Luka Tak Nampak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat sore, Nona Sarah Humaira.” Sarah yang sedang mengambil gelas minuman menoleh pada panggilan resmi tersebut, sedetik kemudian tawanya pecah. Seseorang yang memanggilnya adalah seorang lelaki dengan kemeja biru dongker yang bagian lengannya dilipat sepertiga, gaya khas berpakaian dari lelaki tersebut.

“Akhy Hafid sok resmi. Sarah kira pak Dubes yang nyapa. Sudah terlanjur bahagia ini.” Sarah memasang muka berpura-pura sebal. Kali ini tawa Hafid yang pecah.

Mereka berdua sedang berada dalam acara kunjungan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Indonesia yang diadakan di gedung kedutaan Mesir. Karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, maka acara ini sengaja di tempatkan di sore hari. Sekalian dengan mengadakan acara buka bersama seluruh Mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Al-Azhar, Mesir.

Jangan samakan dengan budaya ngabuburit milik orang Indonesia. Di Mesir, setiap menjelang berbuka puasa seluruh penduduk selalu disibukkan dengan tilawah Al-Qur’an. Semakin mendekati waktu berbuka puasa, maka semakin riuh pula bacaan tilawah di setiap sudut daerah. Maka dari itu, sore ini pihak kedutaan sengaja mengadakan acara buka bersama bagi para mahasiswa Indonesia, hitung-hitung mengobati rindu mereka pada tanah air.

“Bagaimana kuliahnya? Lancar?” Hafid mulai berbasa-basi.

“Alhamdulillah, Akhi. Sejauh ini lancar.” Sarah tersenyum. Senyum yang tentu saja tak bisa tertangkap oleh retina Hafid karena ia sedang tertunduk.

“Sudah lancar bahasa Arab ‘amiyyahnya? Hati-hati kena tipu lagi pas belanja ke pasar.” Hafid tertawa pelan, mengingat tragedi Sarah tertipu ketika sedang berkeliling di pasar.

“Alhamdulillah, Akhi. Kalau sekedar untuk negosiasi harga pasar, sepertinya Sarah sudah ahli.” Sarah tertawa lirih. Suara tawa selalu terdengar halus di telinga Hafid, membuat hatinya selalu menghangat seketika.

“Assalamualaikum, Kawula muda. Calon pembangun Islam di bumi tercinta Indonesia.” Sebuah suara membuat mereka berdua menoleh.

“Waalaikumsalam, Ustad Ahmad." Hafid segera meraih tangan seorang lelaki yang ia sebut dengan Ustad Ahmad, menciumnya takdzim. Sarah hanya menangkupkan tangan di depan dada sembari bergumam lirih  menjawab salam.

Ustad Ahmad adalah salah satu konsultan bagi mahasiswa Indonesia yang sedang memiliki masalah. Beliau adalah orang yang hanya dengan memandangnya saja, seolah-olah seluruh beban kita telah menguap.

“Bagaimana urusan dengan Syaikh Hassan Badawy, Sarah? Kholas?” (selesai?) Ahmad memandang Sarah dengan wajah teduhnya.

“Alhamdulillah, Ustad. Kholas.” Sarah tersenyum, Ustad Ahmad segera mengangguk.

“Antum, Hafid. Bagaimana urusan antum dengan ukhti Sarah? Kholas?” Hafid dan Sarah seketika mengernyitkan dahi bersamaan.

“Lakin ma indy mas’alah ma’a Ukhti Sarah, ya Ustad.” (Tapi saya tidak memiliki masalah dengan Sarah, Ustad) Hafid memandang Ustad Ahmad dengan tatapan bingung.

“Wa ana kadzalik, ya Ustad.” (Saya juga) Sarah ikut menyahut, membuat Ahmad tersenyum.

“Ustad tahu ini adalah tempat yang ramai. Namun tak lantas karena ramai lalu kalian berdua boleh mengobrol asyik berduaan saja, bukan?” Hafid terhenyak, ia segera menunduk dan menggeser langkahnya menjauhi Sarah. Ia menyadari kesalahannya.

“Hafid, selesaikan S2 antum secepatnya, agar cepat pula waktu antum untuk mengkhitbah nona Sarah. Atau antum mau menikah di tengah-tengah studi? Tidak ada larangan untuk itu disini. Tidak baik bagi seorang ikhwan mengotori fikirannya dengan wajah perempuan yang tidak halal baginya. Hal itu akan sangat mempengaruhi hafalan antum, Hafid.”Ustad Ahmad berpanjang lebar, membuat wajah Sarah sempurna memerah. Ia amat malu mendengar penuturan Ustad Ahmad. Baginya, topik yang baru saja disinggung oleh ustadnya itu adalah hal yang cukup sensitif. Hafid bahkan semakin memperdalam tunduknya.

“Ya sudah, Ustad pamit dulu. Mau ngabuburit nyari takjil. Spesial untuk hari ini, anggaplah Mesir itu Indonesia. Assalamualaikum.” Ahmad memecah suasana canggung dengan ucapan santainya. Ia meninggalkan Hafid dan Sarah dengan senyum yang masih saja teduh.

“Waalaikumsalam.” Hafid dan Sarah menyahut bersamaan, dengan suara lirih selirih-lirihnya.

Hening, yang ada setelah suasana canggung itu hanyalah keheningan. Wajah Hafid dan Sarah sama-sama memerah.

“Em, Ukhti. Ana nyusul ustad Ahmad dulu. Assalamualaikum.” Sarah hanya mengangguk, menjawab lirih salam Hafid.

Hafid mengusap wajahnya, kebiasaan yang tak kunjung hilang. Seluruh kenangan tentang Sarah semakin menghujam fikirannya tanpa ampun seminggu ini. Seharusnya, ia sudah bisa mengkhitbah Sarah sejak dua tahun yang lalu. Semenjak pertama kali ia diangkat menjadi dosen tetap Universitas. Namun pada kenyataannya, segala sesuatunya tak seindah yang digambarkan oleh ustad Ahmad.

Ah, bukankah terlalu menyakitkan ketika menyadari bahwa realita sangat berbanding terbalik dengan ekspektasi? Sarah menghilang bahkan beberapa bulan saja sejak pertemuan mereka dengan ustad Ahmad di kantor Kedutaan Mesir. Bukan Hafid tak mencari, tapi ia berhak apa untuk mengetahui kondisi Sarah saat itu? Ia bukan siapa-siapa. Hafid menutup matanya, sesak itu kembali hadir.

Ana uriid wa anta turiid, wallahu yaf’alu ma yuriid. (Aku ingin, kau juga ingin. Tapi Allah melakukan yang Dia inginkan)

Hafid bergumam lirih. Matanya tak lepas mengawasi dua kertas bertulis ‘Sarah Humaira’ yang tergeletak di atas mejanya. Undangan penikahan dan sebuah kartu nama. Berdosakah jika ia membayangkan namanya yang bersanding dengan nama Sarah Humaira di undangan berwarna ungu tersebut?

Hafid berdiri, membuka jendela kamarnya, menikmati udara malam kota Solo. Kota dimana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Seminggu yang lalu, usai pertemuan tanpa sengajanya dengan Sarah di Kadilangu, Hafid memutuskan untuk langsung pulang ke Solo tanpa mampir ke Salatiga sama sekali. Ia benar-benar butuh ketenangan, dan hal itu tak akan ia dapatkan di Salatiga, apalagi ketika bulan-bulan ujian akhir seperti sekarang. Ia hanya menghubungi pak Jaka, staf akademisi Universitas untuk meletakkan berkas jawaban ujian mahasiswa di ruangannya. Ia bisa mengambilnya kapan pun. Liburan mahasiswa yang berkisar hampir dua bulan ia kira cukup untuk mengerjakan nilai para mahasiswanya.

Kawan-kawan geng tour walinya sempat mengernyitkan dahi ketika mendengar Hafid tiba-tiba meminta mereka untuk mengantarkan ke Solo. Ia bahkan mengabaikan mobilnya, hanya menitipkannya di rumah Jamil untuk sementara waktu. Hafid hanya mengatakan bahwa ada kebutuhan mendadak di Solo. Ia tak mungkin menceritakan pertemuannya dengan Sarah. Tak ada yang mengenal Sarah, tak ada pula yang mengerti tentang perasaannya pada Sarah kecuali Kamil. Dan Hafid, tak mungkin mengganggu Kamil yang sedang sibuk dengan debar hatinya menunggu waktu tujuh hari lagi.

Mendadak Hafid terkesiap. Satu minggu yang akan datang Kamil akan melangsungkan akad nikahnya, itu berarti seminggu yang akan datang pula Sarah resmi menjadi istri orang. Hafid kembali melirik undangan ungu yang berada di atas meja, menatapnya nanar. Pernikahan Kamil dan Sarah jatuh pada tanggal dan hari yang sama. Dan Hafid, tidak mungkin absen di acara Kamil.

Mungkin ini jalan dari Allah agar rasa sakit ini tak datang berlebih.’ Hafid sibuk berbisik lirih di dalam hati.

“Makan malam dulu, Nang.” Hafid menoleh ke arah sumber suara. Aisah, ibunya sedang berjalan menghampiri sembari tersenyum.

“Hafid sudah makan tadi sore, Ummi.” Hafid menjawab sekenanya, kemudian kembali fokus pada pemandangan malam kota Solo.

Aisah melangkah menuju ranjang Hafid. Ia duduk di tepi ranjang dan mengambil undangan ungu di atas meja.

“Sarah Humaira, dia teman kamu waktu kuliah di Mesir kan? Dia mau menikah?” Aisah bersuara sembari membaca undangan tersebut.

“Iya, Ummi.” Hafid menjawab singkat.

“Nikahannya bareng sama Kamil? Terus kamu mau dateng ke Kamil apa Sarah?” Aisah masih berminat mengomentari undangan yang berada di dalam genggamannya.

“Ya ke Kamil lah, Ummi. Kamil kan temen Hafid dari zaman masih sama-sama ingusan. Lagipula Hafid gak begitu deket ama Sarah kok.” Hafid menutup jendela, menghampiri ibunya.

“Gak deket ama Sarah? kayaknya dulu pas awal-awal kamu di Mesir, kalo lagi telfon Ummi sering banget bahas nama Sarah. Ummi sampek hafal loh. Sarah yang kerudungnya lebar-lebar tapi tetep keliatan modis, Sarah yang kalo ketawa halus, Sarah yang wajahnya khas orang Jawa. Ummi kira Sarah bakal dikenalin ke Ummi. Eh, tapi dulu yang sering kamu ceritain itu beneran Sarah, kan? Ummi takut salah sebut.”

“Iya, Ummi. Sarah gadis yang dulu sering Hafid ceritakan. Tapi udah ya, Ummi. Gak usah disebut-sebut lagi. Sarah udah mau jadi istri orang.” Hafid mengambil posisi duduk di sebelah ibunya.

“Jangan lari, Nang. Semakin kamu lari, semakin kenangan mengejarmu. Berhenti, dan biarkan apa yang disebut kenangan itu ikut terhenti. Percaya sama Ummi, kenangan itu akan pergi.” Aisah menoleh, memberi tatapan lembut untuk putra semata wayangnya.

“Ummi tau, kamu pulang lebih awal bukan untuk pernikahan Kamil. Seharusnya, akhir tahun seperti sekarang justru kamu sedang sibuk-sibuknya mengurus ujian akhir. Pernikahan Kamil hanya alibi, kan? Kamu sedang butuh tempat untuk tenang?” Aisah masih saja bersuara meski Hafid tak menanggapi.

“Ummi tau?” akhirnya Hafid membuka suara meski lirih.

“Kalo kamu memang pulang untuk pernikahan Kamil, kenapa seminggu ini justru hanya berdiam diri saja di dalam rumah? Tidak mengunjungi rumah Kamil sama sekali?” Aisah mengusap lembut lengan Hafid.

“Sejauh apapun kamu menjelajahi dunia, Nang. Pada akhirnya, Ummi tetaplah tempat kamu pulang. Ummi tau segala sesuatu tentang kamu. Kalo kamu lupa, Ummi yang membawa kamu kemana pun selama sembilan bulan.” Aisah tersenyum, tangannya masih mengusap pelan lengan Hafid.

“Hafid harus bagaimana, Ummi?” Hafid menunduk, menyembunyikan ekspresi mirisnya.

“Kamu tidak akan datang ke acaranya Sarah?” Hafid mengangguk pelan menanggapi pertanyaan ibunya.

“Telepon dia, bilang kalo kamu gak bisa datang. Beri dia alasannya. Jangan karena dia telah menjadi istri orang lantas kamu berhak memutus silaturahim.”

“Bukankah lebih baik tidak usah saja, Ummi. Toh, Sarah juga mungkin tidak akan menyadari kalau Hafid tidak datang. Tamu Sarah kan banyak.” Hafid mencoba mengelak, rasanya masih enggan untuk mendengar suara Sarah kembali.

“Dia sudah mengundang kamu. Secara tidak langsung, dia sudah menganggap kamu teman baiknya. Dia mengajak kamu berdamai dengan segala urusan masa lalumu. Kamu juga harus menghargai niat baiknya.” Aisah memberi pengertian, berusaha membuat putranya paham.

“Benar, hanya teman baik ya, Ummi. Ah, seharusnya Hafid menyadarinya semenjak beberapa tahun yang lalu.” Hafid tersenyum miris.

“Hust, gak boleh ngomong gitu. Allah pasti sudah menciptakan yang lebih baik dari Sarah untuk kamu, sebagaimana Allah menciptakan yang lebih baik dari kamu untuk Sarah.”
Hafid menoleh, meraih tangan ibunya kemudian menciumnya lama. Aisah menanggapi, ia merengkuh putranya.

“Putra Ummi satu-satunya ternyata sudah dewasa sekali. Sepertinya baru kemarin Ummi euforia melihat bayi laki-laki yang manik matanya membulat menatap Ummi usai diberi kumandang adzan oleh Abi.” Tanpa terasa, setetes airmata lolos dari mata Aisah.

Tanpa Aisah ketahui, sesungguhnya seorang lelaki dewasa yang kini sedang berada dalam rengkuhannya juga sedang menyeka airmatanya dalam senyap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro