3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu besi lorong bawah tanah berkeriut ketika seseorang membukanya. Cahaya obor di dinding menerangi sosok berjubah hitam dengan tudung dan topeng ditemani pria berbaju zirah dengan tombak.

Si prajurit yang menemani Maharani Iswari membuka kunci gembok dan mempersilakan ratunya masuk ke sel untuk menemui salah satu pemberontak. Dia tetap berjaga di luar ketika sang Maharani memilih duduk di bangku kayu yang ada, menghadap seorang pemuda yang tertunduk tak bertenaga.

"Bagaimana kabarmu, Pangeran Kartikeya?" tanya Maharani berbasa-basi. Nadanya yang tenang menandakan dia sudah bisa mengendalikan diri. "Aku tahu kau tidak suka pembicaraan berputar-putar. Jadi, biar kutanyakan langsung." Sang Maharani menghela napas sekejap. "Kenapa kau ikut memberontak, Anakku?"

Sang Pangeran menengadah. Sorot matanya yang tajam menggambarkan tiada penyesalan. "Ibunda yakin ingin mendengarnya?" tanyanya balik penuh penekanan.

"Aku tidak akan kemari kalau tidak ingin tahu." Ada kekesalan dalam nadanya. Namun, sang Maharani tetap berusaha berwibawa. "Bicaralah," tegasnya.

"Hukummu terlalu keras, Maharani," mulai Pangeran Kartikeya.

Mata Maharani Iswari menyipit di balik topengnya, lebih pada panggilan yang anaknya sebutkan. "Hukumku, hukum Sang Hyang Adidharma," sahutnya.

Sang Pangeran menggeleng. Dia tersenyum geli, lantas bicara kembali. "Pernahkah engkau memikirkan keluarga terdakwa yang telah dihukum mati? Jelas mereka tetap berkecukupan secara materiel. Namun, apakah mereka bahagia? Bisakah engkau menjawabnya?"

Sang Maharani tetap bungkam. Dia terus membiarkan anaknya mengoceh sampai lelah sendiri dan akhirnya diam.

"Sahabatku, Maharani. Dia yang selalu ada semenjak Ayahanda tiada. Dan sekarang dia .... Seminggu setelah hukuman ayahnya dijalankan, ia menjadi depresi. Keadaannya memilukan. Aku bahkan takut dia akan menyusul ayahnya karena tidak tahan. Kau tahu siapa ayahnya? Tebaklah." Ada jeda mencekam di antara ibu dan anak itu. "Adipati Agra," jawab sang Pangeran.

"Kau ingin bilang sampah masyarakat sepertinya patut diampuni?" tanya Maharani Iswari tajam. Tangannya yang ada di pangkuan mengepal keras.

"Seburuk-buruknya sampah tetap bisa didaur ulang, Maharani. Jika engkau masih memiliki hati, setidaknya beri dia paling berat hukuman pengasingan sehingga mereka suatu saat bisa berkumpul kembali."

"Bukankah aku sudah mengajarimu tentang hukum dan moral, Anakku? Orang-orang itu pantas mendapat yang sepadan."

"Benar," jawab Pangeran Kartikeya. "Namun, kenapa nyawa di tanganmu terasa begitu mudah dilepas? Pernahkah kau menghitung berapa kepala yang telah dipenggal atas perintahmu, Maharani?"

"Apakah engkau mempertanyakan kuasaku, Ananda?"

"YA!" Pangeran Kartikeya berseru lantang. "Seperti yang telah kubilang, hukummu terlalu keras! Banyak orang yang seharusnya tak merasakan hukum Sang Hyang Adidharma seperti anak kecil di alun-alun itu! Bahkan seharusnya tak ada kemiskinan di sini! Walaupun dia mendapat bantuanmu, tetapi sanksi sosial yang dia dapat bisa saja lebih besar dari sekedar goresan kecil."

Maharani Iswari berdiri. "Dia bahkan harusnya terkena hukuman potong jari!" pekiknya.

"Benar apa yang kubilang! Bahkan hukummu keras kepada anak kecil yang terpaksa bertindak kriminal!"

Sang Maharani menunjuk putranya. "Aku sudah memberitahukan alasannya padamu." Wanita terhormat itu menggeleng. "Pun, lupakah engkau, Ananda, terhadap dua orang yang kubebaskan saat kita pergi ke alun-alun sebelumnya?" Maharani Iswari menunjuk diri sendiri. "Kubiarkan mereka memilih antara jalur kekeluargaan atau hukum. Kurang berwelas-asih apa aku ini? Terpujilah Sang Hyang Adiasih karena dengan karunia-Nya aku bisa seperti ini."

"Hanya sebagian kecil," balas Pangeran Kartikeya tak mau kalah. "Kebanyakan berakhir kehilangan kepala mereka. Hukum-Nya telah membuatmu menjadi tirani. Seharusnya, Sang Hyang Adidharma tidak pernah ada di sini—"

Tangan sang Maharani menampar keras pipi putranya sampai berputar, lalu jatuh.

"Cukup, Kartikeya! Kau telah dibutakan oleh sesuatu yang tidak jelas!" teriak sang Maharani. Dia pun seketika menyesal saat sang Pangeran memegang pipinya yang mendapat tak hanya cap tangan, tetapi juga goresan-goresan merah.

Maharani Iswari melihat jari-jarinya. Kini, kuku sang Penguasa tak hanya kuning keemasan, tetapi juga merah karena darah.

Pangeran Kartikeya bangkit seraya masih memegang pipinya yang berdenyut sakit. "Jadi, inilah yang kudapat. Sepertinya aku tahu bagaimana akhir nasibku ...."

Tanpa sepatah kata pun lagi, sang Maharani pergi meninggalkan putranya seorang diri. Seperti yang Pangeran Kartikeya katakan, nasibnya telah ditentukan, dan hal itu membuat sang Penguasa berhasil menitikkan air mata.

...

"Apa yang bisa patik bantu, Maharani?"

Seorang pria tua berpakaian putih menghampiri Maharani Iswari di ruang pertemuan. Dia lantas duduk bersimpuh di hadapan sang Penguasa setelah dipersilakan. Dengan sabar dia menunggu orang di hadapannya yang terus menunduk sambil menautkan kedua tangan untuk membuka pembicaraan.

"Kanca Wisesa, apa yang akan kau lakukan bila anakmu terancam hukuman mati?" tanya sang Maharani.

"Tentu saja patik akan berusaha membebaskannya semampu patik, Maharani. Bagaimanapun, anak adalah harta yang tak ternilai," jawab Kanca Wisesa seraya melihat lawan bicaranya yang terus menunduk dengan tangan terkulai. "Apa ini ... ada kaitannya dengan Pangeran?"

Sang Maharani mengangguk.

"Hukum sudah jelas, Penasihat." Maharani Iswari duduk tegak. Matanya menerawang melewati kepala Kanca Wisesa. "Aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk menyelamatkannya."

"Tapi, Maharani ... tak bisakah engkau mencari celah dalam hukum dan membebaskan Pangeran Kartikeya?" tanya sang Penasihat sekaligus memberi saran.

Maharani Iswari menggeleng. "Tidak, Kanca. Aku tidak bisa mengkhianati Sang Hyang Adidharma sendiri. Aku tidak pantas disebut sebagai sang Terpilih jika melakukan hal seperti itu."

"Maharani!" sentak Kanca Wisesa membuat Maharani Iswari terkejut. "Sang Hyang Adidharma adalah jawabannya. Mintalah nasihat pada-Nya. Patik yakin, Dia akan memberi jawaban terbaik."

Seolah baru sadar dengan apa yang jelas di depan mata, tubuh sang Maharani semakin menegak. Dia mengangguk, lantas berdiri. Tak lupa berterima kasih atas nasihat yang diberi. Seolah mengejar wahyu, dia berlari. Bilik puja menjadi tujuan saat ini. Dengan langkah besar-besar dilewati aula takhta, balairung, dan bilik semedi.

Pintu ganda berukir liukan naga menyapa. Sekuat tenaga pintu itu dibuka. Maharani Iswari lantas melangkah ke dalamnya.

Ruangan itu gelap gulita. Sang Maharani kemudian menyalakan pelita. Teranglah ia memperlihatkan arca Sang Hyang Adidharma yang gagah perkasa. Dikelilingi untaian-untaian kain merah, bilik puja tampak memesona.

Maharani Iswari lantas duduk bersimpuh di depan arca. Dinyalakannya tiga buah dupa dan lilin-lilin merah sebagai tanda. Dengan erat dia genggam untaian manik-manik mala. Doa sang Penguasa panjatkan seraya menyebut seratus delapan kali nama-Nya. Mata sang Maharani memejam untuk merasakan kehadiran Sang Hyang Adidharma.

Desir angin mengibarkan kain-kain merah dan kelambu yang mengelilingi bilik puja. Api lilin dan pelita yang bergoyang padam seketika. Hanya bara yang menjadi penerang di ruangan yang gulita. Perlahan dari asap dupa, sesosok figur menampakkan wujudnya.

Sang Hyang Adidharma, dalam kelam menjadi Sang Penerang. Jubah cahaya-Nya berpendar kuning keemasan. Besar diri-Nya mewakili keagungan. Kedua tangan-Nya membentuk mudra dharmachakra, sebagai simbol roda darma yang berputar tak terhentikan.

Wajah Sang Pemilik Dharma yang tertutup tudung kepala—sang Terpilih saja yang bisa melihat-Nya—memiliki tiga mata, dua mata semu di kanan dan kiri, satu matu sejati di atas kening. Tak perlu hidung untuk menghidu, tak perlu mulut untuk berkata. Dia pernah berujar tak selayaknya diri-Nya berada dalam citra hamba-Nya. Namun demikian, perlu Dia mewujud menjadi apa yang pemuja-Nya dapat bayangkan.

Sang Maharani bersujud sebelum akhirnya berlutut dengan tangan bertaut. Dengan takzim dia sabdakan karsa terkait Pangeran Kartikeya yang di ujung tanduk.

Bagai gemuruh dalam kepala, Sang Hyang Adidharma menyahut, "Hukumku adalah mutlak. Tak bisa diganggu gugat. Ia ada untuk kemaslahatan rakyat banyak. Jangan engkau berusaha menolak."

Dengan ragu, Maharani Iswari tetap berusaha bernegosiasi. "Tapi, Hyang Adi, kalau begini terus, hamba tidak akan memiliki penerus," mohon sang Maharani.

"Jangan takut, wahai sang Terpilih," jawab Sang Hyang Adidharma. "Dengan karunia-Ku, engkau akan mendapatkan penerus yang lebih baik dari yang sekarang. Kartikeya bukanlah yang ditakdirkan untuk memimpin Kerajaan Kalawijaya yang selanjutnya.

"Terus ingat ini, wahai Maharani. Sekali-kali engkau jangan bersedih hati. Selama dirimu mengikuti-Ku, kejayaan dan kemakmuran akan terus bersamamu."

Sang Hyang Adidharma telah berfirman. Bersamaan dengan janji-Nya, hirap Dia laksana halimun.

Sedih, kecewa, murka, semua bercampur dalam duka. Seperti yang dapat Maharani Iswari terka sebelumnya, dia tidak dapat menyelamatkan Pangeran Kartikeya. Dalam ruang yang kembali terang, sang Maharani hanya bisa berlutut sambil menangis tersedu-sedu.

...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro