Tanda Tanya Tanpa Titik Jawab

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Ada yang namanya Hilyah Annisa di kelas ini?” Pengawas ujian yang terlihat cuek tiba-tiba saja membuka suara usai membagikan lembar soal.

“Adanya Hilya Althafunnisa, Pak.” Hilya mengangkat suara dengan suara sinis. Ia tak suka nama tengahnya dipotong.

“Ya mungkin itulah. Mana yang namanya Hilya?” Sang pengawas ujian menjawab santai.

“Saya. Ada apa sih, Pak?” Hilya mengangkat tangannya dengan ekspresi malas.

“Oh, kamu. Nanti setelah ujian menemui saya di ruang akademik, ya.”

Hilya mengernyitkan dahi. Seingatnya, ia tak pernah punya urusan sedikit pun dengan para penghuni ruang akademik yang terkenal dengan kesinisan mereka.

“Ciye, Bapak modusin Hilya ih. Ati-ati, Hil.” Hana terlihat menggoda Hilya dari bangku belakang. Mendadak, seisi kelas riuh oleh kalimat ‘ciye’, membuat Hilya melotot sebal pada Hana.

“Sudah, jangan ribut. Ayo UASnya buruan dikerjain. UAS terakhir kan ini? Biar kalian cepat pulang kampung juga.” Lagi-lagi suara pengawas ujian menggema, menghentikan suasana riuh itu dalam sepihak.

*****

Hilya memutuskan mengajak Nisa untuk menemui pengawas ujian di ruang akademik. Mereka berdua sedang menyusuri lobi kampus yang mulai sepi dengan langkah gontai. Siang ini, soal ujian di hari terakhir berhasil membuat wajah mereka terlihat kuyu.

“Astagfirullah, Nis. Aku lupa. Bapak yang ngawasin kita ujian tadi siapa coba namanya?” Hilya mendadak menghentikan langkahnya.

“Lah, iya juga ya, Hil. Gimana kita ngomong ke ruang akademik kalo nama orang yang dicari aja gak tau.” Nisa menepuk pelan dahinya.

“Eh, Hil. Itu bukannya Bapak yang tadi ya?” Nisa mendadak berteriak girang sembari menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari ruang transit dosen.

Hilya tersenyum riang dan segera berlari, meninggalkan Nisa yang masih berteriak girang. Belum sempurna langkahnya menghampiri sang pengawas ujian, mendadak lelaki itu menoleh.

“Kamu yang namanya Hilya tadi, ya?” Hilya mengangguk gugup. Ia terkejut dengan gerakan sang pengawas ujian yang tiba-tiba menoleh. Pengawas ujian itu kemudian membuka map biru yang sedang ia bawa dan mengeluarkan sebuah undangan pernikahan warna coklat.

“Undangan pernikahannya Pak Kamil. Kamu dapat salam dari beliau, wajib datang katanya.”

“Pak Kamil nikah, Pak? Yah, saya patah hati dong.” Nisa yang telah berada di belakang Hilya spontan menutup mulut. Hilya menoleh sejenak, menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.

“Eh, tapi kenapa saya diundang? Ini saya pribadi apa perwakilan PBA 2013, Pak?” Hilya mengabaikan Nisa, mengungkapkan tanda tanya besar yang ada di kepalanya.

“Kalau di kolom nama adanya nama lengkap kamu, menurut kamu itu undangan pribadi apa perwakilan angkatan? Lagipula, kenapa kamu diundang juga bukan urusan saya. Setau saya, saya hanya diberi amanah untuk menyampaikan undangan itu ke orang yang namanya Hilyah Annisa.” Pengawas ujian itu terlihat kesal.

“Hilya Althafunnisa, Pak. Jangan suka korupsi nama orang.” Hilya mendengus sebal. Pengawas ujian di depannya ini benar-benar membuatnya kesal. Selain sikapnya yang dingin, lelaki itu juga selalu salah menyebut namanya.

“Iya, itu maksudnya. Terserah nama kamu siapa. Kalau kamu penasaran, tanya langsung aja ke Pak Kamil.” Pengawas itu kembali bersuara, tetap dengan intonasi dinginnya. Hilya memalingkan mukanya sejenak, merasa kesal.

“Ya udah. Makasih, Pak. Kita duluan.” Hilya terlihat menyeret lengan Nisa.
“Eh, bentar. Bapak namanya siapa?” Nisa justru melepaskan tangan Hilya. Ia melirik id card yang terpampang kosong di kantong kemeja pengawas ujian di depannya.

“Kenapa emang?” Lagi-lagi intonasi dingin.

“Barangkali aja habis ini kita ada kepentingan lain sama Bapak. Kan enak, nyarinya gampang.” Nisa tersenyum, memamerkan rentetan gigi putihnya.

“Fuad Ghani.” Pengawas itu berucap singkat.

“Ya udah, Pak. Kita duluan, assalamualaikum.” Hilya berpamitan untuk kedua kalinya. Kali ini, ia menyeret lengan Nisa lebih cepat.

“Waalaikumsalam.” Pengawas yang baru saja memperkenalkan namanya itu mengangguk pelan sembari melangkah memasuki ruangan akademik.

“Kenapa sih, Hil? Keliatan buru-buru banget?” Nisa mengernyitkan dahi melihat sikap Hilya yang berbeda.

“Wajib banget apa kalo pegawai akademik gak punya senyum?” Hilya memajukan bibirnya. Nisa mengangguk paham atas alasan Hilya.

“Iya sih, Pak Fuad cuek. Tapi beliau ganteng loh, Hil. Masih muda juga. Pak Hafid punya saingan kalo gini sih.” Nisa terkekeh, membuat Hilya melotot sebal.

“Udah cengar-cengirnya? Udah modusnya tanya-tanya nama Bapaknya? Sono bikin grup Bapak Akademisi cuek lovers.” Hilya mempercepat langkahnya, mendahului Nisa.

“Gak lah, tetep Ustad Kece Lovers aku.” Nisa tertawa lebar.

“Eh, Hil. Pak Kamil kenapa ya ngundang kamu? Kamu masih ada ikatan sodara kali ama beliau.” Nisa kembali bersuara, berhipotesis sesukanya.

“Gak mungkin lah kalo aku masih ada ikatan sodara, Nis. Jauh kali ah. Tapi kalo dipikir-pikir lagi, ngapain juga ya Pak Kamil ngundang aku?” Hilya menghentikan langkahnya sejenak, menatap Nisa dengan wajah linglung.

“Kapan emang acaranya, Hil?”

“Eh iya, aku malah belum liat. Bentar coba,” Hilya membuka tasnya, mengeluarkan undangan warna coklat.

“Senin besok, Nis.”

“Kamu mau dateng?” Nisa mengambil alih undangan dari tangan Hilya.

“Sungkan kali, Nis. Masak udah diundang pribadi gak dateng. Kamu mau nemenin?” Hilya menoleh ke arah Nisa.

“Ogah, aku mau pulang kampung awal.” Nisa tertawa mengejek, membuat Hilya melengos kesal.

*****

“Bang Hafid.” Hafid yang baru saja menutup pintu mobilnya menoleh, matanya menyipit menatap seseorang yang baru saja memanggilnya.

“Ashraf? Masya Allah. Kamu gagah sekali sekarang. Bang Kamilmu kalah telak.” Hafid terkekeh, memukul pelan lengan Ashraf, adik Kamil satu-satunya.

“Abang bisa saja. Bang Hafid apa kabar?” Ashraf meraih tangan Hafid, menciumnya.

“Alhamdulillah baik. Kamu masih tinggal di Pesantren? Di Rembang kan?” Hafid memandang Ashraf takjub. Adik lelaki dari sahabatnya itu benar-benar telah berubah banyak. Tubuhnya yang dulu terlampau kurus karena sering sakit kini telah gagah berisi.

“Iya, Bang. Masih di Rembang. Tahun besok insya Allah udah selesai masa pengabdian.” Ashraf tersenyum.

“Kamu pengabdian dua tahun? Bukannya masa pengabdian cuma satu tahun ya?” Hafid mengernyitkan dahi.

“Biasanya cuma satu tahun, tapi kemarin Ashraf ditarik lagi sama ma’had. Diminta tinggal setahun lagi kata Abah Yai.” Ashraf berjalan pelan, diikuti Hafid di sampingnya.

“Makanya jangan kelewat pinter. Bisa-bisa kamu gak diizinin pulang sama Abah Yai. Dijadiin menantu.” Hafid tertawa, membuat Ashraf ikut terkekeh kecil.

“Gak mungkin kalo itu, Bang. Dzuriyyahnya Abah Yai laki-laki semua.” Ashraf masih tertawa.

“Pengen lanjut kuliah setelah ini?” Hafid menoleh sejenak, menatap Ashraf.

“Insya Allah, Bang. Sekarang udah nyoba liat-liat Universitas. Kemarin agak tertarik ke Semarang sih.”

“Kenapa gak di Salatiga aja? Kota mungil nan asri loh.” Hafid mempromosikan Universitasnya, lagi-lagi membuat Ashraf tertawa.

“Gak lah, Bang. Gak enak, ada Bang Kamil disana. Ntar dikira ada main belakang, KKN istilahnya.” Ashraf terkekeh kecil, langkahnya semakin memelan memasuki rumah yang telah sedikit ramai.

“Iya sih, bener. Eh, Bang Kamilmu mana?” Hafid mengedarkan pandangan, meneliti seisi ruang tamu.

“Ada di ruang rias, Bang. Sok ganteng dia hari ini.” Ashraf tertawa lebar, membuat Hafid ikut tergelak.

“Ya sudah, Abang kesana dulu ya.” Hafid mendahului langkah Ashraf begitu lelaki muda itu mengangguk.

*****

“Yaa Kamil Saerozy bin Jamaluddin. Uzawwijuka ala ma amarallahu bihi min imsaki bi ma’rufin aw tasrihin bi ihsani.” Sang penghulu mengambil nafas sejenak.

Yaa Kamil Saerozy bin Jamaluddin. Ankahtuka, wa zawwajtuka, makhtuubataka Washilatul Madani binti Faris Akbar bi mahrin mushaf Al-Qur’an wa adaawatu sholah. Halan.”

“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur.” Kamil berucap mantap meski tangannya gemetar hebat.

Hafid menghembuskan nafas lega begitu Kamil mengucap sumpah akadnya dengan lancar. Sepanjang pagi, ia ikut tegang. Hafid menoleh terkejut ketika mendapati Kamil memeluknya.

“Ane lancar ngucapinnya, Fid. Makasih doanya.”

“Eh, iya. Tapi lepasin lah, jadi takut ane. Shila uda dateng tuh, ama Shila aja pelukannya.” Hafid melepas pelukan Kamil sembari memasang wajah risih. Beberapa orang yang melihat kejadian itu terkekeh geli.

Kamil melepaskan pelukannya, menoleh ke belakang sesuai arah telunjuk Hafid. Ia ternganga, di hadapannya,  Shila terlihat cantik dengan kebaya putih dan senyumnya. Shila sigap meraih tangannya, mengecupnya penuh perasaan. Kamil tanggap, ia mengecup kening istrinya kembut, kemudian membisikkan doa pengantin baru.

Hafid tersenyum miris menatap Kamil dan Shila. Kepalanya dipenuhi oleh bayangan Sarah dan Fadhil yang mungkin juga sedang melakukan adegan yang sama pada saat ini. Ia segera memperbanyak istighfar. Tak pantas rasanya membayangkan hal-hal buruk dihari bahagia milik sahabatnya.

‘Suatu hari, aku juga akan ada di posisi Kamil. Entah siapa yang akan ada di posisi Shila.’ Hafid berbisik di dalam hati, menghibur dirinya sendiri.

Hafid beringsut mundur, ia belum sempat menunaikan sunnah Dhuhanya pagi tadi. Ia butuh menenangkan diri, memahami apa yang sedang terjadi hari ini, memahami keadaan hatinya. Pikirannya juga sedang sibuk menerka-nerka sesuatu. Pagi tadi sebelum akad, Kamil sempat berbisik bahwa ia memiliki kejutan untuk Hafid. Entah kejutan apa, Hafid belum mampu menebaknya. Dan lagi, ia juga belum menghubungi Sarah sesuai perintah ibunya.

*****

“Assalamualaikum.” Hafid berucap ragu ketika panggilan teleponnya tersambung.

“Waalaikumsalam, halo?” Hafid terkesiap, suara ini benar-benar membuatnya hampir limbung. Suara yang amat ia rindukan.

“Halo, maaf ini siapa ya? Saya sedang ada acara. Maaf sekali jika tidak begitu mendengar suara anda.” Hafid tergagap, ia begitu salah tingkah bahkan hanya untuk mengangkat suara. Di seberang sana, suasana terdengar ramai.

“Sarah, ini ana. Hafid.” Akhirnya Hafid membuka suara usai menarik nafas sejenak.

“Oh, masya Allah. Sebentar Mas Hafid, Sarah cari tempat yang agak sepi dulu.” Hafid menghirup nafas sejenak sembari Sarah mencari tempat sepi, menenangkan hatinya.

“Bagaimana, Mas?” Sarah kembali bersuara, kali ini suasananya jauh lebih tenang dibanding tadi.

“Maaf kalo mengganggu anti sebelumnya. Ana cuma mau minta maaf, hari ini ana gak bisa datang ke acara anti. Ana sedang ada acara. Kamil, sahabat ana menikah hari ini juga.” Hafid menghembuskan nafas lega, akhirnya ia mampu berbicara dengan lancar. Namun, ada yang aneh. Lawan bicaranya di seberang sana mendadak terdiam, tak bersuara sama sekali.

“Halo, Sarah? anti masih disana?” terdengar suara helaan nafar berat dari seberang. Hafid terdiam, apakah Sarah baik-baik saja?

Aiwa, Akhi. Sarah fihuna.” (Iya, Sarah disini) Suara Sarah terdengar sedikit serak.

“Sarah, ana benar-benar minta maaf. Anti tau Kamil, kan? Dia sahabat ana dari kecil. Dulu ana juga sering cerita ke anti tentang dia, kan?” Hafid mencoba menjelaskan. Sesungguhnya ia juga tak tau mengapa harus menjelaskan sedetail itu. Bukankah kehadirannya saja barangkali tak terlalu penting untuk acara Sarah?

“Sarah sudah yakin Mas Hafid gak mungkin dateng. Lakin la ba’sa, Sarah bikhoir insya Allah.” (Tapi gakpapa, Sarah baik-baik aja, insya Allah) Lagi -lagi terdengar suara helaan nafas berat.

“Maksud anti?” Hafid merasa bahwa ia benar-benar tak memahami alur bicara Sarah.

Eh, bukan apa-apa, Mas. Tamu Sarah sudah banyak, Sarah tutup dulu.” Sarah terdengar menutup sambungan bahkan tanpa salam.

“Assalamualaikum, Sarah. semoga keluarga barumu terlingkupi oleh sakinah, mawaddah dan rohmah.” Hafid berdoa dalam lirih, Sarah tak lagi mendengarnya.

Hafid mengusap kasar wajahnya. Ada apa dengan Sarah? Mengapa suaranya tiba-tiba berubah? Mengapa ia memutuskan sambungan bahkan tanpa terlebih dahulu mengucap salam? Sungguh, banyak sekali kata mengapa yang menggantung di fikirannya siang ini.

*****

“Mbak, ini yakin kan gedung nikahannya Pak Kamil? Soalnya kan sekarang emang lagi musim nikahan. Gak lucu banget kalo kita salah pengantin.” Hilya melepas helmnya, namun masih enggan turun dari sepeda motor.

“Lah kan udah jelas itu tulisan ‘Kamil Saerozy dan Washilatul Madani’. Udah ayo masuk, panas banget ini.” Sari mengusap peluhnya. Udara kota Solo benar-benar tak bersahabat dengan kulitnya yang Salatiga tulen.

Kemarin, Hilya memutuskan untuk mengajak Sari mendatangi undangan Kamil. Sari yang merasa tak memiliki kegiatan pada musim liburannya akhirnya mengiyakan. Jadilah hari ini, mereka sedang berpanas-panas ria menghadapi cuaca ekstrem kota Solo hanya untuk lokasi mencari gedung pernikahan Kamil.

“Mbak, ntar aku ngomong apa ya kalo udah di dalem?” Hilya masih enggan turun, membuat Sari bersungut-sungut.

“Hil, plis deh. Dimana-mana kalo resepsi itu gak ada acara ngobrol-ngobrol lama ama mempelai. Kamu dateng, makan-makan sepuasnya, abis itu ke panggung pengantin salaman, udah. Syukur-syukur sih kalo kamu diajakin foto bareng. Udah sih ayo masuk, Solo panas banget tau. Kalo kamu gak mau turun, kita pulang aja deh.” Sari menggoyangkan sepeda motornya, ribut memaksa Hilya turun.

“Di dalem ntar pasti banyak dosen ya, Mbak? Aduh aku malu.”

“Hilya Althafunnisa. Plis deh, gak semua dosen hafal muka kamu. Kita masuk sekarang ato pulang?” Sari mendengus sebal.

“Iya-iya, Mbak. Eh, bentar deh, pashmina aku habis kena helm tetep kece kan? Gamis aku juga masih anggun kan?” Hilya mengintip kaca spion, membenahi jilbabnya yang sedikit kurang rapi.

“Allahuakbar, kamu masih cantik, Hil. Masih anggun. Bibir cerewet kamu itu yang udah gak anggun.” Sari menyeret cepat lengan Hilya, membuat Hilya manyun.

Mereka berdua akhirnya memasuki gedung, menikmati acara pernikahan khas orang-orang terpandang. Usai mencicipi beberapa masakan yang dihidangkan secara prasmanan, Hilya menarik lengan Sari.

“Mbak, udahan yuk.” Sari mengangguk setuju, perutnya telah penuh dengan berbagai menu makanan.

Hilya segera berdiri, menuntun Sari menuju panggung pengantin. Sepanjang acara, ia menunduk. Sungkan rasanya berada satu acara bersama para dosennya. Lagipula, untuk apa pula Kamil mengundangnya. Toh, Hilya bukan siapa-siapa. Tak mengenali siapa pun pula. Undangan ini benar-benar tanpa alasan, membuat fikirannya dipenuhi tanda tanya.

“Pelan kali, Hil.” Sari bersungut-sungut mengikuti langkah Hilya yang semakin cepat.

“Maaf, Mbak. Habisnya Hilya malu, ngerasa asing disini.” Hilya memamerkan rentetan giginya. Ia mengedarkan pandangan sejenak menatap para tamu lain. Matanya bertatapan dengan Fuad Ghani, pegawai akademik super dingin yang memberinya undangan warna coklat kemarin. Lelaki itu terlihat menatapnya dengan tatapan yang berbeda, membuat Hilya segera menundukkan pandangan.

“Gak mau foto-foto dulu ama Pak Kamil?” Sari menatap Hilya, mengernyitkan dahi melihat Hilya yang tiba-tiba menunduk.

“Kita teh siapa?” Hilya menatap Sari sejenak, kemudian segera melanjutkan langkahnya menuju panggung pengantin. Sari hanya pasrah mengekor di belakangnya.

“Eh, Hilya. Kamu datang juga akhirnya, sini foto sama saya dulu.” Hilya terkesiap, Kamil mengenalinya? Berarti dosennya itu memang sengaja mengundangnya. Tapi atas dasar apa?

“Iya, Pak. Barakallahulakuma ya, Pak. Enggak usah foto lah, itu temen-temennya Pak Kamil sudah pada antri yang mau ngajakin foto bareng.” Hilya menolak dengan sopan.

“Iya amin-amin ya mujibus sailin. Udah gakpapa ayo foto dulu, kamu udah jauh-jauh dari Salatiga juga.” Kamil masih keukuh mengajak Hilya berfoto.

“Ini yang namanya Hilya, Mas? Cantik banget sih. Ayo sini, Hil. Kita foto bareng dulu.” Seorang wanita cantik di samping Kamil berbicara. Ia tersenyum ramah memandang Hilya, membuat Hilya salah tingkah. Darimana pula istri dosennya ini tau tentang dirinya? Hilya mendadak bingung.

“Udah foto bareng dulu, Hil. Biar cepet juga, itu yang lain udah pada antri mau foto sama pengantin juga. Biar aku yang fotoin.” Sari sigap menuruni panggung, berpose layaknya fotografer handal.
Hilya akhirnya menurut. Ia mengambil posisi di samping Shila. Sepersekian detik sebelum fotografer membidikkan kameranya, Kamil justru bersuara, membuat sesi foto bersama tertunda sejenak.

“Sebentar. Hafid, sini dulu. Ente kan seharian belom foto bareng ane.”
Bola mata Hilya sempurna membulat. Hafid terlihat berjalan ke arahnya. Eh ralat, ke arah Kamil maksudnya. Di mata Hilya siang ini, Hafid terlihat berkali-kali lipat lebih tampan dibanding Hafid yang sering ia intip di ruang bawah tangga. Kemeja batik berwarna dongker yang ia kenakan semakin menambah pesonanya, membuat pipi Hilya memerah tanpa sadar.

Hilya masih saja menatap Hafid dengan penuh kagum. Mendadak ia merasa sedikit tersanjung, warna gamisnya senada dengan kemeja batik Hafid, membuat formasi foto terlihat indah. Hafid menatap Hilya sejenak, kemudian menganggukkan kepala tanda menyapa. Hilya yang tertangkap basah sedang menatap kagum segera menunduk.

Astagfirullah, Hil. Ghidzul bashor, Hil. Menundukkan pandangan. Apa-apaan kamu mandangin dosen kamu sendiri sampek segitunya.’

“Hilya, kalo foto jangan nunduk. Kameranya bukan cuma mau motret baju kamu yang senada sama Pak Hafid.” Suara Kamil yang disambut dengan tawa Shila membuat  Hilya mengangkat kepalanya. Malu-malu menatap kamera sembari menyunggingkan senyum.

“Barakallahulakuma ya, Bu. Semoga sakinah, maawaddah dan di penuhi rahmah.” Hilya menyalami Shila begitu sesi foto bersama usai.

“Aminn. Terimakasih sudah datang ya, Hil. Eh, jangan mentang-mentang saya menjadi istri dosen kamu terus kamu manggil saya Ibu. Saya belum setua itu, Hil. Panggil mbak saja.” Shila terkekeh pelan, membuat Hilya tersenyum. Kamil terlihat gemas menatap istrinya.

Hafid? Entahlah. Usai sesi foto bersama ia langsung menuruni panggung pengantin dengan langkah tergesa, mungkin ada urusan lain. Hilya tak begitu memperhatikannya.

“Iya, Mbak. Saya pamit kalo gitu. Assalamualaikum.” Hilya menyalami Shila untuk kedua kalinya, kemudian segera menuruni panggung. Sari hanya menganggukkan kepalanya ke arah kedua mempelai dari bawah panggung.

‘Waalaikumsalam.” Shila dan Kamil serempak menjawab salam sembari melempar senyuman pada Hilya.
Hilya dan Sari segera meninggalkan gedung, berjalan pelan menuju tempat parkir.

“Eh, Hil. Kebetulan banget ya tadi Pak Kamil ngajakin foto bareng kamu sama Pak Hafid. Untung banyak kamu.” Sari mencolek lengan Hilya, membuat Hilya tersipu.

“Kebetulan banget kan, Mbak. Eh ngomong-ngomong, Pak Hafid keliatan ganteng banget ya pake kemeja batik kayak tadi, Mbak.” Hilya lagi-lagi nyengir, memamerkan rentetan gigi putihnya.

“Orang kalo emang dari dasarnya ganteng di apa-apain juga ganteng, Hil. Eh tapi bentaran deh, aslinya aku masih bingung loh kenapa Pak Kamil ngundang kamu. Kamu tadi gak nanya?” Sari menyerahkan helm kepada Hilya.

“Yang masuk akal dikit sih, Mbak. Masak iya aku mau tanya-tanya gituan di panggung pengantin. Bodo amat lah masalah kenapa aku diundang. Intinya aku udah dateng, beres.” Hilya menjawab santai. Ia segera naik di boncengan motor Sari.

Hilya memang terlihat menjawab dengan santai. Namun jauh di lubuk hatinya, sesungguhnya pertanyaan serupa juga sedang mengusik perasaannya. Ada berpuluh-puluh tanda tanya yang tak kunjung menemukan titik jawab. Mengapa Kamil mengundangnya? Mengapa Shila mengenalinya? Mengapa senyuman ramah Shila terlihat mencurigakan di matanya? Dan yang terpenting, mengapa debar hatinya tak kunjung berhenti sejak ia menatap manik mata Hafid saat di panggung pengantin tadi?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro