Bagian 4: Kok, posesif?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloo~ selamat Rabu soreee,  Kak Alpha dan Beta kembali manyapa Harmony nih 😎 setiap chapter ada detil2 yg Natha tambahin. So, it's better to re-read each chapter yaaa

Anyway, ada yg main Twitter?

Kalo ada, mutualan yuk kita 😁 di sana Natha bakal post cuplikan2 spoiler atau chat random Kak Alpha, Beta dan kakak crush—Meraki Abiyyu. Jadi, ayok temenan! Follow @harmonatha di Twitter yaw 😘

┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Katanya, di dunia ini tidak ada yang mutlak---termasuk rasa memiliki.

Lantas, siapa kita, hingga berani-beraninya menumbuhkan rasa posesif pada satu makhluk?

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 4: Kok, posesif?

"Coba sini list yang Mbak Dian kasih," kata Sanuar.

Betari langsung saja memberikan ponselnya dengan layar yang menampilkan aplikasi catatan. Sanuar bisa melihat ada sekitar lima point dalam catatan tersebut.

"Kita ke sebelah sana, Del. Bagian yang banyak kamus-kamusnya." Sanuar menarik tali tas selempang Beta yang tersampir di bahu kiri.

Keduanya kini sedang berada di toko buku dalam mall. Wajah Betari sudah ditekuk sejak tiga puluh menit yang lalu. Bahkan gadis itu tidak berhenti mendengkus kesal setiap kali Sanuar mengajaknya berbicara.

"Aku bisa sendiri padahal. Kenapa harus nyusulin ke sini segala, sih, Kak?!" Betari menarik kasar tali tasnya yang terus-menerus ditarik Sanuar. Bukan apa, gadis itu merasa sedang menjadi hewan peliharaan yang sedang diajak jalan-jalan. 

"Ya ... ya ... ya ... bisa sendiri. Tapi udah setengah jam muter-muter Gramedia, belum juga ada yang ketemu," Sanuar menyahut tak acuh.

Lelaki itu jelas paham kebiasaan Betari yang selalu banyak berpikir hanya untuk memerhatikan hal-hal kecil. Menimbang-nimbang hal yang sebenarnya tidak perlu. Selama tiga puluh menit, Sanuar berdiam diri di Skybucks, menuruti keinginan si Cadel yang memintanya untuk menunggu sementara ia mencari buku yang disarankan Mbak Dian.

"Takut salah kan," lirih Betari

Sanuar melirik, melihat raut sendu Betari dari ujung matanya. Diam-diam menahan senyum karena merasa bangga sudah membuat Betari menyerah untuk menjadi sok bisa. "Ya, mangkanya ini dibantuin, Del. Sini!"

Betari mengikuti langkah Sanuar tanpa membantah sedikit pun. Sejak dulu juga memang selalu Sanuar yang membantunya, meski waktu itu Sanuar sudah SMA dan Beta masih SMP, lalu saat ia SMA, Sanuar sudah kuliah, bantuan dari lelaki itu tidak pernah berkurang.

"Buset, ini buku kenapa tebel-tebel semua, sih?! Pantesan Mbak Dian kurus, tiap hari yang dibawa beginian. Berasa bawa barbel ini mah," Sanuar menggerutu sambil memasukkan buku besar bertuliskan GRAMMAR milik Betty S. Azhar.

"Lebay! Kak Alpha lebay! Berisik! Sini aku aja yang bawa."

"Apaan? Nggak usah banyak gaya, Del. Kamu mana kuat bawa beginian. Bawa buku fisika sama kimia waktu SMA aja ngeluh, padahal tebelnya nggak seberapa. Dah, awas dulu ... kita ke kasir aja, ini udah semua." Sanuar berlalu begitu saja sambil terkekeh.

Sesampainya di kasir, Betari bergegas mengeluarkan uang dari dompetnya. Saat ingin memberikan uang pada kasir, tangan Sanuar sampai terlebih dahulu dengan sebuah kartu Bank yang kini sudah berada dalam genggaman si kasir.

"Kamu bayarin makan aja nanti. Ini biar sama kakak," kata Sanuar tanpa melihat ke arah Betari yang menatapnya polos.

Kalau boleh jujur, Betari agaknya merasa tidak enak sebab Sanuar selalu membantunya tanpa terkecuali---termasuk membayar ini-itu untuknya. Itu juga tidak terjadi sekali-dua kali. Sering. Terlampau sering malah.

"Sini, biar aku aja yang bawa, Kak." Betari mencoba mengambil tote bag dengan lambang toko buku.

"Iya, nanti, kalo kakak pegel," kata Sanuar sambil memindahkan jinjingannya ke tangan kiri dan terus berjalan. "Del ... boleh minta tolong?"

"Apa?"

"Pilihin roti yang enak, ya. Buat orang rumah ... camilan di rumah abis. Mbak Dian sama Wisnu bisa jadi bar-bar kalo nggak ada makanan. Ambil agak banyakan. Nih, bayar pake ini. PIN-nya biasa ya, ultah kamu."

"Oke." Betari mengangguk antusias.

Dari jarak pandang Sanuar, ia bisa melihat bagaimana Betari tampak bingung. Dahinya mengernyit dan sesekali menabrakan bibir pada nampan kayu yang sedang dipegangnya. Anak ini tidak pernah berubah, pikirnya.

"Kok? Banyak banget ini, Del." Sanuar menatap nanar plastik yang menggembung penuh dengan roti.

"Kakak bilang, agak banyakan?" Betari mengerjap pelan. Menampilkan tatapan polos.

Ah, Sanuar agaknya melupakan hal yang satu ini. Betari itu agak susah mengerti ucapan implisit.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

"Tadi katanya aku yang bayarin?! Kak Alpha mah gitu! Nanti, nanti, tapi tetep aja Kakak yang bayarin." Betari menggerutu, menendang kecil kaki meja yang hampir mengenai tulang kering Sanuar.

"Iya, lain kali makan mie ayam Mang Erul, kamu bayarin kakak, ya ...." Sanuar tersenyum jenaka.

Sanuar selalu begitu. Setiap kali pergi dengan Betari, semua ia yang tanggung bahkan tanpa diminta sekali pun. Kata 'nanti' pun hanya akan berlalu begitu saja sebab lagi-lagi, ia akan mengambil alih. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran BBQ yang ada di dalam mall tempat mereka beli buku tadi. Memesan menu all you can eat.

"Eh? Itu kayak Abiyyu," kata Sanuar sambil menunjuk sosok yang sedang berjalan sambil menatap layar ponsel. "Abiyyu! Nah kan bener! Woy, sini, bro!"

Abiyyu langsung saja melepas earphone-nya dan menghampiri Sanuar. Saat sampai, lelaki langsung saja mendudukkan dirinya pada kursi kosong di sebelah Betari. Sanuar jelas bisa melihat ekspresi Betari menegang.

"Eh? Halo, Betari ...," Abiyyu menyapa riang.

"H-halo, Kak."

Abiyyu terkekeh saat mendengar nada suara gugup Betari. "Kok, kalian bisa ada di sini? Nge-date?"

"Nggak usah ngada-ngada, Bi. Ya, lagi ... ini mall siapa juga bisa masuk, wajar gue sama si Cadel bisa ada di sini." Sanuar sibuk menyiapkan daging yang akan dipanggang.

"Oohhhh nggak nge-date ...." Mata Abiyyu memicing, menatap bergantian Sanuar dan Betari.

Ketiganya kini sibuk mematangkan daging. Fokus telak hingga tidak ada percakapan tercipta. Sampai akhirnya Abiyyu yang memulai. "Nih, Beta ... kamu makan dulu."

"N-nanti aja, Kak. Ini biar mateng aja dulu semua. Jadi, bareng-bareng makannya." Betari mengomeli dirinya sendiri dalam hati karena masih saja terdengar gugup.

"Udah tenang aja, ada Sanuar yang masakin. Apa mau kakak suapin?" goda Abiyyu yang langsung mendapati daun selada mendarat apik di wajahnya.

"Sini, Bi ... pindah samping gue duduknya," kata Sanuar dengan nada datar.

Abiyyu tidak menggubris. Ia malah semakin senang membuat kesal Sanuar. "Nggak, ah. Mending di sini, deket yang cantik-cantik." Lelaki pecicilan itu menyelipkan helaian rambut Betari ke belakang telinga yang tentu saja membuat gadis itu menghindar.

"Abiyyu! Sini lo! Tangan lo nggak usah macem-macem. Gerak dikit lagi, itu jari-jari lo, gue panggang di sini!"

Abiyyu terbahak. Ia memegangi perut sambil sesekali mengusap ujung matanya yang mulai berair. "Apa, sih?! Bukan pacar, kan? Kok, posesif?"

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Perjalanan pulang Sanuar dan Betari hanya bertemankan alunan suara dari vokalis band indie yang Betari sendiri tidak tahu siapa. Namun, suara dan alunan musiknya cukup enak didengar. Jadi, ia menikmatinya. Sanuar diam-diam melirik Cadel-nya yang duduk di kursi belakang mobil. Agaknya, ia sedikit merasa bersalah sebab sejak tadi sempat mendiami gadis itu, karena jujur ia sedikit kesal pada entah apa.

"Del, lain kali jangan diem aja kalo ada cowok begitu." Sanuar akhirnya memulai.

"Apa? Begitu, gimana?" Satu alis Beta terangkat.

"Ya ... itu tadi Abiyyu pegang-pegang rambut kamu. Ya emang, sih, kamu suka sama dia. Tapi, jangan dibiarin gitu aja, dong. Kakak aja nggak pernah gitu ke kamu."

"Aku ngehindar, kok, tadi!"

"Ya udah, sih,  jangan marah-marah." Nada suara Sanuar terdengar ngeyel. Seolah mengolok kalimat Betari.

"Aku nggak marah-marah!"

Katanya memang 'nggak marah-marah', tetapi suaranya sedikit meninggi dan bergetar. Itu tampaknya sedikit memberi pukulan pada Sanuar. Harusnya ia sadar untuk tidak memulai percakapan yang sebegini sensitif. Sampai di depan rumah Betari, gadis itu langsung turun tanpa mengatakan apa pun.

"Del." Sanuar buru-buru turun dari mobil dan mencegah Betari masuk rumah. "Maaf ... jangan marah."

"Aku nggak marah, Kak."

"Kamu marah, Del. Maaf ...," Sanuar melirih.

"Nggak marah dibilang. Aku---" Betari menghela napas kasar. "Aku cuma kesel. Nggak suka omongan Kak Alpha yang seolah bilang kalo aku mau-mau aja dipegang-pegang cowok! Jelas-jelas tadi aku ngehindar. Kakak nggak liat emang?"

"Iya, itu ... maaf karena omongan kakak kelewatan dan bikin kesel. Bentar." Sanuar mengambil sesuatu dari kursi samping kemudi.

"Ini ... sebagai permintaan maaf." Sanuar memberikan satu plastik penuh roti yang tadi siang Betari pilihkan.

"Eh? Ini katanya buat Mbak Dian sama Mas Wisnu?"

"Alah ... mereka, mah, gampang. Lagian, lidah Wisnu agak katro. Nggak cocok makan roti beginian. Ini juga kebanyakan muffin cokelat kesukaan kamu. Eh tunggu? Jangan-jangan kamu sengaja, ya?" Sanuar memicing main-main. 

Betari terkekeh sambil mengambil alih plastik dari tangan Sanuar. Mengambil dua muffin cokelat sebelum mengembalikan plastik tersebut pada lelaki di hadapannya.

"Kan, Kak Alpha juga suka ... mangkannya aku ambil banyak. Itu ada yang sosis keju juga. Muffin-nya aku ambil dua, dan permintaan maaf diterima." Betari tersenyum lembut. Terkekeh jenaka seraya mengerutkan hidung.

Mari lakukan analisis lagi.

1. Bukan pacar, tapi selalu membantu hingga tidak rela membiarkan dia kesusahan sedikit pun.

2. Bukan pacar, tapi tanggal ulang tahun menjadi PIN kartu ATM.

3. Bukan pacar, tapi melihat dia dekat dengan yang lain, rasanya tidak rela.

Ada tambahan?

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

TBC

A/N

Ugh, tiap nulis bagian Betari ... bawaannya mellow.

iya mellow karena iri wkwkwk 

Q: Kak Alpha itu cuma ada di fiksi ya?

A: Um, may be yes, may be no. karena sosok kak Alpha di sini adalah refleksi dari sosok seseorang di RL Natha. hiiyaaaa

*DeepBow

Natha 🌹💐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro