Bab 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kita tidak bisa saling memiliki di dunia nyata, bolehkan aku bermimpi sekali saja?

***

"Kamu bakal terus bohong kayak gini?"

Cattleya mendesah berat. Seperti kata mamanya, ia berbohong. Lebih tepatnya meminta mama turut serta untuk menyembunyikan dirinya di rumah mama. Ia tidak ingin disebut pengecut, tetapi seperti itulah dia. Walau niatnya kabur dari Dava karena ia ingin sendiri. Alasan yang egois.

"Cuma seminggu. Setelah itu Lea bakal balik lagi."

"Kamu beneran, kan, Lea? Enggak bohongin Mama?"

Kening Ceya berkerut. "Bohongin apa, sih, Ma? Serius, Lea bakal balik minggu depan. Mama gak seneng, ya, Lea di sini?"

Mama mendesah berat, mungkin karena tak sanggup memikirkan kelakuan anaknya. "Bukannya gak seneng, Lea. Tapi ... ah! Terserah kamu, Lea. Kamu udah dewasa, lebih tahu mana yang lebih baik."

Setelah itu mama pergi meninggalkannnya sendirian di kamar kecil itu. Kamar yang telah melihat perkembangannya tumbuh selama ini.

Dalam kesendiriannya, Cattleya mulai berandai-andai. Andai ia tidak bertemu Dava, apakah ia akan baik-baik saja sampai sekarang? Setidaknya, walaupun ia tidak menikmati kekayaan Dava seperti sekarang, tetapi ia masih bisa bahagia. Setidaknya ia hanya merasa kesal dengan pelanggan menyebalkan di minimarket, atau pusing dengan kelakuan Kaela dan Ardhan. Jadi maksudnya bersama Dava tidak bahagia? Big no! Bahkan itu sangat indah, sayangnya terlalu singkat untuk dinikmati.

Ya, terlalu singkat. Baru beberapa hari yang lalu ia merasa begitu bahagia. Bisa menjahili Dava, membuat lelaki itu kalang kabut, dan yang pasti begitu mengagumkan karena ia tidak menyangka bahwa perutnya yang biasa diisi dengan makanan, terutama camilan, kemudian diisi oleh sesuatu yang hidup. Sesaat, ia merasakan bagaimana indahnya menjadi seorang ibu. Luar biasa.

Namun, sekarang semuanya sirna. Tak ada lagi sosok kecil itu. Dan itu karena kesalahannya sendiri. Ya, kecerobohan yang ia buat sendiri. Ia ibu yang buruk, kan? Membunuh anak sendiri.

Tak terhitung berapa kali ia menangis sejak kabur dari rumah sakit. Tiba di rumah dengan mata sembab yang membuat mamanya khawatir. Ia tidak mungkin mengatakan perihal kegugurannya, jadi yang bisa dilakukan adalah berbohong. Mengatakan bahwa ia dan Dava bertengkar. Jika tidak, Mama pasti menyarankannya untuk pulang daripada kabur.

Namun, bukan seperti itu! Ia telah kehilangan calon bayinya, Mama Rania tidak membutuhkannya lagi, dan Dava akan segera menikah dengan Berliana. Begitu, bukan? Lalu, untuk apa ia masih tinggal di rumah Dava? Melihat terbentuknya keluarga baru Dava? Menyedihkan.

Dan sekarang ia butuh waktu sendiri. Merenungkan perbuatannya yang membuatnya kehilangan dua hal sekaligus, Dava dan bayi mereka.

***

"Dava udah minta sama Mama untuk enggak ngurusin kehidupan rumah tangga Dava, kan? Tapi kenapa Mama masih ikut campur?"

Wajah dan telinga Dava memerah, rahangnya mengetat keras, kedua tangannya mengepal kuat, menyalurkan emosi tingginya. Rania menelan saliva dengan sukar, ia tidak pernah melihat putranya sedemikian rupa.

Tadinya ia mendatangi rumah Dava, hendak bertanya kenapa putranya itu tidak masuk kampus. Ia hendak menemui Dava, tetapi anaknya malah absen tanpa keterangan. Akhirnya, di sinilah ia terdampar. Di rumah berantakan yang dibuat oleh putranya sendiri.

Kamar anaknya tampak kacau. Barang-barang berhamburan di lantai, sementara Dava tampak kacau.  Apa yang telah dilakukan putranya? Apa karena kepergian Cattleya yang membuatnya begini?

"Dava udah dewasa, bisa ngatasin semuanya sendiri. Dava cinta Cattleya, lebih dari yang Mama tahu. Mama juga seorang wanita, tapi kenapa begitu gamblangnya menyakiti hati wanita lain? Cattleya salah apa sama Mama?"

"Dava ... Mama ...."

"Kata Abian, Mama adalah orang terakhir yang nemuin Cattleya. Mama pasti ngomong sesuatu yang nyakitin dia, kan?"

"Dav ...."

Tubuh Dava meluruh ke lantai, mengacak rambutnya dengan frustrasi, membuat sang mama tidak enak hati. Ia hendak menyentuh anaknya, tetapi tidak jadi. Dava sedang terluka saat ini dan itu karenanya.

"Dava ...."

"Mama seneng, kan, lihat Dava kayak gini? Mama seorang ibu, juga seorang istri. Gimana perasaan Mama kalau tiba-tiba keguguran dan disuruh mertuanya pergi dari kehidupan anaknya? Oke kalau Mama suka Berliana karena dia bernilai plus di mata Mama, tapi coba bayangkan Mama jadi Dava? Seseorang yang terlihat gak istimewa, mungkin berharga bagi satu orang. Cattleya yang Mama anggap enggak istimewa, berharga bagi satu orang, yaitu Dava.

"Sekarang, terserah Mama. Nikahin aja Dava dengan wanita pilihan Mama, tapi jangan harap anak Mama ini akan bahagia. Karena Mama ... udah ngerusaknya."

"Dava, jangan ngomong gitu. Salah mama. Mama minta maaf, Dava," ucap Rania kalut. Ia tidak tahu jika putranya menjadi seperti ini.

"Dava ..."

Bruk!

"Tolong, Ma. Biarin Dava sendiri," ucap Dava beringsut mundur dan bersender pada lemari. Ia merunduk, tak ingin melihat mamanya.

"Dava ...."

"Tolong, Ma ...."

"Dava, mama minta maaf. Mama gak tahu kamu begini. Mama ... akan cari Cattleya. Mama akan bawa dia kembali, Dava. Tolong percaya sama Mama. Jangan mgelakuin hal buruk. Mam---"

"Tolong, Ma."

Rania mengusap kasar wajahnya. Dengan berat hati, ia keluar dari kamar putranya. Setetes air mata lolos membasahi pipinya. Ia baru sadar, bahwa dirinya telah merenggut kebahagiaan putranya sendiri.

Sementara itu, Dava tiba-tiba terdorong ke depan ketika pintu lemari tiba-tiba terbuka. Dalam sekejap, dahi Dava mendarat indah di lantai.

"Abian bangsat! Jidat gue kampret!" pekik Dava kesal.

"Huah!"

Itu Abian, yang baru saja menghela napas lega. Segera kakinya terjulur keluar dari dalam lemari, disusul tubuhnya yang besar itu. Sedari tadi ia bersembunyi di dalam lemari, dikarenakan ada tantenya, Rania.

Melihat Dava masih dalam keadaan bersujud di lantai, sontak Abian menendang pantatnya. Lalu tawanya menggelegar memenuhi isi kamar.

"Abian bangsat!"

Dava langsung berdiri, lalu menerjang sepupunya yang berlarian ke sana kemari. Sayangnya, Dava terlalu cekatan hingga berhasil menendang pantat Abian beberapa kali.

Setelah pembalasan dendam Dava berakhir, Abian mendengkus dan mengusap pantatnya. Baru saja akan duduk di atas kasur, Dava kembali menerjangnya hingga jatuh ke lantai.

"Astaga, Dav! Salah apa gue sama lo? Sampe gak boleh duduk di kasur?" teriaknya kesal.

"Ini kasur gue dan Ceya. Seenaknya lo dudukin. Di lantai sana!"

Terpaksa, Abian duduk lesehan di lantai beralaskan karpet berbulu. Lumayan. Lagipula jika ia duduk di kursi rias, Dava mungkin bisa saja menerjangnya lagi.

"Jadi gimana? Lo yakin, kan, Tante Rania bakal bujuk istri lo balik?"

Dava mendesah berat. Ya, jadi sedari tadi ia hanya berakting. Kamarnya yang berantakan bukan karena ia melempar barangnya, tetapi memang ia tidak membersihkan kamar. Biasanya itu kerjaan Cattleya. Ditambah pagi tadi ia mencari kemejanya untuk ke kampus, tetapi tak ada. Baru ingat bahwa semua bajunya sudah kotor. Tak ada yang mencucinya. Kenapa ditinggal istri rasanya berat sekali? Padahal sebelum menikah, ia bisa melakukan segalanya sendiri. Sekarang situasinya berbeda. Tak ada Cattleya, rasanya seperti menjadi Ironmen, eh, maksudnya hampa.

Jadilah ia menelepon Abian, berniat merepotkannya, tetapi ketika Abian mendapat telepon dari Rania yang bertanya di mana Dava, sebuah ide tercetus.

"Tante Rania gak mungkin tega liat anaknya depresi."

Ditinggal Cattleya, tidak membuat Dava depresi. Karena ia tahu, Cattleya pasti baik-baik saja. Sebelumnya ia menelepon mamanya Cattleya. Wanita hebat yang telah membesarkan istrinya itu mengatakan bahwa Cattleya tidak bersamanya. Namun, berselang beberapa waktu kemudian, mama Cattleya kembali meneleponnya, memberitahu bahwa Cattleya ternyata ada di sana bersamanya.

Dava juga menceritakan segalanya pada mertuanya. Perihal keguguran dan kemungkinan bahwa Cattleya diancam Mama Rania. Awalnya ia tidak mau memberitahu lebih cepat bahwa Cattleya keguguran, tetapi mamanya yang tidak sabaran dan memang berniat melukai hati Cattleya, telah merusak segalanya.

Dava terluka? Tentu saja. Ia patah hati terutama saat tahu Cattleya pergi. Walaupun mama Cattleya mengatakan akan membujuk anaknya pulang, tetap saja, Cattleya pasti tidak akan melakukannya. Satu-satunya cara agar Cattleya kembali padanya adalah dengan cara melalui mama Dava.

"Lo sendiri yang bikin rencana ini dan yakin. Kenapa lo tiba-tiba nanyain gini?" tanya Dava mulai skeptis. Ia merasa pesimis, bagaimana jika Cattleya meminta mereka bercerai?

"Kadang mama lo sulit ditebak."

Dava mengakui hal itu. Karena itulah ia juga ragu. Mamanya akan melakukan apa pun asal keinginannya terpenuhi. Mungkin di awal bisa mengelabui Dava, tetapi di akhir mama akan melakukan sesuatu yang berbeda.

Abian beranjak berdiri, mendekati Dava dan menepuk pundaknya.

"Semuanya akan baik-baik aja. Lagian istri lo di rumahnya, kan? Kalau mama lo masih bersikeras dengan keinginannya, gue mau bantuin elo dapatin Cattleya lagi. Bahkan bantu kalian kabur. Kalau bisa ke negara lain."

Dava menaikkan alisnya. "Kenapa sampai harus kabur dan pindah ke negara lain?"

"Biar gue enggak muak liat muka lo mulu."

"Sini, Bi, biar gue lurusin dulu saraf otak lo daripada bengkok gitu."

Dava sudah siap menerjang sepupunya lagi, bahkan menggulung ujung lengan baju tidurnya.

"Akh! Atut!!!"

###
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro