Bagian 11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah diterpa hujan selama hampir dua jam, kini kota Bogor dibayangi awan mendung. Hujan seperti akan kembali turun membasahi kota itu. Terlihat dari pemandangan awan di atas sana yang semakin menggelap.

Keputusan sudah Safina ambil mengenai permintaan taaruf dari Ustaz Kahfi. Dia menolak taaruf itu melalui adiknya, Ustazah Sofia. Safina menolak taaruf dengan Ustaz Kahfi karena merasa tidak percaya diri. Penolakannya pun tanpa penjelasan mengenai alasan menolak taaruf itu. Dia tak ingin kembali menanggung malu jika Ustaz Kahfi tahu bahwa Safina pernah hamil dari perbuatan terlarang. Apalagi Hanan murid Ustaz Kahfi. Sudah tentu akan membuatnya malu jika Ustaz Kahfi menolaknya.

Hujan pun kembali turun membasahi kota Bogor. Safina bergegas masuk ke dalam kamar untuk memastikan Hanan. Sejak kepergian Rizal, Hanan tak hentinya menangis karena tidak diizinkan ikut bersamanya untuk menemui Wulan. Safina meminta pada Rizal agar tidak membawa Hanan. Dia harus terbiasa hidup bersama ibu kandungnya. Segala cara Safina lakukan untuk membuat Hanan berhenti menangis, dan salah satu cara yang membuat Hanan berhenti menangis adalah menuruti permintaannya untuk jalan-jalan ke mal. Tujuan ke mal sekaligus membeli perlengkapan sekolah Hanan. Lagipula Safina belum pernah mengajak putranya ke mal.

Safina mendaratkan tubuh di tepi ranjang. Putranya masih sibuk dengan permainan di ponsel. "Hanan makan dulu," kata Safina sambil mengulurkan suapan di depan wajah Hanan.

Hanan menatap tangan Safina. "Pakai apa?" tanyanya.

"Pakai sosis yang semalam Hanan minta."

Mulut Hanan terbuka lebar, siap menerima suapan sang ibu.

"Baca doa dulu," peringat Safina sambil tersenyum.

Mulut Hanan fasih membaca doa makan. Safina hanya menyungging senyum saat melihat putranya melafalkan doa itu.

"Sudah," ucap Hanan, lalu membuka mulut.

Safina bergegas menyuapkan makanan ke dalam mulut putranya. Senyum masih menghiasi wajah Safina saat melihat ekspresi wajah putranya yang menggemaskan.

Kalau dulu aku menggugurkannya, mungkin sekarang aku nggak akan bisa lihat wajah lucunya. Maafin Bunda karena pernah berniat buat gugurin kamu. Bunda sayang kamu, Nak. Safina membatin sedih.

"Bunda."

Perhatian Safina teralih. Dia segera menyuapi Hanan karena sudah menanti untuk kembali disuapi.

"Bunda. Hanan mau hujan-hujanan," pinta Hanan di sela mengunyah tanpa menatap ibunya. Pandangannya masih pada layar ponsel.

"Tapi jangan lama-lama, ya." Safina mengizinkan.

Hanan mengangguk antusias karena dibolehkan untuk hujan-hujanan. Biasanya, dia tak pernah mendapat izin dari Wulan untuk menikmati air hujan karena khawatir Hanan akan demam saat malam hari.

Setelah selesai menyuapi Hanan, Safina mengajak putranya untuk menuju teras rumah. Hujan di luar sana masih terlihat jelas. Safina kembali mengingatkan Hanan agar tidak lama-lama main air hujan. Pakaian Hanan pun sengaja tak dilepas agar air hujan tak langsung menerpa tubuh putranya.

Hanan bersorak gembira saat air hujan membasahi tubuhnya. Safina hanya menyungging senyum ketika melihat putranya tertawa lepas. Tak ada yang lebih berharga bagi Safina kecuali kebahagiaan Hanan. Perhatian Safina teralih saat mendengar deringan ponsel tanda panggilan masuk. Dia bergegas meraih benda itu yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Terlihat nama Wulan menghiasi layar ponselnya. Safina mengabaikan telepon dari bibinya, lalu mengubah modus ponsel menjadi diam. Khawatir akan dimarahi jika tahu mengizinkan Hanan untuk mandi air hujan.

***

"Kalau Hanan anak Bunda, kenapa Bunda pergi jauh dan baru pulang sekarang? Terus Ayah Hanan siapa?" tanya Hanan polos sambil menatap Safina.

"Bunda pergi buat cari uang. Buat beli susunya Hanan. Buat beli baju yang Hanan pakai. Buat beli rumah ini biar Hanan punya rumah. Buat sekolah Hanan," jelas Safina sambil mengusap kepala Hanan lembut.

Perlahan Hanan mulai menerima jika Safina adalah ibu kandungnya setelah berulang kali Safina memberi pengertian dengan lembut. Setiap selesai salat, Safina selalu meminta agar Hanan diberi kelapangan hati untuk menerimanya. Doanya perlahan dikabulkan. Meski belum semua, tapi Safina yakin bahwa tidak ada doa yang sia-sia apalagi doa orang tua untuk kebaikan anaknya.

"Bukannya Ayah yang cari duit?"

"Ayah Rizal cari duit, tapi bukan buat Hanan," balas Safina sambil tersenyum.

"Terus buat siapa?"

"Mending Hanan bobo. Sudah malam. Hanan pasti cape karena nggak bobo siang dan habis mainan air hujan." Safina mengingatkan putranya.

Hanan mengangguk lemah, lalu memiringkan tubuh sambil memeluk guling erat. Safina mengusap lembut punggung putranya untuk pengantar tidur. Tak butuh waktu lama, Hanan pun memejamkan mata. Ditambah udara dingin karena seharian hujan.

Safina meraih ponsel untuk memastikan pesan dan telepon masuk. Senyum menghiasi wajahnya saat melihat beberapa panggilan masuk dan pesan dari Wulan. Pesan dari Wulan segera Safina buka.

From: Bi Wulan
Safina! Kenapa nggak angkat telepon Bibi?
Cepat angkat!
Telepon Bibi kalau sudah nggak sibuk!

Senyum kembali menghiasi wajah Safina saat melihat pesan dari Wulan. Dia bergegas menghubungi sang Bibi. Safina menyapa dengan salam saat panggilan telepon tersambung.

"Wa alaikumussalam," balas Wulan dari seberang sana.

"Kenapa Fina di-"

"Kamu ke mana saja? Bibi telepon dari siang nggak diangkat-angkat. Nggak tau kalau Bibi mau ngomong penting," potong Wulan sambil mengomel pada keponakannya.

"Kenapa sih, Bi? Lagi marah sama Om Rizal sampai Fina ikut kena juga?" tanya Safina heran.

"Kamu yang bikin Bibi marah."

"Fina?" tanya Safina bingung.

"Iya, kamu. Gara-gara kamu nolak Kahfi bikin Bibi marah. Kenapa kamu nggak bilang sama Bibi mau nolak dia?"

"Emangnya yang mau taaruf sama Ustaz Kahfi siapa? Aku atau Bibi?"

Ya kamu lah, Fin. Bibi cuma nggak habis pikir saja kenapa kamu nolak taaruf sama Kahfi. Mana nolaknya nggak ada alasan pasti." Nada Wulan terdengar meninggi.

"Itu hak Fina, Bi. Bibi nggak berhak ikut campur."

"Oh, jadi Bibi nggak boleh ikut campur? Ya udah, kamu jelasin sendiri ke Ustaz Kahfi alasan kamu nolak taaruf sama dia. Kalau ada apa-apa Bibi nggak akan ikut campur lagi masalah kamu dan Hanan. Urus saja masalah kamu sendiri. Nanti Bibi bilang ke Sofia biar kakaknya langsung datang ke rumah kamu dan minta penjelasan. Sekalian urus sendiri masalah sekolah Hanan. Bibi nggak akan ikut campur lagi."

Safina menatap layar ponsel karena Wulan mematikan sambungan telepon sepihak. Wulan benar-benar marah padanya. Helaan napas keluar dari mulut Safina. Dia bergegas mengirim pesan pada sang bibi untuk meluruskan.

To: Bi Wulan
Bi, Fina nggak bermaksud begitu. Safina cuma nggak mau nanggung malu kalau Ustaz Kahfi tau Hanan anak Fina. Bibi tau kalau Ustaz Kahfi soleh, sedangkan Fina? Bibi pasti ngerti maksud Fina.

Tatapan Safina masih pada layar ponsel. Berharap sang bibi segera membalas pesannya. Cukup lama Safina menanti, tapi tak kunjung mendapat balasa dari Wulan. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Safina kembali mengembuskan napas. Jika sampai besok pesannya tak dibalas, maka Safina akan mendatangi rumahnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro