7; 2014 | Hamdan ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

7; 2014 | Hamdan ...
.
.
.

"Kalau hamil. Ya, tinggal gugurin aja, kan. Gitu aja repot."— Hamdan.

.
.
.

Setahun mengenal Hamdan. Selama itu pula Ratnasih memberikan seluruh hatinya pada laki-laki itu. Selesai ujian di sekolah ia tak langsung pulang untuk belajar melainkan pergi menghabiskan malam bersama Hamdan dan kedua sahabatnya. Risma dan Malik.

Tepat pukul tujuh malam mereka berempat tiba di Alun-Alun Bandung, mereka sengaja ke sini terlebih dahulu untuk memarkirkan motor. Jarak dari Alun-Alun ke Braga lumayan jauh. Mereka lebih senang berjalan kaki untuk tiba di sana.

Lebih kurang dua puluh menit mereka berjalan kaki. Sekarang sudah berada di dalam Cafe Escobar Bandung. Sebenarnya tempat ini lebih cocok disebut bar atau nightclub daripada kafe. Karena jam bukanya hanya pada malam hari saja, dari pukul tujuh malam sampai dua dini hari. Dan khusus untuk weekend kafe tersebut tutup pukul tiga dini hari.

Selain itu, menu utama yang disajikan di sini pun adalah minuman beralkohol seperti cocktail, draught beer dan berbagai macam minuman beralkohol lainnya. Tak seperti kafe-kafe kebanyakan yang menyajikan makanan sebagai menu utama.

Hamdan, Malik, Risma, dan Ratnasih memilih meja bundar berkursi empat yang lebih dekat dengan panggung, alasannya agar Hamdan dan Malik lebih dekat untuk mencapai panggung saat mereka mengisi acara nanti. Alunan musik masih lumayan tenang, karena hari belum terlalu malam. Ingar-bingar akan mulai terdengar pukul sembilan malam ke atas.

Mereka memesan menu utama yang disajikan di kafe ini. Tadinya Ratnasih ingin memesan mocktail saja, tapi Hamdan tak mengizinkan dan meminta Ratnasih untuk memesan yang sama dengannya. Ratnasih hendak menolaknya, karena ia tak terbiasa dengan minuman beralkohol—lebih tepatnya ia kapok meminum itu—tetapi Hamdan tak mengindahkan Ratnasih sama sekali.

Baru saja lima belas menit mereka duduk di sini, Hamdan dan Malik sudah mendapat giliran manggung. Mereka pun segera naik ke atas panggung untuk mengisi acara. Risma yang semula duduk di hadapan Ratnasih, kini menempati kursi kosong yang sebelumnya diduduki Hamdan.

"Soal malam itu, kumaha?" tanya Risma dengan ragu.

Ratnasih mengernyit tak mengerti. Namun, setelah paham maksud dari pertanyaan Risma, ia mengangguk. "Malam itu, ya? Hmm ... nggak kumaha-kumaha, sih. Tapi aing takut," katanya, suaranya tersirat ketakutan saat mengucapkan kalimat terakhir.

"Takut? Emang maneh takut kunaon?" tanya Risma memiringkan kepalanya.

"Iya, takut hamil atuh." Ratnasih memutar bola matanya.

Risma mengangguk. "Oh. Udah positif thinking aja. Kalian, kan enggak sengaja ngelakuin itu, lagin cuma sekali juga. Jadi, moal mungkinlah kalau sampai hamil mah."

"Umm ... iya, sih, sekali...," kata Ratnasih ragu.

Risma memicingkan kepalanya lalu berbalik menghadap Ratnasih. "Kalian cuma ngelakuin sekali, kan?"

"Em ... iya, sekali. Sekali yang enggak disengajanya...." Takut-takut menatap Risma, ia hanya menunduk tak menghiraukan tatapan temannya itu.

"Bego. Maksudnya?" tanya Risma masih belum sedikit paham.

"Iya, sekalinya enggak sengaja. Terus pas bangun, Hamdan minta itu ... dia bilang enggak bakal sakit kalau yang ini, dia janji bakal perlakuin aku lembut, dan bener aja kata dia, yang ked—"

"Maneh bego atau apa sih? Itu, mah namanya bukan nggak sengaja. Tapi kalian ngelakuin itu disengaja dari awal, Ratnaaa!" cecar Risma memotong perkataan Ratnasih karena gemas.

"Tapi, kan, yang pertamanya aing nggak sadar karena mabuk," ungkap Ratnasih polos.

"Anjirlah, watados—wajah tanpa dosa—maneh, mah. Ya, iyalah, maneh mah enggak nyadar da mabok. Dan yang bikin maneh mabok itu si Hamdan dan si Hamdan manpaatin kepolosan maneh. Dan si Ha—halah bodo amad. Pusing aing mah, pokoknya maneh harus bicarain ini sama si Hamdan dan minta dia buat solusinya," pungkas Risma sambil menjambak rambut. Ia tak ingin pusing-pusing memikirkan masalah temannya ini, karena hidupnya saja sudah pusing.

"Bicarainnya kumaha? Tapi, kan Hamdannya lagi manggung."

Mendengar itu, Risma semakin gemas pada Ratnasih. "Iya, Ratna iya. Aing ge apal dia lagi manggung. Nanti kalau udah beres manggung maneh ajak dia keluar kafe buat bicarain soal ini. Soalnya kalau di sini enggak bakalan kedengeran karena semakin malem nanti semakin berisik. Masih mau tanya kumaha bicarainna? Maneh singgung aja soal malam itu ke dia. Ngarti, kan?"

"Oooh. Iya, iya. Ngarti." Ratnasih cengengesan melihat Risma memelototinya.

Hari makin malam. Kini Hamdan dan Malik tengah membawakan lagu yang up-beat. Membuat beberapa pengunjung kafe berjingkrak-jingkrak di lantai dansa dekat panggung. Tinggal satu lagu lagi, Hamdan dan Malik selesai mengisi acara malam ini.

Tepat pukul sembilan mereka selesai. Sesuai saran dari Risma, Ratnasih pun langsung mengajak Hamdan keluar untuk berbicara saat lelaki itu hendak duduk kembali di kursinya. Hamdan mendengkus mendengar permintaan Ratnasih. Dengan enggan ia pun berdiri menuruti permintaan Ratnasih, sebelum keluar ia sempat meminum minumannya yang baru ia pesan sendiri sehabis manggung tadi.

Ratnasih menautkan jemarinya, ia ragu membicarakan ini dengan Hamdan. Namun, jika ia tak membicarakan ini dengan Hamdan, Risma pasti akan terus mendesaknya.

"Mau bicara apa?" tanya Hamdan saat melihat Ratnasih hanya terdiam tanpa kata.

"Aku. A-a-ku—" Ia mendadak gugup dan tak berani menatap Hamdan, apalagi saat ucapannya dipotong.

"Aku apa?!" desak Hamdan agak kesal.

Ratnasih semakin takut. Ragu-ragu ia pun menjawab, "Soal malam itu ... aku mau bicarain itu."

"Malam yang mana?" Hamdan mengerutkan keningnya.

"Yang itu ... yang nggak sengaja karena kita mabuk...," Ratnasih berujar lirih.

Hamdan mengangguk paham. "Oh, yang malam itu. Terus kenapa?" tanya Hamdan tak acuh.

"Aku takut,"—Hamdan menaikkan alisnya—" ... takut hamil." tanpa disadarinya, ia menitikan air mata.

"Kalau hamil. Ya, tinggal gugurin aja, kan. Gitu aja repot." Hamdan benar-benar tak menghiraukan ketakutan Ratnasih.

Ratnasih menatap tak percaya pada laki-laki yang berdiri di hadapannya. "Kamu—"

"Udah, lah. Nggak penting juga. Aku kira ada apa. Ayo. Mending sekarang masuk lagi." Hamdan menyela Ratnasih. Ia langsung menarik Ratnasih untuk masuk kembali ke dalam kafe.

Tanpa Hamdan sadari. Ratnasih tengah menahan sakit atas ucapannya.

Sudah dua hari ini Ratnasih mengalami pusing dan mual-mual—sebenarnya sudah sejak lama, hanya tak separah sekarang. Apalagi semenjak kepulangannya di kafe malam itu, ia benar-benar drop keesokan harinya membuat Kinasih cemas. Bahkan sudah dua hari pula ia tak dapat mengikuti ujian di sekolahnya karena sakit.

Sore ini kondisinya sedikit pulih, meski tadi pagi ia benar-benar tak bisa berdiri dari tempat tidurnya karena kelelahan terus bulak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya.

Setelah minta izin pada ibunya tadi, sekarang ia sudah berada di indekos Risma. Awalnya, sang ibu menolak karena kondisinya masih sangat lemat, tapi karena Ratnasih terus memelas, ia pun diizinkan.

Ratnasih menceritakan semuanya pada Risma. Cairan beningnya tak berhenti mengalir dari matanya sedari tadi saat menceritakan perihal Hamdan yang benar-benar tak memedulikan jika dirinya hamil.

Risma menganga tak percaya saat mendengar cerita Ratnasih yang mengatakan, jika Hamdan malah menyuruh Ratnasih menggugurkan kandungannya kalau wanita itu hamil.

"Yang bener aja, dia malah nyuruh maneh buat ngagugurin kandungan kalau-kalau maneh hamil, kitu? Nanaonan eta teh? Goblog pisan lalaki teh, malah embung tanggung jawab pisan. Hayang ngenahna hungkul weh pas ngasupkeun!" geram Risma sambil menatap benci keramik tak berdosa di hadapannya. Tangannya terus mengelus-ngelus punggung Ratnasih dalam pelukannya.

"Maneh harus hubungi dia, kalau-kalau maneh beneran hamil. Maneh harus minta tanggung jawab ka dia." Risma melepaskan pelukannya, lalu memegang kedua pundak Ratnasih dan menatap wanita itu lekat.

Ratnasih tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air matanya juga tak bisa ia ajak kompromi. Dengan tangan bergetar, ia membuka ponselnya. Jemarinya mengetikkan sesuatu di sana. Beberapa kali jarinya terus meleset.

Sttapi udahhh dyuuua haerri inuuii diaas weenhggak hubuuiiunhhgi aiibbng. Aiubnhg hububnhgi duissa juhga, mslah dirijjjsekan ku dia. Aing kudu kumaha deui?

/Tapi udah dua hari ini dia enggak hubungi aing. Aing hubungi juga malah ditolak terus aing kudu kumaha deui?/

Risma mengernyitkan dahinya. Namun, ia mengerti apa yang diketikkan Ratnasih. Ia menghela napas berat. Pun sedih dengan masalah yang dihadapi Ratnasih kali ini. Ia menepuk kedua bahu Ratnasih sekali. "Maneh tenang aja. Nanti aing sama Malik yang cari dia. Sekarang maneh positif thinking aja, kalau maneh mual-mual ini karena sakit, bukan karena hamil."

Ratnasih melotot jemarinya kembali mengetikkan sesuatu.

Psosiatrif apa aid msneh kumaha aing bisa positiaf pikisranna sedangksn dis nggak buss dihybunhgi dsn somh mysl musl disast sinh twlst

"Maneh ngetik naon sih?! Aing teu ngarti. Udah sekarang maneh cicing di sini. Aing kaluar heula." Risma berdiri dari duduknya. Ia tak mau pusing memikirkan ketikkan yang kali ini tak ia pahami.

Ratnasih ikut berdiri sambil mengerutkan keningnya. Tangannya terus mengusap kasar air mata di pipinya.

"Aing mau keluar dulu. Udah maneh duduk lagi aja." Risma mendudukkan Ratnasih di single bed berbahan spons tanpa kaki tempat mereka duduk tadi, kemudian berbalik menuju pintu untuk keluar.

Ratnasih termenung mengingat kata-kata Risma yang memyuruhnya untuk tenang. Bagaimana ia bisa tenang di saat seperti ini? Pikirnya, ia juga kadang suka kesal dengan ucapan Risma.

Setelah setengah jam menunggu. Risma sudah kembali lagi. Gadis itu menyodorkan alat tes kehamilan padanya. Namun, ia menatap kosong pada alat yang masih terbungkus rapi itu.

"Udah. Maneh coba aja dulu pake ini. Mudah-mudahan aja hasilnya negatif." Risma duduk di samping Ratnasih.

Ratnasih menatap Risma, kemudian dengan ragu ia mengambil benda itu.

"Sana coba di kamar mandi." Risma menunjuk kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Ratnasih mengangguk kemudian berdiri. Perlahan kakinya melangkah menuju kamar mandi. Ia berhenti di depan pintu dan menatap bingung pada benda di tangannya.

Risma melihat kebingungan itu, kemudian melangkah mendekati Ratnasih. "Kunaon?"

"Cara makenya kumaha?" gumam Ratnasih dengan suara serak.

Risma tampak berpikir mendapat pertanyaan itu. Tangannya mengambil alih alat tes kehamilan yang ada di tangan Ratnasih. Ia membolak-balikkan benda itu. "Nah! Ini ada petunjuknya. Coba maneh ikutin."

Ratnasih mengangguk. Dadanya berdegup kencang saat memasuki kamar mandi berukuran kecil ini. Lima menit kemudian ia keluar dari kamar mandi dan memperlihatkan alat tersebut pada Risma.

Risma tersenyum saat melihat hanya ada satu garis merah di alat tersebut. "Hasilnya negatif. Berarti kamu nggak hamil."

Ratnasih menggeleng. Air matanya bak hujan yang deras membasahi pipi, dan berjatuhan satu per satu. Hatinya diselimuti kecemasan yang teramat. Mulutnya bergumam lirih, " ... dua."

Risma memiringkan kepalanya, dahinya menciptakan kerutan dalam. "Maksudnya?"

"Garisnya dua...."

Bagai disiram es batu. Risma membeku mendengar gumaman Ratnasih. Walau suara Ratnasih sangat pelan, matanya masih bisa menangkap apa yang dilafalkan wanita itu.

"Nggak mungkin dua…,"—menggeleng-geleng kemudian ia amati lamat-lamat benda panjang berbentuk pipih di tangannya, mulutnya menganga saat melihat satu garis yang berwarna pudar, kini benda tersebut memiliki dua garis—satu garisnya terlihat jelas, satunya lagi terlihat pudar—merah di sana—" …bener dua."

Risma terkejut saat Ratnasih, sekonyong-konyong terduduk di lantai, mulutnya seperti meraung, tapi tak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia berjongkong dan memeluk Ratnasih, ikut terisak. Satu-satunya yang bisa ia lakukan kini adalah menangis. Ia berharap suatu saat bisa menemui laki-laki brengsek itu dan menghajarnya habis-habisan. Ia bersumpah membenci laki-laki yang sudah menyakiti sahabatnya ini.

[]

HUAAAA MONANGEEEES
UDAH SETAHUN BARU BISA NULIS INI LAGI HUAAAA
SEDI BANGET MASI ADA YG BACA

Terakhir update Juni tahun lalu dong:"

Maap ya aku gantungin terus.

Selamat membaca. Terima kasih. Love love.

Bandung, 21 August 2019
Hldrsd.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro