Bab 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dava memperhatikan Cattleya sejak beberapa saat lalu, usai Berliana meninggalkan mereka dan menghabiskan beberapa cup—lagi—es krim. Istrinya tampak sedang memikirkan sesuatu, memainkan sendok di dalam cup bekas es krim yang telah ludes.

“Kurang, Cey?” tanya Dava menginterupsi. Mengambil alih atensi sang istri dan juga sepupunya yang masih bersama mereka.

“Hm?” Cattleya yang sedikit tersentak memandang bingung lelaki itu.

“Kamu dari tadi melamun. Kenapa? Es krimnya kurang?” Dava mengulang kembali kalimatnya. Ia tahu betul, porsi makan Cattleya yang terlewat ‘wajar’.

“Nggak, sih. Tapi, kalau Bapak mau belikan la--”

No!” sanggah lelaki yang duduk di antara pasutri tersebut.

Matanya yang belum beralih dari layar ponsel, sejak berhasil ‘menghalau’ wanita cantik yang sempat bersama mereka beberapa saat lalu, kini bersedekap sambil menetapkan fokus perhatian pada kedua pasutri yang turut memandangnya dengan kening berkerut.

“Es krimnya cukup segitu untuk hari ini. Nggak baik berlebihan mengonsumsi es krim di saat hamil.” Dava sempat melirik pada sang istri yang terlihat mencebik mendengar penuturan sepupu sekaligus dokter kandungan di salah satu rumah sakit besar tersebut. Tampak wanita itu semakin tak bersemangat, melorotkan tubuh di sandaran kursi.

“Dan lagi,” lanjut Abian, menarik beberapa helai tisu dari tissue box di atas meja. “Wanita secantik kamu bisa dikira anak sekolahan dengan porsi dan es krim belepotan.” Lelaki itu tersenyum kecil, Membersihkan sisa es krim di ujung bibir Cattleya. Mendapat tepisan kasar dari lelaki lain di sebelah.

“Woi! Kalau bosen jomlo cari, noh! Di panti jompo banyak, tuh,” ketus Dava. Merebut tisu dari tangan Abian yang terbahak, lanjut membersihkan bibir sang istri dengan wajah ditekuk dan gerutuan panjang.

“Nembak gebetan nggak pernah. Sok-sokan nikung bini orang di depan lakinya.” Abian yang terkikik sempat keheranan mendengar dumelan Dava yang mirip emak-emak. Sepertinya, kabar tentang dirinya sebagai ‘Dosen cool’ hanya berlaku bagi mahasiswi kampus.

“Gimana gue mau nembak gebetan. Lah, cewek-cewek duluan yang nembak gue.”

“Hidih,” sangkal Dava sambil memutar mata malas. Mirip seperti cewek, pikir Abian geli.

“Daripada elo. Nggak punya nyali nembak gebetan selama tujuh tahun, sok-sokan nolak calon dari emak.” Abian balik membalas.

“Iya, gue nggak punya nyali untuk nembak. Tapi gue berani buat ngelamar dia.” Tak ingin kalah, Dava kembali ‘menyerang’ secara halus. Mendapat kerlingan kesal dari pemilik lesung pipi di sebelah.

“Kayaknya, yang kita lakukan ke Ana tadi terlalu berlebihan, deh,” sela Cattleya di tengah-tengah adu mulut antar sepupu tersebut. Baik Dava maupun Abian, menoleh dengan tanda tanya di kening. Sepertinya wanita itu sama sekali tak peduli dengan obrolan dua lelaki di kiri-kanan.

“Apa yang dia lakukan di rumah tangga kita, itu berlebihan,” ucap sang suami. Menghadapkan tubuh dan mendekat ke arah Cattleya. Menyadari istrinya sedang memikirkan Berliana.

“Kamu sedang hamil. Jangan memikirkan sesuatu yang berat dulu,” tambahnya.

“Sejak awal, Ana tak berniat menjadi pelakor. Setidaknya itu satu-satunya yang paling masuk akal.”

“Cey ….” Tak ada tanggapan dari Abian, sementara Dava meraih jemari Cattleya.

“Ana menyukai Bapak sejak kalian sekelas. Dia sangat menyukai kamu, merelakan harga dirinya sebagai wanita karier hanya karena alasan klise. Cinta? Entahlah. Yang jelas, perjanjian kita mendukungnya. Sampai saya bertemu dengan teman-temanmu.” Cattleya menatap Dava lekat. Memberi jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan.

“Sebagai sesama wanita, mempermalukan Ana juga menyakiti dirinya. Saya tahu rasanya.” Entah kenapa, saat mendengar kalimat Cattleya, Dava teringat di saat makan malam bersama keluarga ketika hari jadi pernikahan orang tuanya. Wajah istrinya yang terdiam sepanjang perjalanan setelah menangis sendirian di belakang mobil, seketika kembali terbayang.

“Bukan suatu kesalahan Ana mencintai Bapak. Dia hanya salah langkah. Menyadari peluangnya direnggut oleh pernikahan kita.”

Genggaman Dava mengerat. Cattleya jarang berbicara serius seperti ini. Tampaknya persoalan Ana mengganggu sang istri. Terdengar helaan pelan dari wanita itu.

“Yah … punya suami famous itu sedikit melelahkan juga ternyata,” ujarnya mengalihkan atensi. Membuat kedua lelaki di meja tersebut melongo diam.

Raut wajahnya sudah kembali seperti semula, seolah yang baru saja mengatakan hal-hal panjang tadi adalah orang lain. Bahkan Abian dibuat takjub dengan perubahan suasana hati wanita itu yang cepat. Hormon estrogen dan progesteron Cattleya sedang labil sepertinya.

“Apa kabar Jesika, ya?” Cattleya seolah bertanya pada diri sendiri. Semakin membuat sang suami mangap tanpa melepaskan atensi.

“Kenapa tiba-tiba Jesika?” tanya Dava pula.

Namun, bukannya membalas kebingungan lelaki tersebut, Cattleya malah beralih memandang Abian dengan cengar-cengir. Sontak Abian memundurkan punggung, menatap wanita di sebelahnya takut.

“Ke-kenapa … kamu lihat saya seperti itu?”

“Memikirkan hal yang berat bikin saya tambah lapar,” ujar Cattleya, jeda sejenak.

“Te-terus …?”

“Untuk hari ini aja. Saya boleh nggak nambah es krim satu cup lagi?”

Glek!

Tanpa sadar, Abian menelan ludah karena istri sepupunya memajukan wajah sedikit mendekat ke arahnya—dengan tatapan bukan memelas, melainkan permintaan yang harus dipenuhi.

“Atau kamu mau bertanggung jawab, anak kami nanti ileran?” Bahkan, menyiratkan ancaman.

“O-oke! Iya, boleh. Tapi cukup satu cup.” Cattleya beringsut mundur, tersenyum penuh kemenangan.

“Setuju!”

Dava menghela napas kasar, memijit pelan pelipisnya menyaksikan sang istri dan sepupu.

“Dengan syarat, selama satu minggu ke depan kamu tidak boleh makan es krim.” Perkataan Abian menghentikan tangan Cattleya yang baru saja melambai pada waiter, ingin memesan es krim lagi. Atensinya segera nyalang, tertuju pada lelaki pemilik lesung pipi di samping.

Brak!

Suara gebrakan meja, mengagetkan kedua lelaki juga beberapa pengunjung di tempat tersebut.

***

“Cey, saya pulang.”

Hening, tak ada sahutan. Dava melepaskan sepatunya, merapikannya di atas kabinet belakang pintu masuk. Lalu mengitari rumah mencari keberadaan sang istri. Melirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul delapan malam.

Jarang sekali Ceya tidur secepat ini, pikirnya.

Saat tangannya hendak meraih kenop pintu kamar, pintu tersebut lebih dulu terbuka. Menampilkan sesosok wanita menggunakan dress tidur selutut, rambut diciput dan seluruh wajah memutih. Refleks lelaki itu bergerak mundur, kaget. Selang beberapa detik kemudian barulah ia menyadari, wanita yang memandangnya datar tak lain adalah Cattleya.

“Kamu mau saya jantungan, Cey?” tanya Dava, mengelus-elus dada dan mendesah lega. Lamat, terdengar decihan dari sang istri yang mengetik sesuatu di ponsel.

Nggak usah berlebihan!

Dava membaca pesan di ponsel yang di arahkan Cattleya ke wajahnya.

Bapak mandi sana! Saya mau cuci muka sekalian nyiapin makan malam.

“Oke.”

Tanpa berlama-lama, Cattleya segera menuju dapur sementara Dava masuk ke kamar. Selesai sang suami menggunakan kamar mandi, wanita itu mencuci muka di wastafel kemudian menghampiri Dava di meja makan.

“Kamu ngapain, sih, maskeran pakai baju putih segala. Bikin saya kaget aja.” Tak ada sahutan dari sang istri.

“Kalau saya kena serangan jantung gimana?”

“Cari suami baru,” balas Cattleya membuka suara—datar.

“Emang ada lelaki lain seganteng saya?” tanya Dava lagi, mengusik sang istri yang sedang mengisi lauk di piring untuknya.

“Ada. Si Abian. Mirip idol.” Jawaban Cattleya yang lagi-lagi datar membungkam lelaki tersebut sesaat.

“Wah, kamu bikin saya terluka, Cey.”

“Makanya nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Makan dulu.”

“Iya-iya.” Dava meraih piring yang disodorkan istrinya, lalu melahap masakan Cattleya dan sesekali mencuri pandang ke arah wanita itu. Menikmati masakan istri sepulang kerja sambil memperhatikan wajahnya benar-benar melepas penat tubuh. Dava mensyukuri hal itu, senyum-senyum sendiri tanpa berhenti memandangi Cattleya.

“Saya nggak tahu Bapak kesambet apa tadi di jalan pulang. Tapi saya siap menelpon rumah sakit jiwa kalau-kalau Bapak butuh,” ucap Cattleya sambil menikmati makan malamnya.

“Kalau dipikir-pikir, istri saya cantik. Sepertinya nggak perlu maskeran lagi.”

“Bapak mau saya maskerin juga?” tanya Cattleya akhirnya memandang Dava.

“Eih, ngapain? Saya mah dah ganteng tanpa maskeran,” tolak lelaki itu.

Namun, yang terjadi saat ini berbanding terbalik. Selesai makan malam, Dava yang sedang menonton salah satu siaran televisi, dipaksa memakai masker oleh Cattleya. Bahkan, wanita itu turun tangan langsung memolesi wajahnya dengan tepung yang sudah berubah menjadi pasta.

“Udahan, dong, Cey. Muka saya udah kaku banget ini.”

“Diem dulu. Nanti maksernya retak, muka Bapak malah keriputan.”

Dava pasrah. Membiarkan keinginan sang istri dan memilih memejamkan mata sambil menikmati aroma tubuh Cattleya, berbaring di paha wanita itu.

“Saya tahu kamu lagi mikirin sesuatu,” ucapnya setengah berbisik. Meringis tanpa suara saat mendapat jitakan dari Cattleya.

“Dibilangin jangan ngomong dulu,” protes sang istri. Dava mendesah pelan sambil memberi isyarat ‘oke’ dengan tangannya.

Dava benar. Cattleya memang sedang memikirkan sesuatu. Hal yang sangat jarang ia pikirkan, mama mertuanya. Wanita paruh baya itu sore tadi mengirimkan buah-buahan dan makanan pendukung kehamilan lewat jasa kurir. Lalu mengirimkan pesan, memberitahunya bahwa paket yang ia kirimkan tak lain demi kesehatan calon bayi di perut Cattleya.

Namun, yang menjadi buah pikiran Cattleya, Mama Rania tak pernah lagi mengunjungi rumah mereka sejak terakhir kali datang dan memasakkan makanan untuk anak dan menantunya disusul kedatangan Ana, sebulan lalu. Bukan suatu hal yang aneh, karena wanita itu memang jarang mengunjungi mereka dari awal pernikahan Dava dan Cattleya. Hanya saja, kedatangannya ketika mengetahui kehamilan sang menantu, mengartikan bahwa wanita itu juga sebenarnya cukup perhatian.

Akan tetapi, setelah kepergiannya bersama Ana waktu lalu, sikap Mama Rania sepertinya kembali seperti dulu. Hanya mengirim via kurir dan sebuah pesan singkat, tak lebih dari satu kalimat.

Itu untuk kesehatan calon bayi, saya nggak mau dia kenapa-kenapa.

Mungkin, bagi sebagian wanita hamil di luar sana akan merasa senang diperhatikan oleh ibu mertua. Namun, Cattleya merasa sebaliknya. Sikap mama Dava benar-benar membuatnya kepikiran.

“Pak.”

“Hm?” Dava yang mulai terlelap di pangkuan Cattleya, menyahut seadanya.

“Nanti anak kita mau dikasih nama apa?” Lelaki itu membuka mata, menatap Cattleya yang sedang memandang televisi sambil mengelus-elus rambut Dava. Ia meraih ponsel di atas meja, mengetik sesuatu, lalu menunjukkannya pada Cattleya.

Kepikiran itu dari tadi?

Cattleya diam sejenak, kemudian mengangguk kecil.

“Bagusan mana? Adeeva, Zeana, Juano, atau ….” Cattleya diam ketika Dava mengetik lagi di ponselnya.

Davea? Dava Cattleya. Hehe ….

Senyum tipis mengembang di sudut bibir Cattleya.

Apa pun namanya nanti, yang penting dia sehat dan cantik seperti mamanya. Atau ganteng sepertinya papanya, wkwkwk.

Semoga, pinta Cattleya membatin. Beberapa saat, hanya terdengar suara siaran di TV. Tak ada obrolan antara pasutri tersebut. Dava pun kembali melelapkan mata.

“Kalau seandainya nanti saya nggak ada, apa Bapak masih akan tetap mencintai saya?” bisik Cattleya pelan, tetapi masih terdengar oleh sang suami. Seketika, Dava teringat akan mimpinya beberapa bulan lalu. Kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga Cattleya. Tak ada balasan atau pembicaraan lagi. Hening.

Selang beberapa saat, Dava mengatur posisi tubuhnya. Mendekatkan wajah ke arah perut Cattleya yang semakin tampak gemuk dan berisi dari sebelumnya. Menurut Abian, usia kandungan Cattleya memasuki enam minggu. Akan ada banyak faktor yang membuatnya mudah lelah dan stres. Morning sickness, begitulah kata sepupunya.

Dava mengusap lembut perut Cattleya, berharap memberi ketenangan pada sang istri dan juga calon bayi mereka. Mengecup lama, kemudian memeluk pinggang wanita itu dan terlelap layaknya anak kecil yang tidur di pangkuan sang ibu. Diam-diam, sudut bibir wanita tersebut terulas tipis.

“Maskernya belum dicuci, Pak,” ujarnya pelan. Terlihat Dava menahan tawa tanpa melepaskan pelukannya.

***

Dering ponsel di sebelah laptop mengalihkan atensi Cattleya. Ia sontak berdiri saat melihat notifikasi pengingat yang tertera di layar.

Suaminya ulang tahun hari ini!

Bergegas Cattleya menoleh ke arah jam dinding. Melihat hari masih pukul satu siang, segera ia masuk ke kamar. Berganti pakaian dan meraih dompet. Memesan taksi online, berharap masih sempat mencari bahan-bahan kue dan membuatnya sebelum Dava pulang dari kampus. Untungnya, lelaki itu mengajar kelas sore hari ini.

Selesai berbelanja dan tiba di rumah, wanita itu tampak grasak-grusuk di dapur. Menyiapkan kue dan juga hadiah untuk sang suami. Berjam-jam mondar-mandir, Cattleya akhirnya memutuskan rehat sejenak. Mendadak ia kebelet ingin ke toilet, padahal baru beberapa menit yang lalu ia keluar dari tempat itu. Sepertinya, gejala ini mirip dengan gejala di artikel parenting  yang ia baca beberapa hari lalu.

Lega setelah menuntaskan hajat, Cattleya tiba-tiba merasakan tubuhnya limbung. Belum sempat ia meraih pegangan di pintu toilet, seluruh pandangan wanita itu menggelap.

“Cey!”

###
Salam hangat
Tasyayouth
Elsye91

Note:
Siapa yang nunggu ending?
Nah, kenapa Ceya tuh?
Huhu ...

Berikan komentar kalian tentang cerita absurd ini hihi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro