01 ; 2017 | Kenangan (Buruk?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

01 ; 2017 | Kenangan (Buruk?)
.
.
Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seperti bulan!
.
.
.

Ratnasih termangu di depan meja rias. Cermin itu menampakan wajahnya yang lelah. Lingkaran hitam bergelayut di bawah mata.

Pikirannya berkecamuk memikirkan ucap demi ucap yang Kinasih tumpahkan kemarin.

Tak biasanya sang ibu membahas tentang laki-laki itu.

Untuk kesekian kalinya ia menghela napas. Sesekali meneyelipkan anak rambut ke telinga karena selalu terjatuh acap kali kepalanya bergerak sedikit.

Kedua telapak tangan mengusap wajah naik turun kemudian menutupi mukanya seraya mengembuskan napas kasar.

Ia berusaha melupakan ucapan ibunya. Namun, kalimat-kalimat itu terus bersiah di benaknya.

“Tentu saja buat kebaikan kamu dan Anaya. Dia enggak hilang kabar. Dia selalu berusaha hubungi kamu, tapi kamu selalu sulit dihubungi.”

Ratnasih mengernyit kala itu. "Sulit dihubungi? Dia menghubungi ke mana? Memangnya di masih menyimpan nomor ponselku? Dan memangnya, dia masih peduli? Enggak Bu. Dia enggak peduli." Ia kembali berbalik menghadap meja. Batinnya berharap agar sang ibu tidak membahas lebih banyak soal Hamdan. Sekuat tenaga ia tahan suaranya agar tidak terdengar membentak.

Kinasih membalikan tubuh sang putri. "Ratnasih, dengar ibu. Apa yang ibu sarankan ini, semua demi kebaikan kamu dan masa depan Anaya.

"Seiring berjalannya waktu, Anaya semakin besar. Dia pasti membutuhkan Hamdan. Karena bagaimanapun juga, Hamdan tetap ayahnya Anaya. Hamdan peduli pada kalian, dia sangat peduli pada Anaya, karena ia menyayangi bayi itu."

Ratnasih mengangkat alis. "Kalau memang dia peduli. Ke mana dia selama ini?" Ia tetap berusaha menjaga suaranya di hadapan sang ibu.

Kinasih meremas kedua pundak putrinya pelan. Matanya menatap Ratnasih. "Seperti yang ibu bilang sebelum kalian berpisah. Ibu meminta kalian pisah rumah untuk sementara agar Hamdan bisa memantaskan dirinya sebagai suami dan ayah yang baik untuk kamu dan Anaya. Dia han—"

Ratnasih tidak ingin mendengar lanjutan kalimat dari sang ibu. Ia memotong ucapan sang ibu seraya meraih tangan keriput wanita itu dari bahunya. "Kenapa harus menunggu satu tahun? Ibu hanya tahu tetangnya dari sudut pandang ibu saja, ibu nggak tahu yang sebenarnya sep—"

"Ibu belum selesai bicara." Kinasih melepas tangan anaknya dan berdiri tegak, sebelah tangannya kembali meraih pundak kiri Ratnasih.

Ratnasih tergeming.

"Dia hanya pergi untuk sementara, Asih. Dia bilang sama ibu sebelum pergi meninggalkan kalian, dia pamit. Dia menitipkan kalian pada ibu. Dia bilang akan kembali sampai waktunya tiba. Dan sekaranglah waktunya."

Ratnasih tersenyum sinis mendengar ucapan wanita yang sembilan belas tahun lalu melahirkannya. Bukan ia tak percaya pada Kinasih. Bukan.

Namun, ia tidak memercayai bagaimana bisa Hamdan mengelabui sang ibu seperti itu, sampai-sampai ibunya meyakini setiap ucap yang lolos dari mulut Hamdan.

Ratnasih tak membalas atau menyanggah ucapan sang ibu. Ia hanya mematung di hadapan wanita itu. Demi Tuhan, ia masih tidak percaya Hamdan mengucapkan itu pada ibunya.

Ibunya tak pernah dan tak akan pernah tahu perlakuan terakhir Hamdan padanya.

Karena perilaku Hamdan padanya berbanding terbalik dengan yang dilihatkan pada sang ibu.

Ratnasih terperanjat kala mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia membuang napas kemudian berdiri untuk melihat siapa di luar.

Sang ibu di depannya tengah menggendong Anaya yang menangis.

Ia mengambil alih Anaya. "Naya kenapa, Bu?"

"Dia menangis di depan kamar kamu. Suaranya keras begitu, kamu teh enggak denger? Kamu lagi apa, sih?" tembak Kinasih pada anaknya dengan beragam pertanyaan.

"Um, aku, aku lagi, aku." Ratnasih gelagapan ditanyai seperti itu. Ia tak mungkin mengatakan kalau tadi tengah melamunkan ucapan ibunya.

"Udalah, udah malam. Lebih baik kamu sama Anaya istirahat sekarang. Ini udah larut." Kinasih mengusap pundak kiri Ratnasih.

"Iya, Bu. Malam." Ratnasih melangkah mundur dan menutup pintu dengan satu tangannya.

"Tunggu." Kinasih menahan lengannya di pintu kamar Ratnasih yang hampir tertutup.

"Ada apa, Bu?" Ratnasih bertanya seraya menyenderkan kepalanya di pintu. Sebelah tangan Ratnasih menahan tubuh Anaya agar tidak merosot dari pinggangnya.

"Pikirkan lagi soal saran ibu. Hamdan sangat berharap kamu menerimanya kembali dengan baik."

Kalau memang ia menginginkan hal itu. Kenapa harus Ibu yang menyampaikannya?

"Akan aku pikirkan soal itu. Selamat istirahat, Bu." Ratnasih menutup rapat pintunya.

Ratnasih mengembuskan napas untuk kesekian kalinya sembari memeluk Anaya.

Ia berjalan menuju tempat tidurnya dan membaringkan Anaya di sana.

Wanita berparas cantik itu mengusap lembut kening anaknya.

Tak memerlukan waktu lama, bayi kecilnya itu terlelap.

Tubuhnya mulai mengambil posisi di samping Anaya.

Matanya coba terpejam, tetapi sulit ia lakukan. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghalangi membuat matanya tak bisa menutup.

Jarum jam terus bergulir.
Jarum pendek menunjuk angka satu, sedangkan yang panjang tepat di angka enam.

Ia membalikan posisi membelakangi Anaya. Posisi itu malah membuat matanya lebih tertarik untuk menatap tembok bercat kuning pucat daripada terlayang.

Ia kembali pada posisi semua.

Matanya tak ingin juga tidur. Padahal waktu sebentar lagi menuju pagi.

Sekarang, wajah Anaya yang menarik perhatian matanya. Hidung, bentuk mata, dan bulu mata lentik sang bayi mengingatkan ia pada seseorang.

Kemudian pikirannya berkelana.

Tangannya mengusap mata sang putri. Ia pernah mengusap mata yang sama. Namun, orang yang berbeda.

Beberapa detik kemudian ia tersadar tengah melamunkan siapa. Napasnya ia embuskan kasar. Tangan tadi beralih memeluk tubuh mungil Anaya.

Sekali lagi, ia coba terpejam. Beberapa detik kemudian terbuka tiba-tiba.

Ia kesal sendiri. Matanya tak kunjung terkatup. Tubuhnya bergerak untuk bangun dari ranjang. Kakinya melangkah menuju lemari pakaian.

Entah mengapa, nalurinya meminta untuk membuka laci yang ada di dalam lemari tersebut.

Ia mengeluarkan sebuah poto album berbentuk persegi kecil. Lembar demi lembar ia buka.

Bibirnya membentuk senyuman. Senyum sinis.

Bagaimana bisa, dulu ia mau-mau saja diabadikan dalam sebuah potret di hari pernikahannya? Pernikahan terburuknya.

Ya, pernikahan yang ia sangka akan mengubah hidupnya menjadi lebih baik, malah berujung derita berkepanjangan.

Entah sampai kapan ini akan berakhir, ia tidak tahu.

Rarnasih menutup lembar terakhir dengan kasar. Ia menyesal telah mengikuti nalurinya.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seperti bulan! hatinya menggerutu.

Tanpa meletakan poto album itu ke tempatnya kembali. Kakinya melangkah menuju ranjang dan membaringkan tubuh di samping Anaya memaksa matanya untuk terlelap.

Poto album itu tergeletak di lantai, bersamaan dengan kenangan buruk akan pernikahannya yang datang menghinggapi pikiran Ratnasih.

[].

Hai. Maaf baru update lagi ihihi. Kerangka cerita ini kehapus. Cerobohnya aku 😥
Semoga aja idenya ngalir teros biar bisa apdet tiap hari hihi.

Btw. Gimana menurut kalian part ini? Semoga kekurangannya nggak banyak yes 😁

Wilujeung reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro