Bab 36: Tanpa Dirinya 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Holaa Harmony~

Met hari Senin lagii! Akhirnya bisa bawain chapter baru yess

Happy ngabuburead and enjoy reading 🥳💕

.

.

Bab 36: Tanpa Dirinya 2

Kalau boleh jujur, Sanuar berdebar-debar ketika tahu bahwa Dian meminta izin kepada orang tua Betari agar membiarkan Sanuar menginap di kediaman mereka. Well, yeah, memangnya siapa yang tidak akan berdebar setengah mampus kalau tahu bisa berada satu atap dengan si crush dalam waktu lebih dari sepuluh hari?

Namun, itu hanya khayalan semata. Tentu saja. Sanuar Alphandi masih cukup waras. Selain dari sudut pandang agama itu tidak diperbolehkan, dari sudut pandang keadaan dirinya dan si Cadel itu tidak memungkinkan. Sudah lebih dari tujuh hari keduanya tidak saling bicara bahkan lewat pesan singkat sekali pun. Sanuar paham jika Cadel-nya itu marah, karena memang sudah sepantasnya Sanuar dimarahi. Berlagak jadi si paling paham soal Betari, nyatanya malah jadi si paling tidak tahu apa-apa kalau itu soal menahan untuk tidak mengakui perasaannya. 

"Ya udah, lo hati-hati ya di rumah. Kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue atau Rama. Jangan ke Wisnu, di lagi ada di pedalaman buat penelitian. Bakal susah signal dia. Tiap pagi, siang, sama malem, kirim pap menu makanan lo. Terus---"

"Iya, iya! Bawel ah! Udah sana berangkat!" Sanuar mendorong pelan tubuh Dian agar langsung menaiki mobil. 

"Ih, Sanuar! Gue belom beres ngomong ya! Denger---"

"Iya, Mbak. Iya ... nggak usah terlalu khawatir kenapa, sih? Gue bukan Sanuar yang umurnya 10 tahun yang dulu nggak berani buat sekadar gembok pintu gerbang. Ini gue ... Sanuar Alphandi, tahun ini umur gue 20 tahun, Mbak. Nggak perlu khawatir, oke? Gue bahkan tau cara goreng telor dadar dan mata sapi. Gue juga bisa bikin kopi sendiri. Tenang, 2 minggu lagi, kita ketemu, gue masih utuh, kok." Sebenarnya, Sanuar agak sebal juga dengan kelakuan si kakak pertama yang bersikap terlampau overprotective. Namun  di sisi lain, Sanuar juga paham kalau kakaknya begini karena terbiasa menggantikan peran sang ibu di keluarga mereka.

"Jangan ngomong gitu," suara Dian melemah. Wanita itu menyadari bahwa ia mungkin bersikap berlebihan untuk Sanuar yang sudah bisa dikategorikan dewasa dalam segi usia. "Pokoknya, kalo ada apa-apa, telepon gue. Ke rumah Betari aja kalo emang nggak bisa sendirian. Atau, ajak Abiyyu nginep. Makan yang bener! Jangan cuma ngemilin gorengan! Awas aja kalo sampe gue denger kabar kalo lo kena tipes!"

Sanuar terbahak. Mengangguk acuh-tak acuh seraya meberikan isyarat pada Rama untuk segera menjalankan mobil. Bukan apa, Sanuar jadi terbawa suasana saat melihat Dian menumpukan dagunya pada pintu mobil yang kacanya diturunkan total. 

Pada akhirnya, Dian tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk membuat Sanuar mau menginap di rumah Betari. Memang agak gila juga idenya itu. Jelas Sanuar akan menolak, karena Dian paham betul lelaki itu tidak pernah ingin melewati batas kalau itu tentang Betari.

Dian hanya tidak tahu kalau Sanuar sudah melewati batas itu.

***

Betari kembali menghitung hari. Sudah lewat dari seminggu. Ini waktu terlama untuknya dan Sanuar tidak saling bertegur sapa. Kalau ditanya bagaimana rasanya? Hampa akan menjadi jawaban paling sempurna untuk itu. 

Tadi pagi-pagi sekali, Dian menghubunginya. Awalnya sekadar menanyakan kabar. Namun setelah itu, Dian menyampaikan kekhawatirannya akan keadaan Sanuar yang akan ditinggal sendirian selama dua minggu ke depan. Bukan apa, Dian dan Betari sama-sama tahu kalau Sanuar itu akan menjadi si paling malas makan kalau di rumah tidak ada makanan. Lelaki itu mendadak akan menjadi seperti koala yang betah sekali berada di kasurnya. Sanuar akan memilih untuk tidak makan dari pada harus bersusah payah pergi ke warung makan terdekat atau sekadar scrolling up and down menu pada layanan pesan antar online. Definisi pemalas yang sebenarnya. 

Lagi-lagi Betari menghela napas. Ingin menghubungi Kak Alpha-nya, tetapi gengsinya mendominasi. Bisikan gaib itu selalu mengatakan 'Cewek nggak boleh ngehubungin duluan'. Padahal biasanya juga ia sering sekali menghubungi Kak Alpha-nya tanpa ragu, bahakn sekadar chat random tanpa ragu dikirimkan untuk meramaikan notifikasi ponsel Kak Alpha-nya.

"Hubungin aja duluan, Beta. Dari pada kamu kepikiran terus," Jamal berujar santai sambil menyeruput kopi hangatnya. Kedua alisnya tampak hampir bersentuhan karena merasakan kepuasan pada sesapan kopinya.

"Emang nggak apa-apa?" Betari mengerjap cepat. 

"Ya ... emang kenapa?"

Betari merengut. Perempuan itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kayu seraya kembali menghela napas. Kak Jamal nyatanya tidak cukup membantu. Entah karena saran Jamal yang memang tidak tepat, atau memang Betari yang hanya ingin mendengar dan mendapatkan dukungan akan segala asumsi yang ia buat sendiri. 

Keduanya tengah berada di kafe dekat kampus. Seminggu belakangan keduanya intens bertemu. Biasanya Jamal akan mengajak Betari keluar dengan menjadikan salah satu mata kuliah yang Betari ampu sebagai alasan. Lelaki itu akan berujar, "Waktu itu kakak dapet A, sih, di matkul itu. Mau kakak bantuin?" Lalu tanpa ragu mengajak Betari bertemu di tempat-tempat cozy. Memonopoli Betari untuk beberapa jam ke depan. Namun, belakangan ini, Jamal tidak pernah menggunakan alasan itu lagi. Lelaki itu menjadi lebih lugas dan terang-terangan dengan mengatakan, "Jalan yuk? Ada kafe baru di deket kampus. Kakak jemput, ya?"

Betari yang memang sedang merasa kosong, tanpa ragu menerima ajakan kakak seniornya itu. Toh, ia paham kalau Kak Jamal tidak akan melewati batas. 

"Ah, kakak mah nggak ngerti sih! Nggak mau ah. Kayaknya itu bukan hal yang bener. Maksudku yaaaa ... kayaknya nggak pantes kalo cewek duluan yang ngehubungin." 

Jamal terkekeh. "Remember, there's a phrase says 'Ladies First'."

Betari jadi semakin merengut. Perempuan itu jelas paham frasa sederhana yang sering diucapkan teman-temannya saat bercanda. Agak kesal juga sebenarnya. Kalau sudah begini Betari jadi malas menanggapi. Kenapa juga frasa ladies first itu harus digunakan di saat seperti ini. 

"Nggak gitu konsepnya, ish!

Jamal jadi semakin terkekeh. Sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mencubit pipi Betari yang tampak ranum dan menggemaskan. "Ya habis kakak bingung. Setiap dikasih saran ini-itu, kakaknya salah terus. Intinya, kakak dukung apa pun keputusan kamu."

Ekspresi wajah Betari melunak. Entah mengapa, akhir-akhir ini ia mudah sekali merasa terenyuh dengan kata-kata Jamal. Betari bahkan sudah menegaskan bahwa dirinya tidak bisa membalas perasaan si kakak tingkat, tetapi lelaki itu dengan senyum tulus mengatakan bahwa itu bukan apa-apa. Jamal malah semakin berani menunjukkan ketertarikannya pada Betari. Semakin intens bertemu, dan anehnya hal itu tidak membuat Betari risih. 

Pandangan Betari berubah kosong kala ia merasa tertampar dengan kenyataan tersebut. Dalam hati menegur diri sendiri dengan pertanyaan, "Kalo ke Kak Jamal aku bisa se-biasa aja kayak gini, kenapa ke Kak Alpha malah nggak bisa, ya?"

Harusnya bisa lebih mengerti Kak Alpha karena selama ini aku selalu ngerasa, di mana pun itu, asal sama Kak Alpha, rasanya pasti ... nyaman.

Kini saat kehadiran Kak Alpha-nya tidak se-intens biasanya, Betari merasa ada hal yang membuat dirinya sendiri berbeda. Rasa nyaman yang biasanya selalu melingkupi dirinya tidak bisa ia rasakan tanpa Kak Alpha-nya.

***

TBC

Udah mau mencapai titik akhir dari cerita Ketuk(er) nih Harmony. Apa sih harapan kalian buat kisah Kak Alpha dan Beta ini?

yuk sini kasih tau Natha 

See you next chapter yaa~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro