30

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

****

Hari keberangkatan Ranu ke Kalimantan akhirnya tiba. Aku sendiri yang mengantarnya ke bandara. Dan untuk pertama kalinya juga Ranu mengizinkanku menggunakan mobilnya. Jujur aku benar-benar sedikit tidak rela ditinggal Ranu tiga minggu lamanya. Maklum, bisa dibilang aku sedang cinta-cintanya dengannya dan sekarang tiba-tiba ditinggal begitu lama tentu rasanya pasti tak rela. 

Apalagi ini pertama kalinya Ranu meninggalkanku untuk jangka waktu yang lama. Meskipun kemarin sudah diputuskan, selama Ranu pergi aku akan tinggal di rumah Bunda dan Mama bergantian tetap saja melepas Ranu rasanya menyesakkan. 

"Sudah, nggak malu itu diliatin orang-orang," kata Ranu sembari mengusap punggungku saat aku menangisi dia di bandara. 

"Siapa juga yang mau menangis, ini air matanya keluar sendiri," jawabku sembari mengusap air mataku. 

Ranu terkekeh melihatku yang mungkin terlihat seperti anak kecil di matanya. 

Ranu mengusap rambutku dan mencium keningku sebelum berbicara. "Cuma tiga minggu, Sayang. Nggak akan lama," ujarnya lagi dengan suara lembut menenangkan. 

"Iya." Tapi meskipun aku menjawab begitu tetap saja air mataku masih terus keluar membasahi pipi dan jaket Ranu, karena selama ada yang melihatku yang sedang menangis, aku akan membenamkan wajahku di dadanya.

Aku masih sibuk mengusap air mataku saat panggilan keberangkatan sudah terdengar. Ranu cepat-cepat menarikku dari dekapannya dan membetulkan jaketku juga syal yang kukenakan. Dia juga menghapus air mataku yang sedari tadi tak mau berhenti. 

"Nanti langsung ke rumah Bunda, ya? Soalnya aku sudah bilang sama Bunda kamu akan ke sana. Takutnya Bunda khawatir sama kamu apalagi kamu nyetir sendiri," nasihatnya. 

Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan nasihat Ranu karena masih sibuk mengusap air mataku. "Jangan lupa nanti kabari ya kalau sudah sampai," pintaku. 

"Pasti, Aru," jawabnya. Lalu Ranu mengecup keningku sekali lagi sebelum berbalik pergi. 

Aku menatap punggung Ranu yang perlahan mulai menghilang. Entah kenapa rasanya melepas Ranu kali ini begitu berat. Padahal kalau dipikir-pikir ini cuma pekerjaan biasa dan hanya tiga minggu saja, tidak sampai berbulan-bulan seperti pelaut atau bertahun-tahun seperti bekerja di luar negeri. 

Aku hanya bisa berdoa, semoga dia baik-baik saja karena aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai untuk yang kedua kalinya.

***

Aku tiba di rumah Bunda sekitar pukul delapan pagi karena sebelumnya harus mampir dulu untuk membeli oleh-oleh untuk Bunda. Dan sesampainya di sana Rinjani langsung menyambutku dengan meriah. 

Aku dan dia memang sangat dekat setelah aku menikah dengan Ranu karena bisa dibilang kami hanya punya satu sama lain. Aku anak tunggal dan dia anak perempuan satu-satunya. Bagaimanapun akulah saudara perempuan satu-satunya yang dia miliki jadi kami merasa saling cocok satu sama lain. 

Rinjani anak yang asyik, dia rame seperti Binar tapi bijaksana seperti Ranu. Cuma kadang-kadang suka usil saja apalagi jika sudah berhadapan dengan Ranu. Sedangkan Ranu sendiri yang selalu menjadi korbannya hanya bersikap tenang menghadapi keusilan adiknya itu. Dia hanya akan mengatakan, "tidak apa-apa jika itu bisa membuatnya bahagia. Dia masih kecil saat Ayah meninggal jadi aku ingin dia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang sosok ayah di hidupnya." 

See, bukankah aku sudah pernah bilang kalau Ranu itu baik dan penyayang. Ya, dia memang sebaik dan sesayang itu pada semua orang.

"Jadi Kak Aru tadi nangis? Ya ampun … sampai segitunya cuma ditinggal tiga minggu doang? Wah pasti seru kalau bisa lihat langsung, jadi berasa kayak nonton drakon secara live nggak, sih! Ish … kenapa tadi nggak ngajak aku dulu, sih, Kak. Coba kalau aku ada di sana, pasti sudah aku buatkan film dokumenternya tentang seorang istri yang tidak mau ditinggal suami kerja," ledeknya setelah aku menceritakan apa yang terjadi tadi pagi. 

"Ish …." Aku melempar kulit kacang padanya. Rinjani mengelak, kulit kacang itu terlempar jauh mengenai tembok di belakangnya. "Nggak usah ngeledek ya kamu!" Aku mencibir padanya. "Nggak tahu rasanya berat banget aja kali ini melepas dia pergi," jawabku. 

Rinjani tiba-tiba mengerling padaku, sembari mencolek pinggangku. "Duh, duh yang sudah jatuh cinta. Nggak mau ditinggal-tinggal lama nih ceritanya?"

"Bukan begitu Rinjani."

"Lalu apa? Nggak usah malu-malu Kak Aru. Aku sama Bunda justru seneng kalau hubungan kalian bahagia kayak gini." Dia tersenyum manis padaku. "Mas Ranu kan gampang banget dicintai," katanya. 

Mendengar perkataan Rinjani aku jadi teringat sesuatu. "Kalau Mas Ranu memang semudah itu dicintai, kenapa dia nggak menikah dari dulu?"

"Masih tanya? Kan dia nungguin Kak Aru."

"Hah? Maksudnya?"

Rinjani tak segera menjawabnya, dia justru mengupas kacang dan mengunyahnya lama-lama. Dan aku tidak sabar menunggunya. 

"Maksudnya gimana, Rinjani," rengkekku padanya. 

"Ya, kan dia jodohnya Kak Aru. Pasti Mas Ranu nggak mau menikah dari dulu karena nungguin Kak Aru. Karena Tuhan menakdirkannya begitu agar kalian bisa bersatu."

Aku melempar kulit kacang lagi padanya. "Kamu nggak paham deh," sungutku. "Emang Mas Ranu nggak punya pacar gitu sebelumnya?"

"Kalau Mas Ranu punya pacar ya kali mau gantiin Kak Binar nikahin Kak Aru." 

Iya juga sih. Hanya saja aku masih penasaran. Ranu laki-laki yang mapan. Pekerjaannya bagus. Orangnya juga tampan. Kayaknya mustahil kalau saat itu dia tidak punya seseorang yang ia sukai. Dan tololnya kenapa aku baru ingin tahu sekarang? Bukankah aku punya banyak kesempatan selama ini untuk bertanya langsung padanya? Kenapa rasa penasaranku baru tumbuh sekarang? 

"Emang dulu Mas Ranu gimana sama pacar-pacarnya? Suka dibawa pulang gitu nggak sih? Dikenalin ke Bunda?" tanyaku penasaran. 

Rinjani berpikir sebentar. "Seingatku nggak pernah sih, Kak. Satu-satunya cewek yang dibawa Mas Ranu buat dikenalin sama Bunda cuma temen deketnya itu. Dan waktu ditanya Bunda apa dia pacarnya, Mas Ranu bilang bukan."

"Temen deket? Siapa?" 

"Namanya Theresia."

Aku terkejut mendengar nama itu keluar dari bibir Rinjani. "Theresia?"

"Iya. Kak Aru kenal?" 

Aku menggeleng. "Kalau kenal banget sih nggak. Cuma tahu aja dan pernah ketemu juga." 

"Ketemu di mana?"

"Di sanggar waktu aku masih kerja di sana dulu."

Rinjani mengangguk-angguk. Dan aku memperhatikannya. Cara Rinjani mengangguk-angguk mirip sekali dengan Ranu. Tuh, kan Ranu lagi Ranu lagi. Memang sepertinya aku sudah ter-Ranu-Ranu.

"Mas Ranu itu tipe pekerja keras, Kak. Dulu dia sibuk sekolah dan bekerja untuk membantu Bunda. Waktu SMA juga sambil kerja freelance di kafe. Waktu kuliah juga sambil kerja. Mungkin itulah yang membuat dia nggak pacaran. Atau pacaran tapi tidak pernah dikenalkan ke aku dan Bunda. Entahlah." Rinjani mengangkat bahunya. "Padahal dia sangat populer. Aku dulu pernah diajak ke kampusnya sekali dan orang-orang langsung mengingatku sebagai adiknya Mas Ranu." 

Kali ini giliran aku yang mengangguk-angguk karena aku tahu Ranu memang sangat pekerja keras. Dia tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan pekerjaannya. 

"Tapi ngomong-ngomong, Kak Aru di sini berapa hari?" 

"Satu minggu. Minggu depan aku ke rumah Mama. Biar adil gitu."

"Asiik. Nyalon yuk, Kak? Lama nih nggak nyalon."

"Ayok aja sih kalau aku mah."

"Asiik. Yaudah aku siap-siap dulu."

Lalu Rinjani bangkit dan masuk ke dalam kamarnya. 

Rencananya memang aku akan di sini selama satu minggu, lalu di rumah Mama satu minggu dan sisanya aku ingin menghabiskan waktu di rumah sembari mencari pekerjaan. 

Sebenarnya saat aku menceritakan tentang pemecatanku saat itu, Ranu sudah mengatakan kalau aku tidak perlu bekerja lagi, bukan karena dia tidak mengizinkanku untuk bekerja, dia hanya tidak mau aku kesusahan karena pekerjaan itu sendiri. Tapi aku sudah bilang padanya kalau aku bekerja karena suka dengan pekerjaanku itu. Jadi saat itu Ranu mengusulkanku untuk mengajar secara online saja dan mendaftar di website khusus untuk guru-guru yoga. Sejauh ini kelas online yang kuadakan lumayan bagus responnya. Meskipun kurang begitu maksimal karena aku belum memiliki sanggar yoga sendiri. Sedangkan untuk menyewa sanggar aku sering kesusahan menentukan jam kelasnya. 

Sembari menunggu Rinjani bersiap-siap aku membuka-buka ponselku. Selang tak berapa lama ada notifikasi beruntun yang masuk ke aplikasi WhatsApp-ku. Yang pertama dari Ranu yang memberitahukan kalau dia sudah tiba di Kalimantan dan yang satunya lagi dari Yogi yang ingin mengajakku ketemuan. 

Aku hanya membatin, mau apa dia mengajakku bertemu? Pasalnya setelah aku keluar dari sanggar Yoga tidak ada satupun yang menghubungiku termasuk Yogi yang saat itu lumayan dekat denganku.

TBC

*****

Alhamdulillah, sampai di sini juga. Aku nggak nyangka kalau bisa sampai sejauh ini.  🙈 Huuhuu terharu. 😭😭

Dengan ini selesai lah ODOC nya. Terima kasih untuk theWWG yang sudah memberikan kesempatan untuk saya bisa mengenal dan menulis bersama teman-teman.

Untuk ke depannya saya akan terus mengusahakan agak cerita ini bisa up sampai tamat. Meskipun saya sungguh sangat-sangat sadar cerita ini jauh dari kata sempurna. Bahkan sungguh sangat flat dan jauh dari kata layak untuk dibaca. 😭

Ucapan terima kasih banyak untuk Kak Ry-santi  yang sudah membimbingku sampai bisa nulis sebanyak ini, dan yang sudah memotivasiku untuk tetap menulis dan tidak menyerah di saat ODOC sudah hampir mulai.

Terima kasih juga untuk pembacaku yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membaca cerita absurd ini. Aku sayang kalian.

Sebagai penutup aku bakal ngasih cast yang lama nggak aku sisipin. Padahal setiap part sudah aku siapkan foto mereka masing-masing.

1. Mas Ranu pas habis malam pertama nih. Duh bahagianya 😆

Ini waktu lagi nunggin Aru masak. Wajahnya duh Mas 😆

2. Arunika waktu lagi ngajar kelas yoga.


3. Binar waktu masih muda. Pas masih SMA dan pacaran sama Aru. Kalau kayak gini siapa yang mau nolak coba. Pantes waktu itu Aru langsung klepek-klepek dan mau diapa-apain sama dia 😆


4. Binar dewasa. Menjelang pernikahan 😭😭 nggak rela Binar udah nggak ada 😭 rasanya pengen banget bangkitin dia dari kubur gitu.

5. Ini saya. Nggak boleh protes ya 😆 Saya memang secantik ini 😍🤪


Oke. See u semuanya di bab selanjutnya.

Follow Instagram ku ya ... @zeeniyee_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro