Bagian 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Air mata tak hentinya mengalir di pipi Safina. Rasa bersalah merasuk ke dalam hatinya. Merasa bersalah karena tidak bisa melihat wajah wanita yang sangat dia cintai. Ketika semua orang menyalahkannya, hanya sang ibu yang menguatkan Safina agar tidak menggugurkan Hanan saat itu. Sekarang Safina hanya bisa melihat makam sang ibu tanpa bisa melihat wajahnya lagi.

Maafin Fina, Bu. Fina nggak bisa lihat Ibu untuk yang terakhir kali. Safina terisak karena kalut.

"Sudah, Fin. Ibumu sudah tenang di sana. Dia sudah nggak sakit lagi. Kamu pasti bisa ikhlas." Asih mengusap punggung Safina.

Tangan Safina bergegas mengusap air mata, lalu segera berdiri. Sudah cukup meratapi kepergian sang ibu. Meski berat, dia memang harus ikhlas. Demi kelancaran ibunya di alam sana. Allah pasti menempatkan ibunya di tempat terbaik. Sang ibu hanya butuh doa terbaik dari anaknya, bukan tangisan meratapi.

Kali pertama Safina melihat makam sang ibu. Jika dia masih menunda kedatangannya ke rumah itu, mungkin saat ini dia belum melihat makam ibunya. Safina merasa lega karena sudah melihat makam ibunya. Setidaknya, dia tidak terus menerus dihantui rasa bersalah dan kesedihan. Hanan pun ikut bersamanya ke makam. Asih dan Fani mengantar Safina ke makam.

"Bunda, Hanan mau gendong," pinta Hanan.

Safina menuruti permintaan putranya, menggendong tubuh Hanan. Mereka bergegas meninggalkan pemakaman setelah selesai ziarah. Suasana pemakaman cukup sepi karena menjelang Ashar.

"Kakak nginep di rumah Ayah, 'kan?" tanya Fani.

"Nggak. Kakak mau langsung pulang ke Bogor habis Salat Ashar," tolak Sakinah.

"Nginep saja dulu, Fin. Tidur di rumah Bude saja kalau nggak mau tidur di rumah Jamal." Asih membujuk.

Tak ada jawaban dari Safina. Melihat kondisi sang ayah, Safina jadi merasa berat untuk meninggalkannya karena sedang dalam masa pemulihan. Tapi hati Safina masih diselimuti rasa kesal pada sang ayah.

"Yah, Hanan mau pulang. Padahal Tante mau beliin buku cerita dinosaurus baru. Nggak jadi deh beli buku cerita baru." Fina meluncurkan provokasi.

"Nggak. Hanan mau tidur sama Tante Fani. Sama Ferdi juga. Iya kan, Bunda?" Hanan menatap Safina.

Hal lain yang tak Safina ketahui adalah, Hanan dekat dengan keluarganya tanpa sepengetahun Safina. Dia sempat melarang Wulan mendekatkan Hanan pada keluarganya, tapi Wulan tak menggubris larangannya. Diam-diam Wulan melakukannya.

"Kita pulang ke rumah Bunda, ya." Safina kukuh pulang ke Bogor.

"Nggak mau. Hanan mau tidur sama Tante Fani." Hanan kukuh.

Tak ada pilihan lain untuk Safina kecuali menuruti permintaan putranya. Fani tersenyum puas karena berhasil membujuk Hanan agar ibunya ikut tidur di rumah sang ayah. Mereka tahu jika Safina akan menolak keras ketika disuruh tidur di rumah ayahnya.

***

Safina mengedarkan pandangan pada ruangan yang dia pijak saat ini. Kamar itu masih sama seperti enam tahun silam saat dia meninggalkan rumah kecuali tempat tifur. Tempat tidurnya saat ini lebih luas. Semua barang-barang miliknya masih tertata rapi di tempat masing-masing. Tak menyangka jika sang ibu akan menjaga kamar Safina dan tidak membiarkan siapapun merubah tatanan di dalamnya. Bahkan Fani merasa iri saat sang ibu tak mengizinkannya untuk tidur di kamar itu padahal Safina sudah pergi dan entah kapan kembali.

"Kak, malam ini kita tidur di kamar Kakak, ya?"

Perhatian Safina teralih pada pertanyaan Fani. Safina mengangguk pada sang adik. Fani beranjak pergi dari ruangan dengan raut bahagia. Sangat jarang Safina mengalah pada adiknya. Saat meninggalkan rumah, Fani masih duduk di bangku SD. Sekarang adik bungsunya sudah menginjak SMA. Waktu seakan berjalan sangat cepat.

Deringan ponsel menggema di ruangan itu. Safina bergegas meraih benda pipih itu untuk memastikan sang penelepon. Sejak tiba di rumah itu, Safina tak fokus pada ponselnya. Dia menduga jika Wulan yang menghubunginya. Benar. Nama Wulan menghiasi layar ponselnya. Safina bergegas menggeser layar, lalu menempelkan ponsel pada telinga. Wulan menyapa dengan kalimat salam.

"Wa alaikumusalaam. Iya, Bi?" tanya Safina.

"Kamu udah pulang?" tanya Wulan.

"Belum, Bi. Hanan nggak mau diajak pulang. Fina terpaksa nuruti dia tidur lagi di sini," balas Fina.

"Ya sudah nggak apa-apa. Lagian Hanan betah di sana. Banyak teman dia kalau di sana. Ada Ferdi, Dias, dan anaknya tetangga lain. Di sini dia dikurung terus," timpal Wulan.

"Gara-gara Bibi ini, mah," gerutu Safina.

"Bibi ngelakuin itu kan buat kebaikan kamu sama Hanan. Gimanapun Hanan cucunya Ayah kamu. Berjalannya waktu mereka sudah menerima Hanan."

"Dulu dibuang, sekarang disayang."

"Bibi mau kasih tau kamu sesuatu, tapi kayaknya nggak tepat kalau kasih tau sekarang. Mending nanti saja kalau kamu sudah balik ke sini," ungkan Wulan mengalihkan topik.

"Apaan sih, Bi? Jangan bikin Fina penasaran, deh."

"Pokoknya ada. Ya sudah, Bibi mau siapin makan buat Mas Rizal dulu. Titip salam buat Bude dan Ayah kamu." Wulan pamit.

"Kasih tau dulu, Bi," pinta Safina.

"Assalamu'alaikum."

Panggilan telepon terputus sebelum Safina membalas. Safina menghela napas karena sang bibi membuatnya penasaran. Dia kembali menatap layar ponsel, lalu mengetik pesan untuk Wulan.

To: Bi Wulan
Kasih tau sesuatu yang tadi mau Bibi omongin sama aku.

Setelah mengirim pesan pada Wulan, Safina bergegas keluar dari kamar untuk mencari putranya. Sudah tiba waktu Hanan istirahat. Di dalam rumah tak ada. Hanya ada Gofar yang sedang menyaksikan televisi.

"Hanan mana, Gof?" tanya Safina pada Gofar.

"Tadi keluar sama Fani," balas Gofar tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi.

Safina kembali mengayun langkah untuk mencari adik dan putranya di teras rumah. Ke mana Fani dan Hanan? Nggak mungkin dia ajak Hanan main jauh. Apa mereka ke rumah Bude Asih?

Langkah Safina kembali terayun untuk masuk ke dalam. Dia tak mungkin keluar rumah sendirian karena khawatir dicibir tetangga. Warga sekitar sudah banyak yang tahu jika Safina sudah kembali. Mereka tak tahu jika Safina hanya singgah sementara di rumah orang tuanya.

"Far!"

Terdengar seruan Jamal memanggil Gofar ketika Safina melewati pintu kamar ayahnya. Safina melangkah ragu menuju pintu kamar ayahnya. Pintu kamar Jamal tak tertutup rapat. Safina mengintip untuk memastikan. Mata Safina membulat. Dia bergegas masuk saat melihat tangan ayahnya ternoda darah.

"Ayah kenapa?" tanya Safina panik.

Jamal menatap putrinya. "Ayah nggak apa-apa, Fina," balasnya menenangkan sang putri.

"Tapi kenapa Ayah mimisan?" Safina masih terlihat khawatir.

Tak ada jawaban. Jamal meminta untuk diambilkan tisu. Safina bergegas mengambilkan tisu untuk ayahnya. Dia membantu Jamal membersihkan noda darah di tangan ayahnya. Gofar menyungging senyum ketika melihat sang kakak mulai peduli pada ayah mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro