D u a P u l u h T i g a

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kejutan Takdir — 23

Ragamu hanya satu,
hanya mampu menjadi satu tameng.

Tanganmu hanya dua,
hanya mampu mendekap satu raga yang lain.

Kamu tidak bisa egois,
untuk merangkap menjadi dua tameng sekaligus,
ataupun mendekap dua raga bersamaan.

Karena, ketika kamu melakukannya, ...
itu sama saja berarti kamu tengah mengorbankan satu raga untuk terluka.

┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈

Perkembangan zaman yang begitu modern hingga saat ini, membawa banyak keuntungan bagi masyarakat di era ini. Penggunaan aplikasi yang memudahkan dalam pengiriman pesan membuat kabar sejauh manapun akan dengan cepat tersampaikan. Jika dahulu ada yang menggunakan burung merpati sebagai perantara pengirim pesan, maka sekarang tidak perlu bersusah payah lagi. Tinggal mengambil ponsel, lantas mengetikkan beberapa baris kalimat pesan.

Seperti yang Vien lakukan saat ini. Gadis itu tengah bertukar pesan dengan Vai. Vien mengucapkan beberapa baris doa agar lelaki itu lekas pulih. Vai menyampaikan bahwa ia baru saja pulang dari rumah sakit, dan dokter mengatakan bahwa Vai terkena tifus, yang mengharuskan ia untuk tetap tinggal di rumah, dan tidak dapat beraktivitas seperti biasa di kampus. Lelaki itu memang memiliki sistem kekebalan tubuh yang sedikit kurang. Ditambah lagi dengan tugas menumpuk yang diberikan oleh dosen menjelang akhir semester. Vien yakin, lelaki itu tentunya kelelahan karena sibuk bergadang di malam hari guna menyelesaikan tugas.

Jika Vien tidak memiliki perasaan, maka niscaya gadis itu sudah datang ke rumah Vai, dan memarahi lelaki itu yang suka bergadang demi tugas. Bukan bermaksud apa-apa, tapi Vien cukup kesepian tanpa kehadiran Vai di kampus seperti ini. Sudahlah Bhara sibuk berduaan dengan Dara. Sekarang, satu-satunya teman Vien di kampus malah harus sakit. Vien ingin menangis rasanya, ketika di kelas, tidak satupun ada yang ia kenal akrab selain Vai, dan Dara.

Sehari ditinggal Vai yang sakit saat itu saja, pulang-pulang Vien menangis di hadapan lelaki itu. Apalagi harus berhari-hari ditinggal lelaki itu. Vien tidak bisa membayangkan bagaimana harinya akan berlalu.

Hari ini, Vien diantar Adit pergi ke kampus. Suatu kebetulan ketika papanya itu tengah luang, tidak tengah dilanda oleh puluhan fail yang harus diperiksa, ataupun dokumen setebal buku UN masa SMA Vien yang harus pria itu tanda tangani. Memang susah jika memiliki papa yang sibuknya melebihi artis itu. Namun, beruntungnya Adit tahu bagaimana cara membagi waktu untuk berkumpul bersama keluarga, sehingga Vien tidak pernah merasakan yang namanya kekurangan kasih sayang, meskipun kesibukan pria itu yang begitu menjadi.

“Vien, kamu selesai kuliah jam berapa?” tanya Adit di sela-sela keheningan yang tercipta di dalam mobil. Adit menoleh sejenak, melihat gadisnya yang tengah sibuk menatap ke luar jendela, sekaligus menanti jawaban dari gadisnya itu.

Vien memindahkan fokusnya dari pemandangan jalan di luar jendela, “Jam setengah empat, Pa.”

“Ehm, setengah empat, ya? Kayaknya Papa gak bisa jemput kamu, Sayang, soalnya ada meeting dengan klien jam segitu.”

Vien menghela napasnya, “Oh, oke, Pa. Gak apa, nanti Vien pulangnya pesen ojek online aja.”

Adit spontan menggeleng. “Nggak. Papa gak izinin kamu pulang sendirian pakai ojek online, nanti kalau kamu kenapa-napa, gimana?”

Terkadang, Vien merasa gemas dengan tingkah papanya yang seperti ini. Memangnya, ia pikir, Vien anak kecil yang masih harus dalam pengawasan orang dewasa apa? Sampai-sampai, pria paruh baya itu tidak mengizinkan Vien untuk pulang sendirian. Padahal, Vien sudah menginjak usia delapan belas tahun beberapa minggu yang lalu. Usia yang cukup untuk bisa menjaga dirinya sendiri.

“Pa, Vien udah bukan anak kecil lagi. Vien bisa jaga diri, kok, kalau pulang sendiri.”

“Nggak bisa, Vien. Kamu pulangnya gak boleh naik ojek. Pulangnya sama temen kamu aja. Atau, sama Bhara. Hari ini, Bhara ada jadwal kuliah, kan? Nanti Papa chat dia buat anterin kamu pulang sekalian.”

“Eh, gak usah, Pa. Gak enak sama Bhara. Vien pulang sendiri aja.”

“Vien, sekali Papa bilang gak boleh, ya, gak boleh. Turutin, ya, Sayang? Papa cuma gak mau kamu kenapa-napa karena pulang sendiri. Pokoknya, nanti kamu pulangnya sama Bhara.”

Adit menghentikan laju mobilnya tatkala sebuah tiang dengan 3 warna—merah, kuning, hijau—itu kini tengah menampilkan warna merah, dengan tulisan 152. Yang artinya, warna merah itu akan berubah dalam 152 detik berikutnya. Adit yang melihat kesempatan itu, langsung meraih ponsel yang ada di dalam tas kerjanya, kemudian mengetikkan beberapa beberapa kalimat pesan.

“Vien, Papa udah chat Bhara, dan kata Bhara, dia setuju anterin kamu pulang nanti.”

Vien menghela napasnya pasrah. Papanya itu benar-benar menepati ucapannya. Sekali ia berkata, tidak akan membiarkan putri kecilnya pulang sendirian, maka hal itu akan terjadi. Terkadang, Vien merasakan kebanggaan yang teramat besar ketika papanya berlaku seperti itu. Bukankah itu menunjukkan rasa sayang seorang ayah kepada anaknya? Dan, anak mana yang tidak senang jika diperlakukan seperti itu?

Namun, kali ini Vien harus membuang semua perasaan senang itu, dan menggantinya dengan perasaan tidak enakan. Kepada siapa lagi, jika bukan kepada Bhara dan Dara?

Ah, tentunya Vien akan menjadi pengacau bagi hari-hari kebahagiaan mereka. Mungkin, hingga Vai kembali masuk kuliah.

🌺🌺🌺

“Bhar, kamu nungguin siapa, sih?”

Dara yang sedari tadi berdiri menyender di tiang kampus, mendengus kesal. Sudah lewat dari tiga puluh menit, tapi Bhara masih menahannya untuk berdiam di sana. Katanya, ingin menunggu seseorang. Namun, Dara sendiri pun tidak tahu, siapa yang ditunggu oleh pacarnya itu.

“Aku nungguin Vien, Dar.”

“Apa?! Vien?” pekik Dara, yang langsung berdiri tegak. “Kamu ngapain nungguin dia? Jangan bilang, dia mau barengan kita pulangnya?”

Bhara tidak punya pilihan lain, sebelum akhirnya mengangguk sebagai jawaban.

“Bhar, kan kita udah ada janji mau jalan ke mall habis ini. Kalau sama Vien, gimana, dong?”

“Sayang, nanti kita anterin Vien dulu, ya, baru kita ke mall. Kan, bentaran aja.”

“Bentar dari mana? Arah rumah Vien itu kan berlawanan dengan arah ke mall. Ngabisin waktu setengah jam, Bhar, kalau anterin Vien dulu.”

“Iya, gak pa-pa. Aku juga gak enak sebenarnya nolak buat anterin Vien pulang, soalnya om Adit yang chat aku langsung.”

Mendengar ucapan Bhara, Dara mendengus kesal. Jika sudah orang tua yang ikut turun tangan, Dara yakin, Bhara tidak bisa menolak. Pacarnya itu memang begitu hormat kepada orang yang lebih tua. Dan, memang harusnya begitu.

“Bhar, Dar, maaf nunggu lama,” ujar Vien yang baru menampakkan wajahnya. Sebenarnya, kelas sudah berakhir lama, tapi salah satu dosen memanggil Vien untuk ke ruangan, sehingga gadis itu sedikit telat pulang.

“Masih untung kami tungguin, mana lama banget, sih. Gak tahu apa, waktu kami terbuang—”

“Dar.” Bhara memberi isyarat kepada Dara untuk tak melanjutkan ucapannya.

“Ehm, maaf, ya.” Sekali lagi permintaan maaf dilontarkan oleh Vien, membuat Bhara merasa tidak enak hati. Walau bagaimanapun juga, Vien adalah sahabatnya, dan ia tidak akan membiarkan Dara menyakiti perasaan Vien lebih dalam. Meski, lelaki itu sadar, caranya diam-diam menjauhi Vien, dan tiba-tiba berpacaran dengan Dara sudah cukup melukai gadis itu.

“Gak apa, Vien. Gak usah minta maaf segala. Mending kita pulang aja sekarang.”

Bhara menggenggam jemari Dara, kemudian berjalan terlebih dahulu, membiarkan Vien mengekorinya dari belakang—dengan hati yang tercabik—.

Saat di parkiran kampus, Bhara membuka pintu mobilnya untuk Dara, dan mengisyaratkan Vien untuk duduk di belakang. Vien hanya mengangguk, sembari mencoba untuk mengatur perasaannya. Ia tidak boleh terus-terusan terlihat sedih atas bahagianya Bhara. Sama seperti yang dikatakan oleh papanya, ia harus bahagia, dan mendoakan yang terbaik bagi hubungan Bhara.

Vien dapat merasakan perbedaan aura yang kentara ketika memasuki mobil Bhara. Gadis itu seketika merasa seperti orang ketiga, di tengah-tengah perbincangan Bhara dan Dara. Sedikit menguping, Vien dapat mendengar perbincangan Dara yang menyinggung agenda jalannya bersama Bhara.

“Kalian mau ke mall?” tanya Vien spontan. “Kalau gitu, berhenti di sini, Bhar. Biar aku turun di sini aja.”

“Eh, gak usah, Vien. Aku anterin kamu sampai ke rumah aja. Papa kamu udah minta aku buat anterin kamu,” ujar Bhara, yang tidak menuruti ucapan Vien. Lelaki itu masih membiarkan mobilnya tetap melaju pada kecepatan standar.

Belum sempat Vien menyambung ucapan Bhara, Dara terlebih dahulu menyambar. “Bhar, kalau Vien mau turun di sini, ya, biarin aja.”

“Gak bisa gitu, Dar. Udah jadi tanggung jawab aku, buat nganterin Vien sampai ke rumah. Kalau Vien kenapa-napa, aku yang harus tanggung jawab ke om Adit.”

Dara mendengus. “Emangnya, Vien anak kecil apa, yang harus dianterin sampai ke depan rumah? Gak sekalian aja gitu kamu anterin dia sampai ke depan kamar?”

Vien yang mendengar ucapan Dara yang terdengar sinis itu, berusaha agar tangisnya tak pecah begitu saja. “Apa yang Dara bilang itu bener, Bhar. Udah, turunin aku di sini aja.”

Melihat kondisi jalanan yang cukup sepi, Bhara menggeleng. Tetap kokoh pada pendiriannya untuk tidak menurunkan Vien di tengah jalan.

“Bhar! Turunin aku di sini, atau aku loncat?” ancam Vien, sembari berancang-ancang membuka pintu mobil, yang membuat lelaki itu menghentikan laju mobilnya mendadak. Melihat kesempatan itu, Vien dengan segera turun dari mobil Bhara.

“Vien, Vien! Aku anterin kamu pulang, Vien,” teriak Bhara. Lelaki itu hendak keluar dari mobil, menyusul Vien, tapi Dara melarangnya.

“Udahlah, Bhar, dia mau turun. Jangan maksain kehendak dia. Mending sekarang, kamu puter balik, kita ke mall,” ujar Dara, yang membuat Bhara menghela napas, dan mengikuti ucapan pacarnya itu.

🌺🌺🌺

Jarak yang masih cukup jauh untuk Vien mencapai jalanan kompleks rumahnya. Tenaganya sudah nyaris terkuras habis karena sudah berjalan kurang lebih 20 menitan. Seharusnya jika ia masih berada di mobil Bhara, dalam kurun waktu seperti itu, Vien sudah dapat sampai di rumahnya, dan bersih-bersih diri. Akan tetapi, berbeda halnya dengan sekarang, dimana gadis itu masih harus berjalan di pinggiran jalan beraspal itu.

Ponselnya sudah habis baterai, sehingga ia tidak bisa memesan ojek online. Sementara itu, untuk mencari ojek offline yang biasanya ada di pangkalan sudah teramat susah. Oleh karena itu, Vien tidak punya pilihan lain selain memaksa langkahnya untuk terus menapak maju.

Semakin berjalan, entah mengapa, rasanya kepala gadis itu semakin pusing. Beberapa kali, gadis itu kehilangan keseimbangan, dan nyaris terjatuh. Vien berhenti sejenak dari langkahnya, mengumpulkan energinya, sebelum kembali melanjutkan perjalanannya.

Namun, belum genap empat langkah ia maju, Vien kembali kehilangan keseimbangan. Tubuhnya oleng, nyaris saja akan bersentuhan dengan lantai aspal, jika seseorang tidak sigap menangkapnya dari belakang.




Halo, ketemu lagi sama aku😗

Bagaimana pendapat kalian mengenai part ini? Ngomong-ngomong, ini part terpanjang yang aku tulis, deh, kayaknya di Kejutan Takdir. So, jangan lupa review-nya, ya, setelah membaca part ini, hehe. Berasa makanan aja, perlu di-review🤣

Kalau gitu, aku minta kritik dan sarannya aja, deh, buat part ini.😗

Jangan lupa, ya, tinggalin jejaknya.✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro