Rasa yang terhenti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hafid tersenyum memandangi ponselnya, Kamil selalu saja melakukan hal-hal di luar batas kewajaran.

Kamil Saerozy:
085647331***
Itu nomer ponsel Hilya. Namanya Hilya Althafunnisa, dia orang Semarang, jurusan PBA angkatan 2015. Buat sementara ane kasih info itu dulu, yang lebih detail nyusul. Ente tau ane lagi super sibuk, kan? Tapi ane rela mengurangi waktu sibuk ane 30 menit demi nyari itu semua. Ente harus ngehargain.

Hafid Kawakib:
Siapa juga yang nyuruh ente nyari-nyari hal gak penting ginian?

Kamil Saerozy:
Pertanyaan gak penting. Intinya ente wajib ngehargain usaha ane. Manfaatin nomer Hilya sebaik mungkin.

Hafid Kawakib:
Dosen lebay. Gimana cara ane ngehargainnya?

Kamil Saerozy:
Hubungin nomernya lah. Ajakin taarufan, ngerasa cocok langsung khitbah. Ngakunya lulusan Mesir, hal beginian aja masih nanya.

Hafid Kawakib:
Ente mikir sejauh itu? Padahal ane kenal anak itu aje kagak. Dia baru semester empat juga.

Kamil Saerozy:
Makanya ajakin taaruf biar kenal, Pak dosen. Ralat, dua minggu lagi dia udah semester lima. Dia juga ambil sks lebih tiap semesternya. Kalo gak molor-molor lagi, tahun depan dia udah bisa wisuda.

Hafid Kawakib:
Kok malah ente tau banyak tentang Hilya? Ane jadi curiga kalo ente beneran cinta ama Shila. Dua minggu lagi jadi nikah kan ama Shila? Takutnya ada pengantin pengganti. Hahaha.

Kamil Saerozy:
Kayaknya ane malah lebih cinta ke ente, Fid. Bayangin aja, di tengah-tengah kesibukan nyiapin resepsi, ane justru ngurusin hidup ente.

Hafid Kawakib:
Uhibbuka aidzon, Mil. Ane bakal sungkem ke Shila besok kalo udah nyampek Solo. Suaminya selingkuh ama ane. Hahaha. (Aku mencintaimu juga)

Kamil Saerozy:
Shila muncul, udahan dulu. Ntar ane dikira selingkuh beneran.

Hafid Kawakib:
Siap, salamin ke Shila yak. Baik-baik punya suami model Kamil.

Hafid masih saja tersenyum sembari menyipan ponselnya di atas meja.

Fikirannya kembali pada siang tadi saat tanpa sengaja tatapannya bertubrukan dengan Hilya. Gadis itu benar-benar duplikat Sarah. Bahkan menatap gadis itu saja sama-sama membuat hatinya bergetar, persis ketika ia sedang menatap Sarah.

Hafid kembali meraih ponselnya, menyimpan nomor Hilya. Ia faham, bahwa mustahil rasanya menghubungi mahasiswi terlebih dahulu tanpa ada suatu kepentingan yang bersangkutan dengan perkuliahan. Dan Hafid juga sadar, ia tak mungkin melakukan hal itu. Namun entahlah, hati kecilnya berbisik bahwa suatu saat ia akan membutuhkan nomor itu.

*****

"Sabtu libur kan, Hil? Main yuk. Bosen eh, di kost mulu." Jannah menghempaskan tubuhnya di samping Hilya yang sedang tengkurap di atas ranjang.

"Ujian kali, Jann." Hilya menjawab singkat. Mengabaikan Jannah yang membuat ranjangnya bergoyang sejenak beberapa detik lalu. Ia sedang sibuk dengan kertas dan bolpoin, melakukan hobi olah katanya di dunia sastra.

" Jumat, Sabtu, Ahad. Kalo kamu lupa, kita libur tiga hari loh, Hil. Senin UAS cuma dua mata kuliah. Ya Allah, Hilya. Kamu gak bosen nganggur di kost tiga hari?" Jannah merajuk, membuat Hilya menoleh.

"Main kemana? Ama siapa? Ada yang mau nebengin emangnya?" Hilya memasang tampang datar.

"Ke Puthuk Setumbu yuk, ato kalo gak Candi Ayam? Main ke arah Magelang aja, seru kayaknya. Kamu ajakin si Danil gih." Jannah tersenyum lebar, membuat Hilya melotot. Danil adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang sedang gencar-gencarnya mendekati Hilya.

"Aku pengen hijrah, Jann. Khilaf ah, boncengan ama lawan jenis mulu. Udah tua ini, pengen tobat." Hilya membalikkan tubuh, menatap langit-langit kamar.

"Hijrah gimana ini maksudnya?" Jannah terlihat mengerutkan dahi.

"Ya, hijrah. Hijrah itu kan artinya berpindah, ya aku mau berpindah. Sekarang kan aku keliatan buruk banget, pake jilbab tapi masih suka boncengan sana-sini sama lain jenis, masih suka colek sana-sini, malu rasanya, Jann. Lah aku pengen pindah ke arah yang lebih baik. Mulai dari yang paling kecil dulu sih, kalo langsung disuruh pake jilbab yang lebar-lebar gitu ya aku belom bisa lah, pasti. Mungkin dimulai dari gak boncengan ama yang bukan mahrom dulu kali." Hilya berpanjang lebar. Jannah terlihat mengangguk-anggukan kepalanya.

"Eh, tapi bentaran deh. Kamu tiba-tiba hijrah gitu aja tanpa ada alesan?" Jannah terlihat menyadari sesuatu. Hilya tersenyum ganjil.

"Jangan ngomong gara-gara Gus Ilham?" Jannah kembali bersuara, membuat Hilya tersenyum canggung.

"Hilya, plis deh. Aku udah adem banget denger kamu pengen hijrah, udah sempurna banget pemikiran kamu. Jangan buat hijrah kamu jadi buruk cuma gara-gara salah niat. Ya Allah, Hilya. Tolong rubah niat kamu. Hijrah itu harusnya murni dari hati kamu khusus karena Allah semata. Kalo masalah beginian, aku kira kamu yang jurusan bahasa Arab udah lebih paham daripada aku yang cuma jurusan IPA." Kali ini justru Jannah yang berpanjang lebar.

"Aku tau, Jann. Lebih dari sekedar tau malah. Aku salah niat, aku salah tujuan, aku justru berharap pada makhluk padahal udah jelas-jelas Allah ngasih tau kalo kita dilarang berharap sama makhluk. Padahal Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib udah pernah bilang, kalo sepahit-pahitnya harapan adalah berharap pada manusia. Tapi aku juga bingung, aku harus gimana, Jann?" Hilya menangkupkan kedua tangannya di wajah. Mencoba meredam emosinya yang tiba-tiba saja membuncah.

"Gak perlu jadi orang lain, Hil. Be your self, jadi diri kamu sendiri. Percaya sama aku, kalo emang Gus Ilham jodoh kamu, dia gak bakal bisa lari kemana-mana. Jangankan lari, menjauh sejengkal kaki aja gak mungkin bisa, Hil. Gus Ilham bakal nerima kamu tanpa peduli keadaan kamu. Nona Hilya yang cantik, hijrah emang baik, tapi kalo hijrah kamu belom murni karena Allah mending jangan dulu lah. Perbaiki niat dulu, sayang." Jannah mengusap pelan lengan Hilya.

"Kadang aku mikir, Jann. Apa mungkin gus Ilham itu perantara aku buat dapet hidayah Allah? Tapi kalo dipikir-pikir lagi, kok kesannya malah aku hijrah cuma niat buat dapetin gus Ilham. Kalo aku pikir-pikir ulang, kayaknya aku malah gak bakal dapetin gus Ilham kalo begini." Hilya menghembuskan nafas berat, menatap Jannah. Gadis yang berada di sampingnya ini adalah teman diskusi paling tepat dibanding keempat teman kostnya yang lain.

"Aku ngedukung banget kamu buat hijrah, syukur-syukur ngajakin aku. Tapi aku harap kamu gak salah niat ya." Jannah tersenyum tulus menatap Hilya.

"Hilyaaaa..... di rumah Mas Radit ada Pak Hafid, loh. Cari sensasi hayuk." Sari yang baru saja masuk kost berteriak girang, membuat Hilya dan Jannah terlonjak.

"Ya Allah, Mbak Sari. Kalo udah tau ada Pak Hafid di depan kenapa malah teriak-teriak? Kan malu." Hilya gemas menatap Sari, sedang yang ditatap hanya tertawa tanpa dosa, membuat Jannah ikut tertawa.

"Habisnya kamu dari pulang kuliah bawaannya suntuk mulu. UAS baru dapet dua hari juga, suntuknya disimpen buat seminggu yang akan datang aja kali. Kebetulan banget kan ada Pak Hafid di depan kost, siapa tau liat wajahnya Pak Hafid bikin kamu semangat gitu." Sari berpanjang lebar, membuat Hilya tersenyum.

"Udah malem ah, Mbak. Kamu dari mana juga sih?" justru Jannah yang menanggapi.

"Dari warung sebelah, kenapa?"

"Gakpapa sih, tanya aja. Udah ah, princess Jannah ngantuk, mau bobok cantik dulu." Jannah turun dari ranjang, berjalan keluar kamar. Kali ini giliran Sari yang mengambil alih posisi Jannah.

"Mbak, kalo aku jadi pendiem cocok gak?" Hilya menoleh ke arah Sari. Sari seketika menyemburkan tawa, membuat Hilya memasang muka sebal.

"Cocok sih, tapi ntar orang-orang bakal ngira kalo kamu kesurupan malaikat cantik." Sari masih belum berhenti tertawa.

"Males ih, ngomong ama Mbak Sari." Hilya memajukan bibirnya, kemudian turun dari ranjang.

"Eh, mau kemana?" Sari seketika menghentikan tawanya.

"Ngunci pager ama pintu depan, kan udah malem." Hilya menjawab santai.

"Modusnya, Tante. Ngomong aja mau ngintipin Pak Hafid." Sari memasang wajah jahil.

"Lah kan itu bonus." Kali ini Hilya terbahak.

*****

Kunjungan ziarah rutin ke makam walisongo kali ini minus Kamil. Mobil hanya terisi oleh Hafid, Radit, Jamil dan Rozi. Akhir pekan ini, tujuan mereka adalah makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.

Hafid, Kamil, Radit, Rozi dan Jamil adalah sekumpulan orang yang menamai grup mereka dengan geng tour wali. Sebutan itu berawal dari hobi traveling mereka semenjak masih sama-sama menjadi mahasiswa di dalam kampus yang sama, meski dengan jurusan yang berbeda-beda. Hobi traveling mereka kemudian mereka khususkan untuk mengunjungi makam-makam wali. Jadilah sampai sekarang, kegiatan istiqomah tiap bulan itu tak pernah absen dari kehidupan mereka berlima.

"Kampus bukannya lagi ujian akhir ya, Pak Dosen? Situ gak sibuk?" Radit menyenggol pelan lengan Hafid.

"Malem minggu kan jatah quality time sama geng tour wali." Hafid menyahut sekenanya, tatapannya masih fokus pada layar ponsel, mencari lagu sholawat untuk mengiringi perjalanan mereka.

"Keliatan banget kalo jomblo, Pak." Radit tertawa lebar, membuat Hafid meliriknya tajam.

"Dosen emang kalo ngomong suka samaan ya. Kamil juga dulu ngomong gitu, nyatanya sekarang geng tour wali udah bukan prioritas dia lagi." Rozi ikut menyahut.

"Lah kalo itu beda konteks dong, Zi. Kamil kan sekarang lagi sibuk nyiapin akad, setelah ini juga udah punya tanggungan. Jangan samain kayak kita-kita yang jomblo lah." Lagi-lagi Radit yang bersuara. Rozi hanya tersenyum lebar.

"Yakin ini ke Kadilangu doang? Lurus terus kek ke Kudus, Tuban, Surabaya." Jamil yang sedari tadi fokus di kursi sopir mengangkat suara.

"Aku sih setuju." Radit mengangkat jempol tangannya.

"Ngikut yang punya mobil sih." Rozi menambahi.

"Permintaan ditolak, Pak Dosen sibuk, woy." Hafid menyahut bebas dari kursinya, membuat ketiga kawannya terbahak.

*****

Hafid sedang berjalan seorang diri di pusat perbelanjaan oleh-oleh khas Kadilangu, Demak. Ketiga kawannya entahlah, mungkin sedang menikmati soto di warung langganan mereka.

"Mas Hafid? Antum Mas Hafid, kan?" Suara seorang wanita yang terdengar familiar di telinga Hafid membuat lelaki itu menoleh.

Hafid sempurna terbelalak, suara yang baru saja menggema di ruang dengarnya itu berasal dari seorang gadis berjilbab merah marun sedang tersenyum anggun di belakangnya. Perasaannya sudah tidak perlu ditanya, ia mengalami kombinasi rasa di jantungnya. Bahagia yang dikolaborasi dengan degup tak beraturan.

"Hallo? Assalamualaikum, Mas Hafid?" seseorang yang baru saja memanggil Hafid melambaikan tangan, membuat Hafid tersadar dari tatapan takjubnya.

"Eh, Astagfirullah. Iya, waalaikumsalam." Hafid menjawab gugup, membuat seorang gadis yang kini berada di hadapannya tertawa lirih.

Hafid menunduk, meng-istighfari matanya yang sampai detik ini masih saja kecanduan dengan wajah cantik khas jawa di hadapannya. Meng-istighfari telinganya yang masih saja menyukai tawa halus yang keluar dari bibir gadis itu.

"Kaif al-halk?" (Bagaimana kabarmu?) Gadis itu tersenyum ramah.

"Bikhoir, alhamdulillah. Wa anti?" (Baik, alhamdulillah. Kamu?) Hafid ikut tersenyum canggung, berusaha menetralisir rasa bahagianya.

"Wa ana kadzalik." (Aku juga) Gadis itu kembali tersenyum, lagi dan lagi membuat hati Hafid berdesir indah.

Hafid ikut tersenyum. Ia berbohong jika mengatakan hatinya tak sedang berbunga-bunga saat ini. Ia masih tak menyangka akan bertemu dengan gadis itu disini, bahkan ia tak pernah membayangkan bahwa masih ada kemungkinan bagi dirinya untuk bertemu dengan gadis yang amat ia rindukan itu.

"Ehm, kebetulan ketemu mas Hafid disini. Ana mau ngasih sesuatu." Gadis itu masih tetap tersenyum, tangannya membuka tas kecil yang ia selempangkan di pundak.

Hafid masih terpaku di tempatnya. Gadis itu tak banyak berubah, ia hanya merubah panggilannya kepada Hafid. Mungkin, terlalu lama kembali ke Indonesia membuat lidahnya tak lagi biasa menyebut kata 'akhi'. Selain satu hal itu, segala sesuatunya masih sama. Jilbabnya masih tetap lebar, tatapan matanya masih tetap teduh, nada tertawanya masih tetap halus, dan perasaan Hafid juga masih tetap sama.

Hafid masih saja terdiam, menikmati pertemuan pertamanya usai gadis itu menghilang bertahun-tahun. Terlalu bahagia hingga telinganya abai pada kalimat terakhir gadis itu, sampai sebuah undangan pernikahan berwarna ungu berada di hadapannya.

"Mas Hafid wajib hadir." Gadis itu memberi tatapan penuh harap. Hafid menerima undangan itu. Sepersekian detik kemudian, matanya terbelalak. Rasanya seperti mimpi membaca nama mempelai pada sebuah undangan yang kini tengah berada di dalam genggamannya.

Sarah Humaira binti H. Bahruddin Alawy (Alm)
💗
M. Fadhil Hamid bin H. Jamiluddin Bakkar

Hafid sadar jika tangannya mendadak bergetar. Ia yang memang sedari tadi tak banyak bersuara justru semakin terbungkam. Kejutan apa lagi ini? Setelah bertahun-tahun tak berjumpa dengan seorang gadis yang hampir setiap malam berada dalam mimpinya, ia justru kembali dipertemukan dengan keadaan yang demikian.

"Maaf ya, Mas. Gak ada nama antum di alamat undangan. Gak nyangka kalo kita bakalan ketemu disini. Itu judulnya undangan resepsi dadakan." Suara Sarah, sang gadis masih saja terdengar riang. Ia bahkan sama sekali tak menyadari perubahan raut wajah Hafid.

"Oh ya, ini kartu nama Sarah yang baru, Mas. Ada nomer telfon Sarah juga. Biar masih bisa nyambung silaturahmi." Hafid hanya menerima kertas mungil yang disodorkan Sarah. Bibirnya masih terbungkam. Otaknya sedang sibuk mencerna makna dari pertemuan ini, hingga sebuah suara baru tertangkap di ruang dengarnya.

"Dek Sarah masih ada yang mau dibeli? Apa mau pulang sekarang?" Hafid menoleh. Seorang lelaki yang terlihat dewasa dengan kemeja coklat berlengan panjang menghampiri Sarah.

"Udah kok, Mas. Oh iya, ini kenalin, temen adek pas masih kuliah di Mesir. Mas Hafid, ini Mas Fadhil calonnya Sarah. Mas Fadhil, ini Mas Hafid." Hafid melirik Sarah sejenak, pipi gadis itu terlihat memerah. Semakin menambah kesan cantik pada wajah khas Jawanya.

"Fadhil." Seseorang yang dipanggil Fadhil oleh Sarah tadi mengulurkan tangannya, tersenyum ramah.

"Hafid." Hafid menyambut uluran tangan itu dengan sedikit gemetar. Sungguh, Sarah benar. Ia hanya teman ketika kuliah di Mesir, tidak lebih. Hafid seharusnya telah menyadari semenjak mereka masih sama-sama tinggal di Mesir dulu. Ia tak perlu meletakkan hatinya terlalu jauh untuk berharap pada gadis cantik yang kini sedang tersenyum bahagia bersama calon suaminya itu.

"Ente harus datang ke walimah kita ya." Fadhil melirik undangan ungu yang berada di dalam genggaman Hafid. Lelaki itu masih tersenyum ramah, menambah kesan tampan pada wajahnya.

"Insya Allah." Kali ini Hafid bersuara, lengkap dengan senyumnya. Senyuman miris.

"Ya sudah, kami duluan ya, Mas Hafid. Ma'a salamah, nantadziruka fi walimatina." (Sampai ketemu, kami menunggumu di acara kita) Sarah kembali bersuara, kepalanya sedikit mengangguk. Hafid balas mengangguk dengan lemah.

"Assalamualaikum." Sarah dan Fadhil serempak mengucap salam, kemudian segera berlalu dari hadapan Hafid.

"Waalaikumsalam." Hafid menjawab lirih. Lirih selirih-lirihnya hingga mungkin Sarah dan calon suaminya tak lagi mendengar.

Hafid benar-benar ingin menghilang dari keramaian Kadilangu detik itu juga. Hari ini benar-benar terlihat melelahkan. Perasaannya terasa dibolak-balik. Ia bahagia bertemu kembali dengan Sarah, gadis yang bertahun-tahun ini ia cari. Gadis yang menghilang begitu saja beberapa tahun yang lalu. Namun sepersekian menit kemudian, sebelum ia sempat banyak bertanya tentang menghilangnya Sarah yang tiba-tiba, sebelum ia bertanya kemana saja Sarah selama ini, sebelum ia bertanya bagaimana keadaan Sarah usai meninggalkan Mesir, undangan berwarna ungu yang kini berada di tangan kirinya itu membuat Hafid bungkam seribu bahasa. Membuatnya ingin menjadi bungkam selamanya, agar lisannya tak lagi mampu menyebut nama Sarah Humaira dalam setiap sujud sepertiga malam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro