Bagian 8: Si Cadel VS Si Jelek

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haii Haiii~ Udah ketemu lagi nih xixi

Ayo, jgn lupa ramaikan kolom komentar dan vote tiap chapter nya ya 😆

Enjoy reading and happy reading

┏━•❃°•°❀°•°❃•━┓

Kukira aku menggenggam tanah, yang semakin erat kugenggam akan semakin melekat. Nyatanya, yang kugenggam adalah pasir---yang semakin erat kugenggam, semakin aku kehilangan.

┗━•❃°•°❀°•°❃•━┛

Bagian 8: Si Jelek VS Si Cadel

Rasanya baru tadi siang ia bisa merasa tenang karena bisa pulang kuliah cepat. Entah kenapa kepalanya diserang rasa pusing yang teramat hingga membuat Sanuar enggan membuka mata. Sore hari ponselnya ribut, tetapi---lagi-lagi---ia enggan membuka mata. Namun ketika ponselnya tidak berhenti bergetar dan menampilkan nama kontak Abiyyu, Sanuar memaksa diri untuk membuka mata meski rasanya berat---malas.

"Apaan?" sahut Sanuar parau.

"Lo mati apa gimana, coy?! Gue teleponin nggak diangkat-angkat."

Sanuar mengernyit. Menggerung tidak suka kala mendengar pekikan dari seberang sambungan telepon. "Berisik! Ngapain telepon? Mau minta fotoin tugas? Gue aja---"

"Heh! Si Betari tah hoyong balik sorangan ceunah. Gue udah tawarin anter---"

Sanuar kontan saja bangkit dari posisi. Abai pada pening yang langsung menyerang. Pun, pada Abiyyu yang terus ribut. Lelaki itu bergerak cepat menuju teras rumah. Begitu sampai, ia malah merutuki keadaan di mana mobil keluarganya belum juga terparkir di sana. Maka dengan cepat ia pergi ke depan gang rumah dengan berjalan kaki. Menghentikan angkutan kota yang lewat.

"Bang, saya carter bisa?" tanya Sanuar dengan napas terengah.

"Kemana, kang?"

"Universitas Tugu Kujang. Berapa?"

Si sopir tampak menimbang-nimbang. Mematikan rokok yang hanya tinggal setengah sebelum berucap, "80 ribu."

Sanuar mengangguk cepat. Tidak peduli pada harga sewa yang jauh lebih mahal dari biasanya. Lelaki itu tampak kacau sekali. Berkali-kali menempelkan ponsel pada telinga, tetapi berakhir dengan umpatan kesal karena tidak juga mendapat jawaban.

"Bang, bisa cepetan lagi, nggak?" Selama perjalanan, Sanuar tidak berhenti mengatakan hal itu. Meski berakhir diabaikan. Wajar saja, ini sudah petang menjelang malam. Jalanan Bogor kota tentu saja ramai. Akan menjadi hal yang tidak mungkin untuk memercepat laju kendaraan.

Sesampainya di gerbang kampus, Sanuar meneliti setiap wajah yang tertangkap pandangannya. Dan di seberang sana, tepat berada di garis lurus dari tempatnya berdiri, ia melihat bagaimana wajah si Cadel-nya tampak gelisah tidak nyaman karena perlakuan seorang lelaki yang menggenggam pergelangan tangannya.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Sanuar menghela napas. Melirik ke arah Betari yang kini sedang menunduk di bagian pojok angkot. Ada seberkas rasa bersalah karena sudah membuat Betari menjadi seperti itu.

"Udah makan?" Sial. Sanuar memejam. Merutuki diri sendiri yang malah mengeluarkan nada dingin seperti itu.

Betari sendiri langsung mengangkat kepala. Mengerjap cepat seraya memberi atensi pada Kak Alpha-nya. "K-kakak kenapa jemput? Kan Kakak lagi sakit ...."

Sanuar berdecak. Merasa sebal karena Betari justru mengkhawatirkannya. Padahal, bagi Sanuar, jelas-jelas gadis itu yang ada di posisi mengkhawatirkan. Namun, decakan lelaki itu tampaknya disalah artikan oleh Betari.

Gadis itu kembali menunduk dan meremas jemari tangannya. "Maaf, Kak."

Sanuar kembali menghela napas. Sadar betul jika si Cadel-nya salah paham dengan nada bicara yang ia keluarkan. "Kakak khawatir, Del."

Betari masih belum ingin mengangkat kepalanya meski suara Sanuar sudah melembut. Matanya memanas. Rasanya jika ia mengejap, tetes air mata akan luluh jatuh begitu saja. "Iya ... m-maaf---"

"Kakak bilang kakak khawatir, Del. Kamu nggak perlu minta maaf," pangkas Sanuar cepat. Bukan apa, lelaki itu hanya tidak ingin membuat Betari merasa bersalah atas sesuatu yang ia rasa bukan kesalahan gadis itu.

"Iya, i-itu ... aku minta maaf karena bikin khawatir. A-ku nggak maksud kok. Aku ... aku tau Kak Alpha lagi sakit, aku juga nggak mau ganggu kakak. Jadi---"

"Kamu yang begini justru bikin khawatir dan susah, Del! Please, Del. Please ... sekali aja, bisa nggak sekali aja nggak bikin kakak khawatir dan susah?"

Sialan!

Sanuar kembali memejam. Kembali menyumpah serapah dirinya yang lagi-lagi tidak bicara sesuai apa yang ada dipikirannya. "Mak---"

"Aku udah coba! Itu yang aku lakuin tadi!" Betari sedikit meninggikan suara. Abai pada sopir angkot yang melirik dari kaca spion tengah. "Aku nggak mau bikin Kak Alpha khawatir dan susah. Aku tau Kakak lagi sakit, mangkanya aku nggak minta kakak jemput. Tapi apa? Usahaku malah dibilang bikin susah!"

Sanuar mengerjap. Ada rasa kesal untuk dirinya sendiri yang malah membuat Betari tampak sebegitu bercela. "Del---"

"Udah sampe nih, kang."

Betari mengusap kasar pipinya. Langsung bergegas turun dari angkot begitu si sopir memberi tahu.

"Del, tunggu---Bang tunggu bentar ya. Nanti anter saya ke rumah saya dulu. Nanti sekalian bayar di sana." Sanuar bergegas menghampiri Betari yang tidak juga menoleh ketika dipanggil.

"Del." Sanuar menahan tali tas bahu Betari. "Maaf ... kakak nggak maksud ngomong gitu. Maaf kakak ngomongnya kasar, maaf ... kakak udah nyakitin perasaan kamu. Kamu---"

"Pulang, Kak. Kak Alpha lagi sakit. Istirahat ... jangan bikin aku makin ngerasa bersalah karena lagi-lagi bikin kakak khawatir dan nyusahin dengan peduli sama perasaan aku."

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆

Nyatanya, frasa bisa karena terbiasa tidak berlaku untuk Sanuar. Lama bersama Betari Maharani tidak juga membuatnya terbiasa mengalami momen seperti itu. Selama tujuh tahun, tidak sekali-dua kali pertengkaran terjadi di antara keduanya. Namun, hal itu tidak menjadikan Sanuar mampu tebiasa.

"Dari mana lo?" Wisnu berhenti memainkan kunci mobil begitu melihat adik bungsunya pulang.

Sanuar menghela napas. Mendengkus sebal dan menatap kakaknya dengan malas. "Gara-gara lo nih ah!"

"Dih, apaan sih? Nggak danta lo!" Wisnu melewati Sanuar yang tengah berjalan lesu begitu saja.

Begitu memasuki rumah, Sanuar disambut dengan aroma sate dan soto ayam. Suara Wisnu begitu ribut ketika berusaha mengambil sate yang sedang dihalau oleh Dian.

"Cuci tangan dulu dibilang! Sana ih, Wisnu!" Dian memukul tangan Wisnu sampai membuat lelaki itu merengut dan akhirnya menurut untuk mencuci tangan.

"Eh? Kok nggak sama Beta? Tadi siang dia bilang ke mbak, katanya mau ke sini buat latihan sekali lagi sebelum tampil speaking-nya."

Sanuar bergeming. Memerhatikan jajaran makanan di atas meja makan---sate ayam, soto ayam bening bahkan susu Mbok Darmi dengan rasa pisang. Ini semua makanan kesukaan Beta. Sedekat itu keluarga Sanuar dengan Beta hingga kakaknya saja hapal betul makanan kesukaan gadis itu.

"Si Cadel nggak jadi ke sini, Mbak," ujar Sanuar lesu. "Gue nggak makan, ya. Sisain aja buat besok sarapan."

Saat memasuki kamar, nyatanya Sanuar tidak langsung tidur. Lelaki itu terus memandangi ponselnya. Menyipitkan dan memelototkan mata seolah bisa mengeluarkan sinyal telepati.

"Gue chat aja duluan ah. Nggak apa-apa kalo nggak dibales, Cadel kan emang gitu kalo ngambek."

Jemarinya bergerak lincah menekan room chat yang di pin paling atas dengan nama kontak Si Cadel 🐼

To: Si Cadel 🐼

Del, maaf 😥😫

From: Si Cadel 🐼

👍😁
Tidur Ka, istirahat yang cukup.

Harusnya Sanuar merasa senang, kan, saat Betari dengan cepat membalas pesannya? Namun, entah mengapa gelisah dan takut malah membungkus apik perasaannya.

⋆*┈┈┈┈﹤୨♡୧﹥ ┈┈┈┈*⋆
TBC

A/N

Halo Harmony sadayanaaa 🤭
Bentar lagi konflik nih 😆 but tenang, seperti yg Natha janjikan, konfliknya akan ringan. Masih sekitar kehidupan sehari2 🤭🤭

Eh iya, ada yg udah berani muncul di kolom komentar chapter sebelumnya 😆 ayok, harmony yg lain cepat nyusul~~~

Kita coba target lagi ya xixixi #BelumNyerah

Yuk bisa yuk vote 15 bintang sama komen 8 bijik dari kalian. Kalau tercapai, Natha double up xixixi

*DeepBow

Natha 🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro