Tatapan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hafid menatap lurus ke arah tangga kampus. Disana, seorang gadis dengan tatapan Sarah sedang tertawa bersama segerombolan kawannya. Seorang gadis yang pernah membuat nafasnya berhenti sejenak.

Hafid benar-benar tak mampu mengalihkan pandangannya. Tanpa sadar, bibirnya menyunggingkan seutas senyum. Ia menyukai sinar ceria yang memancar dari mata gadis itu. Seolah ia yang memegang kunci kebahagiaan kawan-kawannya.

“Fid, hello? Astagfirullah, liat apa sih?” Kamil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Hafid, membuat Hafid menoleh.

“Eh limadza, Mil?” (Kenapa?) Hafid menatap Kamil gugup.

“Ane udah disini dari tadi loh, ente nyadar gak?” Kamil menyahut dengan nada kesal.

Hafid tersenyum canggung, ia terlalu asyik mengamati gadis yang sedang merengut sebal di tangga tadi. Ia tak menyadari bahwa Kamil telah berdiri di sampingnya sejak lima menit yang lalu.

“Ujian akhir kali ini mandiri dosen apa ngikut akademik?” Kamil berucap malas. Pertanyaan itu telah ia ulang ketiga kalinya.

“Oh itu, biasalah, Mil. Ini kan semester ganjil, jadi ikut akademik. Kampus lagi gak sibuk ama penerimaan mahasiswa baru. Kenapa?”

“Ya berarti ane cuma tinggal bikin soal aja, gak usah ikut nungguin. Hari H akad makin deket, Fid. Ane harus banyak nyiap-nyiapin yang belom kelar. Ente bisa handle-in mata kuliah ane kan?” Kamil memelas.

“Handle-in gimana?” Hafid menyahut singkat, matanya masih terfokus pada layar laptop di hadapannya.

“Ente tau sendiri kan? Shila daya tahan tubuhnya lemah. Ane gak bisa pasrahin semua ke keluarga dia. Pasti ntar si Shila gak mau istirahat. Gak lucu banget kalo pas hari H pengantinnya malah sakit. Jadi, ane harus banyak bantu-bantu.” Kamil justru berpanjang lebar, membuat Hafid sedikit tersenyum.

“Iya, terus ane harus ngapain?” Hafid berucap gemas. Kamil terlalu berbelit-belit menurutnya.

“Semuanya kan udah diurusin Institut, tinggal ntar pas hari H ujian ente nengokin kelas ane bentar-bentar lah. Siapa tau ada mahasiswa yang kurang paham ama soalnya, ntar ente jelasin.” Jelas Kamil.

“Gitu aja? Oke, gampanglah.” Sahut Hafid.

“Ya udah, syukron. Ane arji’ awwalan, ntar jadwal ujiannya ane kirim lewat whatsapp.” Kamil bergegas kembali ke mejanya, mengambil ransel. Hafid hanya mengangkat kedua ibu jarinya pertanda ‘iya’.

“Assalamualaikum.” Kamil melangkahkan kakinya keluar ruangan dosen. Namun, belum sempurna kakinya meninggalkan ruangan itu, ia justru berbalik kembali menghampiri meja Hafid. Hafid yang baru saja menjawab salam dengan lirih mengernyitkan dahi, kenapa pula sahabatnya itu kembali?

“Tadi pas ane ngomong trus gak ente gubris, ente lagi liatin apaan sih? Kok senyum-senyum sendiri?” Hafid sempurna melotot mendengar pertanyaan Kamil. Ia gugup, ternyata Kamil memperhatikannya sedari tadi.

“Ane gak liatin apa-apa kok.” Hafid menjawab singkat.

“Liatin rombongan mahasiswa yang baru turun tadi ya? PBA 2013 itu, ane ngajar mereka kok. Kalo ente naksir salah satu dari mereka, ngomong aja. Ntar ane bantuin.” Kamil tertawa lebar.

Hafid terbelalak mendengar ucapan Kamil.

“Udah sana pulang. Ditungguin Shila di Solo tuh.” Kamil kembali tergelak sembari berjalan meninggalkan Hafid.

*****

Hafid melirik sebuah ruangan penuh kanvas dan cat di dalam rumahnya. Ia sedang tak berminat untuk mengotak-atik seperangkat alat lukis itu. Tangannya sedang tak berkompromi untuk melahirkan karya akhir-akhir ini. Fikirannya terlampau penuh.

Hafid menghembuskan nafas lelah. Ia memilih keluar rumah kemudian menghidupkan mesin sepeda motor untuk mencari suasana baru. Ia memutuskan  mengunjungi Radit, kawan kuliah S1 nya ketika di Yogyakarta. Dahulu, rumah Radit lah yang menjadi persinggahan pertama ketika ia baru saja berhijrah ke Salatiga. Kebetulan, rumah Radit juga tak begitu jauh dari rumahnya yang saat ini.

“Assalamualaikum, kulonuwun, permisi.” Hafid mengetuk pintu pelan.

“Waalaikumsalam. Eh, Mas Hafid. Sini masuk, lama gak main kesini.” Seorang wanita tua membukakan pintu dengan sesungging senyum.

“Radit, ada Mas Hafid ini.” Wanita tersebut menoleh sejenak ke dalam rumah, setengah berteriak memanggil anak lelakinya.

Kulo lenggah mriki mawon, Bu. Ibu pripun kabaripun? Sehat?” (Saya duduk sini saja Bu. Ibu gimana kabarnya? Sehat?) Hafid memilih duduk di kursi teras usai menyalami tangan wanita yang ia panggil ibu itu.

“Sehat alhamdulillah. Mas Hafid lama gak  ngadain kunjungan ziarah wali ya? Radit banyak  nganggurnya akhir-akhir ini. Ajakin ziarah wali sana, Mas. Ibu bosen lihat dia kalo gak ada kerjaan.” Wanita yang melahirkan Radit tersebut terkekeh, disusul oleh senyum Hafid.

“Iya bu, besok-besok bakal ngadain ziarah wali lagi. Kampus masih mau ujian akhir, jadi agak sibuk kalo akhir-akhir ini.” Hafid menjawab sopan.

“Woy, dosen jomblo.” Radit muncul dari dalam rumah sembari menepuk lengan Hafid. Ibu seketika tertawa.

“Ibu masuk dulu ya?” Hafid dan Radit hanya mengangguk bersamaan.

Hafid melempar undangan penikahan berwarna coklat ke pangkuan Radit begitu lelaki itu duduk di kursi sampingnya.

“Wah gak sopan, ngelangkahin aku. Dapet orang mana nih?” Radit setengah berteriak, membuat Hafid melotot.

“Baca dulu, nama siapa itu yang ada di undangan.” Hafid menjawab malas.

“Eh, kirain kamu.” Radit memamerkan rentetan giginya begitu melihat nama Kamil Saerozy yang terpampang di undangan.

“Kamil dapet orang mana?” Radit masih memfokuskan pandangan pada undangan yang ada di tangannya. Namun ternyata, kalimat tanya yang baru saja ia lontarkan tak menemukan jawaban.

Kamil yang merasa terabaikan mengangkat kepalanya, menatap Hafid. Kawan semasa kuliahnya itu justru sedang terpaku menatap rumah yang berada di depannya.

“Fid, kenal ama anak itu?” Suara Radit membuat Hafid menoleh.

“Eh, Astagfirullah. Apaan, Dit?” Hafid tergagap.

“Kenal ama anak itu?” Radit mengulang pertanyaannya sembari menggerakkan kepala ke arah seorang gadis yang baru saja keluar dari rumah di depannya.

“Gak, gak kenal. Kenapa?” Hafid menyahut cepat.

“Gakpapa, kirain kenal. Dari tadi kamu ngelihatin dia terus.” Radit tersenyum jail, membuat Hafid melengos sebal.

“Kamu kapan nyusulin Kamil? Kalo masalah karir aja ngalahin Kamil terus. Giliran masalah ginian kalah. Ah, gak seru.” Radit tertawa lebar.

“Aku kesini gak buat dengerin pertanyaan yang udah sering ada di Kampus, Dit. Lagian kamu kenapa gak tanya ke diri sendiri aja sih?” Hafid menyahut sinis, membuat Radit semakin melebarkan tawanya.

“Aku masih terlalu muda buat ngehidupin anak orang, Fid.” Radit menjawab santai, kali ini Hafid yang terbahak.

“Kayaknya aku juga harus jawab gitu kalo ada yang nanyain lagi.”

****

Barakallah udah nyampek part ke tujuh.
Cuz ke part selanjutnya
Jangan lupa.
Berharap pada manusia adalah sepahit-pahitnya harapan. ☺☺☺

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro