Bagian 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau ada typo nama mohon dimaklumi, ya.
Aku belum sempat revisi.
.
.
♡♡♡


Jika keputusan Safina saat itu pergi dari rumah karena Hanan,  kini keputusannya kembali ke rumah itupun karena hal yang sama. Safina merasa kesal pada bibinya karena sudah merencanakan hal itu agar Safina menemui ayahnya. Jika bukan karena Hanan, mungkin Safina tidak akan pernah kembali ke rumah itu. Meski banyak kenangan saat dia tumbuh di rumah itu, tapi tetap saja kenangan buruk sebelum memilih pergi lebih mendominasi dalam ingatannya.

"Safina."

Langkah Safina seketika terhenti saat mendengar seorang wanita memyebut namanya. Dia mengangkat kepala, menatap ke sumber suara. Terlihat Ustazah Sofia berdiri tak jauh dari posisinya. Safina terpaksa senyum dan mengangguk lemah.

"Mau ke mana?" tanya Ustazah Sofia.

"Mau jemput Hanan," balas Safina ramah.

"Oh, Hanan lagi liburan, ya." Ustazah Sofia menimpali. "Teh Wulan ada di rumah?" tanyanya kemudian.

"Ada, Ustazah."

"Apa Mbak Safina bisa ikut saya bertemu Teh Wulan?" ajak Ustazah Sofia.

"Maaf, Ustazah. Saya mau jemput Hanan dulu. Silakan kalau Ustazah mau ketemu sama Bibi. Saya ada urusan penting." Safina menolak.

"Oh, ya sudah nggak apa-apa. Saya langsung ke rumah Teh Wulan." Ustazah Sofia memahami.

Safina mengangguk, lalu beranjak pergi meninggalkan Ustazah Sofia setelah mengucapkan salam. Bukan bermaksud menolak ajakan Ustazah Sofia, tapi Safina memang sedang terburu-buru untuk menjemput putranya.

Stasiun Bogor terlihat cukup padat. Banyak orang yang turun dari kereta, lalu bergantian dengan yang akan naik. Safina bergegas masuk ke dalam kereta tujuan Jakarta Kota, lalu duduk di salah satu kursi kosong. Banyak perubahan di stasiun itu setelah lima tahun terlewati. Ingatan Safina tertuju saat masih SMA. Dia sering menaiki kereta bersama teman-temannya untuk membuang jenuh. Kenangan-kenangan itu masih tergambar jelas dalam ingatannya. Safina memejamkan mata saat mengingat kejadian pahit itu.

Selama ini aku sudah kuat karena Hanan. Aku harus bisa melupakan kejadian itu. Lebih baik aku jangan memikirkan apa pun kecuali Hanan. Aku ke sana karena Hanan. Safina membatin sambil menguatkan hatinya.

***

Beberapa orang memerhatikan Safina yang lewat di depan mereka. Tak mengenali jika wanita yang melewati mereka adalah Safina, putri Jamal. Saat ini, Safina mengalami banyak perubahan setelah enam tahun berlalu. Jika saat itu Safina belum menutup aurat, berbeda dengan saat ini. Safina sudah mengulurkan kerudung panjang pada kepalanya. Tubuhnya lebih tinggi dari lima tahun silam. Wajahnya lebih cantik dan terawat dari sebelumnya.

Langkah Safina terhenti saat melihat bangunan yang sudah cukup lama dia tinggalkan. Bangunan tempat dia dibesarkan dari bayi hingga terakhir kali meninggalkan rumah itu. Safina menarik napas dalam untuk menenangkan hatinya. Dia sudah mendatangi rumah budenya untuk menjemput Hanan, tapi sang bude pergi ke rumah Jamal membawa Hanan dan putranya.

"Kak Fina."

Perhatian Safina teralih saat seseorang mengenalinya. Safina sontak menatap sumber suara. Terlihat seorang gadis berdiri tak jauh dari posisinya. Senyum paksa menghiasi wajah Safina. Gadis itu berjalan cepat ke arah Safina, lalu menubruk tubuhnya. Sudah cukupa lama dia tak melihat Safina. Safina masih bergeming. Rasa rindunya pada sang adik kini terobati.

"Kamu dari mana, Fan?" tanya Safina pada adik bungsunya sambil mengurai pelukan.

"Habis dari sekolahan buat ambil rapor diantar Bude Asih. Ayah nggak bisa antar karena lagi sakit. Kakak kenapa baru pulang sekarang?"

"Bude dan Hanan di mana?" Safina mengabaikan pertanyaan Fani.

"Bude mampir ke warung sembako. Hanan sama Ferdi ada di rumah sama Ayah dan Mas Gofar," jelas sang adik.

Safina mengayun langkah untuk menghampiri rumah sang ayah. Fani mengikutinya dari belakang. Salam tak lupa Safina ucapkan saat tiba di depan pintu rumah. Fani membuka pintu untuk kakaknya.

"Tolong panggilin Hanan. Bilang kalau Bunda jemput dia buat pulang ke Bogor." Safina menginstruksi adiknya.

"Masuk dulu, Kak. Ayah pasti seneng lihat Kakak pulang. Sudah lama Ayah nggak lihat Kakak. Kakak nggak kangen sama Ayah?" tanya Fani sambil masuk ke dalam rumah setelah melepas sepatunya.

"Cepat sana panggilin Hanan."

"Ayah. Lihat ini siapa yang datang. Ada Kak Fina datang mau nengok Ayah!" seru Fani sambil berjalan masuk.

Embusan napas kasar keluar dari hidung Safina. Dia beranjak duduk di bangku teras rumah. Tatapan Safina mengitari sekitar. Sudah banyak perubahan pada lingkungan rumah orang tuanya. Mata Safina berkaca saat mengingat ibunya.

Maafin Fina, Bu. Fina minta maaf kalau nggak bisa lihat Ibu untuk yang terakhir kali. Semoga Ibu ngerti. Fina kangen sama Ibu. Fina membatin sedih.

"Fina."

Safina bergegas mengusap air mata saat mendengar seseorang menyebut namanya. Tatapannya tertuju pada sosok wanita yang berdiri di sampingnya. Safina menyungging senyum paksa.

"Ya Allah, kamu sudah berubah, ya. Sekarang kamu cantik, tinggi, putih." Asih memuji Safina.

Hanya senyuman yang Safina berikan untuk membalas ucapan sang bude.

"Fin."

Perhatian Safina dan Asih teralih saat mendengar suara laki-laki menyapa putri sulungnya. Putri yang sudah lama tak dia lihat. Putri yang sudah dia sakiti beberapa tahun silam. Laki-laki itu menatap putrinya lekat. Lama tak melihat Safina membuatnya sangat rindu.

"Kamu apa kabar, Fin? Kenapa nggak langsung pulang ke sini dari Turki? Ayah kangen banget sama kamu," ungkap Jamal.

Tak ada jawaban dari Safina. Dia memilih diam tanpa ingin menatap sang ayah.

"Safina biar masuk dulu. Lagian kamu juga harusnya banyak istirahat karena baru pulang dari rumah sakit." Asih menegur.

"Fina di luar saja, Bude," tolak Safina.

"Kamu nggak kangen rumah ini? Nggak kangen Ayah kamu? Nggak kangen adik-adik kamu? Nggak kangen Bude dan tetangga?" tanya Asih beruntun.

Senyum getir terlihat jelas pada raut Safina. Bagaimana dia akan merindukan tempat itu dan orang sekitar jika pernah di sakiti sebelum kembali?

Asih menarik tangan Safina agar masuk ke dalam rumah orang tuanya. Safina terpaksa menuruti, masuk ke dalan rumah itu. Walaupun berat, tapi dia terpaksa. Walaupun terpaksa, tapi dia merasa rindu pada tempat ini. Asih berlalu masuk ke dalam untuk membuat minum. Di ruangan itu hanya ada Safina dan sang ayah.

"Kamu masih marah sama Ayah?" tanya Jamal pada Safina.

Tak ada jawaban. Jamal menatap putrinya yang menunduk. Anak gadisnya sudah tumbuh besar. Ada penyesalan pada raut Jamal saat menatap lekat putri sulungnya. Teringat saat memukuli Safina.

"Bunda."

Perhatian Safina teralih saat mendengar suara Hanan memanggilnya. Safina menyungging senyum saat melihat Hanan berjalan menghampirinya diikuti Gofar dari belakang. Gofar mengulurkan tangan pada Safina. Tangan Safina terulur untuk menjabat adiknya. Gofar mencium punggung telapak kakaknya. Safina tak menyangka jika adik-adiknya sudah tumbuh besar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro