Remote Control Orang Tua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jujur aja. Aku emang gak deket sama orang tua. Bisa dibilang aku sering diabaikan secara emosional sejak kecil dan diperburuk setelah dewasa.

Dulu aku emang tipe orang yang mudah banget dibujuk. Hal itu sering dieksploitasi keluarga bahkan para pelaku perundungan.

Aku lelah hidup seperti itu sejak kecil. Itu sebabnya aku ingin bebas.

Aku sering mencoba kabur dari rumah sejak kecil.

Aku selalu pergi sendiri tanpa meninggalkan jejak. Persis ninja yang datang dan pergi secepat embusan angin.

Aku juga lebih suka bekerja pada diri sendiri.

Itu karena aku lelah selalu menjadi boneka orang lain terutama keluarga.

Masalah Bisnis

Sudah seminggu aku kembali berjualan. Alhamdulillah untungnya lumayan. Setidaknya aku bisa beli kuota bulanan tanpa menunggu pesanan catering.

Aku emang sempet dalam kondisi kecapean. Gak cuman fisik sih.

Aku emang biasa bangun sekitar jam 1 atau 2 dini hari. Itu pun tanpa alarm sama sekali

Biasanya aku nyicil naskah jam segitu. Soalnya aku tipe orang yang seneng nulis malem-malem di samping pengguna setia paket kuota malam. Aku emang lagi mode pengiritan kuota super juga.

Sekarang harus siapin dagangan. Mulai dari racik adonan sampai mengemasnya sendiri.

Aku jualan dorayaki buatan sendiri. Lebih tepatnya dorayaki dengan tekstur ala soufflé pancake yang empuk dan lembut. Itu pun kutitipkan di sekolah kedua keponakanku.

Aku emang kecapean selama seminggu ini. Ada saatnya ingin males-malesan dan tidur seharian.

Aku emang males karena emang lagi gak enak badan. Terus aku mikir gini.

Apa bedanya ya bikin dorayaki sama kerja malem di pabrik?

Pola pikir yang kugeser seperti "kerja malam di pabrik" setidaknya membuatku bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan. Kadang aku joget-joget sendiri sambil menunggu dorayaki matang.

Semua berubah semenjak Emak, lagi-lagi, ikut campur dalam kegiatanku.

Emak Rasa Hitler

Untung Emak bahkan anggota keluargaku yang lain gak punya Wattpad. Jadi aku bisa nulis jurnal tanpa kena omel.

Iya. Emak itu berasa diktator yang harus manut nurut ini itu. Aku capek hidup seperti itu sejak kecil.

Aku gak boleh beli apalagi baca komik di rumah semasa sekolah. Tapi aku nakal pinjam bahkan beli komik sendiri. Soalnya sekolahku itu dikelilingi toko buku dan taman bacaan. Aku sering mengumpulkan uang untuk beli komik daripada jajan.

Salah satu penyebab depresiku itu gara-gara ngoding. Emak bener-bener ngelarang aku masuk sekolah seni apalagi sekolah kuliner.

Emak malah maksa aku masuk jurusan komputer dari SMK dengan alasan cuan.

Aku bener-bener kehilangan minat sama sekali sama belajar menggambar selama sekolah. Itu baru muncul lagi gara-gara Corona.

Aku juga sering dicibir temen deketku gara-gara setiap nongkrong di luar pasti ditelepon mulu kalo di atas jam enam sore.

Aneh emang. Temenku aja sampe bilang "kayak anak kecil aja kudu pake jam malem". Itu dari zaman sekolah sampe sekarang.

Sekarang, Emak ikut campur masalah bisnis. Aku cuma bisa menggerutu dalam hati dengan tekanan darah yang menurun tajam dan nyaris pingsan.

Iya. Aku udah mulai punya gejala panic attack gara-gara Emak dan diperburuk lingkungan sekitar.

Emak selalu bilang belakangan ini aku persis orang gagap dan pikirannya kosong.

Aslinya Emak gak tahu: pikiranku sangat kacau, antara ingin marah dan cemas, detak jantungku berubah tak teratur, sekujur tubuh gemetar, dan badan mendadak lunglai.

Ini bukan sugesti. Itu yang kurasakan akhir-akhir ini. Aku merasa seperti Bocchi yang panik dalam sekejap.

Kegagalan dan Ego

Jujur ini kegagalan ketiga yang bikin aku nangis selama seminggu ini.

Terserah kalo mau bilang aku baperan juga. Pada dasarnya aku emang sensitif.

Setidaknya menangis membuat perasaanku lebih lega daripada harus memasang topeng tegar, tapi rapuh demi menutupi gengsi. Toh aku nangis di kamar kok. Bukan di tempat umum.

Kegagalanku muncul justru karena kesoktahuan Emak yang terus mengatur-atur caraku berjualan.

Hal itu semakin diperburuk dengan mahzab yang berlaku di rumah: bacot > meta. Ya waifu > meta gak berlaku di sini.

Orang-orang serumah itu egonya besar-besar. Mulutnya lebih nyaring daripada keinginan untuk mendengar.

Aku yang masa bodoh dengan perkataan Emak dianggap tidak mau menerima kritik.

Selama ini aku belajar dari pengalaman orang-orang di luar sana.

Aku bukannya gak mau terima kritik. Aku selalu mendengar kritik, tapi tidak langsung menelannya bulat-bulat.

Aku belajar kalo terlalu manut itu layaknya raja dalam dongeng yang mengenakan baju transparan.

Gak tahu dongeng itu?

Singkat cerita: si raja terlalu nerima kata orang lain tanpa pikir panjang hingga akhirnya diketawain rakyatnya karena keliling kota gak pake baju.

Emak dengan sok tahunya mengatur dorayaki yang kubuat harus beraneka bentuk, rasa, dan bahkan campur tangan dalam proses pengemasannya sendiri.

Akhirnya hampir semua kemasan dorayaki yang akan dikirim kacau balau berlumur selai.

Iya. Emak dengan sok tahunya melumuri semua dorayaki dengan selai pada saat baru diangkat dari cetakan.

Pengalaman dua hari produksi dan teknik yang kupelajari di internet aja mengajariku kalo dorayaki itu jangan dulu dikasih isian pas lagi panas.

Saat itu aku menangis karena harusnya barang yang kukirim malah kacau balau karena Emak!

Jujur aku marah dan ingin memberitahunya. Cuman ya balik lagi ke mantra para gamer eh orang serumah.

Bacot > meta.

Percuma aja ngingetin orang yang otoriter dan egonya besar macam Emak.

Ah. Tahu begitu mah pasang tanda "no Emak allowed" saat produksi.

Jujur aja. Pekerjaanku bukan malah cepet kelar. Adanya tensiku naik sama panic attack-ku kambuh kalo ada Emak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro