Empat: Perempuan Keras Kepala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Laksamana sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen di kampusnya. Laki-laki itu sudah menghabiskan satu setengah cangkir kopi hitam yang dibuatkan oleh Namita.

Mungkin sedikit membuat Laksa kesal saat Namita memutuskan memilih taman belakang di rumah Laksa, sebagai tempat mengerjakan tugas laki-laki itu. Padahal, Laksa tadi sudah memaksanya untuk pergi ke salah satu tempat yang biasa ia jadikan tempat nongkrong, di kedai kopi misalnya. Namun, tunangannya itu menolak mentah-mentah ide yang ditawarkan oleh Laksamana.

"Mas, jangan kebanyakan minum kopi. Nanti perut kamu sakit."

Laksamana menoleh sekilas, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas larangan Namita. Kedua tangannya masih sibuk mengetik kalimat demi kalimat yang ia ambil dari buku referensi yang dirangkumkan oleh Namita tadi. Namita memang sering membantunya mengerjakan tugas, karena hobi membaca, Namita suka membaca buku-buku milik Laksamana, jadilah laki-laki itu sering meminta Namita merangkumkan buku untuk membuat makalah atau tugas lainnya.

"Mas, belum makan kan? Makan dulu gih, udah jam delapan."

Lagi, Namita mengeluarkan suaranya. Laksa menghentikan pekerjaannya, ia melihat Namita dengan kesal.

"Kalau tadi kamu mau kuajak keluar, aku pasti sudah makan," kata laki-laki itu setengah menyindir.

Namita memejamkan matanya. Ia tidak akan menunjukkan wajah kesalnya di depan Laksamana. Namita sudah menekankan berkali-kali, bahwa menghadapi seorang Laksa itu butuh ketenangan. Dan, ia selalu mempunyai trik jitu untuk itu.

"Mau dibuatin apa?"

Namita memberi tawaran. Ia sudah hafal tentang Laksa, kalau sedang merajuk, laki-laki itu bisa dirayu dengan berbagai hal, salah satunya, makanan.

"Nggak perlu."

Meski menolak, Namita tahu Laksa menahan rasa lapar. Bagaimana tidak, mengerjakan tugas itu butuh energi, dan Laksa sejak tadi hanya minum kopi. Bisa-bisa perut Laksa sakit jika diteruskan.

"Aku buatin nasi goreng apa ayam penyet?" tawar Namita, mengabaikan ucapan Laksa.

Laksa menatap perempuan itu sekilas. "Ayam penyet,"  katanya membuat Namita tersenyum kecil.

Selalu seperti itu, laki-laki itu akan menolak pada awalnya, namun menerima setelah ditawari kembali. Laksamana tidak akan pernah menolak masakan milik Namita.

"Ya udah, aku buatin dulu."

Namita berdiri dari duduknya, ia masuk ke dalam dapur di rumah Laksa. Kedua orang tua Laksa sedang menghadiri acara kondangan salah satu anak pejabat daerah, jadi Shinta—mama Laksa belum sempat memasak untuk anak laki-lakinya itu.

"Eh, Nami? Di sini?"

Seorang perempuan menyapa Namita, perempuan yang mengenakan pakaian kantoran berwarna biru muda itu adalah kakak kandung Laksa. Manda.

"Eh, Mbak Manda udah pulang?"

Nami tersenyum hangat pada Manda. Manda selalu membuatnya ingat dengan kakak perempuannya, Naira. Rasanya, sudah lama sekali Namita tidak bertemu dengan Naira, mungkin nanti di akhir pekan ia akan ke Malang mengunjungi kakak perempuannya itu.

"Iya nih, Dek. Tapi mau pergi lagi, Cuma mau ganti baju aja."

"Oh, nggak makan dulu Mbak? Sekalian aku mau masakin Mas Laksa. Mungkin Mbak Manda mau makan juga?"

Manda menggeleng. "Aku mau keluar sama Julian, nemenin dia nyari makan juga."

Julian adalah calon suami Manda. Namita pernah bertemu laki-laki itu beberapa kali, saat makan malam bersama di rumah Laksamana.

"Ya udah ya, Dek. Aku ke kamar dulu. Kamu kalau disuruh Laksa ini itu jangan mau, dia memang rewel begitu."

Manda tertawa, lalu meninggalkan Namita. Kalau dipikir-pikir, ucapan Manda memang ada benarnya, Laksa memang terkadang bisa menjadi rewel dan perfectionist.

***

Bau ayam penyet membuat gemuruh kelaparan di perut Laksa semakin menjadi, setelah satu jam menunggu, akhirnya Namita datang membawa dua piring ayam penyet yang baru saja dimasak.

Laksa meletakkan laptopnya, matanya berbinar melihat Namita datang dengan makanan kesukaannya.

"Ini, Mas makan dulu."

Namita menyodorkan satu piring ayam penyet pada Laksa, yang segera diambil oleh laki-laki itu. Setelah mencuci tangan, Laksamana segera memakan makanan miliknya dengan lahap.

"Makannya jangan kayak anak kecil Mas, masa doa aja lupa?"

Laksa berhenti mengunyah. Ia menatap Namita dengan wajah datar.

"Sudah berdoa di dalam hati," katanya singkat, lalu melanjutkan makannya. Ayam penyet buatan Namita memang enak, apalagi sambalnya. Laksamana sudah jatuh cinta dengan sambal yang dibuat Namita sejak Namita memasakannya pertama kali dulu.

"Akhir pekan nanti, aku mau ke Malang ya, Mas. Mau ketemu Mbak Naira, udah lama nggak ke sana."

Namita membuka suara, saat ia melihat nasi di piring Laksa hampir habis.

"Kenapa harus mendadak?"

"Ya, gimana ya. Aku udah rencana lama sih, cuma ditunda terus."

Laksa berpikir sejenak. Akhir pekan nanti ia berencana mengajak Namita untuk mengunjungi Ospek jurusannya, kalau perempuan itu ke Malang. Ah, mungkin bisa diatur, ia bisa menjemput Namita dulu di Malang, dari Pacet lewat Cangar sepertinya tidak terlalu ribet.

"Oke. Naik kereta? Atau mau aku antar?"

"Kereta aja. Deket juga."

Laksamana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum licik. Kalau sudah dijemput memang Namita bisa menolak?

"Nginep sini ya. Sepertinya aku harus begadang, nggak mungkin kan aku biarin kamu pulang sendiri."

"Ojek online banyak kok, Mas."

Laksa menghela napasnya. Meminta pada Namita untuk menuruti semua ucapannya itu memang sulit luar biasa, Namita adalah si keras kepala yang memiliki prinsip luar biasa hebatnya.

"Aku tau. Tapi ini sudah malam, tolong ya, Namita."

"Nggak enak sama Tante, Mas."   

"Mama malah seneng kali."

Mengangkat bahunya, Namita memilih memberesi sisa makan malam mereka. Mengabaikan permintaan Laksamana, mungkin nanti mereka bisa berdiskusi lagi.

***

Semalam, Namita jadi menginap di rumah Laksa, tentu atas paksaan laki-laki itu dan Shinta. Namita si keras kepala yang berprinsip kalah dalam bernegosiasi semalam. Ia akui, Laksa adalah negosiator yang bagus, tidak salah jika ia menjabat ketua senat di kampus mereka.

Pagi yang sedikit canggung bagi Namita, ia sedang membantu Tante Shinta membuat sarapan di dapur.

"Tante seneng kalau kamu bantu masak di sini. Manda mana mau ke dapur, prinsipnya dia, perempuan berpendidikan ya fokus di karier aja. Dapur mah urusan ibu rumahan kayak Tante gini."

Shinta memasukkan garam ke dalam sayur bayam yang sedang diaduk oleh Namita.

"Mbak Manda nggak salah kok, Tan. Kan tujuan pendidikan kan memang untuk berkarier."

Shinta menggeleng. "Nak, seorang perempuan itu pendidik pertama bagi anak-anaknya. Jadi, mau ibu rumah tangga atau wanita karier, pendidikan itu penting. Ibu yang berpendidikan dan tidak akan beda dalam mendidik anak-anaknya. Dan memasak, itu sudah harus jadi kewajiban. Apalagi perempuan Jawa, masak itu hukumnya fardu bagi perempuan Jawa."

Shinta tersenyum membuat Namita meringis. Shinta sepertinya kurang menyukai perempuan yang berkarier dan mengabaikan keluarga, padahal Manda—anaknya sendiri juga berkarier sebagai pekerja kantoran.

"Kamu nanti mau kerja apa setelah lulus?"

"Belum tahu, Tan. Guru mungkin, almarhumah Bunda dulu pernah bilang sama Nami, pekerjaan guru itu pekerjaan yang tidak begitu terikat, jadi bisa lebih meluangkan waktu buat keluarga."

"Bundamu memang benar. Tapi, tetap saja bekerja itu pasti terikat. Tante berharap setelah kalian menikah nanti, kamu bisa lebih fokus dengan keluarga, pasti nanti Laksa sibuk dengan pekerjaannya, Tante nggak mau keluarga kalian terlantar kalau sama-sama sibuk."

Nami menelan ludahnya susah payah. Memang mereka akan menikah? Memang ia dan Laksa sudah pasti bersama? Namita tidak pernah membayangkan itu, karena ia masih berpikir bahwa Laksa terlalu tinggi untuknya yang biasa-biasa saja. Dan, prinsip ibu Laksa juga sedikit bertentangan dengannya, Namita takut nanti tidak cocok dan menjadi hal besar untuknya ke depan. Menikah itu bukan hanya tentang dua hati bukan? Tapi juga tentang keluarga, karena ia menganut budaya timur bukan budaya barat yang memiliki kebebasan lebih luas.

"Ini, kamu taruh di meja makan."

"Nami tata sekalian piringnya ya, Tan?"

"Boleh."

Shinta tersenyum, ia mendoakan agar Namita benar-benar menjadi istri Laksa kelak. Ia sudah terlanjur menyukai perempuan itu, tipe-tipe perempuan yang mau menghargai orang lain, sekalipun tidak setuju dengan pendapat orang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro