Bagian 15: Kenangan dan Trauma 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haii Haiii~ Gimana  kegiatan hari ini???

Kalo Natha sih masih belom beres wkwkwk masih ada kelas sampe jam 9 nantiii hueehueeee tapi gapapa, yg penting bisa bawa Kak Alpha sama Betari lagi buat bareng2 Harmonyy~ xixixi

Enjoy reading~ 😊🌻

━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Katanya, mencinta itu berarti menjaga dengan hati-hati seperti memegang porselen mahal.
Namun, yang aku rasakan kenapa berbeda?
Ini seperti dihancurkan berkeping-keping hingga tak bisa kembali seperti semula.

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 15: Kenangan dan Trauma 2

Betari terdiam kikuk. Bahkan sarapan yang dimakannya tadi pagi terasa hambar. Sepanjang perjalanan ke sekolah dengan Yudi, gadis itu hanya diam. Kedua telapak tangannya sibuk meremat kedua sisi jaket ayahnya. Berusaha keras menahan gelisah dan takut yang melingkupi hati.

"Kenapa?" tanya Yudi ketika sampai di depan gerbang sekolah Betari. Pria 42 tahun itu mendapati wajah anaknya yang sedikit pucat, pun pendar mata yang tampak gelisah.

"Um?" Betari mengerjap cepat, lalu menggeleng begitu sadar ayahnya menatapnya khawatir.

Yudi menghela napas. Paham betul kalau sudah seperti ini Beta jelas tidak akan cerita. "Ya udah, hati-hati di sekolah. Kalau ada apa-apa bilang ke ayah atau mama, ya."

Betari menampilakan senyum. Kemudian, menatap sendu punggung ayahnya yang mulai menjauh.

'Kalau ada apa-apa bilang ke ayah atau mama, ya.'

Kalimat itu rasanya mencomooh telak Betari Maharani. Tidak sekali-dua kali ia bercerita ini dan itu pada kedua orang tuanya. Namun, selalu berakhir dengan, 'Ah, apa lagi mama. Dulu mama malah lebih parah dari itu.'

Kalimat itu selalu terulang setiap kali Betari bercerita, hingga akhirnya membuat gadis remaja itu enggan mengungkapkan isi hatinya. Karena ia paham, segalanya hanya akan berakhir dengan anggapan tidak seberapa atau bahkan diremehkan. Mirisnya itu terjadi di lingkungan terdekatnya---keluarga.

"B-bener, Pak. Kemaren saya di-dijegat di pos satpam sama mereka! B-badan saya di-dipegang-pegang ...," Betari berujar patah-patah.

Kedua remaja lelaki itu menggeleng cepat. Menatap Betari penuh tanda tanya, pun dengan raut tidak bersalah.

"Nggak, Pak. Berani sumpah. Lagian nggak ada bukti juga, kan? Amit-amit, Pak! Kita nggak mungkin ngelakuin hal bejat kayak gitu!"

Pak Sidiq---guru bagian kedisiplinan sekaligus kerohanian---menghela napas. Pria yang berada di akhir 30 puluhnya itu menatap Betari. Meneliti penampilan gadis itu dari atas hingga bawah dengan tatapan sinis.

"Jangan ngada-ngada kamu, Beta. Eko sama Faza itu murid baik dan berprestasi. Nggak mungkin mereka kayak gitu. Kamu, kamu harusnya bisa lebih jaga diri."

Rahang Betari melemas. Kalau bisa, mungkin rahang itu akan terjatuh. Berbagai kalimat tersusun acak dalam pikiran gadis remaja itu hingga satu kesimpulan dan pertanyaan memukul telak pemikirannya tentang tolak ukur orang baik.

'Aku kan korbannya di sini, kenapa jadi aku yang seolah salah?'

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Katanya harus berani berbicara. Namun, setiap kali berbicara malah berakhir dibungkam.

Katanya harus berani melawan. Namun, setiap kali melawan malah berakhir disalahkan.

Betari hanya bisa menangis di belakang bangunan sekolah. Tersembunyi dari keramaian. Meraung pilu karena hati dan pikirannya dipenuhi ketakutan.

'Takut mama marah'

'Takut ayah kecewa'

'Takut dibandingin sama Kak Binar lagi'

'Takut dianggap rendahan sama yang lain'

'Takut dianggap ... kotor'

Tangisan Betari semakin menjadi. Napasnya terdengar putus-putus. Tampak nelangsa dengan wajah merah dan rambut lepek yang mempel pada dahi.

"Astagfirullah, gue kira si tante yang siang bolong gini nangis!"

Betari kontan menghentikan tangisannya. Mulutnya bungkam meski isakannya masih terdengar satu-satu. Mengusap kasar kedua pipinya yang basah. Mengerjap polos kala memerhatikan sosok yang menjulang di hadapannya.

"Lah, ini cewek yang kemaren, San!"

Satu remaja lelaki mendekati. Ada rokok yang belum dinyalakan di tangan sebelah kanan. Lelaki itu---Sanuar Alphandi---berjongkok di depan Betari. "Gue tebak, Pak Sidiq pasti lepas tangan soal masalah lo yang kemaren, kan?" katanya dengan sudut bibir kanan yang sedikit naik.

Betari mengangguk kaku. Gadis itu sesekali menahan isakannya sambil mengusap jejak basah dari ujung mata. Setidaknya ia tidak lagi merasa sendirian karena dua ksatria penolong ini yang kemarin dengan apik membantunya tanpa pamrih.

"Tenang! Nih, gue, Sanuar Alphandi bakal bikin dua orang pengecut kemaren minta maaf sama lo. Nggak usah nangis lagi, oke?" ujarnya sambil menepuk-nepuk dada dengan bangga.

"Gue Meraki Abiyyu," kata Abiyyu sambil menjulurkan tangan kanannya.

Betari mengerjap polos. Menatap tangan Abiyyu ragu-ragu. Entah kenapa, sejak kejadian mengerikan itu, ia menjadi ragu dan takut untuk sekadar bersalaman dengan lawan jenis.

"Modus lo ah." Sanuar menepis cepat tangan Abiyyu. Lelaki itu tampaknya cepat tanggap kala mendapati bibir dan bola mata adik kelasnya yang terlihat bergetar.

"Lo kelas tujuh?" tanya Sanuar.

"I-iya. K-kalo kamu?"

Sanuar terkekeh. "Sembilan."

Betari mengerjap cepat, sesekali napasnya masih tersendat karena isakan yang tersisa. "Eh? A-aku harusnya panggil kakak berarti, ya?"

"Ke dia aja panggil kakak, ke gue panggil sayang juga boleh," cerocos Abiyyu dengan tawa terselip di akhir kalimat.

Sanuar menggeleng sambil menghela napas kasar. "Dasar gila," katanya

Betari tidak langsung percaya begitu saja pada Sanuar dan Abiyyu yang menawarkan misi balas dendam dengan apik. Ia masih menjaga jarak aman, bahkan tidak ingin bersentuhan sama sekali. Bukan apa, rasanya, tiap inci tubuhnya merasa jijik akan sentuhan dari lawan jenis meski itu hanya sebatas bersalaman. Untuk remaja tanggung macam Betari, yang hatinya rapuh, yang perasaanya mudah terluka, yang ingatannya mudah sekali mematri setiap jengkal perlakuan kecil yang membahagiakan, pun yang membuatnya sedih, perlakuan Eko dan Faza jelas mematahkan prinsipnya tentang jatuh cinta.

Karena yang Betari tahu, jatuh cinta adalah seperti ayah dan mamanya, di mana keduanya akan membagi canda-tawa, berujar hati-hati di jalan, serta kecupan lembut pada kening setiap ayahnya pulang. Sesederhana itu. Bukan malah sebaliknya. Dimana ia dijadikan objek fantasi untuk disakiti.

"Minta maaf lo, banci!"

Betari mengerjap kikuk. Lima belas menit sebelumnya, Mia dengan wajah panik memanggilnya. Meminta Betari untuk pergi ke lapangan. Kini, di hadapannya ada Faza dan Eko. Bersimpuh dengan peluh membanjiri tubuh mereka.

Keadaan lapangan menjadi sangat ramai seketika. Semua murid berhamburan. Ada yang mengintip dari balik jendela kelas. Ada pula yang berjejer di balkon lantai atas demi mendapati pemandangan jelas. Beberapa guru bahkan ikut keluar, mencoba menengahi keadaan.

"Ada apa ini?" Pak Sidiq menjadi guru pertama yang menghampiri Sanuar, Abiyyu, Faza, Eko, dan tentu saja Betari. Seketika, pria yang memiliki perut buncit itu menghela napas. Sadar betul apa yang tengah terjadi. "Kalian semua masuk kelas. Yang begini jadi urusan kedisiplinan."

Sanuar terkekeh. "Yang bener aja, Pak? Kemeren dia dateng ke kedisplinan buat lapor, kan? Tapi malah dia yang disalahin. Yang begini kadang emang nggak harus selesai pake hukum. Eiitss, jangan salah. Liat? Muka mereka nggak ada yang luka, kan? Saya ngga main tangan sembarangan, kok."

"Sanuar, kamu udah kelas tiga, jangan cari masalah."

"Justru karena saya udah kelas tiga, Pak. Seenggaknya harus ngasih pelajaran buat adek-adek kelas saya biar kejadian kayak gini ngga keulang lagi."

Betari menatap nanar Faza dan Eko yang masih betah bersimpuh sambil terus menunduk. Tubuhnya bergetar kecil. Masih jelas diingatannya bagaimana kedua orang yang katanya menyukainya itu, malah hampir merusak dirinya dengan sentuhan bejat.

"Minta maaf!" Abiyyu mendorong punggung Eko dan Faza hingga kedua pria itu tampak bersujud di bawah kaki Betari.

Masih hening. Hal itu membuat Sanuar mendengkus dan terkekeh remeh. "Semuanya denger! Kalian tau apa yang bikin dua berandalan ini jadi tontonan di sini sekarang?"

Hening masih menjadi pengisi rungu. Semua tidak ada yang berani mengeluarkan suara lantang. Saling berbisik dengan mata menelisik sosok Faza dan Eko yang selalu diagung-agungkan.

"Nih, dua pengecut ini udah berani berbuat mesum! Pengecut! Nyerang cewek yang lagi sendirian!" Abiyyu berteriak lantang.

Hal itu kontan membuat setiap mulut yang berada di sana ternganga. Total tidak menyangka dengan perbuatan dua siswa yang mereka kira teladan di angkatannya.

"Minta maaf!" Sanuar kembali berseru sambil mendorong bahu Faza dan Eko.

Kedua lelaki pengecut itu mendongak patah-patah. Mata mereka bergetar gelisah.

"M-maaf B-betari ...."

Suara keduanya terdengar parau. Kepala mereka tetap menunduk karena takut. Hal ini mengundang kekehan remeh dari Sanuar kembali mengudara. Sementara itu, Betari hanya diam. Ada rasa arogan di hatinya yang tidak ingin memaafkan kedua lelaki itu. Betari menatap Abiyyu, yang langsung mendapati lelaki itu menggeleng. Sementara Sanuar hanya diam, balas menatap Betari dengan tatapan datar sambil mengangkat kedua bahunya.

Lantas, Betari berbalik. Membelah kerumunan dan mengabaikan permintaan maaf Faza dan Eko begitu saja. Melihat itu, Sanuar mendengkus. Berjongkok di hadapan kedua pengecut tersebut. Menepuk bahu mereka dengan angkuh seraya berkata, "Laki-laki boleh bandel, boy, tapi jangan bejat."

Setelah itu, tepat setelah detik itu, entah bagaimana hubungan Betari dengan Sanuar menjadi lebih dari sekadar kakak dan adik kelas. Tidak ada status khusus. Mereka hanya ... lebih dari dekat. Ya, begitu. Lebih dari dekat.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

TBC

A/N

Nahhh~gimana tanggapan kalian soal chapter ini?

Anyway, kalian aktif di medsos apa, sih? boleh dong mutualan xixixi

follow akun wp dan akun medsos Natha juga ya Harmony. semua nama kaun Natha sama, kok @harmonatha

See you in next chapter~~~

🌻💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro