Merusak Bahasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

lorem ipsum dolor sit amet

Aku sengaja gak hapus tulisan di atas. Aku sering pake tulisan gitu kalo nulis bab kosong, baik dalam naskah di laptop maupun Wattpad, biar "ada isinya".

Terus apa hubungannya sama judul?

Perjuangan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi sia-sia belaka. Buktinya aja orang Indonesia lebih bangga berbahasa asing apalagi merusak tata bahasa Indonesia.

Kalo orang pada zaman itu hidup di zaman sekarang, mungkin mereka bakal mikir mending tanggal itu dipake buat tanggal kawin. Biar mas kawinnya cantik.

Bahasa dan Identitas

Aku pernah denger lelucon dari keponakanku, yang sekarang sudah ABG, kayak gini.

Kebayang deh kalo Bung Karno masih hidup. Udah capek-capek ngusir penjajah dari Indonesia, eh generasi mudanya jadi vvibu.

Ironisnya lagi penulisnya nulis kalimat itu pas Spotify memutar lagu ini.

https://youtu.be/UYXNA54dDKs

Buat yang gak tahu, judul lagunya itu Single Bed. Itu ending animu lucknut DNA2. Singkat kata, itu lagu tentang orang ngenes ditinggal pasangan terus ujung-ujungnya ngegalau.

Kembali soal berbahasa Indonesia. Aku kepikiran hal ini gara-gara tadi buka Spotify. Aku pengen sekali-kali nyoba dengerin lagu di luar kebiasaan.

Biasanya sih aku dengerin white noise, instrumental, metal, rock, lagu jadul Indo, lagu barat dengan lirik ceria, dan beberapa lagu nostalgia macam OST anime/game/drakor/sinetron lawas. Abisnya lagu dangdut di Spotify gak lengkap. Mana saya jiwa rocker, tapi hati segalau lirik lagu Rita Sugiarto pula.

Aku iseng lah buka-buka playlist bawaan Spotify yang isinya lagu-lagu Indo dan sering muncul di beranda pribadi. Pas aku liat playlist-nya, lah kok judulnya bahasa Inggris kabeh? Piye tho?

Cenah éta téh playlist lagu Éndonésah, tapi naha laguna gé kararitu? Mana urang gé ngan ngarti vocabulary istilah meme jeung profanity kabéh.

Hampura nya kalo penulisnya julid.

Playlist lagu Indonesia di Spotify sendiri menjadi ironi dari kebiasaan berbahasa Indonesia sendiri dalam keseharian. Emang sih gak salah kalo mau nerusin jejaknya Anggun, NIKI, sama Rich Brian nembus pasar internasional. Masalahnya, bahasa Indonesia sendiri jangan dilupakan gitu.

Lebih ironis lagi ketika aku kepoin halaman si musisinya.

Masalahnya jiwa penulis saya menjerit sewaktu membaca biodata salah satu penulis yang penulisan "di" dan "ke" saja masih salah apalagi kata ulang macam "teman-teman". Belum lagi struktur bahasanya lebih terjun bebas daripada penulis fiksi yang emang boleh "nakal" dari aturan bahasa seperti EYD demi menegaskan pesan dan makna.

Ya Allah! Ya Rahman! Ya Rahim! Ampunilah hamba-Mu yang lagi-lagi bablas ngejulid!

Emang sih lagu-lagu sekarang lebih condong pakai kosa kata yang estetik bahkan cenderung arkais.

Belakangan ini banyak musisi berlomba-lomba memamerkan setiap kosa kata dari lema KBBI, tapi ironisnya banyak yang salah dalam tata bahasa. Belum lagi banyak musisi yang menggunakan bahasa yang jauh lebih sulit dipahami daripada bahasa netijen zaman sekarang.

Kadang juga mencampuradukkan lirik berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tapi secara makna dari kedua bahasanya itu salah.

Contohnya kata sejuta umat yang sering salah diartiin penulis pemula macam bergeming. Belum lagi telingaku gatal kalo denger kata yang pronunciation-nya salah dalam bahasa Inggris.

Jadi, sebenarnya orang Indonesia mau jadi apa?

Sok Inggris, tapi secara grammar juga pronunciation salah?

Apa mungkin pengen tulisannya estetik, tapi sebatas permainan kosa kata tanpa pemahaman betul akan beberapa majas (metafora, alegori, alusi, simile, dkk) agar terkesan keren?

Sungguh membagongkan.

Ketika Bahasa Nyaris Terancam

Aku pernah ngobrol sama kakakku soal anaknya. Waktu itu keponakanku itu ngomong pake bahasa ala anak-anak TikTok yang bikin alis kakakku berkedut. Kakakku mengeluhkan soal penggunaan bahasa Indonesia yang semakin rusak semenjak era media sosial.

Wajar aja. Jangankan grammar bahasa Inggris yang jelas-jelas susah buat orang Indonesia. Tata bahasa Indonesia yang jelas-jelas SPOK dan diajarin dari SD aja ditabrak terus. Untung aja gak bikin mental macam Dul sama Afriyani di Tugu Tani.

Kakakku juga mengeluhkan soal bahasa anak-anak zaman sekarang yang hanya dimengerti mereka sendiri.

Setiap zaman pastilah punya jargon dan istilah tersendiri. Namun, setidaknya hal itu masih bisa dipahami orang lain. Bahasanya tidak begitu terenkripsi seperti halnya istilah "YTTA" alias yang tau-tau aja ala anak-anak TikTok.

Fenomena tergerusnya bahasa di kalangan generasi muda sekarang memang memprihatinkan. Baik bahasa Indonesia maupun daerah pun menjadi korbannya.

Sayangnya Indonesia bukanlah India, Jepang, apalagi negara-negara Arab yang masih bisa akulturasi budaya tanpa meninggalkan identitas mereka.

Seperti lelucon yang keponakanku ceritakan di awal tulisan, Indonesia memang sedang mengalami krisis jati diri. Terlebih dalam masalah berbahasa.

Banyak di antara mereka yang menganggap remeh bahasa daerah, menganaktirikan bahasa Indonesia, dan mendewakan bahasa asing. Terutama bahasa Inggris untuk generasi muda, bahasa Korea untuk para KPopers, bahasa Jepang untuk para vvibu, dan bahasa Arab untuk orang-orang komunitas hijrah.

Keberadaan orang-orang yang peduli dengan bahasa Indonesia seperti Uda Ivan Lanin dan orang-orang komunitas kepenulisan itu masih kurang. Percuma saja mereka berusaha untuk melestarikan bahasa, tapi orang-orangnya sendiri seakan tak peduli.

Hal itu semakin diperburuk dengan buruknya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah yang lebih condong pada hafalan daripada penggunaan praktis apalagi pemahaman.

Aku jadi inget buku kuliah yang pernah kupinjem dari perpustakaan kampus. Buku itu berisi materi pelajaran bahasa Inggris tingkat kuliah. Iya. Tingkat kuliah. Aku emang sering pinjem buku itu dari perpustakaan kampus buat belajar.

Ajaib ya? Sebenarnya sih itu karena aku emang kesulitan ngejar materi di kampus. Banyak materi ajar ilmu komputer menggunakan modul dan buku berbahasa Inggris. Vocabulary-nya juga tingkat lanjut. Contohnya modul ini.

Ini adalah modul kuliahku dulu. Modul mata kuliah Filsafat Logika yang ironisnya malah bikin aku lebih mudah belajar bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris? Emang.

Aku belajar bahasa Inggris dari buku teks kuliah berbahasa Inggris yang ironisnya jauh lebih mudah daripada pelajaran bahasa Inggris SMP.  Ini serius.

Saat itu aku mikir kayak gini.

Coba aja materi pelajaran bahasa Indonesia itu segampang materi bahasa Inggris dari buku kuliah itu.

Materi bahasa Inggris yang kupelajari dari buku teks itu memang materi dasar. Penjelasannya secara bertahap dan gak langsung ujug-ujug ngasih grammar apalagi ujian reading comprehension gitu aja. Persis ngerjain soal matematika di Kumon.

Jika pengajaran bahasa Indonesia lebih terpaku pada hal-hal sederhana yang lebih mudah dipahami, pasti bahasa Indonesia akan bisa diselamatkan. Banyak generasi muda yang lebih senang belajar apalagi bangga menggunakannya.

Kalo basis bahasanya udah kuat, gak bakalan ada cerita merusak bahasa gitu aja. Apalagi sampe harus gunain AI buat nyelametin bahasanya.

Iya. Ini serius. Pemerintah Islandia emang gunain ChatGPT buat menyelamatkan bahasa Islandia yang terancam karena mulai ditinggalkan penutur generasi mudanya. Ada artikelnya di internet.

Apakah kita mau bahasa Indonesia berakhir seperti bahasa Islandia?

Apa kita mau anak kita gak bisa berkomunikasi dengan kakek dan nenek bahkan buyut mereka karena bahasanya sudah rusak?

Apa kita gak mau kehilangan jati diri dan budaya bangsa hanya karena bahasa yang rusak? Bukankah selama ini bangsa Indonesia selalu marah jika budayanya diambil orang?

Tolong gunakan bahasa yang baik. Setidaknya agar kita bisa saling berkomunikasi tanpa memicu salah paham.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro