Bab 30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cattleya merasakan sedikit kesemutan di punggung tangan kanannya. Kepala berdenyut dan pandangan yang buram, serta nyeri di beberapa bagian tubuh, membuat wanita itu meringis kecil.

“Cey,” lirih. Dari suaranya, Cattleya tahu itu siapa.

Dugaannya benar. Setelah netranya dapat melihat jelas, yang pertama kali ia dapati adalah raut khawatir dari lelaki di sebelah. Pantas saja ia merasa kesemutan, lelaki tersebut ternyata meremas kuat tangannya. Saking kuatnya, Cattleya refleks menarik pelan punggung tangannya, menyadarkan lelaki itu akan kesalahan yang tanpa sadar ia lakukan.

“Maaf.” Lagi, lirih. Bahkan lelaki tersebut tertunduk dalam.

Merasa bersalah, Cattleya kembali meraih jemari milik lelaki yang tak lain adalah sang suami, mengenggam dan mengusap lembut.

“Bapak ngapain minta maaf segala?” tanya wanita itu berusaha mencairkan suasana. Baru ia sadari, suaranya parau. Dava mengangkat wajah. Raut terluka masih tersemat di mukanya yang tampak ‘kacau’.

“Maaf, saya nggak bisa menjaga kamu.” Pelan, dengan setengah berbisik lelaki tersebut menyatakan kalimat penyesalan.

“Apaan, sih? Pakai mewek segala. Saya baik-baik aja, kok.” Meski tahu tubuhnya masih terasa nyeri, Cattleya tetap berusaha menampilkan senyum seperti biasa. Namun, suaminya masih juga bergeming.

“Oh, iya. Hampir kelupaan. Selamat hari menua, Pak Suami!” Mencoba bersemangat dengan sisa tenaga, Cattleya terkekeh pelan.

“Kayaknya, kue saya gagal, ya?” Tak ada respon. Lelaki yang duduk di bangku—sebelah ranjangnya—itu hanya mengulas senyum tipis, sangat tipis hingga kentara dipaksakan.

“Harusnya kamu nggak usah repot-repot bikin kue untuk saya, Cey.”
Cattleya termangu. Ia tak mengerti maksud suaminya. Maksud Dava, ia tidak boleh menyiapkan hari jadi suaminya sendiri, begitu?

Ketika menyadari ekspresi  lelaki tersebut, bersamaan dengan rasa nyeri yang kembali menyerang, Cattleya bungkam. Memastikan apa yang sedang dipikirkannya saat ini salah, perlahan Cattleya mengalihkan perhatian ke asal rasa nyerinya. Mendapati sebagian tubuhnya—mengenakan piyama polos berwarna hijau tosca—tertutup selimut putih.

Tak hanya itu, terlalu fokus dengan raut sang suami, sejenak Cattleya melupakan bahwa dirinya ternyata bukan berada di kamar mereka. Melainkan ruangan dengan perpaduan biru langit dan putih.

“Saya … di rumah sakit?” Cattleya bertanya setelah selesai mengitari ruangan tersebut, menatap sang suami yang mengangguk kecil.

“Ap-apa … yang terjadi?”

Cattleya tahu, pertanyaan itu mungkin terdengar membohongi diri. Namun, sejujurnya ia memang tak ingat alasan kenapa dia berada di tempat tersebut. Yang ia tahu, sebelumnya dia sedang membuat kue tart untuk perayaan kecil-kecilan memperingati hari kelahiran sang suami. Karena lelah, ia memutuskan beristirahat sebentar, masuk ke toilet, lalu ….

Cattleya kembali memandangi Dava, yang juga menatapnya dengan pandangan khawatir dan … kecewa? Jika iya, kenapa?

“Pak ….” Dava tertunduk. Tangan yang sejak tadi bertautan dengan jemari Cattleya, perlahan merenggang.

“Maaf, Cey.”

Cattleya ingin marah pada lelaki itu. Berkali-kali mengucapkan maaf tanpa berniat mengatakan yang terjadi pada dirinya. Meski isi kepala Cattleya terus saja memberi jawaban, wanita tersebut berusaha keras menampiknya.

“Tolong, katakan pada saya. Saya ingin mendengarnya langsung dari Bapak.” Dava mengangkat wajah, suara istrinya terdengar semakin parau.

***

Cattleya ingin menangis. Namun, entah kenapa tak satu pun bulir bening dari netranya membasahi wajah, bahkan pelupuk mata. Yang ia lakukan malah memalingkan muka, menjauhkan atensi dari sang suami yang lagi-lagi bisu menatap lantai.

Cattleya tahu, tidak ada yang bersalah di antara mereka. Dan jika ada, orang itu tentu saja adalah dirinya. Meski sebegitu inginnya dia marah, orang yag pantas disalahkan adalah dirinya.

Kamu jatuh di toilet. Untungnya sore tadi saya pulang cepat.

“Saya mau tidur dulu.”

Bohong, Cattleya sadar tidak seharusnya ia berbohong. Namun, suasana hening meski sedang bersama suaminya, membuat wanita itu semakin merasa menyesal. Ekspresi kecewa Dava yang masih terlihat walau ditutupi rasa khawatir, masih terbayang.

“Oke.” Singkat. Sarat akan rasa luka.

Walau Dava mengecup keningnya sejenak setelah menaikkan selimut hingga ke atas dada, Cattleya masih saja mati rasa. Saat sang suami duduk di atas ranjang, bersebelahan dengan dirinya, Cattleya malah menyampingkan diri masih menjauhi atensi dari lelaki tersebut. Memejamkan mata, meski belum merasakan kantuk.

Keesokan pagi, Cattleya yang terbangun menemukan sticky notes dengan tulisan tangan milik Dava. Sementara lelaki itu tidak terlihat di mana pun.

Saya pulang sebentar ambil pakaian kamu. Mama dan Papa kamu katanya siang ini juga mau datang.

Sendirian, Cattleya berusaha mendudukkan diri. Meraih ponsel milik suaminya yang sepertinya tertinggal. Tak lama, suara langkah dan beberapa orang yang mengobrol di depan pintu kamar inapnya, menginterupsi keheninangan ruangan tersebut. Selang beberapa saat, pintu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dan lelaki berjas putih di belakangnya. Jujur saja, Cattleya sebenarnya sedang enggan bertemu wanita itu.

“Abian akan tinggalin Tante dan Cattleya berdua. Tapi, hanya sebentar. Tante pasti tahu, Cattleya butuh waktu untuk istirahat,” ujar lelaki berlesung pipi tersebut pada wanita di depannya yang tak membalas. Hanya memandang Cattleya lekat sampai keponakannya menghilang di balik pintu.

Sepi, untuk beberapa saat Mama Rania hanya menatap menantunya tanpa membuka suara.

“M-Ma,” sapa Cattleya yang entah kenapa malah gugup.

“Kamu dengar sendiri dari Abian, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Dan saya juga sedang tidak ingin berbasa-basi sekarang.”

Memangnya, sejak kapan wanita itu mau mengobrol panjang lebar dengan Cattleya?
Cattleya mengangguk kecil sebagai balasan.

“Saya nggak tahu apa yang ada di pikiran kamu. Berduaan dengan lelaki lain di mall sementara suami kamu sedang bekerja.” Benar saja, tanpa basa-basi Mama Rania langsung mengutarakan urusannya.

Namun, tunggu dulu. Bukankah salah paham tersebut sudah selesai sejak kemarin? Kenapa ibu mertuanya mengungkit kembali? Apa wanita itu belum tahu, bahwa lelaki yang bersama Cattleya saat itu adalah keponakannya sendiri? Kalimat tersebut nyatanya tenggelam begitu saja. Ia lagi-lagi sedang enggan berdebat dengan sang ibu mertua.

“Saya pikir, kamu akan berusaha menjaga bayi putra saya dengan baik. Ternyata, anak kecil tetaplah anak kecil.”

Jangan lupakan, calon bayi itu juga anaknya.

Sebenarnya, Cattleya kesal. Namun, ia sedang tak punya tenaga untuk melawan.

“Saat Dava memberitahu saya kamu hamil, dia meminta untuk membatalkan perjanjian kami. Tadinya saya ingin menerima permintaan Dava. Tapi sekarang, sepertinya perjanjian itu tetap berlanjut. Dava layak mendapatkan istri yang bisa menjaga keluarganya.”

Oke, cukup! Cattleya tahu itu. Mama Rania tak perlu memberitahukannya pada Cattleya, karena dia mengerti semua ini salahnya. Tak berbicara lagi, ibu mertuanya beranjak keluar. Meninggalkan Cattleya kembali sendirian di ruangan tersebut.

Ah! Bulir bening itu jatuh di waktu yang tepat. Membasahi wajah Cattleya diam-diam. Bahkan ketika Abian masuk, ia tak mendengar apa yang dikatakan lelaki tersebut.

“Cattleya sedang istrirahat. Saya mohon jangan ganggu dia dulu.” Lagi, kembali terdengar suara obrolan di depan pintu. Apa itu Dava? Tapi jika suaminya, tidak mungkin Abian melarang Dava masuk.

Cattleya butuh Dava sekarang.

“Bahkan kami pun tidak boleh?” Suara yang berbeda. Bukan milik Dava.

“Baiklah. Tapi saya mohon, jangan membuatnya semakin memikirkan hal yang baru saja terjadi.”

Cattleya tahu, Abian sangat melindunginya. Namun, semesta tak berhenti begitu saja untuk menyalahkan Cattleya. Wanita itu sedikit kaget dan senang di saat bersamaan, mendapati kedua sahabatnya di depan pintu. Ia menyeka pelan air mata di sudut netra, mengulas senyum tipis. Sahabatnya, Kaela dan Ardhan, menghampiri Cattleya dengan tatapan yang membuatnya senyumnya luruh.

“Kenapa elo menyembunyikan ini dari kita, Le? Kita sahabat elo atau bukan, sih, sebenarnya?” itu Kaela. Lagi-lagi kalimat sarat kekecewaan.

***

Langkah Dava terhenti di ambang pintu kamar inap yang telah rapi dan kosong. Tidak ada istrinya di sana. Hanya sticky notes yang masih tertempel di atas nakas bersama ponsel miliknya yang sengaja ia tinggalkan agar Cattleya tidak bosan sendirian di ruangan itu.
Dava mendekat, menarik sticky notes dengan tulisan tangannya sendiri lalu pesan singkat yang sangat dikenalnya, di bawah tulisannya.

Maaf.

Dava tak ingin berlagak bego. Bergegas ia menuju ruang kerja Abian, sepupu sekaligus dokter kandungan Cattleya. Saat ia membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu, sepupunya sedang berbincang dengan seorang wanita.

Bukan Cattleya.

“Di mana Ceya?” ucapnya tanpa peduli dengan wanita yang memandang mereka bergantian. Sementara Abian, membisu sambil memandang lekat dirinya.

“Harusnya elo jaga dia, Dav.” Hanya itu. Kemudian Abian kembali mengalihkan perhatian pada wanita yang diduga adalah pasiennya.

Bergegas Dava kembali ke ruangan inap istrinya, mengambil paper bag berisi pakaian Cattleya dan menelpon wanita itu. Tidak terhubung.

“Halo, Ma. Apa Ceya sama kalian sekarang?” tanya Dava setelah menelpon ibu mertuanya. Sementara tangan yang lain buru-buru memasang seat belt. Sepersekian detik, tangan yang grasak-grusuk sejak masuk ke mobil, berhenti seketika.

Lea tidak ada di sini.”

###
tbc

Salam hangat,
Tasyayouth
Elsye91

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro