menutup pintu utama rumahnya, kemudian menguncinya. “Aku duluan, ya, Vien. Kamu berangkatnya naik ojol aja.”

Bhara berjalan melewati Vien, meninggalkan gadis itu yang kini terdiam di tempat. Rasa sesak sedikit demi sedikit memenuhi ruang hati Vien, hingga gadis itu meneteskan air mata pertamanya hari itu.

Ternyata, selain ia kehilangan waktu Bhara, Vien juga harus kehilangan lelaki itu untuk hal lainnya.

Salah satunya, ia kehilangan Bhara yang selalu siap sedia untuknya.




Hola, Gaes! Welkam bek wit mi😆

Aku mau ucapin, mohon maaf lahir batin, ya. Kalian juga dapat ucapan dari Vien, dan teman-teman.

Selamat merayakan Idul Fitri bagi yang merayakan😘

Semoga Idul Fitri kali ini tetap membawa kebahagiaan, walaupun mungkin ada yang lagi gak sama keluarga, ya.

Kita sama-sama berdoa semoga pandemi cepat berakhir, jadi bisa ngumpul, deh🤗

Sekian dari aku, luv u all😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro