31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*****

Nyalon bersama Rinjani itu tidak hanya melakukan hair mask, creambath, blow dan coloring rambut saja, banyak sekali yang kami lakukan di sana termasuk meni-pedi, spa, ear candle dan waxing juga kami lakukan. Jadi bisa dibayangkan berapa jam yang harus kami habiskan untuk melakukan itu semua. Belum lagi dengan acara shopping-shopping yang kami lakukan setelahnya. Berangkat dari rumah saat matahari sedang terik-teriknya hingga sekarang langit sudah gelap gulita dan digantikan bulan sebagai sumber cahaya yang menerangi langit malam di atas sana, kami baru selesai melakukan itu semua dan baru saja masuk ke dalam restoran untuk mengisi perut yang sejak tadi keroncongan.

"Ah, capeknyaaa!" gerutu Rinjani begitu kami mendapatkan kursi setelah memesan menu.

Aku memijat betisku yang rasanya luar biasa pegal. Bayangkan kakiku baru saja diajak berjam-jam berkeliling ke sana kemari seperti orang hilang. Meskipun sejak tadi Rinjani tidak mengeluh, aku yakin betisnya juga bakal jerit-jerit murka jika bisa bicara.

"Baru ngerasa kalau capek?" sindirku. Pasalnya Rinjani sejak tadi seperti anak kecil yang tidak mau diajak pulang dan selalu ngeyel minta ditemani berbelanja ke sana ke mari.

"Hehe."

Aku melempar tisu yang sudah kugulung-gulung ke arahnya.

"Bunda sampai nelfon beberapa kali tahu!" semburku lagi pura-pura marah padanya. Padahal nggak mungkin aku bisa marah sama adik kesayangan suamiku ini.

"Nggak apa-apa. Bunda pasti ngerti dan nggak bakal marah. Aku kan pergi sama Kak Aru," balas Rinjani jumawa seolah yakin kalau dirinya nggak akan kena marah sama Bunda.

"Memangnya kenapa kalau pergi sama aku?"

"Ya, kan, mana mungkin Bunda marah sama Kak Aru, secara mantu kesayangan gitu."

"Nah, benar itu. Aku nggak bakal kena marah sama Bunda. Karena seperti katamu, aku menantu kesayangannya. Sedangkan kamu kan enggak. Jadi siap-siap nanti kena marah Bunda." Aku menaikkan alisku dua kali mengejeknya.

Seolah baru tersadar Rinjani kembali menjerit dan menghentakkan kaki seperti anak kecil. Aku puas menertawakannya yang sekarang memanyunkan bibir.

Sebenarnya sangat tidak mungkin Bunda marah pada Rinjani meskipun memang ada beberapa kesalahan yang membuat Bunda memarahinya, tapi kalau cuma jalan-jalan seperti ini Bunda nggak mungkin marah padanya. Dan seperti aku yang menjadi menantu kesayangan, dia juga anak perempuan kesayangan, begitu juga dengan Ranu juga anak laki-laki kesayangan Bunda. Bunda nggak mungkin tiba-tiba marah pada kami untuk urusan sepele seperti ini, karena bukan hanya baik hati Bunda adalah ibu tersabar di dunia. Bahkan mamaku saja rasanya kalah sabarnya dengan Bunda.

Ah, sekarang aku jadi tahu dari mana sifat sabar Ranu diturunkan.

"Ya udah gak apa-apa, nanti Kakak belain deh kalau Bunda marah," bujukku melas melihat wajahnya. Tapi Rinjani langsung menolak tawaranku.

"Nggak usah Kak Aru. Kakak lupa kalau aku ini juga anak perempuan kesayangan Bunda." Kini gantian dia yang menaik turunkan alisnya. Akhirnya kami tertawa bersama.

Pesanan kami sepertinya masih lama dihidangkan karena food court di mall malam ini benar-benar penuh. Rinjani izin ke toilet dulu dan aku mulai membuka ponselku untuk membunuh kebosanan dan keirian melihat meja di sebelahku yang isinya dua sejoli yang sedang pacaran. Makan sambil gandengan tangan dan suap-suapan. Hadeh. Mereka nggak tahu saja apa yang sudah kulakukan dengan Ranu. Andai di sini ada Ranu mungkin bukan aku yang iri melihat mereka, tapi mereka yang iri melihatku. Tapi karena sekarang Ranu nggak ada ya mau bagaimana lagi, aku hanya bisa gigit jari.

"Aru."

Aku mendongak mendengar namaku dipanggil. Ternyata Yogi yang berdiri menjulang di sebelah mejaku.

"Oh, hai," sapaku. "Duduk, duduk." Aku meminta Yogi untuk duduk di kursi Rinjani, dia lekas menarik kursinya dan duduk di sana tanpa bantahan. "Ada apa nih tiba-tiba ngajak ketemuan? Gila, kaget gue. Setelah sekian lama dipecat dari sana nggak ada yang ngehubungi tiba-tiba lo ngajak ketemuan," cerososku begitu Yogi sudah duduk anteng di kursinya.

Yogi menggaruk alisnya. "Sorry, bukannya gue ngelupain lo, Ru. Hanya saja waktu itu gue gak enak mau hubungi lo. Gimanapun saat itu gue gak bisa bantu apa-apa, cuma diem kayak pengecut aja gitu," katanya tak enak hati.

Aku mengibaskan tangan. "Santai. Yang itu udah lewat," kataku. "Tapi kalau lo mau ngehubungi gue ya tinggal hubungi aja padahal. Tanya kabar kek. Apa kek. Ini pada ngilang semua. Gue kayak dibuang aja gitu, Mas." 

Yogi semakin menunjukkan wajah menyesalnya. "Sorry."

"Terus ini tiba-tiba ngajak ketemuan gini ada apa?"

Masalahnya aku sama sekali tak bisa menebak apa yang mau dibicarakan Yogi saat dia menghubungiku tadi pagi. Memang dia teman yang paling dekat denganku di sanggar, tapi hubungan kami juga bisa dibilang enggak sedekat itu.

Dan setelah berbulan-bulan nggak kerja di sana lagi, bahkan nggak ada yang mengabariku sama sekali, tiba-tiba Yogi menghubungiku dan ngajak ketemuan? Siapa yang nggak penasaran, kan? Bahkan saat aku memintanya untuk mengatakannya lewat pesan dia nggak mau, katanya harus ketemu. Yah, jadilah begini. Padahal aku sudah mengatakan kalau hari ini sibuk karena harus menemani adik iparku belanja dan menjadwalkan ketemu besok saja, tapi Yogi  tetap menolaknya. Dia bersikukuh untuk ketemu denganku hari ini juga.

"Ini," jawabnya seraya memberikan amplop padaku.

Keningku otomatis mengernyit. Maksudnya apa dia memberikan amplop itu padaku.

Dengan tangan sedikit ragu aku menerima amplop itu.

"Ini apa?" tanyaku.

"Buka aja."

Dengan rasa penasaran yang membumbung tinggi aku membuka amplop dengan perlahan sembari sesekali melihat padanya yang masih menatapku. Senyum kecil terukir di bibirnya. Andai ini drama sinetron picisan mungkin akan ada efek slow motion dan iringan musik klasik agar adegannya semakin bertambah dramatis. Tapi karena ini real, kenyataan, belum ada lima detik aku sudah bisa membuka amplop itu dan melihat isinya.

"Susah payah gue cari itu buat lo," kata Yogi begitu aku melihatnya dengan mata membola. "Akhirnya gue dapat juga. Anggap itu hadiah perpisahan dari gue. Dan permintaan maaf karena saat itu nggak bisa bantu lo."

Aku semakin menatapnya tak percaya. Andai ini nggak di depan umum. Andai aku belum menikah. Andai aku belum melihat Rinjani yang sudah keluar dari toilet dan sedang menuju ke sini aku sudah memeluk Yogi karena saking senangnya.

"Thanks, Mas. Padahal lo nggak perlu sampe segitunya buat gue," kataku tulus. Aku menatap Yogi dan benda yang kini ada di tanganku bergantian. Mataku berbinar, dadaku membuncah bahagia.

"Santai," kata Yogi ringan.

"Aku harus ganti berapa ini, Mas?"

"Hah?" Yogi justru menatapku bingung. "Ganti? Apanya yang mau diganti?"

"Ya, ini, tiket festival ini."

Yogi berdecak. "Aru. Aru. Lo nggak denger kalau tadi gue bilang itu hadiah buat lo? Nggak perlu diganti."

"Serius, Mas?"

"Iya."

"Sekali lagi makasih, Mas," ucapku tulus.

"Santai." Dia melambaikan tangan dan mendorong kursinya ke belakang. "Yaudah kalau gitu gue cabut ya."

"Gak mau makan dulu, Mas. Aku traktir deh. Itung-itung buat ucapan terima kasih gitu."

Yogi tertawa. "Nggak usah, Ru. Lagian gue juga udah ada janji sama temen."

"Temen apa temen," godaku, Yogi tertawa. Lalu dia mulai berjalan menjauhiku dan mendekati seorang perempuan yang duduk tak jauh dari kami. Perempuan itu bangkit saat melihat Yogi menyapanya. Mereka saling melempar senyum dan pergi meninggalkan area food court ini dengan bergandengan tangan.

"Siapa, Kak?"

Aku menoleh ke arah Rinjani yang ternyata sudah kembali duduk di kursinya bekas kursi Yogi tadi.

"Temen," jawabku.

"Ngapain?"

"Ini." Aku menunjukkan tiket Festival Yoga Indonesia yang tadi diberikan Yogi.

"Wah, akhirnya dapat juga, Kak?" tanyanya antusian melihat tiket itu. Aku pernah bercerita pada Rinjani kalau aku sangat ingin ikut acara itu. Jadi saat dia melihat aku memegang tiket itu pastinya dia juga ikut senang.

"Iya. Seneng banget aku, Rin. Akhirnya bisa ikut juga," kataku dengan senyum bahagia. Lalu senyumku surut kembali saat mengingat Ranu. "Sayangnya Mas Ranu belum pulang saat itu. Ini diadakan tanggal 18,19,20. Mas Ranu pulangnya tanggal 25." Aku menatap tiket itu sedih.

"Santai, Kak, nanti aku temani."

"Serius?"

"Iya, itung-itung liburan Kak. Suntuk juga ngerjain tugas kuliah yang menumpuk."

"Asyiikk." Aku berdiri, mencondongkan tubuh dan memluk Rinjani.

Lalu suara ponselku berbunyi ada dua notifikasi lagi di sana dari Ranu dan Yogi.

Mas Ranu:
Belum pulang?

Yogi :
Oh, ya Ru gue belum bilang ya …
Nanti lo berangkatnya bareng gue ya? Udah gue pesenin tiket pesawat juga.
Kita berangkatnya tanggal 17 penerbangan sore.
Gpp, kan Ru?

TBC
*****

Holla, sorry baru bisa up lagi. Beberapa hari ini kurang enak badan. Uhuk, alesan 🙈

Karena aku memutuskan untuk menulis cerita ini sampai tamat, aku akan berusaha nulis cerita ini sampai tamat. Doakan ya teman-teman.

Terima kasih yang sudah bersedia membaca sampai sini. Aku sayang kalian 😘😘

IG : Zeeniyee_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro