Dua: si Kerdil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kita berada pada titik buta, akan hubungan yang terbangun tanpa pondasi.

Laki-laki itu sedang berada di kantin fakultas bersama segerombolan anak senat. Kebetulan, kantin di FIP dekat dengan lokasi perpustakaan fakultas. Jadi, seorang Laksamana sering melihat Namita di sekitar sana, karena perempuan kutu buku itu bisa dipastikan akan mengunjungi perpustakaan setiap hari, selama ada jadwal kuliah tentu saja.

"Sa, dua minggu lagi akan banyak Ospek jurusan yang diadakan di luar kota. Dan, seperti biasa kita mendapat undangan untuk mengunjungi kegiatan Osjur."

Yanto mengangsurkan ponselnya yang berisi jadwal Osjur pada Laksa. Ospek jurusan memang biasanya diadakan pada awal semester genap sekaligus sebagai penutup seluruh rangkaian Ospek. Yanto adalah ketua pada komisi empat yang bertugas untuk menjalin kerjasama serta komunikasi dengan seluruh Ormawa kampus.

"Suruh Mega buat jadwal bergilir, semua barus kebagian mengunjungi Osjur."

Laksa menyesap kopi hitam tanpa gula di depannya setelah mengembalikan ponsel Yanto. Matanya berkelana, dan berpusat pada satu titik, di mana seseorang yang ia kenal sedang berjalan beriringan dengan Ardhan—anggota senat fakultas.

"Oke, nanti aku WA si Mega. Mau ambil yang mana?"

"Osjurnya BK sama psikologi, di Pacet," jawab Laksa langsung, tanpa pikir panjang.

Yanto mengangguk, dan mulai menghubungi Mega—sekretaris senat universitas—yang bisa juga dibilang sekretaris MPM (Majelis Permusyawaratan Mahasiswa), namun karena mayoritas mahasiswa di sini terlanjur mengenal MPM sebagai senat, mereka para anak MPM memang lebih sering disebut sebagai anggota senat kampus tingkat universitas, sedangkan anak DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) yang menjabat di tingkat fakultas disebut sebagai senat fakultas. Meski, secara undang-undang resmi Ormawa, nama resminya bukan anggota senat.

"Kuperhatikan, kamu itu selalu ambil bagian BK sama Psikologi, ada apa memang?"

Yanto bertanya, setelah selesai mengirim pesan WA pada Mega. Laksa tidak memberi jawaban, ia hanya mengangkat kedua bahunya, membiarkan Yanto berpikir sendiri. Laki-laki itu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, lalu mengirimkan pesan pada Namita.

"Belakangan ini, banyak anak Ormawa yang melihatmu berangkat dan pulang bersama si anak BK itu. Pacar barumu?"

"Halah bukan urusanmu, Yan."

Yanto berdecak, Laksa yang sangat cuek memang sulit dikorek informasi pribadinya, padahal Yanto sudah berjanji membantu salah satu adik tingkat yang naksir dengan Laksa, untuk mencari tahu kebenaran hubungan Laksa dengan si anak BK itu.

"Suruh Mega kirim jadwalnya setelah selesai," ucap Laksa, laki-laki itu lalu beranjak pergi dari kafetaria. Ia ada satu kelas hari ini.

Sebagai anggota senat, memang tidak sesibuk anggota BEM. Akan tetapi tetap saja menjadi mahasiswa merangkap anak organisasi bukan hal yang mudah. Laksa dituntut untuk bisa mendedikasikan dirinya menjadi mahasiswa yang bisa dijadikan role model oleh mahasiswa lainnya. Terlebih, rektor kerap menugaskannya bersama Ghazy—Presiden BEM U, untuk mengikuti berbagai acara yang diadakan baik secara resmi milik pemerintah maupun tidak resmi milik swasta. Beberapa kali, ia juga diundang untuk mengisi seminar kemahasiswaan atau menjadi perwakilan kampus untuk beberapa urusan.

***

Namita tiba di kosnya pada pukul sembilan malam. Seharian ini, ia menghabiskan waktu dengan Dena. Memangkas penat di kepala karena padatnya tugas kuliah dan hubungannya yang seakan jalan di tempat dengan Laksa.

Namun, napas Namita yang baru lega sesaat setelah mematikan ponselnya seharian dan lepas dari Laksa menjadi kembali sesak setelah mendapati mobil Laksa berada di depan indekosnya.

"Menolak permintaan Mama untuk tinggal di rumah, jadi ini kelakuanmu? Pulang malam? Seharian nggak bisa dihubungi?"

Perkataan Laksa sudah menjelaskan bahwa laki-laki itu sedang kesal padanya. Wajah Laksa tampak tidak sesegar tadi, apa mungkin Laksa menunggunya lama di depan indekosnya?

"Sejak kapan di sini?"

"Dua jam yang lalu. Setelah seharian menunggumu di kampus."

Laksa menjawab dengan sedikit ketus. Membuat Namita sedikit tidak enak hati pada laki-laki itu.

"Aku nggak minta Mas buat nunggu."

"Tadi, bukannya sudah kubilang kita pulang bareng? Atau kamu sudah menjadi pikun?"

Laksamana benar-benar terlihat kesal. Tampak dari matanya yang menahan emosi. Namita yang mengerti kekesalan Laksa sebenarnya mencoba untuk bersikap lebih santai. Api tidak bisa dilawan dengan api, ia harus diguyur oleh air.

"Mas Laksa sudah salat isya?"

Laksa menghela napasnya, lalu menggeleng.

"Salat dulu di musala depan, lalu pulang. Aku mau istirahat."

Laki-laki itu mengangguk singkat, Namita memang paling bisa mengalihkan kemarahannya.

"Tunggu," ucap Laksa, ia lalu membuka pintu mobilnya, mengambil satu buah kantong kresek berisi makanan.

"Nasi goreng buatmu. Aku khawatir kamu belum makan."

Laksa memberikan bungkus nasi itu pada Namita yang kemudian diterima oleh Namita. Laksamana yang manis, bukannya tidak membuat Namita baper, hanya saja perempuan itu menjaga perasaannya sebisa mungkin, menjaga agar tetap berada di zona aman, kalau saja Laksa memutuskan untuk mengakhiri pertunangan mereka suatu hari nanti.

"Besok temani aku mengerjakan tugas. Habis magrib kujemput. Besok Sabtu, libur, jadi tidak ada alasan kamu menolak."

"Iya. Aku masuk dulu, Mas Laksa jangan lupa salat."

Laksa mengangguk kaku sembari melihat Namita masuk ke dalam kosannya. Menyisakan dirinya yang termenung di depan pintu gerbang kos Namita.

Untuk saat ini, ia hanya menganggap Namita sebagai tanggung jawabnya. Tidak lebih dari itu, meski sudah lama mengenal Namita dan dijodohkan, namun mama memberinya pilihan, kalau saja setelah ia dan Namita lulus kuliah nanti mereka tidak menemukan kecocokan. Ia dan Namita bisa memutuskan pertunangan itu secara baik-baik.

Laksa menarik pintu mobilnya, laki-laki itu masuk ke dalam mobil, dan mulai mengemudikan mobilnya keluar kompleks indekos Namita.

***

Sementara di kamarnya, Namita bersandar pada kursi kayu yang ada di dalam kamar kos. Ia memandangi buku notes berwarna hitam yang berisi banyak tulisannya. Sekumpulan sajak dan puisi isengnya ada di sana.

Dari banyak membaca, Namita bisa merangkai beberapa kata yang cukup disimpan sendiri. Terkadang, ia posting di instagram untuk sekadar mengisi feed. Ia tidak ingin menjadi penulis, namun cukup menikmati kegiatannya.

Aku adalah kerdil
Yang memandangmu dari sudut kecil
Aku tak ubahnya kerikil
Yang sendiri dan menggigil 
Sedang kamu menjelma menjadi batu besar berpoles rupawan
Yang dikelilingi bunga-bunga liar
Yang tumbuh menawan
Begitu jauh semesta memisahkan
Perbedaan kita sulit dileburkan

Namita tersenyum masam usai menulis bait kalimat itu. Ia melihat pada cincin di tangannya, cincin polos yang selalu ia bilang cincin biasa saat orang bertanya tentang benda itu. Dan, ia adalah si kerdil yang hadir dalam hidup Laksamana Tirtoadji yang memiliki banyak hal di sekitarnya. Teman yang banyak, orang tua yang lengkap, terkenal di kalangan civitas akademika dan koneksi yang luas membuat perbedaan antara ia dan Laksamana terasa begitu jauh.

Setelah menutup buku itu. Namita membuka ponselnya, ia mengecek notifikasi instagram-nya yang sepi. Kebanyakan hanya berisi akun-akun bookstagrammer, penerbit buku, penulis buku dan akun-akun komunitas. Ia hanya mem-follow sedikit temannya di instagram.

Satu akun yang selalu ia amati setiap membuat aktivitas di instagram, adalah akun milik Laksamana. Dan, setiap melihat Laksa meng-update tentang kegiatannya yang segudang itu, membuat Namita semakin minder. Selama ini ia jarang mengikuti kegiatan kampus setelah serangkaian Ospek selesai, Namita memilih menghabiskan waktunya di dalam kamar indekos dengan setumpuk buku atau hang out dengan Dena. Ia memang tidak tertarik bergabung dengan organisasi, karena memang bukan dunianya. Tidak ada yang salah bukan dengan menjadi mahasiswa biasa, bagi Namita itu cukup membuatnya nyaman dan menyenangkan. Ia bisa mengerjakan tugas dengan bebas tanpa terhalang rapat atau kegiatan lainnya.

Namita menghela napasnya, lalu me-refresh halaman instagram. Ia mendapati postingan sebuah foto seorang perempuan berambut pendek—foto siluet yang diambil di pantai saat senja. Namita ingat benar tentang foto itu, karena ialah yang ada di dalam foto itu. Foto yang diambil Laksa saat berlibur bersama keluarga Laksa di Pantai Bajul Mati empat bulan lalu.

Maybe tomorrow, you'll say that you are mine.

Sebaris kalimat itu adalah caption yang ada di postingan milik Laksa, yang jujur semakin membuat Namita bingung dengan keadaan mereka.

"Bundaaaa, aku sedang bingung."

Ia mengeluh pada almarhumah ibunya yang telah berpulang. Seakan-akan ibunya bisa mendengar apa yang ia keluhkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro