Tiga: When I Met You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Barangkali semesta membuat konspirasi, menyatukan kita suatu hari nanti.

Akhir masa SMA

Namita mengamati layar laptop yang menunjukkan pengumuman kelulusannya di salah satu perguruan tinggi di Surabaya.

Ia senang, sekaligus sedih. Sebab, ingin berkuliah di tempat yang baik namun di satu sisi ia sulit meninggalkan ayahnya. Namita tinggal di kota kecil. Di sini, tidak ada kampus yang menyediakan jurusan yang diinginkan Namita, membuat cewek itu memutuskan mendaftar kuliah di Surabaya. Tapi, setiap kali ia merenung, saat itulah perasaan bimbang kembali menyeruak. Kakaknya perempuannya Naira telah menikah dan ikut suaminya. Tinggal ia seorang yang harus menemani ayahnya di sini.

Setelah menutup laptopnya, Namita berjalan ke teras depan. Rahman—ayahnya sedang menyesap teh sore ini. Hari ini ayahnya mendapat jatah libur dari rumah sakit tempat ayahnya bekerja sebagai Dokter spesialis ortopedi di salah satu rumah sakit daerah milik pemerintah.

"Yah ...."

Rahman menaruh cangkir tehnya di atas meja. Ia memandang putrinya yang saat ini duduk di atas kursi—tepat berada di sampingnya.

"Gimana pengumumannya? Lulus?"

"Alhamdulillah, Yah."

Memandang putrinya sambil tersenyum bangga, Rahman melihat segurat sedih yang menaungi wajah Namita.

"Ayah tidak apa-apa, Nam. Surabaya kan tidak jauh, kamu bisa pulang di hari Jumat."

Namita bersandar pada kursi, perempuan berbandana hitam itu menghela napasnya.

"Tapi Ayah nanti sendiri. Mbak Naira kan nggak di rumah, jauh lagi di Malang."

"Nam ...."

Pria berusia lima puluhan itu menatap putrinya penuh kasih, langit di sore hari yang semakin menua menuju ubun malam mulai menampakkan sisi perkasa yang dimilikinya. Alam memang luar biasa indah untuk sekadar dideskripsikan.

"Bundamu sebelum meninggal berpesan pada Ayah, kalau kamu dan Naira harus mendapat pendidikan yang baik begitu pula urusan jodoh. Bundamu itu bahkan sudah menyiapkan jodohmu sendiri."

Ayahnya sedikit terkekeh, Namita tahu di baliknya ada rindu luar biasa untuk bunda yang sudah meninggalkannya bertahun-tahun lalu. Ayahnya yang setia itu memilih bertahan sendirian tanpa menikah lagi, untuk sekadar mengisi hari tua.

"Yah, kalau Ayah mau nikah lagi, Namita ikhlas. Nanti aku ngomong sama Mbak Naira."

Rahman tertawa cukup keras, ia mengangkat cangkir tehnya yang sudah hampir kosong.

"Ada Mbok Sumi dan Kang Diman, nggak usah khawatir kalau Ayah kesepian. Dan, kalaupun ada pesta pernikahan lagi. Pesta itu bukan milik Ayah tapi milikmu."

Namita meringis, ayahnya masuk ke dalam rumah sambil membawa cangkir tehnya. Pesta pernikahannya? Yang pasti masih sangat lama, ia masih ingin meraih gelar S2 dan gelar profesi konselor sebelum menikah.

"Nami, masuk! Sudah mau magrib."

Namita tersenyum kecil, kakinya melangkah ke dalam rumah. Ia sudah yakin sekarang, karena seperti halnya ayah lainnya, ayahnya pun menginginkan yang terbaik untuk dirinya.

***
Masa Ospek

Ospek memang tidak menyeramkan. Hanya sedikit gertakan senior, yang Namita yakini itu adalah akting. Adegan menangis senior yang bertugas menjadi panitia pemandu juga tidak memengaruhi Namita. Namun, banyaknya tugas membuat esai, ditambah ia belum makan sejak kemarin malam menyebabkan tubuhnya lelah luar biasa. Kepalanya sejak tadi berputar-putar, keringat dingin muncul, menjadikan tubuhnya terasa menggigil.

Namita berjongkok di tengah lapangan bertepatan saat kegiatan tengah berlangsung. Cewek itu tak sanggup berdiri, tubuhnya terlalu lemah, bahkan untuk sekadar berteriak meminta pertolongan.

"Nami? Loalahhh kenapa kamu?"

Seorang teman kelompoknya yang bernama Inge menyentuh pundaknya.

"Rek, Rek ... Nami sakit."

Inge berteriak lagi, lalu beberapa teman Nami yang tadi sibuk dengan kegiatan mereka menghampiri Nami, bertepatan dengan ambruknya perempuan itu di atas tanah lapangan.

Beberapa panitia yang berada tak jauh dari lokasi pingsannya Namita mendatangi cewek itu, seorang panitia pengawas dengan sigap membopong tubuh Namita menuju pos kesehatan. Laki-laki itu tak terlihat terbebani dengan berat tubuh Namita yang memang kurus dan tak begitu tinggi.

"Buka sepatunya!"

Seorang panitia kesehatan segera menangani Nami, membuka sepatu Namita dan kancing teratas kemeja putihnya. Mereka mengoleskan minyak kayu putih di telapak tangan, sekitar pelipis dan terakhir membaui Nami dengan aroma minyak itu, dengan harapan Namita segera sadar.

Tak hanya Namita yang ada di ruangan itu, banyak mahasiswa lainnya yang juga mengalami kejadian seperti Namita.

"Sa, nggak balik?"

Laksa mendongak, matanya memandang sekilas Reni—teman satu angkatannya yang menjadi panitia kesehatan.

"Nunggu dia sadar."

Reni mengangguk singkat, meski ia juga tidak paham mengapa Laksamana harus menunggu perempuan itu.

Dua menit setelahnya, Namita mulai sadar. Perempuan itu mengerjap-ngerjapkan matanya, barangkali bisa mengurangi rasa pusingnya. Sejak tadi Namita tahu ia tidak lagi berada di lapangan karena seseorang telah membawanya ke tempat yang lebih teduh dari teriknya lapangan.

Pandangan matanya bertemu dengan tatapan Laksamana yang tajam namun meneduhkan di saat yang bersamaan. Sosok senior tampan yang menjadi idola baru para maba itu tersenyum padanya.

"Dia sudah sadar, aku balik Ren."

Saat hendak melangkah. Namita yang seakan baru sadar dengan keberadaan ransel hitamnya, menghentikan Laksamana.

"Tunggu Kak. Lihat tas saya nggak?"

Namita berkata pelan, suaranya tampak masih lemah. Laksamana menoleh ke arahnya.

"Ransel? Mungkin di lapangan."

Menggigit bibirnya cemas, Namita takut ranselnya terbengkalai dan tidak ada yang mengurus, karena semua tugas ospeknya ada di sana. Bukan takut karena tas itu menghilang, tetapi Namita tidak ingin mengulang lagi tugas Ospek yang malam tadi telah susah payah ia kerjakan.

"Bo—boleh minta tolong cariin ransel saya nggak, Kak?"

Laksamana mengangguk.  "Tasnya yang seperti apa?"

"Warna hitam—"

Laksamana menahan tawa, semua tas maba berwarna hitam. Dan perempuan ini memberitahu informasi yang tidak penting?

"Lalu?"

"Ada bordiran nama saya—Namita—di pojok kanan."

"Oke. Kamu tunggu saja di sini."

Namita mengangguk kaku. Melihat Laksamana keluar dari ruangan tempatnya berbaring.

"Laksamana memang baik, Dek. Tapi jangan baper ya, nanti kecewa," kata Reni sambil tersenyum.

Namita balas tersenyum, ia tak menyahuti ucapan Reni. Baginya, sosok seperti Laksamana terlalu tinggi untuk diraih, dan ia cukup sadar diri untuk tidak berada pada zona 'baper' dengan Laksa. Toh, setelah Ospek ini berakhir, belum tentu Namita akan bertemu lagi dengan Laksa. Kampus ini luas, terdiri dari beberapa fakultas dan banyak jurusan. Ia yang sudah bercita-cita menjadi mahasiswa kupu-kupu. Kuliah pulang-kuliah pulang, tidak mungkin berada pada zona yang sama dengan Laksamana, kan?

"Saya nggak berhasil menemukan tas kamu. Teman-teman kamu juga nggak ada yang tahu. Tapi, tenang saja panitia sudah mengumumkan kehilangan tas kamu."

Namita menghela napasnya pasrah. Ia mulai cemas, takut jika tas ranselnya tidak ditemukan, padahal semua tugas ada di sana. Ia hanya tidak ingin menjadi bulan-bulanan panitia komisi disiplin yang selalu mencari kesalahan peserta Ospek.

"Ren, kamu kasih minum itu adiknya. Aku harus balik ke lapangan."

"Oke, Sa."

***

Insiden hilangnya tas ransel milik Namita belum juga ditemukan sampai Ospek berakhir selepas magrib. Laksamana menghela napasnya berat, ia bersandar di batang pohon sambil memperhatikan ribuan maba yang membubarkan diri. Ospek Universitas berakhir hari ini, besok mereka akan dikembalikan ke fakultas masing-masing.

"Sa, ini bukan tasnya?"

Yanto membawa sebuah tas ransel hitam yang memiliki bordiran nama Namita di sisi kanan.

"Ketemu di mana?"

"Sengaja disembunyikan panitia karena nggak ada yang ngurus tadi."

"Cok!"

Laksamana menendang batu kerikil yang ada di dekat kakinya. Selanjutnya ia mengumpat. Demi Tuhan! Ia hanya mengumpat ketika sedang kesal.

"Sabar, Sa. Kan emang begitu isinya Ospek."

"Ngerjain Maba sampai sebegininya itu keterlaluan, To. Aku harus evaluasi mereka nanti, bisa masuk kategori perpeloncoan nanti."

Yanto mengangguk membenarkan. Sebagai senat kampus—yang berkedudukan di legislatif, menindaklanjuti pelanggaran Undang-Undang Ormawa bisa dievaluasi.

"Sabar ... kamu bisa berkuasa sepenuhnya kalau sudah jadi ketua umum MPM nanti."

Laksamana mendengkus, ia membawa tas milik Namita dan meninggalkan Yanto sendiri.

Memasuki ruang kesehatan tempat Namita tadi berbaring, Laksamana mencari keberadaan perempuan itu.

"Maba tadi gimana?"

Reni mengerutkan dahinya, setelahnya ia terkekeh geli.

"Dia tadi balik ke lapangan, terus pingsan lagi, ya udah, aku suruh tiduran aja di sini. Udah mau pulang tuh, tapi nggak ada yang nganter."

Reni memberi penjelasan sambil mengarahkan pandangannya pada Namita yang bersiap untuk pulang.

"Dia anak kos, jadi nggak ada yang jemput. Panitia lainnya masih sibuk, habis ini kan ada evaluasi, aku juga nggak ada motor, tadi nebeng Mas Tohir."

"Aku yang anter."

"Serius? Terus evaluasinya?"

"Nanti balik lagi."

Reni mengangguk. Ia menghampiri Namita yang kesusahan untuk bangun, memapah Namita yang masih tampak pucat.

"Dek Nam, diantar Kak Laksa ya?"

"Bisa pulang sendiri kok, Kak."

"Nggak papa, diantar aja, ya? Kamu masih lemes, loh."

Namita menarik napasnya, kalau ia membantah pasti nanti tetap dipaksa. Lagipula dia juga merasa masih lemas.

"Ayo!" ajak Laksa.

Dibantu Reni, Namita berjalan menuju tempat Laksa parkir. Kebetulan sekali Laksa membawa mobil.

"Makasih ya, Kak Reni. Maaf, aku ngerepotin."

"Nggak papa, santai aja. Hati-hati, ya."

Namita mengangguk, Laksa mulai menjalankan mobilnya meninggalkan area kampus.

"Di gang depan situ nanti belok ya, Emmm ... Ka—"

"Laksamana, panggil Laksa atau Sam."

Namita tersenyum kaku. "Ma—Mas Laksa."

Ia berucap kaku. Para Maba diwajibkan memanggil Kak saat sedang Ospek. Di luar itu memang bebas. Sebagai orang Jawa yang sudah terbiasa memanggil Mas, panggilan itu dirasa Namita lebih familiar baginya.

Ponsel Laksa berbunyi, telepon masuk dari mamanya. Laki-laki itu mengangkat telepon mamanya, sambil memelankan kemudi.

"Halo, Ma?"
.......
"Di rumah Tante Rinta?"
.....
"Aku lagi nganterin maba pulang. Mama tunggu bentar."
....

Laksa tampak menghela napasnya, mamanya yang super memaksa itu meminta untuk dijemput sekarang. Untungnya kompleks rumah tantenya ada di depan kompleks perkampungan tempat indekos Namita.

"Saya jemput Mama saya sebentar, ya?"

Namita mengguk. Toh, dia juga tidak ada hal untuk menolak.

Mereka sampai di sebuah rumah besar yang berada di dalam kompleks itu, perumahan yang memang dikenal berisi kaum borjuis di dalamnya.

"Duh Saaa, Mama ngantuk banget," ucap wanita paruh baya yang Namita yakini mama Laksa.

"Maaa ... ada junior Laksa."

Laksa memprotes tindakan mamanya yang langsung masuk dan bersandar di jok tengah mobil. Shinta menatap sosok di depan Laksa. Sedikit terkejut karena dipikirnya Laksamana sudah mengantarkan juniornya pulang terlebih dahulu.

"Namanya siapa, Dek?"

Namita menoleh ke belakang. Ia menyalami tangan wanita itu dengan canggung.

"Namita, Tante."

Shinta tampak terkejut mendengar Namita menyebutkan namanya. Wajah Namita juga merasa familiar.

"Kamu—kamu anaknya Mas Rahman sama Mbak Niana?"

Bola mata Namita melebar ketika wanita itu menyebutkan nama kedua orang tuanya.

"Kamu nggak ingat sama Tante Shinta? "

Namita menggali ingatannya tentang sosok itu. Sampai kenangan jangka panjangnya menemukan sebuah wajah wanita yang dulu sering bertemu dengan mamanya dan jalan di alun-alun bersamanya.

"Tante Shinta?"

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum semringah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro