Tentang Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Dhila, jadi minta anter ke pondok gak sih?” Hilya memanyunkan bibir di ambang pintu kelas.

“Jadi, Hil. Bentaran deh, nih anak-anak ngeselin banget pada gak mau bayar potocopy-an.” Dhila sedikit berteriak dari bangkunya.

“Huft.” Hilya menghembuskan nafasnya kesal. Hari ini ia merasa sedikit sensitif, menunggu membuatnya kesal.

“Ayo udah, maaf ya lama.” Dhila mengangkat tangannya, memamerkan tanda ‘peace’ dari jemari telunjuk dan tengahnya. Hilya hanya mengangguk sembari mengekor di belakang Dhila.

“Kamu tungguin sini aja, aku ambil motor ke parkiran. Panas ini cuacanya, kasian kamu.” Dhila menoleh sejenak, lagi-lagi Hilya hanya mengangguk. Cuaca akhir-akhir ini memang sedikit lebih ekstrim.

Hilya duduk di sebuah bangku depan pintu keluar kampus. Ia mengedarkan pandangan, menikmati keindahan alam yang tersuguh di hadapannya. Sungguh, Hilya benar-benar bersyukur mengenal kota yang menjadi tempat menuntut ilmunya sekarang ini. Kota kecil yang sejuk, tenang dan selalu membuatnya nyaman.

Hilya mengalihkan pandangan ke arah parkiran kampus, mencoba mengamati sosok Dhila dari kejauhan. Sahabatnya itu tak kunjung datang. Hilya mengehela nafas bosan, mungkin Dhila sedang sibuk mencari motornya, bisa dipastikan ia lupa memarkirkan kendaraannya itu di sebelah mana. Dhila adalah pelupa yang ulung. Jangankan sepeda motor, ransel yang umumnya melekat di punggung setiap mahasiswa saja bisa tertinggal di perpustakan kampus. Lagi-lagi, Fadhila Laili adalah gadis paling cuek nan anti mainstream yang Hilya kenal.

Hilya terhenyak ketika matanya menangkap seorang lelaki tengah mengenakan helm di ujung tempat parkir. Ia tersenyum melihat sepeda motor besar yang menjadi latar belakang lelaki itu. Hilya jelas tau siapa lelaki itu meski dengan jarak pandang sejauh ini. Matahari sejatinya. Memandang seorang Ilham selalu menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Hilya. Tak peduli dengan jarak yang teramat jauh bagi mereka, tak peduli apakah Ilham juga memandangnya atau tidak. Baginya, menatap Ilham saja sudah cukup. Mendengar pendapat dan sanggahan yang keluar dari bibir lelaki itu juga telah menjadi candu baginya. Hilya telah merasa cukup dengan semua itu.

Hilya masih saja mengikuti laju kendaraan Ilham hingga tak sadar bahwa Ilham telah sempurna berada di hadapannya, menganggukkan kepala pertanda menyapa. Hilya merasa jantungnya tiba-tiba berhenti berdetak. Ia gugup setengah mati dan hanya balas mengangguk. Hilya merasa hatinya menghangat, bibirnya terus saja menyunggingkan seutas senyum bahkan ketika Ilham telah jauh melaju dari hadapannya. Hilya terlampau bahagia. Ia tak menyangka, seorang Ilham Abdullah, lelaki yang bahkan tak pernah memandang kaum hawa, menyapanya. Menyapanya di atas sepeda motor besar dari balik helm. Hilya benar-benar melayang, kejadian ini seperti adegan di dalam film-film romantis yang sering ia tonton. Mendadak rasa kesalnya karena menunggu Dhila yang tak kunjung datang menguap. Ia justru mensyukuri sifat pelupa yang dimiliki sahabatnya itu.

“Hil, yuk. Eh kok senyum-senyum sendiri? Kenapa?” Suara Dhila berhasil membuat Hilya tersadar dari lamunnya.

“Eh, enggak. Gakpapa. Ayo ke pondok kamu.” Hilya tergagap sembari memamerkan rentetan gigi putihnya.

Terimakasih telah mengambil sepeda motor terlalu lama, Dhil.’ Batinnya.

*****

“Ujian akhir kali ini, kalian takehome aja. Lakukan wawancara ke orang-orang yang punya usaha di sekitar tempat tinggal kalian. Jangan lupa gunakan kode etik ketika mewawancarai narasumber, ambil gambar juga. Setelah itu, hasil wawancara diketik rapi dengan format seperti makalah pada umumnya, kasih cover juga. Rabu terakhir UAS, sebelum liburan sudah harus ada di meja saya. Faham?” Seorang wanita muda yang berada di depan ruangan tersenyum usai menuturkan perintahnya, membuat seisi ruangan dengan semangat meneriakkan kata ‘Faham, Bu.’

Drrt... drrt... drrrt

Hilya menoleh sejenak ke arah laci, mengintip ponselnya yang bergetar. Ketika melihat notifikasi grup ‘Ustad kece lovers’ yang terpampang, Hilya kembali menyimpan ponselnya. Menurutnya, fokus pada penuturan dosen cantik nan baik yang berada di depan kelasnya lebih penting. Apalagi kali ini, dosen itu sedang membahas tentang tugas akhir mata kuliah.

Dosen cantik itu, Fitri Husniyah. Dosen muda yang selalu menjadi idola para mahasiswa. Dosen pengampu mata kuliah Kewirausahaan yang selalu memberi tugas berupa praktik lapangan. Menurutnya, teori hanya akan menguap sia-sia tanpa diseimbangkan dengan praktik. Empat bulan adalah rentan waktu yang lebih dari cukup untuk para mahasiswanya memahami seluruh teori kewirausahaan yang ia ampu. Maka ketika ujian akhir datang, dosen muda itu lebih memilih menekankan praktik kepada anak didiknya.

“Baiklah kalo sudah paham semua. Mata kuliah siang ini saya tutup. Karena sepertinya ini pertemuan terakhir kita di semester ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya. Mungkin selama satu semester ini saya banyak membuat kesalahan. Sering terlambat datang misalnya, atau dalam menjelaskan sesuatu saya kurang bisa memahamkan. Karena lagi-lagi, saya hanya manusia biasa.” Fitri kembali bersuara. Seperti biasa, senyum tulus tak pernah absen dari bibirnya.

“Sama-sama, Bu. Kita yang minta maaf.”

“Kita yang sering buat Bu Fitri jengkel. Kita minta maaf ya, Bu.”

“Jangan lupa sama PBA 2013 ya, Bu. Maafin kita-kita juga.”

Berbagai suara dengan nada sendu yang sama menggema dalam satu ruangan. Lagi-lagi Fitri tersenyum menatap satu-persatu mahasiswanya.

“Iya, sudah. Intinya kita sama-sama bebas dari dosa ya akhir semester ini. Sudah siang, Ibu tutup ya. Baca doa kafaratul majlis dulu sebelumnya.”

“Bismillahirahmanirahim. Subhanakallah huma wa bihamdika asyhadu an la ilaha illa anta astaghfiruka wa atuubu ilaih. Wa shallallahu ala sayyidina muhammad wa ala alihi wa shohbihi ajma’in. Shodaqollahuladzim.” Seisi kelas mulai melafalkan doa yang sama.

“Baiklah, terimakasih untuk satu semester ini. Wassalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” Fitri berucap salam, kemudian segera beranjak dari kursi untuk meninggalkan kelas. Beberapa mahasiswi terlihat berdiri untuk menyalami tangannya, tak terkeculi Hilya.

Hilya segera kembali ke bangkunya usai sang dosen cantik resmi meninggalkan kelas. Ia memeriksa ponselnya, membuka pesan yang beberapa menit lalu sempat ia abaikan. Ia tersenyum membaca isi pesan dari kawan-kawan grup ‘Ustad Kece Lovers’nya.

Ustad Kece Lovers:

Jeje (PAI): Ustad Kece pake kemeja dongker hari ini, bikin makin melek ih.

Hesti (PGMI): Iya, Je. Hari ini ada jadwal di kelas aku juga. Pake acara nyanyi-nyanyi pula tadi. Aduh, Adek meleleh, Bang. Denger suara emasnya. Haha.

Nisa (PBA): Kapan Nisa kebagian takdir di ajar Ustad Kece? Udah semester empat nih, masih belom kesampaian juga. Akademik sensi kali ama anak PBA angkatan 2013. Hiks.

Rasti (PAI): Kalo gak akademik, paling Ustad Kecenya yang sensi ama anak PBA, Nis. Bosen kali ngajar bahasa Arab sama anak Pendidikan Bahasa Arab. Takut kalah saing. Makanya sini ayo, pindah jurusan aja. Haha.

Jeje (PAI): Setuju, Ras. Haha.

Nisa (PBA): Kejam nian kalian. Hiks hiks. Eh, udah pada tau gosip baru tentang Ustad Kece?

Hesti (PGMI): Gosip apaaan, Teh Nisa?

Jeje (PAI): Yaps, gosip apa?

Nisa (PBA): Ternyata eh ternyata, Pak Hafid sering main di depan kostnya Hilya. Mas-mas yang tinggal disana temennya si Ustad Kece.

Jeje (PAI): Wah, Hilya kok gak kabar-kabar sih. Menang banyak dong si Hilya. Hil, ayo muncul sih. Bagi-bagi cerita atuh.

Sampai di kalimat ini, Hilya menghembuskan nafas panjang. Ia yang awalnya sedang tak berminat bergabung komentar di dalam grup segera mengetikkan pesan,

Hilya (PBA): Nisa ngarang ih. Kabar ini perlu diralat yah sahabat-sahabat seperjuangan. Pak Hafid main di depan kost aku cuma kemarin sore, bukan sering. Jadi tolong tenangkan fikiran kalian.

Hilya menggelengkan kepalanya pelan, kenapa pula Nisa harus membeberkan hal tak penting itu di dalam grup ini? Kali ini Hilya memilih untuk mengabaikan dan beralih membuka pesan dari grup lain yang ia nilai lebih penting.

Ormawa PBA:

Helen: Diajak kumpul ama pengawas Ormawa, Guys. Jam 2 yang gak ada kuliah bisa langsung ke lab. Bahasa ya.

Faris: Bahas apaan, Len?

Helen: Cuma evaluasi program taunan biasanya, Ris. Wajib hadir loh.

Iis: Kumpul ama Pak Hafid? Semangat ih, langsung berangkat ane. Haha.

Ilham: Sampek sore banget gak kira-kira?
Helen: Insya Allah enggak, Ham. Setengah empat, ato paling lamanya jam empat kelar.

Helen: Hilya, Arum, Dhila, Fahri kalian kosong jam segitu?

Dhila: Kosong, mbak. Insya Allah dateng.
Helen: Siip. Ajakin semua anggota Ormawa yang angkatan kamu, Dhil.

Hilya tersenyum membaca pesan yang ada dalam grup ini. Sejenak, hatinya kembali menghangat. Hari ini ia akan bertemu Ilham untuk kedua kalinya usai pertemuan mereka di tempat parkir pagi tadi. Hilya merasa semangatnya melonjak drastis.

“Niswa, aku ada kumpulan Ormawa. Kamu pulang duluan ya. La ba’sa, kan?” (Gakpapa) Hilya menoleh ke arah Niswa.

“Yah, keliatan jomblonya deh aku.” Niswa berpura-pura mengerucutkan bibirnya, membuat Hilya terkekeh.

“Kumpul ama Pak Hafid ya, Hil? Keliatan banget semangatnya.” Fahri dari bangku belakang bersuara. Hilya tertawa tanpa rasa malu, tak perlu menutup-nutupi apapun. Toh, seisi kelas telah faham jika ia dan Nisa adalah anggota Ustad Kece Lovers.

“Ciye yang kumpulan Ormawa. Bersinar banget sih wajahnya mau ketemu matahari sejati.” Nisa menowel pelan pipi Hilya, membuat sang empunya pipi melirik sinis dan segera menarik tangan Nisa.

“Ya Allah, Nisa. Kamu udah bikin heboh di grup Ustad Kece, plis sekarang jangan bikin heboh di kelas.” Hilya mencubit hidung Nisa gemas, membuatnya meringis.

“Hil, turun sekarang yuk. Mbak Helen udah ribut nih di grup. Bapak udah hadir dari tadi katanya.” Dhila menggamit lengan Hilya, menyeretnya pelan agar segera beranjak dari sisi Nisa yang sedang mengusap-usap hidung merahnya.

“Siap, yuk berangkat. Dahhh Nisa cantik. Nona Hilya duluan yah. Hei, Fahri Ramadhan ayo turun.” Hilya melambaikan tangannya pada Nisa yang dibalas dengan tatapan masam dan berteriak pada Fahri yang membuat lelaki itu segera beranjak dari bangkunya.

*****

“Semakin bertambahnya tahun, harusnya Ormawa itu semakin maju dan berkembang dengan baik. Apalagi ini Ormawa PBA, organisasi mahasiswa miliknya Pendidikan Bahasa Arab. Jurusan tertua kedua setelah Pendidikan Agama Islam di kampus ini. Program kerja dalam satu tahun ini harus lebih baik daripada program kerja yang sudah ada di tahun kemarin. Acara-acara yang dibuat harus lebih inovatif, lebih modern kekinian tapi tidak meninggalkan kesan bahasa Arab yang ada.” Hafid berpanjang lebar di depah sebuah white board.  Para anggota Ormawa PBA yang tadi ia suruh berkumpul terlihat mengangguk takdzim.

“Assalamualaikum warahmatullah. Afwan, ya Ustad. Ji’na mutaakhiron.” (Maaf, Ustad. Kami datang terlambat) Sebuah suara membuat Hafid menoleh. Sejenak ia terpaku, suara yang baru saja mampir di ruang dengarnya berasal dari gadis bermata Sarah. Mendadak ia merasa gugup ketika menyadari kehadiran gadis itu. Hafid segera menarik nafas panjang, menetralisir degup jantungnya yang entah mengapa tiba-tiba tak beraturan, kemudian kembali bersikap profesional.

La ba’sa, tafadzol ijlis.” (Tidak apa-apa, silahkan duduk)  Hafid kembali fokus pada papan putihnya ketika tiga orang  mahasiswa yang baru saja datang itu telah duduk.

“Arum gak diajak?” Helen setengah berbisik pada gadis yang baru saja mengambil posisi di sebelahnya.

“Dia ada jam kuliah, Mbak.” Gadis itu balas berbisik, Helen segera mengangguk, kembali memperhatikan depan.

“Baiklah kita lanjutkan. Tahun ini, kalian bisa membuat club dance arabic misalnya. Kita seolah modern dengan adanya club tari, namun lagu dan gerakan yang digunakan masih sesuai dengan syariat Islam. Pakai lagu-lagu arab, pakai gerakan-gerakan yang masih bisa di maklumi, pakai kostum-kostum Timur Tengah. Jadi kesannya tidak ketinggalan zaman, tapi juga masih ada bau-bau Arabnya. Jangan biarkan potensi-potensi seperti itu mati pada anak PBA. Kalian boleh lancar baca kitab kuning, kalian boleh hafal Al-Qur’an, kalian boleh hafal beratus-ratus Hadits, tapi jangan membunuh potensi lain yang kalian miliki.” Hafid lagi-lagi berpanjang lebar.

Gadis yang baru saja mengambil posisi duduk di sebelah Helen tersenyum mendengar penuturan Hafid. Di matanya, dosen muda nan kharismatik itu selalu tampil hebat dengan pemikiran-pemikiran barunya.

Hari itu terus berlanjut dengan pembahasan masa depan Ormawa PBA. Saling mengutarakan pendapat, beberapa sanggahan, dan diskusi yang ringan nan terasa hangat. Semuanya mengalir lancar, seolah tanpa hambatan.

Hanya saja, salah satu dari gadis yang datang terlambat dalam perkumpulan itu tak menyadari, bahwasannya sedari pertama kali ia mengambil posisi duduk, seseorang yang terlihat sebagai pembicara hebat di depan papan putih beberapa kali terlihat mencuri pandang ke arahnya, pun dengan seorang lelaki yang terduduk tenang dengan jarak lima kursi darinya.

*****

Drrt... drrtt... drrtt

Hafid sedang melipat sajadahnya usai menunaikan ibadah Maghrib ketka mendengar ponselnya bergetar.

Kamil Saerozy: Ini jadwal ujian akhir. Syukron udah mau bantuin ane. Ane doain cepet nyusul.

Hafid Amirul Kawakib: Ucapan terimakasih diterima, embel-embel doanya juga. Hehe.

Hafid segera meletakkan ponselnya usai mengetik balasan pesan. Ia mengambil mushaf di atas meja, kemudian mulai melantunkan kalam-kalam Allah dengan khidmat. Waktu singkat yang tercipta antara Maghrib dan Isya selalu ia gunakan sebaik mungkin untuk masalah akhirat. Ia sadar, hampir seluruh waktu pagi dan siang ia habiskan hanya untuk masalah yang lebih banyak berbau duniawi.

Maghrib kali ini, Qur’an surah Ar-Rahman menjadi lantunannya. Ia berharap Allah melimpahinya dengan segenap kasih sayang. Akhir-akhir ini ia sedang merasa lelah luar biasa. Jadwal mengajarnya yang padat ditambah fikirannya yang penuh sempurna membuatnya letih.

Hafid masih memegang mushafnya usai mengucapkan lafadz Shodaqallahul adzim. Ia terdiam, ingatannya bergerak mundur di siang hari, ketika ia sedang memimpin rapat Ormawa PBA.

“Divisi Humas siapa ketuanya?” Hafid mengedarkan pandangan. Tatapannya terhenti pada seorang gadis di kursi depan yang sedang mengangkat tangannya.

“Oh, Iis.  Anggota Humas siapa saja?”Hafid kembali bertanya.

“Ini, Pak. Ada Jamilah, Ferdi, Lala, Ghani sama Hilya.” Iis menjawab sembari menunjuk satu-persatu orang yang ia sebut namanya, membuat Hafid termenung sejenak.

“Namanya Hilya.” Hafid berbisik lirih, bisikan yang ia tujukan untuk dirinya sendiri.

Hafid sadar, meski gadis bernama Hilya itu memiliki mata dan tatapan yang sama persis dengan Sarah, namun gadis itu bukan Sarah. Ia juga tak mungkin memiliki perasaan yang sama pada gadis itu seperti perasaannya pada Sarah. Hafid bahkan tak mengenali mahasiswi itu. Seingatnya, ia belum pernah mengajar seseorang bernama Hilya sejauh ini. Namun ada sesuatu yang tak bisa ia pungkiri. Akhir-akhir ini, sedikit banyak ia memikirkan gadis itu. Gadis dengan tatapan mata Sarah, gadis yang selalu ceria sejauh pengamatannya. Gadis yang kebetulan sekali adalah salah satu mahasiswi di tempatnya mengajar.

Hafid mengusap wajahnya, ia sedang bimbang dan butuh teman berbagi cerita. Rasanya ia ingin menghubungi Kamil. Namun fikiran itu segera ia tepis, Kamil sedang sibuk mempersiapkan acara akbarnya yang tinggal beberapa minggu lagi itu. Ia tak mungkin mengganggu.

Belum berhenti berfikir, suara sholawat terdengar nyaring dari ponselnya. Hafid melirik, mendapati sang Ummi menghubunginya.

“Assalamualaikum, Ummi.” Hafid langsung mengucap salam setelah menggeser tanda hijau pada layar ponselnya.

“Waalaikumsalam. Gimana kabarnya, Nang?”

“Alhamdulillah baik, Ummi. Ummi sendiri gimana?” Hafid terdengar ceria, ia begitu rindu kepada sang ibu.

“Ummi juga baik, Alhamdulillah. Kamil nikahan kamu pulang ke Solo?”

“Ya Allah, ya jelas lah, Ummi. Hafid bisa digorok Kamil kalo sampek gak dateng di walimahnya dia. Hafid ama Kamil kan temen dari ABG. Kenapa Ummi?”

“Gakpapa, hanya rindu saja sama anak laki-laki Ummi. Kamu pulang bawa calon juga, Nang? Buat nyusulin Kamil?”Terdengar nada menggoda dari seberang.

“Hafid juga rindu, Ummi. Eh, Ummi keburu-buru pengen punya menantu?” Hafid menghela nafas sejenak, melepas bebannya usai mendengar celetukan ibunya yang entah sedang bercanda atau serius.

Ummi hanya bercanda. Ummi sudah punya menantu, hanya saja laki-laki. Rasanya Ummi pengen punya menantu perempuan, tapi Ummi gak keburu-buru kok. Hanya saja kalo memang sudah ada yang cocok dihati, bolehlah dibawa ke Solo, dikenalkan sama Ummi dan Abi.” Terdengar suara tawa halus dari balik ponsel.

“Sayangnya belum ada, Ummi.” Hafid menghembuskan nafasnya pelan.

“Ya sudah, gak usah keburu-buru nyusulin Kamil dulu. Menikah itu urusan seumur hidup, Nang. Kalo memang belum ada yang benar-benar cocok, jangan dipaksakan.”

“Iya, Ummi. Itu yang buat Hafid masih banyak mikir sejauh ini. Belum ada yang cocok.” Hafid merasa berdosa di tempatnya berpijak. Rasanya ia sedang membohongi wanita hebat yang telah melahirkannya itu.

Bagaimana bisa ia beralasan belum menemukan yang cocok? Sedang pada kenyataannya, ia memang sedang tidak mencoba mencari siapapun untuk ia perkenalkan pada Ibunya. Hatinya masih saja berhenti pada satu nama. Nama yang enggan membuatnya melangkah untuk mencari pijakan baru.

“Iya iya, Ummi paham. Ya sudah, Ummi tutup ya. Sya udah teriak-teriak ngajakin makan malam. Bungsu yang satu itu, semakin besar rasanya semakin manja saja.” Ada sedikit tawa yang tersisip.

“Iya Ummi, matiin aja gakpapa. Kasihan Sya, mungkin dia lapar.” Hafid ikut terkekeh membayangkan adik bungsunya. Gadis yang mulai beranjak dewasa itu memang terlihat semakin manja.

“Iya, Sya sebentar. Ummi masih telfon Abangmu ini.”

“Bang Akib telfon Umminya nanti lagi aja. Sya lapar.”

Hafid tersenyum mendengar suara riuh di balik ponselnya. Mendadak ia merindukan Solo dan isinya.

“Nang, kamu masih dengerin Ummi?”

“Eh, iya. Masih kok, Ummi.” Hafid sedikit tergagap mendengar suara Ibunya.

“Ummi tutup beneran ya. Jaga kesehatan di Kota orang, Nang. Dapet salam dari Abi, inget! Mengajar bukan hanya tentang bekerja untuk mendapatkan gaji. Mengajar lebih ke arah bekerja untuk mendapatkan barokah dan ilmu berlebih.”

“Iya, Ummi. Hafid akan selalu ingat itu. Ummi dan Abi juga jaga kesehatan. Jangan terlalu capek. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Hafid mengusap wajahnya kasar. Kebiasannya ketika sedang merasa bimbang, sedih atau bingung itu kembali muncul. Membahas tentang calon menantu yang ditanyakan ibunya membuat nama Sarah lagi-lagi muncul di permukaan otaknya. Hatinya masih saja bergetar setiap ia mengingat wajah gadis itu. Sarah adalah cinta pertamanya, bagaimana bisa ia melupakan gadis itu dengan mudah? Lagi-lagi kenangan tentang gadis cantik bedarah jawa itu melintas.

“Akhy, dalam kamus akhy pacaran itu ada gak sih?” Sarah bertanya lirih. Pandangannya lurus menatap aliran Nil yang terlihat menenangkan.

“Menurut ana, bukti cinta itu bukan dengan kata berpacaran, Ukhty. Sedalam apa kita mencintai seseorang, sejauh itu pula usaha kita untuk memantaskan diri. Sebesar apa rasa kita pada seseorang, sesering itu pula kita melantunkan doa pada sang Maha Pemilik Cinta, agar seseorang yang kita cintai selalu dijaga untuk kemudian dipersatukan dengan halal nantinya.” Hafid yang berdiri di sisi kiri Sarah menjawab panjang. Pandangan matanya sama lurus dengan gadis itu.

“Bagaimana jika sebelum mereka sempat disatukan oleh Allah, salah satu dari mereka justru lebih memilih orang lain? Hal itu tidak bisa dikatakan sebagai kesalahan, bukan? Salah siapa sendiri mereka tidak saling mengungkapkan lebih awal. Mungkin jika telah saling mengetahui, mereka bisa menjaga hati satu sama lain.” Sarah kembali bertanya, kali ini bibirnya mengukir sedikit senyum.

“Itu berarti mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Sang gadis memang bukan rusuk sang lelaki yang hilang. Percayalah Ukhty, Allah selalu memberi yang terbaik meski terkadang bukan hal yang kita harapkan. Jika akhirnya dua orang yang saling mencinta itu tidak disatukan olehNya, maka bisa jadi mereka memang tidak baik jika saling disatukan.” Hafid kembali berpanjang lebar, membuat Sarah berkali-kali memamerkan senyumnya.

“Eh, kenapa tiba-tiba bertanya masalah ini?” Hafid yang baru saja menyadari arah pembahasan mereka menoleh sejenak, kemudian kembali meluruskan pandangan pada aliran sungai Nil.

“La ba’sa, Sarah hanya bertanya saja.” Sarah menundukkan kepala, ia menyadari wajahnya yang pasti telah memerah.

Hafid menghembuskan nafas pelan. Mengenang Sarah selalu membuat dadanya terasa sesak oleh rindu. Batinnya menerawang, apakah ia dan Sarah hanya akan menjadi seperti pembicaraan mereka di tepian Sungai Nil tiga setengah tahun yang lalu? Saling mencinta namun tak berhak bersama? Hafid tersenyum miris, bahkan apakah Sarah memiliki rasa yang sama dengannya atau tidak saja, ia tak tau.

Hafid segera menghentikan lamunnya ketika kumandang adzan Isya memanggil. Lagi-lagi, biarkan sang Maha Pemilik Cinta saja yang menyelesaikan masalah hatinya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro