Bagian 31: Sekilas Tentangnya 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salam SENIN BAHAGIA!

Cihuuyyy~ seneng banget rasanya bisa kembali rutin menyapa Harmony di setiap Senin!

Gimana Seninnya? 

Semoga yang sedih, bisa Happy lagi. Yang Happy bisa terus happy. Yang kehilangan bisa kembali terlengkapi. Yang sakit, bisa segera sehat lagi.

Semangaattt ...

Selamat membacaa~ jangan lupa tekan bintang dan ramaikan kolom komentar xixi

.

.

Bagian 31: Sekilas Tentangnya 3

Sepertinya memang sejak awal. Sejak ia berkata 'Ke dia aja panggil kakak, ke gue panggil sayang juga boleh', matanya tidak pernah lagi menatap perempuan lain dengan tatapan memuja. Ia pikir itu hanya sekadar perasaan cinta monyet, tetapi rasa itu malah semakin membesar hingga saat ini.

Namun, Abiyyu memilih bungkam. Ada benteng tinggi yang menghalangi segala gerak-geriknya untuk mengungkap rasa yang membuncah setiap kali melihat Betari tersenyum, mendengar Betari tertawa, dan berada di satu ruang dengan entitas yang selalu memenuhi pikirannya itu.

"Kenapa ...? Lo ... kenapa nggak pernah cerita sama gue?" Sanuar memandang kosong kesepuluh jemarinya yang saling bertaut. Ada rasa yang tak mampu ia definisikan. 

"Nggak bisa, San. Lebih tepatnya gue ... nggak mau," Abiyyu menyahut santai. Senyumnya terulas lembut kala kembali mengingat alasannya untuk memendam rasa.

"Kenapa? Gara-gara lo tau kalo dari awal gue suka sama Betari?"

Abiyyu mendengkus. Mengolok-olok wajah Sanuar yang kentara sekali merasa khawatir kalo Cadel-nya benar-benar direbut. "Muka lo biasa aja! Nggak usah sok melas-melas gitu! Gue bilang suka sama Betari bukan berarti gue bakal ngambil dia dari lo."

Sanuar berdecak. "Jawab aja pertanyan gue! Nggak usah ngebuli!"

Abiyyu sempat tertawa sebelum akhirnya menatap kosong langit -langit kamarnya. "Gue suka banget sama Betari bahkan mungkin udah ada di tahap sayang. Tapi, San ... gue lebih sayang Bapa yang tiap malem gue sebut dalam doa sebelum tidur. Rasanya nggak pantes buat gue yang bukan siapa-siapa ini ngerebut Betari dari Allah-nya. Temenan sama kalian yang mayoritas muslim dari kecil sampe sekarang, gue jadi paham kalo ngajak orang buat pindah agama itu dosa."

Abiyyu mengerjap. Mencoba kembali memfokuskan pandangannya dan kembali memberi atensi pada si sahabat yang tengah menatapnya sendu. "Di agama gue pun, pindah agama itu dosa. Orang tua gue nggak pernah ngajarin buat ngajak orang lain berbuat dosa. Lagi pula, yang se-iman dan se-amin aja kadang bisa berantem, apa lagi yang nggak se-iman dan se-amin? Gue nggak mau bikin orang yang gue sayang malah nyesel cuma karena menjadikan gue sebagai alasan dia bahagia. Memangnya gue siapa? 

"Jadi kalo lo harus  pilih antara crush sama sahabat, lo pilih yang mana?" Sanuar kembali bertanya.

"Ya pilih sahabatlah!" Abiyyu menyahut acuh-tak acuh sambil berbaring asal di atas kasur. "The feeling for the crush can be replaceable. Maksud gue, rasa suka sama orang bisa muncul kapan aja dan siapa aja. Bukan berarti gue brengsek nih ya, gue cuma ngerasa nggak akan bisa nemuin sahabat yang paham gue kayak lo yang paham gue selama ini."

"Aaahhh so sweet!" Sanuar menghambur, mendekap Abiyyu---ralat---ini seperti mencekik dengan gaya bela diri sebenarnya.

"Lepasin! Aduh, leher gue! Leher gue patah!"

'Gue nggak bisa pindah agama, nggak mungkin juga gue maksa Betari buat ikut agama gue. Kalo pun iya gue mau pindah, gue nggak akan bisa maafin dan percaya sama diri gue sendiri lagi. Karena apa? Tuhan gue aja bisa gue khianatin, apa lagi Betari?'

***

Sebagian dari diri Sanuar merasa lega karena akhirnya segala pertanyaan terkait perasaan Abiyyu pada Cadelnya sudah terjawab. Totally clear. Ia rasa dirinya tidak perlu khawatir lagi kalau Cadelnya akan direbut atau berpaling pada si pentolan Radio Hitz itu. Namun, sebagian dari dirinya merasa bimbang. Pertemuan terakhirnya dengan Betari tidak berjalan dengan baik.

"Balik sana, San! Malam minggu gini masa lo ngapelin gue?" Abiyyu tampak kesal. Bosan juga meladeni Sanuar yang tidak berhenti merengek soal Betari.

"Gue ke rumah si Cadel aja lagi kali, ya? Nggak enak banget rasanya pas---"

"Wait, we've gotta make this clear. Lo ke rumah Betari mau ngapain? Cuma mau mastiin dia nggak ngambek? Mau minta maaf karena lo marah-marah nggak jelas?"

Sanuar terdiam. Lelaki itu mendadak dungu. Tidak melihat jelas ke dalam pikirannya karena ada kabut tebal yang menyelemuti. Benar, kabut tebal itu adalah perasaan denial-nya yang selama ini ia junjung tinggi atas dasar 'Saling tolong menolong'.  Sanuar memaki dirinya sendiri dalam hati. Sekarang saat ia sudah menyadari perasaan yang sengaja ia sembunyikan itu, rasanya semuanya sudah terlambat. Lelaki itu jadi tidak tahu harus mengambil langkah apa demi membuat Cadel-nya tetap berada di sisinya.

"Gue ... harus gimana, Bi?" Sanuar mendesis lirih kala jemari kanannya memijat pangkal hidung.

"Ya bilang apa adanya? I mean, nggak ada salahnya jujur, kan? Mungkin dengan lo bilang yang sebenarnya, Betari juga bakal jujur soal perasaan dia ke lo. Who knows?"

"Tapi, gue takut. Gue---"

"Ya makan deh tuh takut sama lo. Sampe mampus juga lo nggak bakalan sama-sama Betari. Bentar lagi juga lo ngeliat dia jalan sama cowok lain. Jadi milik orang lain. Nanti kalo udah begitu, jangan deh dateng ke gue sambil nangs-nangis karena nyesel. Soalnya nggak bakal gue kasihanin, gue ketawain lo yang ada!"

Sanuar manatap sinis Abiyyu. Ingin memaki dan meninju wajah si sahabat, namun setiap silabel yang dikatakan lelaki Sunda itu memang benar adanya.

'Gue udah terlambat 7 tahun. Gue ... nggak boleh terlambat lebih lama lagi!'

***

Kalau bisa diibaratkan suhu udara, keadaan Betari kali ini bisa dibilang panas-dingin. Iya, sebentar panas, sebentar dingin. Sebentar merengut, sebentar tersenyum. Masih perkara pertemuan terkahirnya dengan Kak Alpha. Betari berbaring di atas kasur dengan dahi yang mnegerut rikuh. Kedua alisnya bahkan hampir bertaut. Gadis itu masih tidak mengerti kenapa Kak Alpha-nya bisa semarah itu hanya karena perkara ia yang diantar pulang oleh Jamal.

"Ah! Nggak tau! Terserah Kak Alpha sekarang mah! Mau ngambek kek, mau marah kek, terserah! Ugh!" 

Iya, kata bibirnya sih terserah. Padahal dalam hati ia jelas ingin Kak Alpha-nya menjelaskan segala alasan yang mungkin membuat lelaki itu marah. Poin pentingnya adalah, Betari hanya ingin duduk dan bicara dengan Kak Alpha-nya, dengan tatapan lembut dan bibir yang tersungging tipis kala keduanya saling melempar candaan. Rindu. Itu sih inti dari keluhan Betari yang tersembunyi di balik kata terserah.

Lama berdiam diri, melamun tidak jelas, atensi Betari akhirnya kembali karena ponselnya bergetar berkali-kali-tanda pesan masuk yang datang bertubi. Biasanya yang mengganggu malam minggu Betari itu hanya satu makhluk. Ya, benar, Sanuar Alphandi.

Pekikan 'yes' kecil mengudara ketika gadisitu dengan cepat meraih ponsel yang ada di atas meja belajar. Namun, secepat itu pula rautnya berubah kusut. Sebab bukan nama Kak Alpha dengan ekstra emoticon singa yang muncul pada pop up pesan, melainkan nama Kak Jamal.

Kak Jamal - Ketua Hima

Malam Betari? Udah tidur belum?

Kakak di depan rumah kamu nih.

Mau ngasih surat resmi buat ikut English Camp dari prodi.

Bisa keluar sebentar dan ketemu kakak gak? 😁

***

TBC

Terlambat kusadarii~ kau teramat berarti~

Eaaaa lagu Mas Cakra Khan pas banget nih mewakili nasib Sanuar wkwk

Yok sini lapor ke Natha, gimana perasaannya stelah baca chapter ini?

Bisa ramal mau dibawa kemana hubungan mreka? eaaa xixi

okeeyy~

See you next on next Monday chapter~ 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro