Dilema Gara-Gara AI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini bukan Aldebaran apalagi Al Ghazali ya. Ya beginilah dilema kalo baca tulisan ini pake font sans-serif yang antara huruf "i" dan "l" saja bisa ketuker.

Aku mau bahas soal artificial intelligence alias kecerdasan buatan alias si inisial AI. Iya. Dua huruf vokal yang belakangan ini lagi rame pake banget.

Sebenernya soal kecerdasan buatan itu emang udah ada dari lama pake banget. Aku udah sering denger soal ini. Ya maklumlah. Jurusan kuliahku dulu gak jauh dari itu. Bahkan salah satu orang yang deket sama aku zaman kuliah itu spesialisasinya emang di sana.

Iya. Deket dalam artian nyaris romantis. Untungnya aku tsundere dan kelewat cuek jadinya mental. 🤣🤣🤣

Namun, isu ini semakin panas terlebih setelah Covid-19 menampar seluruh dunia. Otomatis dunia harus beradaptasi menghadapi fenomena yang entah sampai kapan bakalan begini terus.

Pembatasan sosial secara tidak langsung menurunkan produktivitas para pekerja dan pelaku bisnis. Banyak bisnis yang bertumbangan. Banyak orang yang kehilangan mata pencahariannya. Ekonomi semakin melambat karena tidak ada yang mengelolanya. Logikanya gini. Gimana bisa nyari cuan kalo pemerintah ngadain lockdown ekstrim macam di Shanghai tahun lalu?

Ketika manusia kesulitan untuk bergerak secara leluasa akibat temennya si lagunya Fifty Fifty yang viral (itu CUPID!), inilah saat yang tepat untuk mempercepat otomasi dengan bantuan mesin.

Banyak sektor pekerjaan yang semula mengandalkan tenaga kuli kini tergantikan dengan mesin.

Apa otomasi hanya berlaku dalam industri manufaktur atau yang membutuhkan tenaga manusia saja? Kagak! Industri kreatif juga kena imbasnya.

Ya mari kita ngobrol soal ini berhubung menjadi penulis itu bagian dari industri kreatif. Betul?

Tenaga Hooman atau AI?

Kalo, lagi-lagi, plesetin lirik lagu The Panas Dalam sih gini.

Semua penulis punya saingan semenjak ChatGPT ramai diperbincangkan.

Iya. Singkat kata, itu bukan lagi bot ala-ala bot grup Telegram buat nyari drakor ye. Itu kecerdasan buatan yang bisa mempelajari percakapan manusia. Jauh lebih pinter daripada bot buat ngebales pertanyaan umum yang sering ditanyakan sama mak-mak pemenuh keranjang olshop.

Ya rada menyimpang sedikit.

Sebenarnya belajar bahasa itu beda tipis sama belajar logika buat ngoding. Penjelasan soal ini bisa lebih dari satu tulisan bahkan 4 SKS. Soalnya aku pernah belajar ini pas kuliah dan nilainya jeblok. Ironisnya, malah matkul itu mudahin aku buat belajar bahasa Indonesia, EYD, dan segala tetek bengeknya. Itu karena bahasa bisa dimodelkan lewat logika. Makanya AI bisa meniru cara bicara manusia mulai dari voice sampai tone-nya. 

Oke, kita kembali ke Ai-chan. Heh. Ini bukan ngomongin soal si kubis di Honkai!

Mari kita serius lagi.

Isu soal AI sendiri memang sudah ramai diperbincangkan jauh sebelum ChatGPT dirilis pada November 2022 lalu. Isu ini memang sempet rame dibahas komunitas penulis di luar negeri sana. Aku sendiri tahu dari situsnya Joanna Penn, seorang penulis yang juga podcaster terkenal di luar sana. Salah satu podcast-nya sendiri menyinggung soal isu ini sekaligus dampaknya pada para penulis.

Itu karena AI bisa mempelajari karya seseorang selama ada dataset alias bisa dibilang gudang data yang mencukupi. Semakin banyak sampel lebih baik. Selain itu, AI juga bisa mempelajari voice dan tone dari si penulis tersebut.

Mau pake tulisan ala Stephen King? Bisa.

Mau pake tulisan ala Murasaki Shikibu? Bisa juga.

Mau pake tulisan ala Andrea Hirata? Waduh?

Mau pake tulisan ala Tere Liye? Ini mah jangan ditanya. Mana dataset dari karyanya Tere Liye itu cukup tuh buat dipelajarin sama AI.

Terus gimana dong?

Apa makin ke sini pekerjaan dalam industri kreatif juga bakalan tergantikan sama AI? Ini sempet jadi bahan perbincangan panas di Quora Indo sama Twitter.

Eits. Tunggu dulu. Jangan pesimis apalagi langsung berpikir negatif dulu.

Benang Kusut AI

Hal yang jadi masalah dari penggunaan AI itu adalah hak cipta di samping kualitas dari AI sendiri yang meragukan untuk saat ini. Masalahnya beberapa orang (baca: prompter) minta AI buat mempelajari dataset secara ilegal.

Aku jadi inget kasus yang kemaren panas di Twitter.

Jadi gini. Ada seorang ilustrator namanya Gilang Andrian di Twitter. Jelas. Ini nama orang Indo. Justru karena ini drama orang Indo makanya bisa panas. Tahu sendiri kelakuan warga negeri Wakanda tertjintah di medsos itu bagaimana.

Lu nyerang orang yang salah.

- warga negeri Wakanda

Buat yang gak tahu dia siapa, dia itu ilustrator dari beberapa game terkenal.

Singkat cerita: dia gak terima kalo karyanya dijadiin bahan dataset buat AI. Ironisnya, orang yang jadiin karyanya buat dipelajarin sama AI itu bisa dibilang "maling teriak maling". Malah dia bawa-bawa dalih kebebasan berekspresi pula.

Jelas-jelas si ilustratornya gak ngizinin. Berarti sama aja maling dong?

Untung saja warga negeri Wakanda dan beberapa orang yang ngerti seni di Twitter malah ngerujak balik orang itu. Akhirnya si pelaku (yang diketahui orang Jerman) pun malu sendiri. Bahkan kasus itu juga menguak skandalnya di Pixiv yang mengunggah karya AI tanpa izin. Jelas-jelas peraturan di Pixiv sendiri menegaskan agar setiap pengguna harus mencantumkan informasi tambahan jika mengunggah karya AI.

Kembali lagi soal masalah karya AI. Pas lagi rame kasus Gilang itu, aku baca salah satu posting-an di Reddit yang ngebahas soal karya AI. Ini sumbernya dari Pengadilan Amerika Serikat. Bisa dicek juga di internet soalnya ini masih hangat banget.

Berdasarkan hukum di Amerika sana, karya berbasis AI tidak bisa dikenakan hak cipta. Aku kurang tahu kalo dilihat dari kacamata hukum di negeri ini bagaimana. Hukum ala cerita si Abay aja (baca: pasal tindak pidana perdukunan) aja bisa lolos kok.

Hal ini bisa menjadi masalah jika si pembuat karya menggunakan AI untuk menghasilkan karya-karyanya. Baik dalam bentuk karya seni, tulisan, maupun musik. Soalnya cuman segitu yang kutahu dari perkembangan AI untuk saat ini.

Tidak ada hak cipta, berarti tidak ada uang royalti. Berarti bulan depan gak bisa gajian apalagi lunasin daftar belanjaan di Shopee dong?

Adaptasi atau Eliminasi?

Kita tidak bisa memungkiri perkembangan zaman apalagi teknologi. Pilihan kita hanya dua: beradaptasi atau tereliminasi?

Belajarlah dari kasus Nokia dan BlackBerry yang keras kepala di masa lalu. Apa kabarnya sekarang?

Kita tidak dapat memungkiri bahwa AI juga bisa dipakai untuk menghasilkan karya. Siapa juga yang gak seneng bisa dapet barang yang kualitasnya sama dengan waktu yang jauh lebih singkat dan lebih banyak dalam waktu bersamaan?

Orang-orang yang kontra menganggap AI itu memutus ladang rezeki banyak orang. Seniman, musisi, bahkan penulis bisa terkena dampaknya di masa depan. Siapa tahu beberapa tahun ke depan cerita penulis kesayangan temen-temen di Wattpad ditulis sama ChatGPT atau AI lain yang spesialisasi untuk menulis naskah tertentu.

Namun, kita juga bisa memanfaatkan fenomena itu untuk tetap bertahan. Terserah temen-temen juga sih. Itu prinsip temen-temen juga.

Aku sih pelajarin pake AI buat mempermudah produktivitas. Contohnya kayak gini.

Ini gambar yang kubikin pake Waifu Labs. Singkat kata: ini situs untuk pembuat avatar seperti Picrew dan Pitzmaker. Bedanya, Waifu Labs itu pakai karya AI yang kita bikin sendiri.

Lihat aja gambarnya. Hasilnya emang gak sebagus minta commis ke orang apalagi asal comot dari Pinterest. Ups.

Pertanyaannya: apa aku gunain Waifu Labs buat diaku-aku ini karya sendiri? Gak.

Jujur aja, aku pake ini buat nyari gambaran visual karakter dari cerita yang kubuat. Gambaran kasarnya sih. Aku juga pake itu sekalian nyari referensi gambar sama model rambut aja. Aku juga pelajarin teknik coloring-nya biar dipraktekin di ibisPaint.

Aku emang belajar gambar lagi. Hobi lama yang sempet lenyap karena stres semasa sekolah. Soalnya dulu aku emang bercita-cita jadi komikus genre shonen sama action sih. Cuma banting setir jadi penulis aja karena tangan kaku buat gambar.

Ada salah satu referensi karakter yang sengaja kusimpen dari Waifu Labs kayak gini.

Ini gambaran kasar dari Katharina Yusa, alias Rin. Sayang aja di Waifu Labs gak ada palet warna ala vampir. Itu tokoh utama cerita lama yang lagi kubuat ulang konsep sama ceritanya. Soalnya versi lama itu humornya keterlaluan.

Bayangin aja cerita invasi alien ala-ala film Independence Day di negeri Wakanda. Mana duit yang harusnya dipake buat perawatan alutsista (baca: persenjataan) untuk melawan alien dikorupsi pula. 🤣🤣🤣

Gimana kalo kita emang gak mau pakai AI? Asah skill agar jauh lebih baik daripada AI.

Ada sebuah pendapat menarik yang kutemuin dari Quora Indo pas lagi bahas soal ini.

Kecerdasan buatan memang bisa menghasilkan karya yang baik, tapi tidak bisa mereplikasi emosi bahkan hal-hal lain seperti metafora yang tersirat dari karya tersebut.

Lihat aja gambar dari Waifu Labs yang ada di atas. Waifu Labs emang bisa bikin karakter ala anime gak kalah dari Picrew dan Pitzmaker, tapi cuma bagus aja. Gak ada makna seperti metafora atau visual pun yang tersirat.

Tulisan pun demikian. Meskipun ChatGPT bisa membuat tulisan dengan format yang jauh lebih baik dan rapi daripada tulisan kita, tapi tetep gak bisa mereplikasi sentuhan akhir dari penulis tersebut. Bisa dari cara pandang kita, eksekusi dari setiap ide yang ada dari kepala, sentuhan emosi yang tersirat, sampai humor yang menjadi ciri khas kita.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro