02; 2015 |Pernikahan (Bukan) Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

2; 2015 |Pernikahan (Bukan) Impian
.
.
.
Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan impiannya.
.
.
.


"Nampi abdi nikah ka Ratnasih, rayi teges A Galih, kalayan nganggo maskawin ku emas lima gram ditambah alat salat, dibayar kontan!"

Ratnasih terpejam erat. Kedua tangan ia gunakan untuk menutupi wajah. Dadanya naik turun mencoba mengeluarkan sesak di dalam paru-paru.

Tadi pagi, statusnya resmi berubah menjadi  istri dari seorang lelaki yang menghamilinya. Hamdan.

Padahal, belum lama ini ia memberitahu sang ibu bahwa Hamdan adalah ayah dari bayi dalam kandungannya. Namun, pernikahan ini sudah digelar saja.

Ia tak tahu bagaimana ibunya dan ibu Hamdan bisa menyiapkan pernikahan mereka secepat ini.
Ia pun tak tahu, mengapa dengan mudahnya sang ibu bisa menemukan Hamdan dengan cepat.

Padahal, dulu saja ia mencari dan menghubungi laki-laki itu susah sekali. Apa mungkin karena Kinasih mengenal Halimah? Memangnya, sang ibu mengenal Halimah dari mana? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dalam pikiran Ratnasih, membuat kepalanya semakin berat.

Hamdan Gumilang. Nama laki-laki itu. Laki-laki penggila musik berbagai macam genre. Namun, hanya Reagge yang sangat digilainya.

Ia masih ingat, satu tahun lalu, laki-laki itulah yang mengenalkannya pada musik Reagge.

Dan ia juga masih ingat, Hamdan pernah menyanyikan sebuah lagu untuknya.

Hal-hal kecil yang Hamdan lakukan membuat ia mengumpulkan harapan. Harapan yang kemudian jadi keinginan terbesar untuk masa depannya.

Harapan itu berisi doa. Doa agar kelak ia dan Hamdan bisa berdiri di pelaminan. Dengan banyak tamu yang datang memberinya selamat. Selamat berbahagia dan menempuh hidup baru....

Itu hanya mimpi!

Itu hanya angin lalu!

Ia sudah menghapuskan harapan itu dari daftar doanya semenjak Hamdan menghilang beberapa waktu lalu.

Namun, betapa baiknya Tuhan. Dia justru mengabulkan permintaan Ratnasih tanpa diminta.

Siang ini resepsi pernikahan Ratnasih dan Hamdan akan digelar di sebuah gedung yang sudah disewa oleh Halimah.

Harapan Ratnasih yang dulu terwujud. Tinggal menunggu menit, ia dan Hamdan akan berdiri di pelaminan dengan banyak tamu yang berdatangan.

Jika saja kejadian itu tidak pernah terjadi. Hari ini akan menjadi yang paling diidamkannya.

Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan impiannya.
Ia membuka tangan dan menatap pantulan dirinya dalam cermin. Memperbaiki sedikit tatanan rambutnya yang agak berantakan kemudian berdiri setelah telinganya mendegar ketukan di pintu.

Seorang penata rias mengatakan bahwa ia dipersilakan untuk segera keluar menuju pelaminan.

Tangan Ratnasih digandeng wanita yang meriasnya tadi.

Sesampainya di pelaminan, ia tak melihat Hamdan. Rupanya, laki-laki itu tengah menyambut tamu-tamu.
Jika tadi di masjid dekat rumahnya, akad hanya dihadiri beberapa kerabat dan tetangga dekat sebagai saksi.

Di gedung ini, tamu yang diundang cukup banyak. Seingatnya, sang ibu mengatakan bahwa teman-teman Ratnasih pun diundang ke pernikahan ini, tetapi ia tak melihat temannya satu pun.

Kebanyakan tamu yang hadir adalah teman-teman Hamdan yang sama-sama penggila musik. Adapun teman kampus Hamdan yang ia ketahui hadir di acara ini. Seingatnya juga, laki-laki itu baru lulus beberapa bulan lalu.

Dikarenakan Hamdan masih sibuk bersama tamunya, Ratnasih duduk sendiri di pelaminan.

"Ratna," panggil seorang laki-laki di sampingnya membuat Ratnasih menoleh.

Ratnasih tersenyum tipis. Sangat tipis. "Malik. Sendiri?"

Malik menggeleng sambil tersenyum kemudian duduk di samping Ratnasih. "Enggak. Berdua sama sodara."

"Hm."

Tak ada lagi pembicaraan yang mereka ucapkan setelah itu. Hanya alunan musik pernikahan yang terdengar menggema di masing-masing kedua telinga mereka.

Tak betah berlama-lama diam. Malik membuka pembicaraan kembali. "Aku kira kamu enggak lupa sama ucapan aku seminggu yang lalu, ternyata…."

"Bukan aku yang merencanakan pernikahan ini," ucap Ratnasih tepat melihat lurus ke depan.

"Lalu?" Malik menaikan alisnya.

Ratnasih menoleh ke sampingnya agak sebal menatap Malik. ”Ibuku yang merencanakan pernikahan ini. Aku udah bilang sama dia kalau aku enggak mau menikah."

Malik menatap lekat Ratnasih. "Kamu beritahu ibumu kalau laki-laki itu adalah Hamdan."

"Kalau aku nggak bilang dia orangnya, lalu siapa? Dia ayahnya, bukan?" Ratnasih memalingkan mukanya ke arah lain.

"Ratna. Seminggu yang lalu aku pernah bilang, kan. Katakan sama ibu kamu kalau aku—"

"Ayahnya. Dan bertanggung jawab atas  kesalahan yang enggak kamu perbuat sama sekali, gituh?" kesal Ratnasih kemudian berdiri dari duduknya.

Malik berdiri dan memegang tangan kiri Ratnasih. "Ratna. Aku lakuin itu semua demi—"

"Demi Risma. Iya, kan?" Ratnasih menghentakkan tangannya kesal. "Kamu enggak usah repot-repot melakukan itu. Lagupula aku juga udah nikah ini."

"Aku terlambat…."

"Ya. Aku tahu itu. Akadnya di mulai pagi tadi dan kamu baru datang di saat resepsi."

"Maaf aku terlambat … harusnya aku datang lebih awal untuk menggagalkan pernikahanmu."

Ratnasih menautkan alisnya, kepalanya menoleh menatap Malik. "Udah, deh. Kamu teh enggak usah minta maaf. Ini bukan salah kamu. Dan, mungkin pernikahan ini terlaksana karena udah jadi takdirku."

"Hm … ya, kamu benar." Malik memeluk Ratnasih dari samping kemudian dicium kening wanita itu. "Jaga diri kamu baik-baik. Aku sayang kamu. Aku udah anggap kamu sebagai adik aku sendiri. Dan ingat! Kalau kamu butuh apa-apa bilang aja sama aku."

Entah mengapa, mendengar Malik mengatakan bahwa laki-laki tiga tahun di atasnya itu menganggap sebagai adik, membuat hatinya sedikit nyeri. Ratnasih mengabaikan perasaannya itu. Ia menatap Malik sambil tersenyum manis. "Iya, aku akan selalu ingat."

Malik Putra Ramadhan. Ia masih ingat jelas perkenalannya dengan Malik dahulu.

Hamdanlah yang mengenalkan mereka. Hamdan mengenalkan Malik padanya sebagai sahabat dan teman seperjuangan di dunia musik. Usia mereka hanya selisih satu tahun.

Ada perasaan yang berbeda saat Ratnasih berada di samping Malik. Semenjak Hamdan menghilang beberapa waktu lalu, yang berusaha membantu ia mencari Hamdan adalah Malik.

Malik begitu perhatian padanya. Rupanya, ia telah menyalah artikan perhatian laki-laki itu. Batin Ratnasih mencemooh  pemikirannya.

Hah! Ingat Ratna, Malik milik Risma. Dan ingat, kamu sudah berstatus sebagai istri orang.

"Gimana rasanya pelukan sama Malik? Hangat, huh?"

Ratnasih terperanjat mendengar kalimat yang terlontar dari Hamdan. Ia pikir Hamdan masih berbincang dengan para tamu, ternyata laki-laki itu sudah ada di sampingnya.

"Diammu aku artikan sebagai jawaban 'iya'."

Setelah mengatakan itu, Hamdan duduk di samping tubuh istrinya yang berdiri.

"Terserah." Acuh tak acuh Ratnasih menanggapi kalimat Hamdan.

Belum lima belas menit ia mengistirahatkan lagi kakinya. Seorang laki-laki dengan mengalungkan kamera di leher meminta pasangan suami-istri itu berdiri untuk dipotret.

Laki-laki itu meminta Hamdan untuk memeluk pinggang Ratnasih. Mendengar perintah itu, Ratnasih menghela napasnya sedangkan Hamdan memutar bola mata, mau tak mau ia memeluk istri di hadapannya tersebut.

Tidak hanya itu, sang fotograper juga memintanya untuk meninggalkan kecupan di kening Ratnasih.

Ratnasih mendengak untuk melihat reaksi Hamdan. Pandangan datar diterimanya. Sekali lagi ia menghela napas. Seakan hatinya berucap, "Andai saja pernikahan ini tidak ada."

Wanita dengan gaun putihnya itu menundukkan kepala saat kecupan ringan tanpa rasa berlabuh di keningnya.

Ia tidak merasakan apapun saat kecupan itu singgah. Tidak seperti dulu, kala Hamdan sering menghadiahinya kecupan-kecupan serupa.

Kemudian saat pria berkalung kamera itu memintanya untuk menyandarkan kepala di bahu sang suami, bisikan terdengar di telinga kanannya. "Aku nggak akan lupa hari di mana Ibu memintaku buat nikahin kamu. Karena itu adalah hari yang paling kubenci termasuk hari ini."

Hamdan membisikan itu seraya melipat tangan kanan Ratnasih di punggung sang istri sedikit mencengkeramnya.

Hati Ratnasih seakan diremas mendengar kalimat tersebut meluncur begitu saja dari mulut laki-laki yang pernah dicintainya.

[].

Aku balik lagi. Komen dooong, menurut kalian di part ini gimana?

Itu aja. Sampai jumpa di bab selanjutnya.

Wilujeung reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro