Bagian 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah bertemu dengan Safina, hati Kahfi tak tenang karena teringat akan ucapan wanita itu. Bukan hanya ucapanya saja, tapi wajah sedih Safina menghantuinya setiap saat. Sudah berusaha melupakan dan beristigfar, tapi bayang wajahnya selalu mengganggu. Kahfi merasa penasaran akan kisah masa lalu Safina. Dia berniat akan menemui Rizal untuk mendapat penjelasan lebih rinci karena sudah mendapat izin dari Safina.

"Num, nanti bilang sama Ibu kalau Mas pergi buat ketemu Pak Rizal." Kahfi pamit pada sang adik ketika tiba di ruang keluarga dan mendapati adiknya sedang bersantai di sana.

"Iya, Mas." Hanum membalas tanpa menatap sang kakak. Sibuk dengan buku yang sedang dia baca.

Langkah Kahfi kembali terayun cepat untuk keluar dari rumah. Khawatir jika Rizal sudah lebih dulu tiba dan menunggunya lama. Mereka janjian di sebuah kafe sesuai permintaan Rizal. Kahfi bergegas mengenakan helm, lalu naik ke atas motor, dan melajukan kendaraan itu menuju tempat tujuan. Jarak antara rumahnya dan tempat tujuan hanya beberapa menit.

Motor yang Kahfi kendarai akhirnya tiba di tempat tujuan. Kahfi bergegas melepas helm di kepalanya, lalu meletakkan benda itu di atas motor. Sekilas, Kahfi menatap spion sambil menyisir rambutnya dengan jari. Penampilan Kahfi saat ini terlihat kasual. Dia hanya mengenakan celana levis hitam panjang dipadu kaus berkerah lengan pendek warna abu.

Kahfi bernapas lega karena Rizal belum tiba di kafe itu. Dia duduk di kursi kosong dekat dengan pintu masuk. Sengaja memilih meja itu agar mudah di lihat saat Rizal tiba. Tak lama, Rizal pun tiba di kafe itu. Dua laki-laki itu saling berjabat tangan. Mereka duduk di kursi masing-masing setelah melepas jabat tangan.

"Sudah nunggu lama?" tanya Rizal pada Kahfi.

"Belum, Pak. Baru lima menit yang lalu," balas Kahfi sambil tersenyum ramah.

"Sudah pesan minum?" Rizal memastikan karena tak melihat apa pun di depan Kahfi.

"Belum," balas Kahfi singkat.

"Ya sudah, saya pesan minum dulu sekalian sama kamu. Kamu mau minum apa?" Rizal menawari.

"Pak Rizal saja. Saya bisa nanti." Kahfi menolak. Lebih tepatnya dia sedang puasa, tapi tak mau mengakui. Khawatir jika Rizal tak jadi memesan minuman karena menghargainya, sedangkan saat ini mereka sedang di dalan kafe. Tak mungkin mereka hanya menumpang ngobrol tanpa memesan minuman atau makanan.

Rizal kembali duduk di kursinya setelah memesan minum dan makanan. Senyum kembali menghiasi wajahnya saat menatap laki-laki muda di hadapannya. Wajah Kahfi terlihat teduh. Penampilannya pun selalu rapi walaupun hanya mengenakan celana levis hitam dipadu kaus berkerah lengan pendek warna abu. Kahfi masih muda. Tak berbeda jauh dari Safina. Selisih mereka hanya 3 tahun.

"Kamu mau ngomongin masalah Safina lagi?" tanya Rizal membuka onrolan.

"Iya, Pak. Kemarin Kahfi sudah menemui dia dan menanyakan alasan Safina menolak taaruf yang saya ajukan," ungkap Kahfi.

"Apa jawaban Safina?" Rizal terdengar penasaran.

"Dia tidak menjelaskan secara keseluruhan. Kahfi hanya tahu jika Hanan putranya Safina. Dia tidak menjelaskan siapa ayahnya Hanan. Kenapa dia bisa hamil tanpa tanggung jawab." Kahfi melanjutkan.

"Safina pasti berat untuk cerita karena nggak mau kembali membuka aib yang sudah lama ingin dia lupakan. Panjang kalau diceritakan." Rizal menimpali.

Pelayan kafe datang sambil membawa pesanan Rizal, lalu menyajikan di atas meja. Rizal menyesap kopi yang dia pesan. Kahfi masih menanti kelanjutan cerita Rizal mengenai Safina.

"Safina hanya korban dalam kejadian itu. Teman sekelasnya sengaja menjebak Safina saat pulang dari acara perayaan kelulusan sekolah dengan cara memberikan minuman yang sudah dikasih obat tidur.  Saya yakin jika Safina gadis yang tidak mudah dekat laki-laki walaupun teman sekelasnya. Ayahnya sudah wanti-wanti agar Safina tidak pacaran sampai lulus sekolah. Dia bahkan tak pernah diantar teman laki-laki saat pulang sekolah seperti teman lainnya. Mungkin itu alasan pelaku menjebak Safina," jelas Rizal.

Kahfi bergeming. Masih penasaran akan kelanjutan cerita dari Rizal. Setidaknya rasa penasaran akan masa lalu Safina tercerahkan.

"Dia pernah ingin menggugurkan Hanan karena sudah tak kuat menanggung malu dan sakit karena dipukuli ayahnya. Kehamilannya tak ada yang tanggung jawab. Bahkan Safina tidak tahu siapa yang menghamilinya, karena laki-laki yang bersamanya saat itu tidak ada yang mau mengaku." Rizal terdengar sedih.

"Apa nggak dilaporkan pada polisi?" tanya Kahfi.

"Om Jamal sudah mengadukan kasus ini pada pihak polisi, tapi prosesnya berbelit-belit. Terutama karena pengakuan dari semua tersangka bahwa mereka tidak melakukannya. Sebenarnya ada salah satu tersangka yang Safina curigai, tapi dia juga menyangkal, dan terutama orang tuanya pengacara. Tentu mereka akan berusaha keras untuk membela anaknya tak bersalah. Akhirnya kasus Safina tanpa kejelasan."

Kahfi hanya mengangguk setelah mendengar penjelasan Rizal. Tak menyangka jika masa lalu Safina sangat kelam. Jika tak kuat iman, mungkin Safina sudah mengalami depresi.

"Saya dan istri membujuk Safina agar tinggal bersama kami sampai dia melahirkan, karena saat itu dia berniat untuk pergi dari rumah orang tuanya. Kami khawatir kalau Safina benar-benar akan menggugurkan Hanan saat itu karena sudah putus asa. Alhamdulillah, dia mau bertahan saat tinggal bersama kami karena mendapat semangat dari istriku. Setelah melahirkan Hanan, dia masuk asrama TKW untuk bekerja ke Turki sebagai baby sitter, dan menitipkan Hanan pada kami. Dia nggak pernah pulang selama lima tahun kerja di sana. Bahkan saat ibunya meninggal dia nggak pulang. Baru kemarin dia pulang setelah kontrak kerjanya yang kedua habis. Sudah waktunya dia mengurus Hanan karena nggak mungkin selamanya dia akan di sana. Sampai kapan dia mau egois dengan putranya."

Penjelasan Rizal cukup rinci dan membuat rasa penasaran Kahfi tercerahkan tentang Safina dan Hanan. Tak salah jika dia langsung menemui Rizal untuk meminta penjelasan.

"Kalau kamu mau menolak Safina, saya minta, tolong jaga aib keponakan saya. Dia sudah banyak mengalami ujian."

"Insyaallah, Kahfi akan menutup aib Ukhti Safina sebagaimana dia menutupi aibnya selama ini." Kahfi meyakinkan.

Rizal hanya mengangguk. Dia tak banyak berharap jika Kahfi akan melanjutkan taaruf bersama Safina setelah mendengar penjelasan tentang masa lalu keponakannya. Sengaja mengatakan hal itu untuk menjaga nama baik Safina sebelum Rizal mengungkapkan penolakan terhadap Safina.

Suasana kembali kondusif setelah beberapa menit tegang karena membahas masalah Safina. Kahfi pun tak mengungkapkan akan melanjutkan taaruf bersama Safina atau justru menolaknya. Dia galau. Masih butuh waktu untuk musyawarah bersama Allah dan keluarganya perihal kelanjutan niatnya atau mengakhiri.

Obrolan ringan mereka terjeda saat Rizal mendapat telepon dari ibunya agar segera pulang karena sang ibu membutuhkan bantuan. Kahfi hanya mengangguk sambil tersenyum ramah pada Rizal saat pamit untuk pergi. Kalimat salam pun mengakhiri pertemuan mereka siang itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro