Part 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Desa Kahuripan, tempat tinggal Kemoja, sore itu sangat lengang. Tidak hanya saat itu saja. Sejak kejadian dua hari yang lalu penduduk desa mendapatkan penyakit aneh, warga menjadi takut keluar rumah. Kalaupun mereka keluar, biasanya hanya berani sampai ke halaman saja.

Kelengangan itu bertambah suram ketika kabut selalu menutupi sebagian besar area. Bahkan siang hari pun awan yang melingkupi desa seolah-olah tak ingin beranjak. Hal yang pada akhirnya membuat Desa Kahuripan, tiga hari itu, dirundung cekam.

Tidak tahan karena rasa takut yang menimpa mereka, beberapa jawara kampung keluar membawa parang dan golok. Mereka menuju rumah Lurah Samin yang dijaga ketat oleh beberapa anak buahnya. Melihat kedatangan orang-orang itu, Lurah Samin keluar dan menghadapi mereka di halaman.

“Pak Lurah, kami minta Bapak mengusir Ratri dari sini.”

“Benar, wabah itu datang karena pezina itu masih di sini. Kami minta keadilan Bapak.”

Warga yang datang itu bersorak mendukung. Lurah Samin berdecak kesal lalu melepas cerutunya sambil menunjuk warga.

“Apa bukti kalian kalau wabah itu karena Ratri? Semua tak ada hubungannya dengan keponakanku.”

“Pak Lurah, jelas-jelas kami lihat dia berzina dengan pamannya sendiri. Kami meminta Ratri harus pergi dari desa ini.”

Melihat betapa kukuhnya mereka, Lurah Samin makin geram. Saat itulah, Endang keluar sambil membawa nampan yang ditutupi kain merah. Matanya nyalang menatap satu per satu warga desa yang datang.

“Aku akan buktikan bahwa penyakit yang mendera beberapa penduduk, itu bukan karena kutukan Ratri.”

Endang membuka kain yang menutupi nampan lalu memperlihatkannya kepada warga. “Ini adalah jimat penangkal penyakit aneh itu. Jimat ini akan menunjukkan siapa si pembawa wabah sebenarnya. Dengan menyingkirkannya, wabah akan berhenti.”

Para warga itu saling memandang dengan ragu. Melihat keraguan mereka, Endang tersenyum sinis. Dia memandang keris kecil yang berada pada nampan. Keris itu diberikan Ki Darya dua hari yang lalu. Dukun sakti itu tiba-tiba saja muncul di rumahnya tanpa pemberitahuan sama sekali.

“Aku akan tunjukkan kepada kalian, bagaimana keris ini menunjukkan kuasanya.”

***

Kemoja sedang membersihkan lukisan ibunya ketika ramai-ramai suara teriakan berkumandang di halaman rumahnya. Dia mengangkat wajahnya perlahan lalu melangkah ke ruang tamu. Dibukanya sedikit gorden jendela dan dilihatnya Endang berada di depan para warga yang meneriakkan namanya.

“Keluar kau wanita penenung!” Endang mengacu-acukan kerisnya, seolah-olah Kemoja berada di depannya.

“Kami telah melihat keris ini terbang dan jatuh di rumahmu, rupanya kaulah yang menebarkan teror wabah pada penduduk desa. Wanita laknat!”

Kemoja menutup kembali gordennya lalu melangkah ke pintu. Saat dia akan membukanya, tiba-tiba pintunya tak bisa terbuka. Kemoja membeliak saat sebuah energi bertabrakan dengan tangannya. Entah bagaimana ada kekuatan lain yang kini benar-benar menantang dirinya.

Brug! Jendela rumah menutup dengan sendirinya. Kemoja menoleh ketika angin berembus dari segala sisi. Sementara penduduk desa di luar rumahnya makin percaya ketika melihat jendela menutup dengan sendirinya.

“Ternyata, dia tukang tenung.” Bisik-bisik mulai merebak hingga menjadi kepercayaan kuat bahwa Kemoja memang sesuai dengan yang dikatakan Endang.

“Bakar penenung itu. Bakar dia!” Tiba-tiba anak buah Lurah Samin berkata dengan lantang. Bagai tercuci otak, kata-kata tersebut makin memicu tingkah warga yang lekas tersulut emosi.

Mereka segera mengambil obor-obor dari rumah masing-masing. Lurah Samin bahkan sudah menyiapkan beberapa derigen minyak tanah seolah-olah memang dia sudah tahu akan kejadian ini. Ketika warga telah kembali membawa obor, rumah Kemoja masih pula tertutup.

Endang menyeringai. “Bakar rumah beserta orang di dalamnya!”

Warga bergegas mengangkat obor, pun anak buah Lurah Samin segera menyiram dinding-dinding rumah.

Di dalam kemarahan Kemoja makin memuncak. Matanya berkedip dan ketika membuka, kedua matanya berubah menjadi hijau dengan sisi pupilnya berwarna emas. Kedua tangannya dilingkupi api merah. Kali ini dia bisa melihat kekuatan yang hampir setara dengan kekuatan laut selatan. Pada pintu dan jendela rantai gaib berwarna hitam melingkup rapat dan sulit diurai.

Kemoja mengangkat tangannya hendak melemparkan kekuatan untuk memecah rantai gaib tersebuy. Namun, gerakannya berhenti kala mendengar suara penuh amarah di luar rumahnya.

“Berani kalian membakar rumahnya, kupastikan satu desa ini akan kubumihanguskan!” Suara itu penuh getar kemarahan.

Kemoja di dalam rumah terperenyak. Dia melangkah mendekati pintu, mendengarkan suara Wira lebih dekat.

“Kalian meragukan apa yang bisa kuperbuat? Apa kalian mengira karena aku lumpuh, aku tak bisa berbuat apa-apa?” Wira memandangi kerumunan warga desa itu lalu berhenti pada Lurah Samin yang masih memegang derigen berisi setengah minyak tanah.

“Kau! Sepertinya sangat bernafsu membakar rumah ini?”

Lurah Samin menggigil melihat tatapan tajam Wira. Dia langsung menjatuhkan derigen tersebut hingga isinya tumpah berceceran.

“Den Wira, ini adalah urusan desa kami. Kemoja yang kau kenal adalah penenung yang membuat warga sekitar terserang penyakit aneh.”

“Bu Endang. Ancamanku terhadapmu tidak pernah berubah, tiga tahun lalu maupun kini, aku akan memberi perhitungan kepadamu.”

“K, kau ….” Endang sangat ingin mencaci maki pria lumpuh itu. Akan tetapi, suara yang berbisik di telinganya menyuruhnya menahan diri kepada pria itu.

Tunggu saat giliranmu, Wira! Endang hanya dapat memakinya dalam hati.

Melihat kondisi yang tiba-tiba berubah, Lurah Samin segera menyeret kakaknya pergi. Warga lainnya pun akhirnya memilih berbalik. Mereka bukan takut kepada Wira, tetapi jika Kemoja benar-benar penenung, bisa saja mereka akan dikutuk lebih kejam lagi. Mereka hanya akan menunggu waktu yang tepat.

Kepergian mereka akhirnya membuat halaman rumah Kemoja kembali lapang. Wira perlahan menoleh pada pintu rumah Kemoja yang masih juga tertutup. Tatapannya yang semula dipenuhi berang berubah lembut. Dia terus menatap pintu dengan hati dipenuhi harapan maupun kecemasan. Dia berharap bisa bertemu gadis itu juga cemas dengan keadaannya.

Di dalam rumah, Kemoja melihat rantai gaib itu perlahan-lahan menghilang. Hanya ada aroma kemenyan yang tertinggal dan jejak kekuatan kuno. Kemoja ingin menyelidikinya, tetapi itu sangat riskan bila dilihat oleh manusia biasa.

Kemoja melangkah lalu membuka pintu rumahnya. Pandangannya berserobok dengan tatapan pria itu. Hatinya menggelenyar diiringi degupan jantung yang tak dapat dia kendalikan. Sungguh, Kemoja hampir saja berlari untuk memeluknya. Akan tetapi, sekuat hati dia tahan langkahnya dan memilih berdiri di teras. Bahkan, tak sedikit pun senyum hangat dia sunggingkan untuk pujaan hatinya.

“Pergilah! Aku tak menerimamu di sini.”

Sedingin ucapan Kemoja, sedingin itu pula tatapannya. Namun, Wira justru tersenyum. Dia merasa ada tetes-tetes air yang mulai menyirami dahaga rindunya. Meski dia sering bertemu Kemoja dalam mimpi, rasanya sangat berbeda bila mendengar langsung ucapannya seperti ini.

“Aku tak bisa pergi, Kemoja.”

Kemoja mengepalkan kedua tangannya, menancapkan kukunya pada telapak tangan untuk mengurangi rasa sesak dalam hatinya.

“Tuan Wira, kumohon, pergilah! Dulu maupun sekarang, aku tak bisa menerimamu.” Kemoja menatap kaki Wira, lalu tersenyum masam. Dia berharap senyumnya dapat menyakiti hati pria itu.

Ya, memang benar, Wira merasa tak nyaman kala Kemoja memandang kakinya yang lumpuh. Namun, sama sekali dia tak tersinggung. Wira mencengkeram pegangan kursi rodanya kala melihat gadis itu berbalik dan hampir memasuki rumahnya kembali.

“Kemoja! Aku akan sembuh. Aku akan kembali mengejarmu, bahkan bila aku harus berlari tertatih, aku akan mengejarmu.”

Kemoja berhenti melangkah. Cukup lama dia berdiam. Lalu, dengan menolehkan sedikit kepalanya dia berkata, “Aku tak peduli, Tuan Wira!”

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro